Selasa, 28 Januari 2014

PENYITAAN DAN AKIBAT HUKUMNYA









Pengertian dari Penyitaan menurut Pasal 1 angka 16 KUHAP, adalah:
“.... serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.”
 
Selanjutnya, dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan:
(1)          Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a.    Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b.    Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c.    Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d.    Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana;
e.    Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2)          Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
 
Dari ketentuan yang telah kami sampaikan di atas, dapat dilihat bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana. Jadi, apabila ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut akan segera dikembalikan kepada orang yang berhak.
 
Terkait pertanyaan Anda mengenai akibat hukum dari penyitaan terhadap benda tersebut, menurut ketentuan Pasal 44 KUHAP disebutkan:
(1)          Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2)          Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.
 
Ketentuan di atas senada dengan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia(“PERKAP Nomor 10 Tahun 2010”), yang menyatakan sebagai berikut:
(1)      Barang bukti temuan yang telah disita penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam wajib diserahkan kepada PPBB*.
(2)      PPBB yang menerima penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pencatatan ke dalam buku register dan disimpan pada tempat penyimpanan barang bukti. 
(3)      Dalam hal barang bukti temuan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan, dapat diambil tindakan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana. 
(4)      Dalam hal barang bukti temuan berupa narkotika jenis tanaman, dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam wajib dimusnahkan sejak saat ditemukan, setelah sebagian disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
 
*Catatan: PPBB adalah Pejabat Pengelola Barang Bukti

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa benda yang disita tersebut untuk sementara waktu akan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara. Penyimpanan ini hanya bersifat sementara, sampai benda tersebut dianggap sudah tidak diperlukan lagi dalam proses pemeriksaan atau menunggu perkara berkekuatan hukum tetap. Dalam Pasal 46 KUHAPdisebutkan:
(1)      Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a.      Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b.      Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c.      Perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2)      Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
 
Pada tahap penyidikan barang bukti tersebut dapat dipinjam pakai pihak yang berhak. Dalam Pasal 23 PERKAP Nomor 10 Tahun 2010, disebutkan:
Barang bukti yang disita dan disimpan di tempat khusus hanya dapat dipinjam pakaikan kepada pemilik atau pihak yang berhak.
 
Jadi, berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap barang yang disita akan dikembalikan kepada orang yang berhak. Tetapi jika benda tersebut dianggap berbahaya, akan disita oleh negara untuk dimusnahkan ataupun dirusakkan agar tidak lagi dapat dipakai.

Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004



Senin, 20 Januari 2014

EKSEPSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA







EKSEPSI DALAM HUKUM ACARA PERDATA








Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah. Konsekuensi jika gugatan tersebut tidak sah adalah  gugatan tidak dapat diterima (inadmissible).Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).
Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:
1. Eksepsi kompetensi
         a. Tidak berwenang mengadili secara absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer), Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).
         b. Tidak berwenang mengadili secara relatif
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”)
Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).
2. Eksepsi syarat formil
          a. Surat kuasa khusus tidak sah
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).
         b. Error in Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata), seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
         c. Nebis in Idem
Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.
         d. Gugatan Prematur
Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia.
         e. Obscuur Libel
Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya terletak pada:
1.    hukum yang menjadi dasar gugatan,
2.    ketidakjelasan mengenai objek gugatan,  misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.
3.     petitum yang tidak jelas, atau
4.    terdapat kontradiksi antara posita dan petitum
Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara.


Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004

Jumat, 17 Januari 2014

GUGATAN DAN TAHAP TAHAP PENGAJUAN GUGATAN



GUGATAN DAN TAHAP TAHAP PENGAJUAN GUGATAN

A. Pendahuluan
Perkara perdata yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan (damai), tidak boleh diselesaikan dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting). Apabila permasalahan hukum tersebut ternyata tidak kunjung selesai dengan cara damai melalui negosiasi, mediasi, kompromi dan lain sebagainya, maka salah satu upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang merasa kepentingan hukumnya teraniaya atau terusik dengan tindakan pihak lain yang merugikannya adalah dengan mengajukan suatu tuntutan hak berupa gugatan perdata terhadap permasalahan hukum tersebut pada Pengadilan Negeri yang berwenang dalam wilayah hukumnya berdasarkan Pasal 118 HIR.
B. Pengertian Gugatan
  1. Menurut RUU Hukum Acara Perdata pada Psl 1 angka 2, gugatan adalah tuntutan hak yang mengandung sengketa dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
  2. Sudikno Mertokusumo,  tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah  main hakim sendiri (eigenrichting).
  3. Darwan Prinst, gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh pengadilan serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.
C.  Ciri-Ciri Gugatan
  1. Perselisihan hukum yg diajukan ke pengadilan mengandung sengketa
  2. Sengketa terjadi diantara para pihak, paling kurang diantara 2 pihak
  3. Bersifat partai (party) dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak lain berkedudukan sebagai tergugat.
D.  Bentuk Gugatan
Gugatan diajukan dapat berbentuk :
  1. Tertulis (Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg
  2. Lisan (Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg
Tentang gugatan lisan “bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya yang dapat dimasukkannya dengan lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mencatat gugatan”.(Pasal 120 HIR).
Dewasa ini gugatan lisan sudah tidak lazim lagi, bahkan menurut Yurisprudensi MA tanggal 4-12-1975 Nomor 369 K/Sip/1973 orang yang menerima kuasa tidak diperbolehkan mengajukan gugatan secara lisan
Yurisprudensi MA tentang syarat dalam menyusun gugatan :
  1. Orang bebas menyusun dan merumuskan surat gugatan asal cukup memberikan gambaran tentang kejadian materil yang menjadi dasar tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972)
  2. Apa yang dituntut harus disebut dengan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970)
  3. Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 /Sip/1975 dll
  4. Khusus gugatan mengenai tanah harus menyebut dengan jelas letak, batas-batas dan ukuran tanah (MA tgl 9-7-1973 Nomor 81 K/Sip/1971)
Tidak memenuhi syarat diatas gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)
Ketidaksempurnaan diatas dapat dihindarkan jika penggugat/kuasanya sebelum memasukkan gugatan meminta nasihat dulu ke ketua pengadilan. Namun karena sekarang sudah banyak advokat/pengacara maka sangat jarang terjadi kecuali mereka tidak bisa tulisa baca.
Dalam hukum acara perdata ada istilah gugatan tidak dapat diterima dan gugatan ditolak.
  • Gugatan tidak diterima adalah gugatan yang tidak bersandarkan hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan. Putusan tidak diterima ini bermaksud menolak gugatan diluar pokok perkara. Dalam hal ini penggugat masih dapat mengajukan kembali gugatannya atau banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat formil.
  • Gugatan ditolak adalah gugatan tidak beralasan hukum yaitu apabila tidak diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan. Putusan hakim dengan melakukan penolakan bermaksud menolah setelah mempertimbangkan pokok perkara. Dalam hal ini penggugat tidak ada kesempatan mengajukan kembali tapi haknya adalah banding. Lebih kepada tidak memenuhi syarat materil  (pembuktian)
E.   Syarat dan Isi Gugatan
Syarat gugatan :
  1. Gugatan dalam bentuk tertulis.
  2. Diajukan oleh orang yang berkepentingan.
  3. Diajukan ke pengadilan yang berwenang (kompetensi)
Isi gugatan :
Menurut Pasal 8 BRv gugatan memuat :
  1. Identitas para pihak
  2. Dasar atau dalil gugatan/ posita /fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum
  3. Tuntutan/petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/tambahan
Identitas para pihak adalah keterangan yang lengkap dari pihak-pihak yang berpekara yaitu nama, tempat tinggal, dan pekerjaan. Kalau   mungkin juga agama, umur, dan status kawin.
Fundamentum petendi (posita) adalah dasar dari gugatan yang memuat tentang adanya hubungan hukum antara pihak-pihak yang berpekara (penggugat dan tergugat) yang terdiri dari 2 bagian yaitu : 1) uraian tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa (eittelijke gronden) adalah  merupakan penjelasan duduk perkaranya, 2) uraian tentang hukumnya (rechtsgronden) adalah uraian tentang  adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari gugatan
Petitum adalah yang dimohon atau dituntut supaya diputuskan pengadilan. Jadi, petitum ini akan mendapat jawabannya dalam diktum atau amar putusan pengadilan. Karena itu, penggugat harus merumuskan petitum tersebut dengan jelas dan tegas, kalau tidak bisa menyebabkan gugatan tidak dapat diterima.
Dalam praktek ada 2 petitum yaitu :
  1. Tuntutan pokok (primair) yaitu tuntutan utama yang diminta
  2. Tuntutan tambahan/pelengkap (subsidair) yaitu berupa tuntutan agar tergugat membayar ongkos perkara, tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan lebih dahulu (uit vierbaar bij vorraad), tuntutan agar tergugat dihukum membayar uang paksa (dwangsom), tuntutan akan nafkah bagi istri atau pembagian harta bersama dalam hal gugatan perceraian, dsb.
F. Teori Pembuatan Gugatan
Ada 2 teori tentang bagaimana menyusun sebuah surat gugatan yaitu :
  1. Substantierings Theorie yaitu dimana teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab timbulnya peristiwa hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya misalnya dalam gugatan tidak cukup hanya menyebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah pemilikannya, misalnya karena membeli, mewaris, hadiah dsb. Teori sudah ditinggalkan
  2. Individualiserings Theorie yaitu teori ini menyatakan bahwa dalam dalam gugatan cukup disebutkan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan hhukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-kejadian hokum tersebut. Bagi penggugat yang menuntut suatu benda miliknya, misalnya dalam gugatan cukup disebutkan bahwa ia adalah pemilik benda itu. Dasar terjadinya atau sejarah adanya hak milik atas benda itu padanya tidak perlu dimasukan dalam gugatan karenaini dapat dikemukakan di persidangan pengadilan dengan disertai bukti-bukti. Teori ini sesuai dengan system yang dianut dalam HIR/Rbg, dimana orang boleh beracara secara lisan, tidak ada kewajiban menguasakan kepada ahli hukum dan hakim bersifat aktif.
  G. Tahap-Tahap Pengajuan Gugatan
  1. Gugatan diajukan oleh orang yang berkepentingan menggugat (biasa disebut dengan Penggugat) dan/atau kuasa hukumnya yang ditunjuk berdasarkan surat kuasa khusus untuk menggugat pihak lain yang merugikan kepentingan hukumnya kepada Ketua Pengadilan Negeri pada Pengadilan Negeri yang berwenang;
  2. Gugatan tersebut didaftarkan Penggugat dan/atau kuasa hukumnya pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang dalam wilayah hukumnya;
  3. Kemudian staf dari Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang tersebut memeriksa jumlah pihak-pihak dalam gugatan (baik Penggugat maupun Tergugat), dan selanjutnya staf tersebut memberikan slip setoran bank agar Penggugat atau kuasa hukumnya membayar terlebih dahulu biaya ongkos perkara pada bank yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri tersebut; 
  4. Setelah dilakukan pembayaran pada bank, Penggugat atau kuasa hukumnya kembali memberikan bukti setoran atas biaya ongkos perkara pada staf kepaniteraan Pengadina Negeri tersebut dan kemudian staf panitera memberikan bukti penerimaan biaya ongkos perkara dari Pengadilan Negeri dan melakukan penomoran register perkara terhadap gugatan;
  5. Gugatan dicatat ke dalam buku register perkara pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diberikan nomor register perkara sesuai dengan tanggal didaftarkannya gugatan tersebut.
  6. Selain itu, apabila Penggugat diwakili oleh kuasa hukumnya, maka surat kuasa khusus juga harus didaftarkan dan dicatat pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan;
  7. Setelah gugatan diberikan nomor register perkara, Panitera melimpahkan berkas perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak tanggal registrasi gugatan;
  8. Kemudian Ketua Pengadilan Negeri memeriksa berkas perkara dan mengeluarkan penetapan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara. Penetapan tersebut selambat-lambatnya dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri adalah 7 (tujuh) hari setelah berkas perkara diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri. Untuk susunan Majelis Hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara tersebut terdiri dari 3 (tiga) orang Hakim dengan komposisi 1 (satu) orang sebagai Hakim Ketua Majelis dan 2 (dua) orang lainnya sebagai Hakim Anggota;
  9. Tahap selanjutnya diserahkan kepada Majelis Hakim untuk melakukan prosedur pemanggilan (relaas) para pihak dalam gugatan dan kapan dimulainya pemeriksaan perkara sampai dengan putusnya perkara tersebut.
H. Pencabutan Gugatan
Pencabutan gugatan dapat terjadi:
  1. Sebelum pemeriksaan perkara oleh hakim dalam hal ini adalah tergugat belum memberikan jawaban.
  2. Dilakukan dalam proses pemeriksaan perkara dalam hal ini apabila tergugat sudah memberikan jawaban maka harus dengan syarat disetujui oleh pihak tergugat.
Jika gugatan dicabut sebelum tergugat memberikan jawaban maka penggugat masih boleh mengajukan gugatannya kembali dan jika tergugat sudah memberikan jawaban penggugat tidak boleh lagi mengajukan gugatan karena penggugat sudah dianggap melepaskan haknya.
I. Perubahan Gugatan
Perubahan surat gugatan dapat dilakukan dengan syarat :
  1. Tidak boleh mengubah kejadian materil yang menjadi dasar gugatan (MA tanggal 6 Maret 1971 Nomor 209 K/Sip/1970.
  2. Bersifat mengurangi atau tidak menambah tuntutan.
Contoh ad. 1. Penggugat semula menuntut agar tergugat membayar hutangnya berupa sejumlah uang atas dasar “perjanjian hutang piutang”, kemudian diubah atas dasar “perjanjian penitipan uang penggugat pada tergugat”. Perubahan seperti ini tidak diperkenankan.
Contoh ad. 2. Dalam gugatan semula A menutut B agar membayar hutangnya sebesar Rp. 1.000.000. Kemudian A mengubah tuntutannya  agar B membyara hutangnya sebesar 1.000.000 ditambah Bungan 10 % setiap bulan. Perubahan bentuk seperti ini tidak dibenarkan.
Tentang perubahan atau penambahan gugatan tidak diatur dalam HIR/Rbg namun dalam yurisprudensi MA dijelaskan bahwa perubahan atau penambahan gugatan diperkenankan asal tidak merubah dasar gugatan (posita) dan tidak merugikan tergugat dalam pembelaan kepentingannya (MA tgl 11-3-1970 Nomo 454 K/Sip/1970, tanggal 3-12-1974 Nomor 1042 K/Sip/1971 dan tanggal 29-1-1976 Nomor 823 K/Sip/1973). Perubahan tidak diperkenankan kalau pemeriksaan hamper selesai. Semua dali pihak-pihak sudah saling mengemukakan dan pihak sudah memohon putusan kepada majelis hakim (MA tanggal 28-10-1970 Nomo 546 K/Sip/1970).
Kesempatan atau waktu melakukan perubahan gugatan dapat dibagi menjadi 2 tahap :
  1. Sebelum tergugat mengajukan jawaban dapat dilakukan tanpa perlu izin tergugat.
  2. Sesudah tergugat mengajukan jawaban harus dengan izin tergugat jika tidak di setujui perubahan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan :
a)   Tidak menyebabkan kepentingan kedua belah pihak dirugikan terutama tergugat.
b)   Tidak menyimpang dari kejadian materil sebagai penyebab timbulnya perkara.
c)   Tidak boleh menimbulkan keadaan baru dalam positanya.
J.   Penggabungan gugatan atau kumulasi gugatan
Penggabungan / kumulasi gugatan ada 2 yaitu :
  1. Kumulasi subjektif yaitu para pihak lebih dari satu orang (Pasal 127 HIR/151 RBg) adalah penggugat atau beberapa penggugat melawan (menggugat) beberapa orang tergugat, misalnya Kreditur A mengajukan gugatan terhadap beberapa orang debitur (B, C, D) yang berhuntang secara tanggung renteng (bersama). Atau beberapa penggugat menggugat seorang tergugat karena perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Syarat untuk kumulasi subjektif adalah bahwan tuntutan tersebut harus ada hubungan hokum yang erat satu tergugat dengan tergugat lainnya (koneksitas). Kalau tidak ada hubunganya harus digugat secara tersendiri.
  2. Kumulasi objektif yaitu penggabungan beberapa tuntutan dalam satu perkara sekaligus (penggabungan objek tuntutan), misalnya A menggugat B selain minta dibayar hutang yang belum dibayar juga menuntut pengembalian barang yang tadinya telah dipinjam.
Penggabungan objektif tidak boleh dilakukan dalam hal:
  1. Hakim tidak berwenang secara relatif untuk memeriksa satu tuntutan yang diajukan secara bersama-sama dalam gugatan.
  2. Satu tuntutan tertentu diperlukan satu gugatan khusus sedangkan tuntutan lainnya diperiksa menurut acara biasa.
  3. Tuntutan tentang bezit tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang eigendom dalam satu gugatan.
Tujuan penggabungan gugatan :
  1. Menghindari kemungkinan putusan yang berbeda atau berlawanan/bertentangan.
  2. Untuk kepentingan beracara yang bersifat sederhana, cepat dan biaya ringan.
J.  Kompetensi atau Kewenangan Mengadili
Kompentensi adalah kewenangan mengadili dari badan peradilan.
Kompetensi ada 2 yaitu :
  1. Kompetensi mutlak/absolut yaitu dilihat dari beban tugas masing-masing badan peradilan. Di Indonesia ada beberapa badan peradilan, misalnya peradilan umum (pengadilan negeri), peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, peradilan niaga (kepailitan, Hak Kekayaan Intelektual), pengadilan hubungan industrial (perburuhan), peradilan HAM di Indonesia. Jika ada suatu sengketa dibidang tanah, maka yang berwenang (kompetensi asbulut) adalah pengadilan negeri. Atau sengketa warisan bagi orang islam maka yang berwenang (kompetensi absolut) adalah pengadilan agama.
  2. Kompetensi relatif/nisbi yaitu dari wilayah hukum masing-masing peradilan. Wilayah hukum peradilan biasanya berdasarkan pada wilayah dimana tempat tinggal tergugat,  misalnya sengketa warisan orang islam tergugatnya berada di Tembilahan (Inhil) maka komptensi relatifnya adalah pengadilan agama Tembilahan. Lain hal jika alamat tergugat berada di kabupaten Rengat, maka kompetensi relatifnya adalah pengadilan agama Rengat. Dalam perkara cerai talak, komptensi relatifnya berdasarkan dimana alamat termohon. Tentang kompetensi relative, hal ini disebutkan dalam Pasal 118 HIR/142 RBg kompetensi relatif adalah pengadilan negeri di tempat tinggal tergugat (asas Actor Sequitor Forum Rei).
Pasal 118 HIR/142 RBg mengatur juga pengecualiannya yaitu :
  1. Diajukan di tempat kediaman tergugat yang terakhir yang sebenarnya apabila tidak diketahui tempat tinggalnya.
  2. Apabila tergugat lebih dari satu orang diajukan di tempat tinggal salah satunya sesuai pilihan penggugat.
  3. Satu tergugat sebagai yang berhutang dan satu lagi penjamin diajukan di tempat tinggal yang berhutang, apabila tempat tinggal tergugat (berhutang) dan tempat turut tergugat (penjamin) berbeda maka diajukan dimana tempat tinggal tergugat.
  4. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman tergugat diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat.
  5. Jika objeknya benda tetap diajukan di tempat benda tetap itu berada.
  6. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih (domisili hukum) mka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut (pilihan domisili hukum), namun jika penggugat mau memilih berdasarkan tempat tinggal tergugat, maka gugatan juga dapat diajukan di tempat tinggal tergugat.