Rabu, 26 Februari 2014

AKTA OTENTIK




Berdasarkan bentuknya akta terbagi menjadi atas akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa , menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentngan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.

Dalam Pasal 165 HIR memuat definisi tentang akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bakan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetai yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya.

Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Di samping itu caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Sutau akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabiloa ditandatangani oleh pihak –pihak yang bersangkutan. Hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Dengan demikian apabila suatu akta dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi tidak mengikuti bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang undang maka sifat keontetikannya menjadi hilang atau tidak ada.

Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
      a. Awal akta atau kepala akta;
      b. Badan akta; dan
      c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
     a. Judul akta;
     b. Nomor akta;
     c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
     d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
    a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
    b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
    c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
   d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
   a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
   b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
   c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
  d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.

Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.

Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi daripada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.

Menurut beberapa ahli hukum, di antaranya Wiryono Prodjodikoro (1988 : 108), pengertian akta otentik yaitu :
“Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu”

Selanjutnya akta otentik menurut Soepomo (2002 : 87), adalah :
“surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai bukti”

Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :
“Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”

Kata yang dibuat oleh dan dihadapan seorang pegawai umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1868 BW mengandung makna adanya 2 macam akta otentik yaitu :

a. Ambtelijke acte/procesverbaal acte/relaas acte

Akta yang dibuat pejabat, digunakan untuk membuktikan perbuatan perbuatan dan kenyataan yang terjadi dihadapan notaris pada saat membuat akta dimaksud sedangkan isinya adalah kesaksian tertulis dari seorang pegawai umum, yang dalam hal ini notaris mencatat perbuatan serta kenyataan yang disaksikan pada waktu membuat akta. Notaris membuat laporan atas relaas sehingga apa yang dibuatnya itu disebut juga sebagai relaas akta.

b. Partij acte

Disebut juga sebagai akta (para) pihak yaitu (para) pihak menghadap pada seorang pejabat umum dalam ini seorang notaris, kemudian memberitahukan dan menerangkan kemauan atau kehendak mereka untuk mengadakan suatu perjanjian (mis : kerjasama, sewa menyewa, jual beli, tukar menukar, dsb) dan selanjutnya meminta kepada notaris tadi agar supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta maka yang demikian itu adalah suatu akta yang dibuat dihadapan notaris itu.

Jadi disini notaris hanya mendengarkan kehendak para pihak yang menghadap itu, kemudian notaris memasukkan atau menyusun perjanjian yang dibuat para pihak kedalam suatu akta.
Prof Soebekti : Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan suatu bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani atau dapat juga dikatakan bahwa suatu akta adalah surat yang diberi tanda tangan atau ditanda tangani. (Lihat Pasal 1874 BW Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 No 29) dan memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk suatu pembuktian (bewijs). Oleh karenanya maka suatu akta memuat unsure unsure penting yang harus ada di dalam yaitu berupa unsur kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan unsure penandatanganan tulisan itu.

Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan., yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena tdak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena tidak berkuasa atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditanda tangani oleh para pihak. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk member ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan- salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.

Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probations causa) (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Formalitas causa artinya berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan hanya sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.

Akta otentik mempunyai kekuatan bukti formil dan materil. Formil yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta otentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.

Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta.

Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa keuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keotentikannya.

Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil, dan materil (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Kekuatan pembuktian lahir yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lainnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya.

Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memnuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya.

Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang berwenang membuat akta otentik khususnya yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (2) butir f Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berbunyi:
“kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.

Tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris yang terjebak dalam tindak pidana. Bahwa notaris sebagai salah satu pejabat negara dapat melakuan tindak pidana penggelapan biaya perolehan hak atas tanah (BPHTB) dengan tidak menulis nilai transaksi yang sebenarnya dalam akta yang dibuatnya sehingga terjadi pengurangan pajak yang seharusnya dikenakan,

Dalam hal ini notaris telah melanggar sumpah jabatannya yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) butir a UUJN, yang berbunyi:
“bertindak jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.

Tindak pidana penggelapan pajak merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang jabatan notaris, sehingga tindak pidana tersebut dapat dianggap telah melanggar sumpah jabatan yang pada waktu pelantikan diucapkan oleh semua pejabat notaris.

Penggelapan pajak juga melanggar ketentuan dalam pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
“barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akte otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;”

Suatu akte notaril mengenai jual-beli sebagai bukti bahwa para pihak tidak saja memberikan keterangan tertentu kepada notaris, akan tetapi juga bahwa mereka telah membuat suatu perjanjian, menurut pasal 1458 KUHPerdata bahwa:
“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan”

Maka akte notaril harus juga membuktikan tentang harganya, jadi juga tentang kebenaran yang telah 
diberikan. Keterangan mengenai harga transaksi yang tidak sesuai sehingga terjadi penggelapan pajak merupakan tindak pidana Karena dapat menimbulkan kerugian menurut pasal 266 ayat (1) KUHP, Kerugian yang dimaksud dalam pasal ini tidak perlu timbul tapi cukup dengan kemungkinannya saja.

Tanggung jawab dan Ketelitian para pejabat umum yang membuat akta otentik tersebut dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan mereka bertanggung jawab kepada Pihak lain yang dirugikan. Akan tetapi dalam kaitannya dengan notaris tanggung jawab Notaris dapat terbatas apabila akta tersebut adalah akta Para pihak (akta Partij). Akta yang dibuat dihadapan Notaris isinya merupakan keinginan para pihak. Notaris dalam hal ini hanya membuat akta yang diinginkan oleh para pihak. Keinginan para pihak yang membuat perjanjian dituangkan oleh Notaris.




Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004

Selasa, 25 Februari 2014

ANCAMAN PIDANA TRANSFER DANA






Transfer Dana berdasarkan definisi Pasal 1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2011 Tentang Transfer Dana (“UU 3/2011”) adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima. Dari definisi tersebut, suatu transfer dana pasti diawali dengan suatu perintah kepada bank untuk memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang telah disebutkan dalam perintah transfer dana.

Dengan diundangkannya UU No.3 Tahun 2011, maka setiap kegiatan transfer dana tidak lagi sepenuhnya bebas dilakukan pengirim asal maupun penerima. Sejumlah ancaman pidana telah ditetapkan jika dalam kegiatan transfer dana dilakukan menurut cara-cara yang dilarang undang-undang. Dalam hubungan ini UU No. 3 Tahun 2011 telah menetapkan beberapa ancaman pidana terkait kegiatan transfer dana, yakni:

Pertama, Badan usaha bukan Bank yang melakukan kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana wajib berbadan hukum Indonesia dan memperoleh izin dari Bank Indonesia. Apabila setiap orang yang melakukan kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Selain sanksi pidana , setiap orang yang melakukan kegiatan penyelenggaraan Transfer Dana tanpa izin wajib menghentikan seluruh kegiatan penyelenggaraan Transfer Dananya.

Kedua, Setiap orang yang secara melawan hukum membuat atau menyimpan sarana Perintah Transfer Dana dengan maksud untuk menggunakannya atau menyuruh orang
lain untuk menggunakannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Kemudian, da;a, kaitannya dengan ketentuan pidana tersebut, maka setiap orang yang menggunakan dan/atau menyerahkan sarana Perintah Transfer Dana dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Ketiga, Setiap orang yang secara melawan hukum mengambil atau memindahkan sebagian atau seluruh Dana milik orang lain melalui Perintah Transfer Dana palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


Keempat, Penerima yang dengan sengaja menerima atau menampung, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, suatu Dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari Perintah Transfer Dana yang dibuat secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


Kelima, Setiap orang yang secara melawan hukum mengubah, menghilangkan, atau menghapus sebagian atau seluruh informasi yang tercantum dalam Perintah Transfer Dana
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam hal tindak pidana sebagaimana sebagaimana disebutkan tadi, mengakibatkan kerugian Pengirim dan/atau Penerima yang berhak dan/atau pihak lain, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).


Keenam. Setiap orang yang secara melawan hukum merusak Sistem Transfer Dana dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).


Ketujuh, Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 85 UU 3/2011;

“Setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”


Kedelapan, Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pasal 80, pasal 81 atau pasal 83 UU No 3 tahun 2011, dilakukan oleh pengurus, pejabat, dan/atau pegawai Penyelenggara, dipidana dengan pidana pokok maksimum ditambah 1/3 (satu pertiga).

Kesembilan. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 sampai dengan Pasal 85 UU No.3 Tahun 2011 dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Korporasi dikenai pertanggungjawaban secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

Pidana dijatuhkan terhadap korporasi jika tindak pidana:
a. dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi

Khususnya terhadap korporasi, Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda maksimum ditambah 2/3 (dua pertiga).

Kesepuluh, Di samping pidana pokok, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2), Pasal 81, Pasal 83 ayat (2), atau Pasal 85 UU No 3 tahun 2011 juga dapat dikenai kewajiban pengembalian Dana hasil tindak pidana beserta jasa, bunga, atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan.

Dari sejumlah ketentuan pidana terkait dengan kegiatan transfer dana, maka tentu tidak terlepas dari beberapa masalah yang terjadi beberapa waktu belakangan ini. Meskipun secara cara menyeluruh penjelasan UU No 3 Tahun 2011 menyebutkan latar belakang kelahiran UU ini, bahwa meningkatnya kegiatan perekonomian nasional merupakan salah satu faktor utama dalam upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap iklim usaha di Indonesia. Meningkatnya kepercayaan masyarakat tersebut antara lain tercermin dari arus transaksi perpindahan Dana yang terus menunjukkan peningkatan tidak saja dari sisi jumlah transaksi, tetapi juga dari sisi nilai nominal transaksinya. 

Selain faktor kelancaran dan kenyamanan dalam pelaksanaan Transfer Dana, faktor kepastian dan pelindungan hukum bagi para pihak terkait juga merupakan faktor utama dalam Transfer Dana. Latar belakang ini patut kita garis bawahi, kejahatan perbankan juga melibatkan orang dalam bank sendiri, sehingga kepastian dan perlindungan hukum agaknya hal yang substansial dari UU No.3 Tahun 2011. Tentu saja, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang transfer dana tersebut tidak terlepas kompleksitas yang terkait dengan transfer dana. Namun keberadaan undang-undang ini akan lebih efektif mencapai tujuannya, apabila di ikuti dengan kebijakan “satu identitas” bagi setiap orang dalam melakukan transaksi apa pun dan dimana pun dalam wilayah Indonesia
Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004

Jumat, 21 Februari 2014

PUTUSAN PENGADILAN






Putusan Pengadilan dibedakan  atas 2 (dua) macam (Pasal 185 ayat (1) HIR/Pasal 196 ayat (1) RBg), yaituputusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis).

1. Putusan Sela
Putusan Sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Misalnya, putusan sela PengadilanNegeri  terhadap eksepsi mengenai tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara.
Dalam Pasal 190 ayat (1) HIR/Pasal 201 ayat (1) RBg menentukan bahwa :
“Putusan sela hanya dapat dimintakan  banding bersama-sama permintaan banding terhadap putusan akhir”
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal beberapa putusan sela, yaitu preparatoir, interlocutoir, incidentieel, danprovisioneel.
  • Putusan preparatoir adalah putusan persidangan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan  segala sesuatu  guna mengadakan putusan akhir. Misalnya, putusan untuk menolak pengunduran pemeriksaan saksi.
  • Putusan interlocutoir adalah putusan yang isinya memerintahkan pembuktian. Misalnya putusan untuk memeriksa saksi atau pemeriksaan setempat. Karena putusan ini menyangkut masalah pembuktian, maka putusan interlocutoir akan mempengaruhi putusan akhir
  • Putusan incidentieel adalah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yangmenghentikan  prosedur peradilan biasa. Putusan inipun belum berhubungan dengan pokok perkara, seperti putusan yang membolehkan seseorang ikut serta dalam suatu perkara (vrijwaring, voeging, dantussenkomst)
  • Putusan provisioneel adalah putusan  yang menjawab tuntutan provisi, yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Misalnya dalam perkara perceraian, sebelum perkara pokok diputuskan, istri minta dibebaskan kewajiban untuk tinggal bersama dengan suaminya

2. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata pada tingkat pemeriksaan tertentu.

Perkara perdata dapat diperiksa pada 3 (tiga) tingkatan pemeriksaan, yaitu :
  • Pemeriksaan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan HIR (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk derah Pulau Jawa dan Madura) dan RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
  • Pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Tinggi, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No. 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura serta RBg (Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura).
  • Pemeriksaan tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung, pada tingkatan ini pemeriksaan perkara perdata menggunakan Undang – Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
 Putusan akhir menurut sifat amarnya (diktumnya) dapat dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu putusancondemnatoir, putusan constitutief, dan putusan declaratoir.
  • putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Hak perdata penggugat yang dituntutnya terhadap tergugat, diakui kebenarannya oleh hakim. Amar putusan selalu berbunyi “Menghukum .... dan seterusnya”
  • putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Misalnya, putusan yang membatalkan suatu perjanjian, menyatakan pailit, memutuskan suatu ikatan perkawinan, dan sebagainya. Amar putusan berbunyi : “Menyatakan ... dan seterusnya.”
  • putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum. Misalnya, perjanjian antara penggugat dan tergugat dinyatakan sah menurut hukum dan sebagainya. Amar putusannya selalu berbunyi : “Menyatakan ... sah menurut hukum.”
Dari ketiga putusan akhir tersebut diatas, putusan yang memerlukan pelaksanaan (executie) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir, sedangkan putusan akhir lainya hanya mempunyai kekuatan mengikat.

Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004


Rabu, 19 Februari 2014

BUKTI HAK ATAS TANAH






Kurang atau minimnya bukti kepemilikan atas tanah menjadi salah satu penyebab dari minimnya proses pendaftaran hak atas tanah. Hal lain yang menjadi penyebab yakni juga minimnya pengetahuan masyarakat akan arti pentingnya bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk proses pembuatan sertipikat maka mereka harus memiliki surat-surat kelengkapan untuk tanah yang mereka miliki, akan tetapi pada kenyataannya tanah-tanah yang dimiliki masyarakat pedesaan atau masyarakat adat itu dimiliki secara turun temurun dari nenek moyang mereka, sehingga surat kepemilikan tanah yang mereka miliki sangat minim bahkan ada yang tidak memiliki sama sekali. Mereka menempati dan menggarap tanah tersebut sudah berpuluh-puluh tahun sehingga masyarakat pun mengetahui bahwa tanah tersebut adalah milik si A atau si B tanpa perlu mengetahui surat-surat kepemilikan atas tanah tersebut.
Untuk tanah yang memiliki surat minim itu biasanya berupa leter C. Letter C ini diperoleh dari kantor desa dimana tanah itu berada, letter C ini merupakan tanda bukti berupa catatan yang berada di Kantor Desa atau Kelurahan. Dalam masyarakat masih banyak yang belum mengerti apa yang dimaksud dengan buku letter C, karena didalam literatur ataupun perundang-undangan mengenai pertanahan sangat jarang dibahas atau dikemukakan. Mengenai buku letter C ini sebenarnya hanya dijadikan dasar sebagai catatan penarikan pajak, dan keterangan mengenai tanah yang ada dalam buku letter C itu sangatlah tidak lengkap dan cara pencatatannya tidak secara teliti sehingga akan banyak terjadi permasalahan yang timbul dikemudian hari dikarenakan kurang lengkapnya data yang akurat dalam buku letter C tersebut. Adapun kutipan Letter C terdapat dikantor Kelurahan, sedangkan Induk dari Kutipan Letter C terdapat di Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Dan masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah memiliki alat bukti berupa girik sebagai alat bukti pembayaran pajak atas tanah.
Dan saat ini dengan adanya Undang-Undang Pokok Agraria yang ditindak lanjuti dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Mengingat pentingnya pendaftaran hak milik atas tanah adat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah secara sah sesuai dengan Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, maka diberikan suatu kewajiban untuk mendaftarkan tanah adat khususnya hak milik Adat.
Pasal 19 UUPA mengharuskan pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, dikarenakan masih minimnya pengetahuan, kesadaran masyarakat tentang bukti kepemilikan tanah. Mereka mengganggap tanah milik adat dengan kepemilikan berupa girik, dan Kutipan Letter C yang berada di Kelurahan atau Desa merupakan bukti kepemilikan yang sah. Juga masih terjadinya peralihan hak seperti jual beli, hibah, kewarisan ataupun akta-akta yang belum didaftarkan sudah terjadi peralihan hak yang dasar perolehannya dari girik dan masih terjadinya mutasi girik yang didasarkan oleh akta-akta, tanpa didaftarkan di Kantor Pertanahan. Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak, tanggal 27 Maret 1993, Nomor : SE-15/PJ.G/1993, tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB II). Saat ini dibeberapa wilayah  Jakarta pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, sudah ditiadakannya mutasi girik, hal ini disebabkan karena banyaknya timbul permasalahan yang ada di masyarakat karena dengan bukti kepemilikan berupa girik menimbulkan tumpang tindih dan kerancuan atau ketidakpastian mengenai obyek tanahnya. Maka peran serta buku kutipan letter C sangat dominan untuk menjadi acuan atau dasar alat bukti yang dianggap masyarakat sebagai alat bukti kepemilikan tanah.
Sebagai contoh, dalam hal seorang warga yang akan mengurus sertipikat, padahal tanahnya pada saat ini baru berupa girik, maka yang dilakukan Kepala Desa atau Kelurahan adalah dengan berpedoman pada keadaan fisik tanah, penguasaan, bukti pembayaran pajak. Seorang Kepala Desa atau Kelurahan akan mencocokkan girik tersebut pada Kutipan Letter C pada Kelurahan. Sedangkan pengajuan hak atas tanah untuk yang pertama kali adalah harus ada Riwayat Tanah (yang dikutip dari letter C) serta Surat Keterangan Tidak Dalam Sengketa yang diketahui oleh Kepala Desa atau Kelurahan. Dengan dipenuhinya dokumen alat bukti tersebut seorang warga dapat mengajukan permohonan atas kepemilikan tanah tersebut untuk memperoleh hak atas tanah pada Badan Pertanahan yang disebut Sertipikat.
Pembahasan mengenai pengakuan hak milik atas tanah disertai dengan penerbitan sertipikat tanah sangatlah penting, setidak-tidaknya karena :
  1. Sertipikat hak atas tanah memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah bagi pihak yang namanya tercantum dalam sertipikat. Karena penerbitan sertipikat dapat mencegah sengketa tanah. Dan kepemilikan sertipikat akan memberikan perasaan tenang dan tentram karena dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh siapapun.
  2. Dengan kepemilikan sertipikat hak atas tanah, pemilik tanah dapat melakukan perbuatan hukum apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, sertipikat tanah memiliki nilai ekonomis seperti disewakan, jaminan hutang, atau sebagai saham.
  3. Pemberian sertipikat hak atas tanah dimaksudkan untuk mencegah pemilikan tanah dengan luas berlebihan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengakuan hak milik atas tanah yang dituangkan kedalam bentuk sertipikat  merupakan tanda bukti hak atas tanah berdasarkan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah. Sertipikat tanah membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu. Sertipikat tanah merupakan salinan buku tanah dan didalamnya terdapat gambar situasi dan surat ukur serta memuat data fisik dan data yuridis sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Data fisik mencakup keterangan mengenai letak, batas, dan luas tanah. Data yuridis mencakup keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Data fisik dan data yuridis dalam Buku Tanah diuraikan dalam bentuk daftar, sedangkan data fisik dalam surat ukur disajikan dalam peta dan uraian. Untuk sertipikat tanah yang belum dilengkapi dengan surat ukur disebut sertipikat sementara. Fungsi gambar situasi pada sertipikat sementara terbatas pada penunjukan objek hak yang didaftar, bukan bukti data fisik. Sedangkan buku Letter C sebagai satu poin penting dalam persyaratan pengurusan sertipikat jika yang dimiliki sebagai bukti awal kepemilikan hak atas tanah itu hanya berupa girik, ketitir, atau petuk.


Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004

Selasa, 18 Februari 2014

ALAT BUKTI HUKUM ACARA PERDATA






Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang ditetapkan dapat dipakai membuktikan sesuatu. Alat bukti disampaikan dalam persidangan pemeriksaan perkara dalam tahap pembuktian. Pembuktian adalah upaya yang dilakukan para pihak dalam berperkara untuk menguatkan dan membuktikan dalil-dalil yang diajukan agar dapat meyakinkan hakim yang memeriksa perkara.
Yang harus dibuktikan dalam sidang adalah segala sesuatu yang didalilkan disangkal atau dibantah oleh pihak lawan. Yang tidak perlu dibuktikan adalah segala sesuatu yang diakui, dibenarkan, tidak dibantah pihak lawan, segala sesuatu yang dilihat oleh hakim, dan segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang bersifat umum.
Alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan untuk pembuktian adalah sebagai berikut.
1. Bukti surat.
2. Bukti saksi.
3. Persangkaan.
4. Pengakuan.
5. Sumpah.

BUKTI SURAT 
Bukti surat adalah bukti yang berupa tulisan yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam surat sebagai berikut.
PertamaSurat biasa, yaitu surat yang dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan alat bukti. Seandainya surat biasa dijadikan bukti maka hanya suatu kebetulan saja. Yang termasuk surat biasa adalah surat cinta, surat-surat yang berhubungan dengan korespondensi, dan lain-lain.

KeduaAkta otentik, yaitu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sepanjang tidak dapat dibuktikan lain. Akta otentik misalnya Kutipan Akta Nikah, Akta Kelahiran, Akta Cerai, dan lain-lain.
KetigaAkta di bawah tangan, yaitu akta yang tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila isi dan tanda tangan diakui oleh para pihak, apabila isi dan tanda tangan yang ada tidak diakui maka pihak yang mengajukan bukti harus menambah dengan bukti lain misalnya saksi.
Dalam praktik beracara di pengadilan bukti surat yang akan digunakan sebagai bukti di persidangan di foto copy lalu dibubuhi meterai yang cukup dan dilegalisasi di Kantor Pos kemudian didaftarkan di Kepaniteraan pengadilan untuk dilegalisasi dan baru dapat diajukan ke sidang pengadilan kepada majelis hakim dan dicocokkan dengan aslinya jika sesuai dengan aslinya maka dapat digunakan sebagai bukti yang sah. Apabila ternyata tidak cocok dengan aslinya atau tidak ada aslinya maka tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali. Para pihak yang berperkara berhak untuk minta diperlihatkan bukti surat kepadanya.
BUKTI SAKSI
Saksi adalah orang yang melihat, mendengar, mengetahui, dan mengalami sendiri suatu peristiwa. Saksi biasanya dengan sengaja diminta sebagai saksi untuk menyaksikan suatu peristiwa dan ada pula saksi yang kebetulan dan tidak sengaja menyaksikan suatu peristiwa.

Syarat-syarat saksi yang diajukan dalam pemeriksaan persidangan adalah sebagai berikut.
- Saksi sebelum memberikan keterangan disumpah menurut agamanya.
- Yang dapat diterangkan saksi adalah apa yang dilihat, didengar,
diketahui, dan dialami sendiri.
- Kesaksian harus diberikan di depan persidangan dan diucapkan secara pribadi.
- Saksi harus dapat menerangkan sebab-sebab sampai dapat memberikan keterangan.
- Saksi tidak dapat memberikan keterangan yang berupa pendapat, kesimpulan, dan perkiraan dari saksi.
- Kesaksian dari orang lain bukan merupakan alat bukti (testimonium de auditu).
- Keterangan satu orang saksi saja bukan merupakan alat bukti (unus testis nullus testis). Satu saksi harus didukung dengan alat bukti lain.

Yang tidak dapat dijadikan saksi adalah sebagai berikut.
- Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
- Suami atau istri salah satu pihak meskipun telah bercerai.
- Anak-anak yang umurnya tidak diketahui dengan benar bahwa mereka telah berumur 15 (lima belas) tahun.
- Orang gila walaupun kadang-kadang ingatannya terang.

Keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat didengar keterangannya dan tidak boleh ditolak dalam perkara-perkara mengenai kedudukan perdata antara kedua belah pihak.
Anak-anak yang belum dewasa dan orang gila dapat didengar keterangannya tanpa disumpah. Keterangan mereka hanya dipakai sebagai penjelasan saja.
Saksi yang boleh mengundurkan diri untuk memberikan keterangan sebagai saksi adalah sebagai berikut.
- Saudara laki-laki dan saudara perempuan, ipar laki-laki dan ipar perempuan dari salah satu pihak.
- Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara laki-laki dan perempuan, serta suami atau istri salah satu pihak.
- Orang yang karena jabatannya atau pekerjaannya yang diwajibkan untuk menyimpan rahasia.

PERSANGKAAN
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau majelis hakim terhadap suatu peristiwa yang terang, nyata, ke arah peristiwa yang belum terang kenyataannya. Dengan kata lain persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang sudah terbukti ke arah peristiwa yang belum terbukti.

Persangkaan dapat dibagi menjadi dua macam sebagaimana berikut.
a. Persangkaan Undang-Undang
Persangkaan undang-undang adalah suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain. Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.

b. Persangkaan Hakim
Yaitu suatu peristiwa yang oleh hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.

PENGAKUAN
Pengakuan terhadap suatu peristiwa yang didalilkan dianggap telah terbukti adanya peristiwa yang didalilkan tersebut. Pengakuan ada dua macam sebagai berikut.
a. Pengakuan di depan sidang.
Pengakuan di depan sidang adalah pengakuan yang diberikan oleh salah satu pihak dengan membenarkan/mengakui seluruhnya atau sebagian saja. Pengakuan di depan sidang merupakan pembuktian yang sempurna.

Pengakuan di depan sidang tidak dapat ditarik kembali kecuali pengakuan yang diberikan terdapat suatu kekhilafan mengenai hal-hal yang terjadi. Pengakuan dapat berupa pengakuan lisan dan tertulis, pengakuan dalam jawaban dipersamakan pengakuan lisan di depan persidangan.
b. Pengakuan di luar sidang.
Pengakuan di luar baik secara tertulis maupun lisan kekuatan pembuktiannya bebas tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa. Pengakuan di luar sidang secara tertulis tidak perlu pembuktian tentang pengakuannya. Pengakuan di luar sidang secara lisan memerlukan pembuktian atas pengakuan tersebut.

S U M P A H
Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan bersaksi kepada Tuhan oleh salah satu pihak yang berperkara bahwa apa yang dikatakan itu benar. Apabila sumpah diucapkan maka hakim tidak boleh meminta bukti tambahan kepada para pihak.

Sumpah terdiri dari:
a. Sumpah promissoir
Sumpah promissoir yaitu sumpah yang isinya berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

b. Sumpah confirmatoir
Sumpah confirmatoir yaitu sumpah yang berisi keterangan untuk meneguhkan sesuatu yang benar.

Sumpah confirmatoir terdiri dari:
- Sumpah supletoir
Sumpah supletoir atau sumpah pelengkap atau sumpah penambah yaitu sumpah yang dibebankan oleh hakim kepada para pihak untuk melengkapi dan menambah pembuktian. Sumpah pelengkap harus ada bukti terlebih dahulu namun bukti belum lengkap sedangkan untuk mendapatkan bukti lain tidak mungkin. Sumpah pelengkap dibebankan kepada para pihak oleh hakim karena jabatannya.

- Sumpah decisoir
Sumpah decisoir atau sumpah pemutus adalah sumpah yang dibebankan oleh salah satu pihak kepada pihak lawannya. Sumpah pemutus dimohonkan kepada majelis hakim oleh salah satu pihak agar pihak lawan mengangkat sumpah. Sumpah pemutus dikabulkan hakim apabila tidak ada alat bukti sama sekali. Sumpah pemutus dapat dikembalikan kepada pihak lain yang meminta apabila mengenai perkara timbal balik. Apabila salah satu pihak berani mengangkat sumpah maka pihak yang mengangkat sumpah perkaranya dimenangkan.

- Sumpah aestimatoir 
Sumpah asstimatoir yaitu sumpah yang dibebankan hakim kepada penggugat untuk menentukan jumlah kerugian.


Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004