Rabu, 30 Oktober 2013

Joint Venture dari Sisi Hukum Positif di Indonesia


 Joint Venture dari Sisi Hukum Positif di Indonesia




Joint venture merupakan salah satu bentuk kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing melalui usaha patungan untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Joint venture atau usaha patungan ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman modal asing (“PMA”) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal  (“UU Penanaman Modal”).

Berdasarkan Pasal 27 UU Penanaman Modal, maka Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal ini dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). BKPM merupakan lembaga independen non-departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Presiden kemudian menetapkan Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 3 September 2007 (“Perpres No. 90/2007”).

Sesuai dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres No. 90/2007, maka BKPM memiliki tugas utama untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, BKPM mengeluarkanPeraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal pada 23 Desember 2009 (“Perka BKPM No. 13/2009”). Pengendalian Pelaksanaan Modal ini dimaksudkan untuk melaksanakan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal.

Tujuan dari pengendalian pelaksanaan modal ini adalah agar dapat:

i.        memperoleh data perkembangan realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
ii.       melakukan bimbingan dan fasilitasi penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
iii.     melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan.

Dengan demikian, diharapkan tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanaan penanaman modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal.


Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture dan Badan yang Berwenang Melakukan Pengawasan

Pengawasan pelaksanaan penanaman modal diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No. 13/2009 dilakukan melalui:
(i)     penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii)   pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.

Badan yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal tersebut adalah:
a.      Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (“PDKPM”) terhadap seluruh kegiatan penanaman modal di kabupaten/kota;
b.      Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (“PDPPM”) terhadap penanaman modal yang kegiatannya bersifat lintas kabupaten/kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan pemerintahan provinsi;
c.      BKPM terhadap penggunaan fasilitas fiskal penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah;
d.      instansi teknis terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana disebut di atas, PDKPM melakukan koordinasi dengan instansi daerah terkait. Sedangkan PDPPM melakukan koordinasi dengan PDKPM dan instansi daerah terkait, di mana BKPM melakukan koordinasi dengan PDKPM, PDPPM dan instansi daerah terkait.

Dalam hal-hal tertentu, BKPM dapat langsung melakukan pemantauan, pembinaan dan pengawasan atas kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi atau kabupaten/kota. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Perka BKPM No. 13/2009. Perka BKPM ini kemudian diubah denganPeraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal (“Perka BKPM No. 7/2010”).


Metode Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture

Dalam melaksanakan joint venture di Indonesia, maka setiap PT PMA yang telah mendapat Pendaftaran Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman Modal dan/atau Persetujuan Penanaman Modal dan/atau Izin Usaha wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (“LKPM”) secara berkala kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, Kepala PDPPM dan Kepala PDKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (7) Perka BKPM No. 7/2010 jo. Pasal 15 ayat (c) UU Penanaman Modal.


Metode pelaporan LKPM tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Bagi PT PMA yang masih dalam tahap pembangunan, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi setiap tiga bulanan atau per triwulan yaitu:
1.      LKPM triwulan I untuk periode pelaporan Januari sampai dengan Maret, disampaikan paling lambat pada 5 April bulan yang bersangkutan;
2.      LKPM triwulan II untuk periode pelaporan April sampai dengan Juni, disampaikan paling lambat pada 5 Juli bulan yang bersangkutan;
3.      LKPM triwulan III untuk periode pelaporan Juli sampai dengan September, disampaikan paling lambat pada 5 Oktober bulan yang bersangkutan; dan
4.      LKPM triwulan IV untuk periode pelaporan Oktober sampai dengan Desember, disampaikan paling lambat pada 5 Januari tahun berikutnya.
b.      Bagi PT PMA yang telah memiliki Izin Usaha, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi per enam bulan atau per semester yaitu:
1.      LKPM semester I untuk periode pelaporan Januari sampai dengan Juni, disampaikan pada minggu pertama Juli bulan yang bersangkutan; dan
2.      LKPM semester II untuk periode pelaporan Juli sampai dengan Desember, disampaikan pada minggu pertama Januari tahun berikutnya.
c.      Bagi PT PMA yang memiliki kegiatan penanaman modal lebih dari satu kabupaten/kota wajib menyampaikan LKPM untuk masing-masing kabupaten/kota.
d.      Bagi PT PMA yang memiliki beberapa bidang usaha wajib merinci realisasi investasi untuk masing-masing bidang usaha dalam LKPM.


Dengan adanya LKPM ini, maka segala perkembangan realisasi investasi dan produksi dari PT PMA dapat diawasi oleh BKPM yang kewenangannya dapat didelegasikan kepada PDKPM atau PDPPM yang terkait. LKPM ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan:
(i)     penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii)   pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.

Apabila PT PMA tidak menyampaikan kewajiban menyampaikan LKPM, maka PT PMA dapat dikenakan sanksi administratif di antaranya pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
         1.         UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
         2.         Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
         3.         Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010


Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 082220117918 



Jumat, 25 Oktober 2013

Parate Eksekusi dan Grosse Akta Pengakuan Hutang


Parate Eksekusi  dan Grosse Akta Pengakuan Hutang









1. Pengertian Parate Eksekusi dan grosse akta
Parate eksekusi (parate executie) adalah pelaksanaan dari suatu perikatan dengan langsung tanpa melalui suatu vonnis pengadilan. Dalam Hukum Acara perdata Indonesia parate eksekusi atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai titel eksekutorial.
Menurut kamus hukum oleh Drs. Sudarsono, SH., M.Si, parate eksekusi ialah pelaksanaan langsung tanpa melalui proses pengadilan; eksekusi langsung yang biasa dilakukan dalam masalah gadai sesuai dengan ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian.
Parate eksekusi merupakan eksekusi langsung berdasarkan adanya grosse pada suatu akta pengakuan hutang. Dari sinilah kreditur dapat mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri bila debitur tidak dapat melunasi hutangnya pada waktu yang ditentukan tanpa melalui proses peridangan.
Grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama tersebut diberikan kepada kreditur. Dalam buku Pedoman Tugas (Buku II) yang dimaksud dengan grosse adalah salinan pertama dari akta otentik yang diberikan kepada kreditur.
Menurut pasal 258 RBg ada dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik.
Asli akta pengakuan hutang (minut) tersebut disimpan oleh Notaris, sedangkan salinan pertama akta tersebut diberi kepala/irah-irah yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dipegang kreditur. Dan salinan yang diberikan kepada debitur tidak memakai irah-irah seperti yang dipegang oleh kreditur tersebut.
Dalam acara perdata dijelaskan bahwa menurut pasal 258 RBg ada dua macam grose akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Dan yang kita bicarakan disini ialah grosse akta pengakuan hutang.
Disamping itu parate eksekusi juga berlaku bagi pemegang gadai (psl. 1155 BW). Jika debitur wanprestasi, maka pemegang gadai berhak menjual benda gadai atas kekuatan sendiri. Hak pemegang gadai untuk menjual barang gadai tanpa title eksekuturial (tanpa perlu perantara) disebut parate eksekusi. Dengan demikian pemegang menjual barang gadai seakan menjual barangnya sendiri, dan berhak mengambil pelunasan piutangnya terlebih dahulu. Tetapi ketentuan psl. 1155 ini bersifat mengatur (aanvullend recht) dimana para pihak diberi kebebasan untuk memperjanjikan lain, misalnya melalui penjualan dimuka umum atau dibawah tangan. Namun demikian pemegang gadai dilarang memiliki benda gadai (psl. 1154 BW).

2. Spesifikasi Grosse Akta Pengakuan Hutang
Grosse akta pengakuan hutang dapat digunakan khusus untuk kredit Bank berupa Fixed Loan. Notaris dapat membuat akta pengakuan hutang dan melalui grosssenya berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME yang dipegang kreditur (bank) dan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi berdasarkan grosse akta pengakuan hutang mengenai Fixed Loan ini, hanya bisa dilaksanakan, apabila debitur saat peneguran membenarkan jumlah hutangnya itu.
Bentuk grosse akta pengakuan hutang adalah pernyataan sepihak (debitur) sebagai dokumen assesoir dengan perjanjian pokok pinjaman/kredit sebagai pokok hutang (contract of loan). Itu sebabnya, ditinjau dari segi yuridis, ikatan grosse akta (akta pengakuan hutang atau akta hipotik) adalah perjanjian “tambahan” yang bertujuan untuk memperkokoh perlindungan hukum terhadap pihak kreditur.
Ada pula menurut pasal 42 ayat 4 Peraturan Lelang menegaskan, berita acara lelang yang telah diberi bentuk sebagai grosse (memakai kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME” pada bagian kepala berita acara) sama kekuatannya dengan grosse akta hipotik dan grosse akta pengakuan hutang. Dengan demikian, terhadap grosse berita acara lelang berlaku ketentuan pasal 258 RBg. Sekiranya grosse berita acara lelang diberikan sebagai jaminan hutang, maka kreditur dapat meminta “executorial verkoop” ke Pengadilan Negeri, apabila pihak yang menjamin lalai membayar hutang.

3. Syarat sah grosse akta pengakuan hutang
Didalam praktek sering terjadi ketidak-seragaman penerapan tentang sahnya grosse akta pengakuan hutang berdasarkan pasal 258 RBg, disebabkan tidak adanya kesepakatan pendapat mengenai standar hukum.
Berikut ini Yahya Harahap, SH mengemukakan persyaratan yang merupakan Unifiedlegal Frame Work mengenai grosse akta pengakuan hutang.

a. Syarat Formil
1). Berbentuk akta Notaris
 bisa merupakan lanjutan atau peningkatan dari perjanjian hutang semula (dokumen pertama);
 bisa juga perjanjian hutang langsung dituangkan dalam bentuk akta Notaries.
2). Memuat Titel Eksekutorial
 lembar minut (asli) disimpan Notaris;
 grosse (salinan yg memakai irah-irah) diberikan kepada Kreditur.
Harus diingat tidak ada kewajiban hokum memberikan grosse kepada debitur, karenanya tidak diberikan kepada debitur tidak melanggar syarat formal dan tidak mengalangi parate eksekusi.

b. Syarat Materil
1). memuat rumusan Pernyataan Sepihak dari debitur :
 Pengakuan berhutang kepada Kreditur;
 dan mengaku Wajib membayar pada waktu yang ditentukan;
 dengan demikian rumusan akta Tidak Boleh memuat ketentuan perjanjian atau tidak boleh dimasukkan dan dicampurkan dengan perjanjian Hipotek (Kuasa Memasang Hipotek).
2). jumlah hutang Sudah Pasti (fixed load) tidak boleh berupa Kredit Flafon.
 jadi jumlah hutang Pasti dan Tertentu;
 berarti pada saat grosse akta dibuat, jumlah hutang Sudah Direalisir;
 jangkauan hutang yang pasti meliputi Hutang Pokok + Bunga (ganti rugi).

4. Azas Spesialitas Grosse Akta Pengakuan Hutang
Setiap grosse akta pengakuan hutang harus memenuhi azas spesialitas, dalam arti :
a. Harus menegaskan barang agunan hutang;
o tanpa menyebut barang agunan, dianggap tidak memenuhi syarat,
o dengan demikian grosse akta tadi jatuh menjadi ikatan hutang biasa,
o dan pemenuhannya tidak dapat melalui pasal 258 RBg, tapi harus gugat biasa.
b. Dan agunannya harus barang tertentu;
o bisa berupa barang bergerak,
o atau tidak bergerak.
c. Yang dapat dieksekusi berdasar pasal 258 RBg.
o hanya barang agunan saja sesuai dengan azas spesialitas,
o sekiranya Executorial Verkoop atas barang agunan Tidak Cukup memenuhi pelunasan hutang :
- tidak boleh dialihkan terhadap barang lain,
- kekurangan itu harus dituntut melalui Gugat Perdata biasa,
- hal itu sesuai dengan eksistensi grosse akta, bukan putusan pengadilan, tapi disamakan dengan putusan.

5. Parate Eksekusi seperti eksekusi biasa, dengan ketentuan :
 Harus didahului dengan somasi (peneguran);
 Dalam pelaksanaan somasi debitur harus mengakui hutangnya seperti dalam grosse akta pengakuan hutang;
 Eksekusi dilakukan dengan executorial verkoop.

6. Beberapa permasalahan dalam grosse akta
a. Karena kelicikan debitur yang mengulur waktu pelunasan hutangnya;
b. Karena kecurangan yang dilakukan kreditur, seperti tidak memasukkan permbayaran yang dilakukan debitur kedalam rekening pembukuan;
c. Karena kekeliruan pembuatan dokumen grosse akta yang menyebabkan grosse akta pengakuan hutang tidak bernilai yuridis, yang sering terjadi percampur-adukkan grosse akta pengakuan hutang dengan grosse akta hipotik;

Dalam perkembangan bisnis/ekonomi syari’ah permasalah grosse akta bukannya tidak mungkin akan muncul kasus ini yang berhubungan dengan Perbankan syariah dan eksekusinya menjadi kewenangan Pengadilan Agama.
Selain parate eksekusi kemungkinan menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah eksekusi arbitrase, lembaga konsinyasi, perlawanan eksekusi grosse akta, dan lain-lain.
Disamping itu hakim dituntut memahami system kontrak syariah yang sangat menentukan setiap transaksi perbankan.
Juga yang tak kalah pentingnya ialah yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan yang memberikan hak jaminan seperti Gadai (psl 1150 BW), Hipotek Bab II BW Buku II hanya yang berlaku lagi terhadap kapal (UU No. 21/1992) dan pesawat terbabang dan helicopter (UU No. 12/1992), Hak Tanggungan (UU No. 4/1996), Fidusia (UU No. 42/1999) dan ada lagi jaminan perorangan seperti perjanjian penanggungan, perjanjian garansi dan perjajian tangung menanggung (tanggung renteng) yang bukannya tidak mungkin akan bersentuhan dengan bisnis/ekonomi syariah.


Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 082220117918 

Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) menurut UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan



PERJANJIAN KERJA (KONTRAK KERJA)
MENURUT UU No. 13 Tahun 2003 tentang KETENAGAKERJAAN






Perjanjian Kerja menurut Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.

Menurut pasal 54 UU No.13/2003, Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh
c. jabatan atau jenis pekerjaan
d. tempat pekerjaan
e. besarnya upah dan cara pembayarannya
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dani. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Pada dasarnya untuk menyatakan suatu perjanjian kerja dianggap sah atau tidak maka wajib untuk memperhatikan ketentuan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyatakan bahwa :
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
·         kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
·         kecakapan untuk membuat suatu perikatan
·         suatu pokok persoalan tertentu
·         suatu sebab yang tidak terlarang
Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga menegaskan bahwa :
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
·         kesepakatan kedua belah pihak
·         kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
·         adanya pekerjaan yang diperjanjikan
·         pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, danperaturan perundang undangan yang berlaku.





1.    1.       Menurut bentuknya
a)      Berbentuk Lisan/ Tidak tertulis
·         Meskipun kontrak kerja dibuat secara tidak tertulis, namun kontrak kerja jenis ini tetap bisa mengikat pekerja dan pengusaha untuk melaksanakan isi kontrak kerja tersebut.
·         Tentu saja kontrak kerja jenis ini mempunyai kelemahan fatal yaitu apabila ada beberapa isi kontrak kerja yang ternyata tidak dilaksanakan oleh pengusaha karena tidak pernah dituangkan secara tertulis sehingga merugikan pekerja.
b)      Berbentuk Tulisan
·         Perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tulisan, dapat dipakai sebagai bukti tertulis apabila muncul perselisihan hubungan industrial yang memerlukan adanya bukti-bukti dan dapat dijadikan pegangan terutama bagi buruh apabila ada beberapa kesepakatan yang tidak dilaksanakan oleh pengusaha yang merugikan buruh.
·         Dibuat dalam rangkap 2 yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, masing-masing buruh dengan pengusaha harus mendapat dan menyimpan Perjanjian Kerja (Pasal 54 ayat 3 UU 13/2003).

1.    2.       Menurut waktu berakhirnya
a)      Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang pekerjanya sering disebut karyawan kontrakadalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungankerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
·         didasarkan atas jangka waktu paling lama tiga tahun atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
·         dibuat secara tertulis dalam 3 rangkap : untuk buruh, pengusaha dan Disnaker (Permenaker No. Per-02/Men/1993), apabila dibuat secara lisan maka dinyatakan sebagai perjanjian kerjawaktu tidak tertentu
·         dalam Bahasa Indonesia dan huruf latin atau dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing dengan Bahasa Indonesia sebagai yang utama;
·         tidak ada masa percobaan kerja (probation), bila disyaratkan maka perjanjian kerja BATAL DEMI HUKUM (Pasal 58 UU No. 13/2003).

b)      Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Pekerjanya sering disebut karyawan tetap
Selain tertulis, PKWTT dapat juga dibuat secara lisan dan tidak wajib mendapat pengesahan dari intstansi ketenagakerjaan terkait. Jika PKWTT dibuat secara lisan maka perusahaan wajib membuat surat pengangkatan kerja bagi karyawan yang bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) untuk paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka demi hukum sejak bulan keempat, si pekerja sudah dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT). Selama masa percobaan, Perusahaan wajib membayar upah pekerja dan upah tersebut tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku.
Sekarang kita telah mengetahui dasar-dasar mengenai jenis kontrak kerja. Yang paling sering ditanyakan adalah mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) untuk para pekerja kontrak. Maka dari itu, Gajimu akan mencoba membahasnya dengan lebih detail.

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,  Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.

Pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang menjadi pihak dalam perjanjian adalah pekerja secara pribadi dan langsung  dengan pengusaha

Isi dari PKWT bersifat mengatur hubungan individual antara pekerja dengan perusahaan/pengusaha, contohnya : kedudukan atau jabatan, gaji/upah pekerja, tunjangan serta fasilitas apa yang didapat pekerja dan hal-hal lain yang bersifat mengatur hubungan kerja secara pribadi.

1.    Pekerjaan yang selesai sekali atau sementara sifatnya  yang penyelesaiannya paling lama tiga tahun
·         Apabila pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjian maka Perjanjian KerjaWaktu Tertentu tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
·         Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu  harus mencantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
·         Apabila pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaruan PerjanjianKerja Waktu Tertentu.
·         Pembaruan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dilakukan setelah masa tenggang waktu 30 hari setelah berakhirnya Perjanjian Kerja. Selama tenggang waktu 30 hari tersebut, tidak ada hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan/pengusaha.
1.    Pekerjaan Musiman
·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ini hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
·         Pekerjaan – pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan/ target tertentu dapat dilakukan dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu sebagai pekerjaan musiman.
·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan musiman tidak dapat dilakukan pembaruan.
1.    Pekerjaan yang terkait dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk jenis pekerjaan ini hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 tahun.
·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan ini tidak dapat dilakukan pembaruan
·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya boleh diberlakukan bagi pekerja yang melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar perkerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
1.    Pekerjaan harian/ Pekerja lepas
·         Perjanjian Kerja Waktu Terntu dapat dilakukan untuk pekerjaan – pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran.
·         Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan.
·         Apabila pekerja harian bekerja selama 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut maka Perjanjian Kerja Waktu Tertentu berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu.
·         Pengusaha yang mempekerjakan pekerja harian/lepas wajib membuat perjanjian kerja secara tertulis
·         Perjanjian Kerja tersebut harus memuat sekurang – kurangnya : Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja, nama/alamat pekerja, jenis pekerjaan yang dilakukan dan bersarnya upah dan/atau imbalan lainnya.

PKWT  wajib dibuat secara tertulis dan didaftarkan di instansi ketenagakerjaan terkait. Apabila dibuat secara lisan, akibat hukumnya adalah kontrak kerja tersebut menjadi PKWTT.

PKWT dapat diadakan paling lama 2 (dua) tahun.  Apabila pengusaha ingin melakukan perpanjangan kontrak, maka pengusaha wajib memberitahukan maksud perpanjangan tersebut secara tertulis kepada pekerja paling lama 7 (tujuh) hari sebelum kontrak berakhir.

Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 4, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya boleh dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pengusaha/perusahaan yang bermaksud memperpanjang PKWT tersebut, harus memberitahukan  maksudnya untuk memperpanjang PKWT secara tertulis kepada pekerja yang bersangkutan, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum PKWT berakhir. Jika pengusaha tidak memberitahukan perpanjangan PKWT ini dalam wakktu 7 (tujuh) hari maka perjanjian kerjanya batal demi hukum dan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT), seperti yang diatur dalam UU No.13/2003 pasal 59 ayat 5.
Hal ini juga ditegaskan dalam pasal 3 ayat 2  Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian KerjaWaktu Tertentu, bahwa PKWT hanya  dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
PKWT yang dilakukan melebihi waktu 3 (tiga) tahun, maka  perjanjian kerjanya batal demi hukum dan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dengan kata lain karyawan tersebut menjadi karyawan permanen – UU No.13/2003 pasal 59 ayat 7

Dapat. Menurut UU No.13/2003 pasal 59 ayat 6, Pembaruan perjanjian kerja dapat dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Pembaharuan ini dapat diadakan setelah lebih dari 30 hari sejak berakhirnya PKWT . Misalnya, apabila pekerjaan belum dapat diselesaikan maka dapat diadakan pembaruan perjanjian. Apabila PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 hari sejak berakhirnya PKWT, maka PKWT dapat berubah menjadi PKWTT.
Pembaruan PKWT ini dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan - pasal 3 ayat 5  Kepmenakertrans Nomor KEP. 100/MEN/VI/2004

Perbeda
Outsourcing = Perjanjian Pemborongan Pekerjaan. Perusahaan pemberi kerja memborongkan sebagian dari pekerjaan kepada perusahaan pemborong atau perusahaan penyedia tenaga kerjamelalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja.
Hubungan kerja antara pekerja outsourcing dengan perusahaan pemborong pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja dapat dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu  atau PerjanjianKerja Waktu Tidak Tertentu. Undang-undang tidak mengatur tentang hal ini.
Baik pekerja yang dipekerjakan langsung oleh perusahaan maupun pekerja dari perusahaan pemborong outsourcing akan bekerja di lokasi kerja perusahaan tersebut. Status hubungan kerjaPerjanjian Kerja Waktu Tertentu apakah pekerja yang dipekerjakan langsung atau pekerja yang melalui outsourcing boleh saja dilakukan sepanjang sesuai dengan ketentuan Pasal 59 Undang – Undang No. 13 tahun 2003.

Mengenai aspek hukum hubungan kerja antara Saudara -selaku pekerja/buruh- dengan “perusahaan outsourcing“, dijelaskan dalam UU No. 13.2003 pasal 66 ayat 2 huruf b, bahwa perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja, adalah PKWT apabila pekerjaannya memenuhi persyaratan sebagai pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pelaksanaannya akan selesai dalam waktu tertentu; dan/atau PKWTT yang dibuat (diperjanjikan) secara tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak.
Terkait dengan ketentuan tersebut, dijelaskan dan dipertegas dalam pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003, bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT), tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap, ada 2 (dua) kategori, yakni:
·         pekerjaan yang sifatnya terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalan satu perusahaan, atau
·         pekerjaan pekerjaan yang bukan musiman (Penjelasan pasal 59 ayat 2 UU No. 13/2003).
Dengan perkataan lain, apabila suatu pekerjaan walau bersifat terus-menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu namun bukan merupakan bagian dari suatu proses produksi pada satu perusahaan, dalam arti hanya merupakan kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan pokok (core business) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13/2003, maka dianggap bukan sebagai pekerjaan yang berisfat tetap, sehingga dapat menjadi objek PKWT.
Berkenaan dengan pelaksanaan kegiatan jasa penunjang, walaupun pekerja dapat dipekerjakan dengan hubungan kerja melalui PKWT, akan tetapi untuk “perusahaan outsourcing”, ada persyaratan tambahan sebagai amanat Putusan MK Register Nomor 27/PUU-IX/2011, bahwa PKWT harus memuat prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja atau Transfer of Undertaking Protection Employment (TUPE) yang mengamanatkan:
·         pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh (termasuk berlanjutnya hubungan kerjadengan perusahaan outsourcing yang baru) yang objek kerja-nya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan outsourcing.
·         masa kerja pekerja/buruh harus diperjanjikan (dalam PKWT) untuk dibuatexperience letter
·         experience letter menentukan masa kerja dan menjadi salah satu dasar penentuan upah pada perusahaan outsourcing berikutnya.


Atas dasar Putusan MK tersebut kemudian dituangkan dalam Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012, khususnya PKWT pada perusahaan penyedia jasa pekerja, bahwa PKWT-nya, sekurang-kurangnya memuat:
·         jaminan kelangsungan bekerja;
·         jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
·         jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah;
Demikian juga memuat hak-hak lainnya, seperti
·         hak atas cuti (tahunan) apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
·         hak atas jamsostek;
·         Tunjangan Hari Raya (THR),
·         istirahat mingguan;
·         hak atas ganti-rugi (kompensasi diakhirinya hubungan kerja PKWT);
·         penyesuaian upah berdasarkan -akumulasi- masa kerja;
·         dan hak-hak lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja(PKWT) sebelumnya.

Dalam Undang – Undang No. 13 tahun 2003 pasal 57 ayat 1 menyatakan bahwa “Perjanjian kerjauntuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.
Meski para pihak adalah orang asing, hukum yang berlaku dalam perjanjian tersebut adalah Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, oleh karena itu PKWT harus dibuat dalam bahasa Indonesia, dengan terjemahan ke Bahasa Inggris. Segala ketentuan yang mengikat secara hukum adalah ketentuan yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. Bahasa Inggris dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tersebut hanyalah merupakan terjemahan, agar para pihak mengerti isinya.

Penggunaan tenaga kerja asing pada representative office juga wajib tunduk pada peraturanketenagakerjaan Indonesia. Oleh karena itu, apabila ketentuan ketenagakerjaan kita mengatur mengenai suatu hak bagi tenaga kerja asing yang wajib dipatuhi oleh pemberi kerja, maka hak-hak tersebut wajib diberikan pada tenaga kerja asing tersebut. Contohnya, mengenai jaminan sosial tenaga kerja. Seorang tenaga kerja asing juga berhak untuk memperoleh jamsostek, seperti halnya pekerja WNI 

Sumber
Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja.
Indonesia. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu



Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
(024) 76670350
HandPhone : 082220117918