Senin, 01 Februari 2016



PERKAWINAN BEDA KEWARGANEGARAAN
I.      Dasar
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan

II.   Latar Belakang
Perkawinan beda kewarganegaraan atau kebangsaan merupakan hal yang tidak aneh lagi di Indonesia. Banyak wanita atau pria kebangsaan Indonesia yang menikah dengan pria atau wanita yang berkebangsaan lain. Menurut Undang-undang perkawinan no.1 tahun 1974 pernikahan campuran adalah pernikahan antara 2 orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan , karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarga negaraan Indonesia.
Penentuan sistem kewarganeagaraan yang dianut di dunia ada dua yaitu (Ius sanguinis) kewarganegaraa tunggal yang berdasarkan asas keturunan dan (Ius soli) yang berdasarkan tempat kelahiran. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan Bipatrida atau kewarganegaraan yang ganda dan apatrida yaitu tanpa kewarganegaraan. berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi memelihara anak asing. Jadi, Undang–undang baru ini lebih memberikan perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “ perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.

III.      Pembahasan
Banyak hal yang harus kita pahami mengenai perkawinan beda kewarganegaraan atau yang biasa disebut perkawinan campuran. Disini saya akan mengkaji perkawinan beda kewarganegaraan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Ketertarikan membahas hal ini adalah banyaknya rekan-rekan ataupun saudara yang menanyakan mengenai prosedur perkawinan beda kewarganegaraan atau bagaimana status anak secara hukum yang diakuin di indonesia.

Apakah Pengertian perkawinan campuran itu?

Menurut Pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, Perkawinan seorang warga negara Indonesia (WNI), dengan warga negara asing (WNA) merupakan perkawinan campuran. Namun, apabila  perkawinan dilakukan antara dua orang warga negara Indonesia yang berbeda agama, bukan merupakan perkawinan campuran.

Bagaimana dasar hukum perkawinan campuran Di Indonesia?

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 59 ayat 1).  Di dalam pasal 60 UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

Bagaimana apabila perkawinan campuran tersebut dilangsungkan di luar Indonesia?

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA adalah sah bilamana dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diatur dalam pasal 56 ayat 1 yang berbunyi:
Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini”
Retno S. Darussalam, S.H. di dalam klinik hukumonline menyatakan, bila perkawinan campuran akan dilakukan di luar Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat. Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum di sini, misalnya status mengenai anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri bila perkawinan berakhir karena perceraian dan/atau sebagainya. Namun, untuk sahnya perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.

Bagaimana apabila melewati dari waktu yang telah ditetapkan?

Apabila lewat dari waktu yang ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan Peraturan Daerah setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil  yang berbunyi:
1.      Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2) dan Pasal 106 diatur dalam Peraturan Daerah.
2.      Penetapan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing.
3.      Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan daerah Kabupaten/Kota, dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.”

Bagaimana dampak dari perkawinan campuran?

Menurut artikel di dalam www.lbhmawarsaron.com, dampak dari perkawinan campuran ini adalah mengenai status kewarganegaraan dari perempuan WNI maupun anak-anak yang lahir kemudian hari.  Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan) dinyatakan: “Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut”.
Namun bagi perempuan WNI yang masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesia-nya, Pasal 26 (3) UU menyatakan: ”Perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda”.
Sehingga perempuan WNI yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami WNA. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan berlangsung [pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan].
Perlu diperhatikan bahwa pengajuan  tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia.
Bagaimana status anak kewarganegaraan anak yang lahir dari perkawinan campuran?
Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1.        Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
a)         Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
b)        Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c)         Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d)        Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2.        Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.

 3.        Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru
Walaupun banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi para istri warga negara asing).
“Ketua KPC Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.
Penulis kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum, dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai berikut : “Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”
Terkait dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.
Anak dari perkawinan campuran bisa memiliki status kewarganegaraan ganda. Menurut Dinna Sabriani di dalam artikel tanya jawab klinik hukumonline, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenhukham) mempermudah proses penyampaian pernyataan memilih kewarganegaraan bagi anak yang memiliki kewarganegaraan ganda. Anak yang lahir dari pasangan berbeda warga negara, salah satunya, WNI, bisa memiliki kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling lambat tiga tahun setelah mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan memilih kewarganegaraannya. Mau pilih WNI atau menjadi warga negara asing, negara asal ayah atau ibunya. Lewat Peraturan Menhukham No. M.HH-19.A.H.10.01 Tahun 2011, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menegaskan pernyataan memilih kewarganegaraan dapat dilakukan bukan hanya di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi juga di kantor-kantor wilayah keimigrasian yang tersebar di wilayah Indonesia. Bahkan, pernyataan memilih dapat disampaikan di luar negeri, lewat kantor perwakilan Indonesia atau di tempat lain yang ditentukan oleh Menteri. Kantor perwakilan Indonesia yang punya kewenangan adalah kantor yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus mengajukan pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor imigrasi. Jika si anak memilih WNI atau affidavitnya dicabut maka ia berhak menyandang status WNI, yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Menteri.
Ada dua kategori anak yang harus memilih status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
1)      Anak yang lahir sebelum 1 Agustus 2006, adalah mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menhukham tentang kewarganegaraan.
2)      Anak yang lahir sesudah 1 Agustus 2006, yang memiliki affidavit.
Dalam konteks ini, affidavit adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit mendapatkan fasilitas keimigrasian saat keluar masuk Indonesia.
Jika anak berkewarganegaraan ganda memilih menjadi Warga Negara Asing (WNA), maka pernyataan itu harus disampaikan kepada pejabat atau perwakilan Indonesia  yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal si anak. Jika selama ini anak tersebut sudah memegang paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut. Demikian pula jika anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu harus dicabut pejabat yang menerima pernyataan memilih menjadi WNA. Sang pejabat kemudian menyampaikannya ke Ditjen Imigrasi. Petugas akan memutakhirkan data sistem informasi keimigrasian.
Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).

IV.  Kesimpulan
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran.

UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.


By. EDU KALINGGA


Selasa, 10 November 2015

PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN

       Kata keadilan berasal dari akar kata adil, kata dimaksud mendapat tempat yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
    Kata “ADIL” hampir selalu muncul dan kita dengar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Fenomena sudut pandang ketidakadilan pada aktivitas penegakan hukum saat ini dirasa belum memberikan keadilan yang sebenarnya sepanjang hukum yang ditegakkan oleh aparatur penegak hukum itu belum merupakan konstruksi yang mencerminkan rasa keadilan, demikian pula, kebebasan, kesetaraan dan kesamaan dalam memperoleh kesempatan sebagaimana yang dijanjikan oleh hukum. Hukum hanya benar dalam bingkai norma-norma yang abstrak dan masih dalam tataran retorika-retorika teoritik belaka. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai pengayom masyarakat yang memberikan rasa keadilan melalui aparat penegak hukumnya, dirasa belum mampu menunjukkan fungsi utamanya. Hukum dan keadilan merupakan dua sisi yang menyatu, karena keadilan adalah nilai-nilai abstrak yang perlu perwujudan dalam bentuk hukum. Sebaliknya hukum tidak dapat dikatakan hukum, jika tidak mampu mewujudkan nilai-nilai keadilan yang telah dirumuskan sebelumnya olek masyarakat di mana hukum itu berlaku, hukum bukan lahir untuk dirinya sendiri melainkan bekerja untuk menatakelola munculnya kemaslahatan dan keadilan di tengah masyarakat. Penegak hukum pada hakekatnya sebagai hukum yang hidup, karena di tangan penegak hukum itulah skema-skema hukum itu menjadi hidup, di tangan penegak hukum itulah hukum mengalami perwujudannya.     
     Penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dihadapkan kepada struktur birokrasi hukum modern yang semakin formal dan komplek. Sebagai penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan advokat) merupakan simbol yang melambangkan pekerjaan yang dilakukannya. Sebagai makhluk Tuhan, para penegak hukum adalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dalam semua sisi kehidupan yang melekat pada dirinya yang menyebabkan kemampuan yang dimilikinya menjadi sangat terbatas. Meskipun demikian dalam pelaksanaan tugas di masyarakat, para penegak hukum sering dihadapkan pada situasi yang secara konsisten justru dapat mengakibatkan arah berbalik yaitu terciptanya ketidaktertiban dalam masyarakat, tentunya dalam hal ini para penegak hukum dituntut secara kreatif, arif dan bijaksana untuk mampu mengatasi problema yang penuh dengan resiko, baik resiko fisik maupun psikis. 
      Menjawab atas permasalahan tersebut di atas : 
1. Bahwa proses dan kualitas penegakan hukum menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan; 
2. Dengan proses dan kualitas penegakan hukum yang baik dan adil diharapkan akan tercipta kehidupan masyarakat yang baik dalam suasana saling menghormati menurut prinsip-prinsip hukum yang berlaku; 
3. Untuk memunculkan kemaslahatan (rasa keadilan) dalam merumuskan ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam realitas masyarakat yang terus berkembang saat ini penegak hukum harus melakukan perubahan mind set, budaya tertib kerja melalui peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan public, professional, proporsional dan akuntabel dalam artikulasi reformasi birokrasi. 
     Untuk mengakselerasi perihal dimaksud para penegak hukum mempunyai tugas mempelajari metode dan prinsip yang sesuai dengan konteks hukum yang kompatibel dengan nilai-nilai kemaslahatan (sosial) dan keadilan melalui pendekatan agama yang bersifat universal dan mutlak. Untuk mengaitkan dan menghubungkan kandungan agama dengan konteks kemaslahatan (sosial) mesti diapresiasi dalam setiap aktivitas penggalian hukum di masyarakat melalui dinamisasi interpretasi hukum. Pada prinsipnya, hukum lahir bukan dalam ruang yang kosong dan tidak bekerja untuk dirinya sendiri. Sebaliknya ia tumbuh dan berkembang untuk menebar kemaslahatan dan keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Untuk merealisasi tujuan luhur ini sangat dibutuhkan dalam merumuskan ketentuan hukum begitu pula penempatan temuan hukum dalam arti melakukan reformasi hukum sesuai konteks realitas adalah bentuk lain dari penerapan nilai-nilai etis yang amat dianjurkan dalam ajaran agama. Agama dengan nalar logika manusia menjadi sangat menarik dimaknai secara teologis untuk memunculkan diktum-diktum hukum yang sangat dibutuhkan para penegak hukum sebagai garis panduan (guide line). Hasil dinamisasi interpretasi hukum ini dapat terintegrasi ke dalam nilai-nilai etika sehingga dapat memantulkan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat. 
     Akumulasi paradigma ini secara keseluruhan masuk dalam dinamisasi interpretasi hukum yang diakselerasikan melalui keteladanan yang nyata dari pimpinan sampai individu anggota dalam arti membumikannya moralitas, etika dan karakter dengan agama sebagai medianya. Agama dan penegak hukum adalah dua hal yang saling berinterelasi dalam proses pembentukan moral personilnya, agama bersifat transendental dan absolut serta tugas para penegak hukum sebagai pelayan masyarakat merupakan anugerah dan berkat Tuhan. Dalam arti agama sebagai pedoman (guide line) untuk membimbing tugas-tugas penegak hukum menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu Tuhan di mana perilaku para penegak hukum menjadi cerminan sesuai konteks realitas yang merupakan penerapan nilai-nilai etis. Hasil dinamisasi interpretasi hukum ini dapat terintegrasi ke dalam nilai-nilai etika sehingga dapat memantulkan keharmonisan di tengah-tengah sosio kultural masyarakat (karakter/moralitas) serta terjalinnya hubungan simbiosis antara manusia (para penegak hukum) selaku mandataris dengan Tuhan selaku pemberi mandat (amanat). Sehingga akan tertata sistem politik yang sehat, penegakkan hukum yang adil, kesejahteraan masyarakat yang makin merata dan penghargaan masyarakat atas nilai, norma, hukum dan konstitusi yang sudah disepakati bersama (demokrasi) menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu Tuhan, sebagai bentuk perwujudan aparat penegak hukum dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Selasa, 03 November 2015

UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, PENGARUH KAPITALISME; SEBUAH TELAAH KRITIS

A. UU Hak Cipta dan Problematikanya 
      Secara formal, bangsa Indonesia telah berhasil membangun Negara merdeka yang berdasar atas hukum. Namun, cita-cita hukum sebagaimana yang terkandung dalam Negara hukum masih mengandung banyak permasalahan, di antaranya adalah adanya ketidakseimbangan antara pelaksanaan fungsi hukum dengan perkembangan substansi dan struktur hukum yang berlaku. Akibatnya, ketidakadilan banyak dirasakan dalam bekerjanya sebuah hukum, padahal sebagaimana kita ketahui tujuan utama hukum adalah menciptakan keadilan dalam masyarakat. 
     Kenyataaan di atas salah satunya tergambar pada perkembangan hukum tentang hak cipta yang dirasa mengandung masalah yang cukup kompleks. Oleh beberapa kalangan, UU Hak Cipta dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Prinsip individualitas yang terkandung dalam undang-undang tersebut tidak sesuai dengan pandangan orang Indonesia yang berperisosial, kolektif dan tradisional[1]. Undang-Undang Hak Cipta dianggap bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat, sehingga dianggap tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kesadaran hukum masyarakat terhadap Undang-Undang Hak Cipta[2]. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa pengedepanan aspek ekonomi dalam UU Hak Cipta sangat terasa[3]. Rasionalitas ekonomi begitu kuat dalam UU ini memberikan justifikasi bahwa segala biaya dan jerih payah pencipta harus terbayar kembali.

     Dengan memperhatikan urgensi perlindungan hak cipta yang lebih menonjolkan rasionalitas ekonomi, khususnya untuk mendapatkan kembali segala bentuk investasi yang telah dikeluarkan, maka semangat perlindungan hak cipta sesungguhnya tidak bergeser jauh dari konsep purba, yaitu melindungi investasi pencipta. Sampai pada titik ini, timbullah sebuah tanda tanya besar. Seberapa besar manfaat dan keberpihakan HAKI terutama hak cipta bagi kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia? 
     Bila dikaji lebih mendalam, tampak adanya kesenjangan yang lebar antara standar “moral” dari “jiwa keadilan” bangsa Indonesia dengan “spirit” dari konsep HAKI yang selama ini diberlakukan. Ada indikasi bahwa HAKI sebenarnya merupakan praktek kolonialisme baru, baik dari sisi potensi ekonomi maupun pada nilai-nilai hukum dan keadilan bangsa Indonesia. 
     Mengacu pada teori etis sebagaimana diungkapkan Aristoteles yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan[4], bagaimana UU Hak Cipta dapat dilihat? Apakah undang-undang ini mengandung nilai keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi kita? Penelitian secara filosofis perlu dilakukan guna mengetahui bagaimanakah kandungan nilai keadilan sosial dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 
     Dari segi muatan, hak cipta mengandung esensi monopoli atas hak ekonomi atau economic rights dan hak moral atau moral rights. Keduanya memberi pencipta kewenangan untuk mengeksploitasi dan mengawasi penggunaan ciptaannya. 
    Dengan memperhatikan urgensi perlindungan hak cipta yang saat ini terbukti lebih menonjolkan rasionalitas ekonomi, khususnya untuk mendapatkan kembali segala bentuk investasi yang telah dikeluarkan, maka semangat perlindungan hak cipta sesungguhnya tidka bergeser jauh dari konsep purba, yaitu melindungi investasi pencipta. Perlindungan hak cipta bukan semata-mata diarahkan untuk melindungi kreativitas pencipta, tetapi kepada kepentingan ekonomi terkait dengan ciptaan. 
     Penekanan aspek keuntungan secara ekonomis dalam hak cipta merupakan akibat turunan dari konsep hak cipta yang mengedepankan individualitas. Prinsip individualitas merupakan nilai khas hukum modern, yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Alih-alih mewujudkan keadilan, ketidaksinkronan muatan hukum dengan kondisi masyarakat justru akan menghasilkan ketidakadilan. 
     Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada di setiap masyarakat dan terampil dengan kekhasannya masing-masing. Itulah sebabnya Wolfgang Friedman menyatakan bahwa hukum tidak mempunyai kekuatan berlaku universal[5]. Setiap bangsa mengembangkan sendiri kebiasaan hukumnya sebagaimana mereka mempunyai bahasanya sendiri juga. Tidak ada hukum dari suatu Negara tertentu dapat dipakaikan untuk bangsa dan Negara lain. Menurut Von Savigny[6], hukum itu merupakan pencerminan jiwa rakyat yang tidak mudah untuk diterjemahkan melalui perbuatan hukum dewasa ini. Ungkapan ini akan lebih sesuai akan lebih sesuai dengan masyarakat di pedesaan, yang belum mengalami penguraian yang tajam dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya. 

B. Kapitalisme dan Pengaruhnya Terhadap Pengaturan Hak Cipta di Indonesia 
     Globalisasi ekonomi akhirnya berimbas juga pada globalisasi hukum. Hal ini dapat diketahui salah satunya melalui keikutsertaan Indonesia terhadap WTO (World Trade Organization), yang bermula dari keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Final A Act Uruguay Round di Marrakesh pada 1994. Ketika Indonesia meratifikasi persetujuan pendirian organisasi perdagangan dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui UU No. 7 Th. 1994, maka seketika itu juga Indonesia sudah masuk kepada apa yang disebut dengan “Globalisasi”. 
     Adji Samekto dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa globalisasi identik dengan ekspansi kapitalisme global. Pendorong utama terjadinya globalisasi adalah ekspansi kapitalisme global yang menuntut agar tata perekonomian seluruh dunia “diserahkan” kepada mekanisme pasar bebas. Adapun kapitalisme merupakan paham yang bertujuan untuk melakukan penumpukan modal (capital accumulation) melalui proses penanaman modal (capital investment). Dalam prakteknya, pemenuhan kepentingan kapitalisme mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi keluar wilayah dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja semurah mungkin. Hal inilah yang secara historis telah melahirkan penjajahan dan penaklukan oleh satu Negara terhadap Negara lain (terutama oleh Negara barat penganut kapitalisme terhadap Negara dunia ketiga)[7].
     Pendapat di atas menemukan kesesuaiannya ketika melihat keadaan Indonesia saat ini betapa tidak, dengan diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization beserta beberapa lampirannya maka Indonesia wajib berkomitmen terhadap pelaksaan WTO, yang di antaranya adalah harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional sesuai dengan ketentuan dalam WTO. Adapun salah satunya berkaitan dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dimana di dalamnya diatur mengenai perdagangan dalam kaitannya dengan aspek hak atas kekayaan intelektual. 
     Tindakan pemerintah atas keikutsertaannya dalam WTO merupakan bentuk lain dari “penyerahan” tata perekonomian pada bentuk pasar bebas, di mana kapitalisme mendapatkan tempatnya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Ketentuan-ketentuan bidang HAKI yang ada dalam GATT/WTO pada akhirnya semakin memperkuat ekonomi Negara-negara maju dimana mereka memasukkan tema-tema baru. Khusus untuk HAKI, beberapa Negara maju mengajukan beberapa usulan sebagai berikut: 
     1. Hak milik intelektual harus berada di bawah yurisdiksi GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), karena hak-hak itu mempengaruhi perdagangan. 
     2. Undang-undang mengenai hak milik intelektual harus seragam untuk beberapa Negara, dan undang-undang paten yang berlaku di Negara industri harus diambil sebagai standar. 
     3. Hak-hak itu harus diberikan untuk jangka waktu yang relatif panjang. Usulan Amerika Serikat untuk perlindungan meliputi jangka waktu sekurang-kurangnya 50 tahun, dan sekurang-kurangnya 20 tahun untuk paten. 
   4. Apabila TRIPs telah diterima di bawah payung GATT, maka ketentuan-ketentuannya harus dilaksanakan[8].

     Dari beberapa ketentuan di atas, secara jelas dapat dipahami bahwa spirit pengaturan hak kekayaan intelektual tidak lain hanyalah merupakan kepentingan kapitalisme, terutama pada ketentuan pertama yang berbunyi hak milik intelektual harus berada di bawah yurisdiksi GATT, karena hak-hak tersebut mempengaruhi perdagangan. Hal ini tentunya dilakukan demi menjamin kepentingan ekonomi mereka, yaitu dalam bidang globalisasi perdagangan dan dalam upaya ekspansi perusahaan transnasional ke semua sektor ekonomi di dunia. 
     Bagi Negara berkembang, ikut serta dalam kesepakatan dalam WTO dapat menjadi boomerang yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Alih-alih melindungi hasil produk/ciptaan/kreasi warganya, yang terjadi justru kerugian bagi bangsa itu sendiri. Daya kreativitas masyarakat yang seharusnya didukung dan dilindungi justru menjadi terkebiri. 
     Di Indonesia, ketentuan-ketentuan TRIPs dituangkan dalam undang-undang hak cipta. Undang-undang hak cipta sendiri pertama kali diundangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987, diubah lagi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Beberapa kali perubahan undang-undang hak cipta tersebut merupakan upaya harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional sesuai dengan ketentuan dalam WTO. Adapun salah satunya dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dimana di dalamnya diatur mengenai perdagangan dalam kaitannya dengan aspek hak atas kekayaan intelektual.

Catatan kaki :


[1] M. A. Jaspan, Mencari Hukum Baru Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingungkan, dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut (ed), Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta: YLBHI, 1998, hlm. 253.
[2] Afifah Kusumadara, Konflik Hukum HAKI dengan Hukum Adat di Indonesia, Jurnal Arena Hukum, No. 12 Tahun 2000.

[3] Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hlm. 13. 
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 77.
[5] Wolfgang Friedman, Legal Theory, Edisi Ketiga, (London: Stevens & Sons Limited, 1953).
[6] Pendapat Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Wolfgang Friedman, Ibid, hlm. 137.
[7] Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 38.
[8] Martin Khor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 15.