Jumat, 22 Agustus 2014

HAK TANGGUNGAN

 HAK TANGGUNGAN

A. PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN

Hak tanggungan adalah hak jaminan yang di bebankan pada hak atas tanah sebagaimana di maksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor–kreditor lain. Pengertian hak tanggungan sebagaimana dimuat dalam pasal 1 butir 1 UUHT di atas, sangat dipengaruhi oleh asas pemisahan horizontal dalam hukum tanah berdasarkan UUPA. Asas pemisahan horizontal ini menyebabkan hak atas tanah dapat dipisahkan dengan hak atas benda-benda di atas tanah tersebut.  Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa banyak bangunan yang tidak dapat dipisahkan dengan tanahnya, sehingga dimungkinkan obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, jika hal ini dilakukan, maka para pihak harus menyatakannya secara tegas didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) bahwa Hak Tanggungan tersebut adalah hak atas tanah beserta benda-benda lain di atasnya.


B. SIFAT HAK TANGGUNGAN. 

Hak tanggungan memiliki sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), seperti ditetapkan dalam pasal 2 UUHT. Dengan sifatnya yang tidak dapat dibagi-bagi, maka Hak Tanggungan akan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan. Artinya,apabila hutang (kredit) yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan baru di lunasi sebagian,maka Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan. Klausula “kecuali jika diperjanjikan dalam APHT” dalam pasal 2 UUHT,dicantumkan dengan maksud untuk menampung kebutuhan perkembangan dunia perbankan, khususnya kegiatan perkreditan. Dengan manggunakan klausula tersebut, sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan dapat disimpangi, yaitu dengan memperjanjikan bahwa apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, maka pelunasan kredit yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran. Besarnya angsuran sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian setelah suatu angsuran dibayarkan, Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa kredit yang belum dilunasi.


C. OBJEK HAK TANGGUNGAN 

Di dalam pasal 4 UUHT diatur tentang pelbagai macam hak atas tanah yang dapat di ijadikan objek Hak Tanggunghan, yaitu:

§  Hak milik;
§  Hak Guna Usaha;
§  Hak Guna Bangunan;
§  Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan;
§  Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, yang akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Selain hak-hak diatas tanah seperti dikemukakan di atas, yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada diatas tanah maupun dibawah tanah) tanaman dan hasil karya (misalnya candi,patung, gapura, relief) yang telah ada atau akan ada, yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut harus dinyatakan dengan tegas didalam APHT yang bersangkutan.

Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya sebagaimana dimaksud diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta (bersama)pada APHT yang bersangkutan oleh pemilik bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menadatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang dimaksud dengan akta otentik adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda- banda diatas tanah tersebut. Dengan penjelasan umum UUHT, disebut 2 unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu: 

§  Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum yang terdapat pada Kantor Pertahanan;
§     Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan.

Berdasarkan kedua unsure mutlak diatas, apabila hak milik sudah diwakafkan maka, hak mi9lik tersebut tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan. Karena sesuai dengan hakekat perwakafan yakni hak milik yang sudah diwakafkan merupakan hak milik yang sudah dikekalkan sebagai hak milik keagamaan. Dengan demikian, semua hak atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci liannya tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan, sedangkan hak guna bangunan yang dapat dijadikan objek hak tanggungan, meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, diatas hak pengelolaan maupun diatas tanah hak Negara. Adapun mengenai hak pakai, sebelum ditentukan UUHT ini tidak dapat dijadikan objek jaminan pelunasan hutang, karena menurut UUPA hak pakai tidak termasuk hak-hak atas tanah yang wajib didaftar, sehingga tidak memenuhi syarat publisitas. 

Dalam perkembangannya sekarang hak pakai atas tanah Negara harus didaftarkan, sehingga dapat dipindah tangankan. Hak pakai yang tidak dapat dipindah tangankan antara lain hak pakai atas nama pemerintah, hak pakai atas nama badan keagamaan dan social, hak pakai atas nama perwakilan Negara asing yang jangka waktu berlakunya tidak ditentukan dan hak pakai tersebut diberikan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan instansi atau badan diatas. Hak pakai atas tanah hak milik tidak dapat dijadikan objek hak anggungan, karena hingga saat ini tidak terdapat kewajiban untuk mendaftarkan hak pakai diatas tanah hak milik. Akibatnya, salah satu syarat mutlak agar suatu hak atas tanah dapat dijadikan objek hak tanggungan tidak terpenuhi. Menurut pasal 4 ayat 3 UUHT, pembebanan hak tanggungan atas hak pakai diatas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Undang-undang hak tanggungan didaftarkan atas asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding), sebagai kebalikan dari pemisahan vertical (verticale scheiding). Menurut BW yang belaku terdahulu, tanah dan bangunan yang didirikan atasnyamerupakan suatu kesatuan. Dengan kata lain pemilik dari tanah adalah pemilik bangunan yang ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan vertical. Menurut hukum adat bisa saja pemilik tanah berlainan dari pemilik bangunan yang ada diatasnya, ini dinamakan asas pemisahan horizontal dan karena undang-undang pokok agraria tahun 1960 menyatakan bahwa hukum adapt yang dipakai sebagai dasar, maka tidak mengherankan jika pemakaian asas horizontal ini dipakai dalam system hak tanggungan.


D. TATA CARA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN


Setelah terjadi kesepakatan hutang piutang dengan hak tanggungan antara kreditor dan debitor, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan :

§  membuat perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (atara lain berupa perjanjian pemberian kredit atau akad kredit) yang pelunasannya dijamin dengan hak tanggungan.
§  membuat perjanjian pemberian hak tanggungan yang dituangkan kedalam akte pemberian hak tanggungan (APHT) oleh notaries / PPAT.
§     melakukan pendaftaran hak tanggungan pada kantor pertanahan yang sekaligue merupakan saat lahirnya hak tanggungan yang dibebankan.

Perjanjian yang menimbulkan hutang piutang (antara lain perjanjian pemberian kredit yang dijamin dengan hak tanggungan dapat dibuat dengan akte dibawah tangan atau dengan akte otentik. Perjanjian ini merUpakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian pemberian hak tanggungan merupakan perjanjian ikutan (accessoir) pada perjanjian pokok. Dalam pemberian hak tanggungan, pemberi hak tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jikan dengan lasan yang dapat dipertanggung jawabkan yang bersangkutan tidak dapat hadir sendiri, maka ia wajib menunjuk kuasa dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan yang berbentuk akte otentik. Pembuatan surat kuasa membebankan hak tanggungan dapat dilakukan oleh notaris / PPAT yang keberadaannya sampai di wilayah kecamatan. Hak tanggungan baru lahir ketika hak tanggungan tersebut dibukukan dalam buku tanah dikantor pertanahan. Pendaftaran menentukan kedudukan kreditor sebagai kreditor diutamakan terhadap kreditor-kreditor lain dan menentukan peringkat kreditor dalam hubungannya dengan kreditor lain yang juga pemegang hak tanggungan atas tanah yang sama sebagai jaminannya. Peringkat masing-masing hak tanggungan tersebut ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor pertanahan. Peringkat hak tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut nomor urut APHTnya, hal ini dimungkinkan karena pembuatan beberapa APHT atas satu objek hak tanggungan hanya dapat dilakukan oleh PPAT yang sama.

Menurut pasal 5 UUHT, suatu objek hak tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu hak tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu hutang. Pemilik tanah atau persil yang telah menjaminkan tanah atau persilnya, dapat menguasai tanah itu atau menjualnya, karena hak tanggungan akan tetap melekat membebani tanah ditangan siapapun tanah itu berpindah.

Menurut pasal 11 UUHT, dimungkinkan untuk mencantumkan janji-janji dalam APHT. Janji-janji yang dicntumkan bersifat fakultatif dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT. Pihak-pihak bebasan menentukan untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan janji-janji tersebut dalam APHT. Pemuatan janji-janji tersebut dalam APHT yang kemudian didaftarkna pada kantor pertanahan, akan menyebabkan janji-janji tersebut mempunyai kekuatan mengikat pada pihak ketiga.

Janji-janji yang dimaksud diatas antara lain:
§  janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan objek hak tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
§  Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek hak tanggungan kecuali, dengan persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan.
§  Janji yang memberi wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk mengelola objek hak tanggungan berdasarkan penetapan ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek hak tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh ingkar janji.
§  Janji yang memberikan wewenang pada pemegang hak tanggungan untuk menyelamatkan objek hak tanggungan, jika hal itu diperlukab untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek hak tanggungan kartena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.
§  Janji bahwa pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek hak tanggungan apabila debitor ingkar janji.
§  Janji yang diberikan oleh pemegang hak tanggungan pertama bahwa objek hak tanggungan tidak akan dibersihkan dari hak tanggungan.
§  Janji bahwa pemberi hak tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek hak tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang hak tanggungan.
§  Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, apabila objek hak tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi hak tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum.
§  Janji bahwa pemegang hak tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi hak tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek hak tanggungan diasuransikan.
§  Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan objek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan.
§     Janji yang dimaksud pada pasal 14 ayat 4 UUHT, karena tanpa janji ini, sertifikat hak tanah yang dibebani hak tanggungan akan diserahkan kepada pemberi hak tanggungan.

E. EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN.


Apabila debitor tidak memenuhi janjinya, yakni tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan, maka berdasarkan pasal 20 UUHT pemegang hak tanggungan pertama atau pemegang sertifikat hak tanggung andengan title eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat hak tanggungantersebut, berhak menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak didahulukan dari kreditor-kreditor lain.

Menurut pasal 1 butir 2 keputusan menteri keuangan No. 293/KMK09/1993, yang dimaksud piutang macet adalah piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo, tidak dilunasi oleh pemegang hutang sebagaiman mestimya sesuai dengan perjanjian, peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut. Jika, piutang macet adalah piutang Negara termasuk tagihan bank-banak pemerintah maka, penyeslesaiannya melalui badan urusan piutang dan lelang Negara (BUPLN) dan jika piutang tersebut milik bank swasta atau perseorangan termasuk badan hukum-badan swasta maka, penyelesaiannya melalui pengadilan negeri.

Sertifikat hak tanggungan diterbitkan oleh kepala badan pertanahan nasional dan dapat langsung dimohonkan eksekusi jika, memuat irah-irah dengan kata-kata “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”, irah-irah tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Hal ini sesui dengan bagian ke-II dari nomor 9 memori penjelasan bagian hukum atas Undang-undang hak tanggungan tahun 1996 yang menjelaskan lebih lanjut bahwa sertifikat hak tanggungan yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hak tanggungan dibutuhkan pencantuman irah-irah tersebut.

Menurut pasal 14 ayat 2 dinyatakan bahwa kata-kata sacral “demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esadicantumkan pada sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial dengan kekuatan hukum tetap dan dinyatakan berlaku sebagai pengganti grosse akte hipotik sepanjang mengenaii hak atas tanah. Dalam undang-undang hak tanggungan tentang eksekusi belum diatur, maka peraturan mengenai eksekusi hipotik yang diatur dalam HIR dan RBg berlaku sebagai eksekusi hak tanggungan, memang bahwa sejak lahirnya undang-undang hak tanggungan.

Penyelesaian piutang melalui BUPLN dilaksanakan dengan menerbitkan surat paksa atau surat pernyataan bersama dan jika melalui penmgadilan negeri, debitor akan dipanggilan oleh ketua pengadilan negeri setelah ketua pengadilan negeri meneriam permohonan dari kreditor. Awalnya penanggung hutang diminta untuk membayar secara sukarela dengan melalui teguran dan diberi kesempatan selama 8 hari untuk membayarnya, jika tidak dibayar, maka eksekusi akan dilanjutkan dengan menyita hartanya dan kemudian dilelangkan untuk melunasi hutangnya. Dalam penyelesaian melalui pengadilan negeri sebelumhak tanggungan dilelang, didahului dengan pengumuman dalam surat kabar didaerah tersebut sebanyak dua kali dengan tenggang waktu 15 hari.

Apabila penjualan melalui pelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan penerima hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan. Sampai pada saat pengumuman lelang dikeluarkan, masih dapat dibatalkan jika hutang terlebih dahulu dibayar oleh pemilik hutang.

Jika hutang yang dijamin dengan hak tanggungan dilunasi, maka badan pertanahan akan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat haka atas tanah yang dijakdikan objek hak tanggungan atau dengan catatan dari kreditor pemberi hak tanggungan meminta pada badan pertanahan untuk mencoretnya. Apabila kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan bahwa hutang telah lunas, maka pihak yang berkepentingan bisa meminta melalui kepada ketua pengadilan negeri setempat, dengan penetapan pengadilan negeri maka debitor memohon pencoretan pada kantor pertanahan.


DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU




Dewan Kehormatan Pemilihan Umum (DKPP) adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu. Yang dimaksud penyelenggara Pemilu adalah anggota KPU, anggota Bawaslu, dan segenap jajarannya, termasuk jajaran pada sekretariat masing-masing. Untuk memastikan para penyelenggara Pemilu tetap terjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitasnya, maka DKPP menitikberatkan pelaksanaan praktis asas-asas penyelenggara Pemilu, sebagaimana dimaktub di dalam UU No. 15 Tahun 2011, meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Produk dari pelaksanaan tugas dan wewenang DKPP adalah Putusan. Sesuai ranah kewenangan DKPP, Putusan DKPP berupa pengenaan sanksi atau rehabilitasi. Penetapan Putusan ini yang diambil dalam suatu rapat pleno DKPP yang bersifat tertutup. Pleno DKPP baru akan memutuskan ketika pemeriksaan dalam persidangan telah dianggap cukup melakukan pemeriksaan pengaduan, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi-saksi, serta memperhatikan bukti/dokumen tertulis, dan mempelajari bukti dan alat-alat bukti yang disertakan. Prinsip dari peradilan etika yang dikembangkan ini adalah semua orang didengarkan (audi et alteram partum). Sanksi yang dapat diterbitkan DKPP adalah berupa Teguran Tertulis, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Tetap alias pemecatan.

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya Pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.
Keberadaan DKPP bukanlah hal baru karena sebelumnya sudah ada yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) sejak 2008. DK KPU adalah institusi ethic difungsikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara.Namun, wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat ad hock.
DK KPU 2008-2011dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dari aspek struktural kurang balances karena didominasi oleh penyelenggara Pemilu. DK KPU beberapa kali dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., dan prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah dan DPR memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa anggota KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota termasuk salah satu mantan anggota KPU 2010 memberi harapan baru bagi publik pada perubahan.
Dari prestasi yang baik dan dengan menampilkan performa kelembagaan DK KPU yang produktif di mata publik inilah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP. Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik pada KPU tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan lewat produk hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu.
DKPP secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan komposisi keanggotaan yang cukup membanggakan. Lima anggota DKPP periode 2012-2017 ini terdiri dari tiga perwakilan unsur DPR yakni Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si., dan Saut Hamonangan Sirait, M.Th., sedangkan unsur pemerintah Prof. Abdul Bari Azed dan Dr. Valina Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu, Ida Budhiati, SH., MH., dan Ir. Nelson Simanjuntak.
Track record kelimanya tidak diragukan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., misalnya, sejak 2008-2011 jadi ketua DK KPU, Nur Hidayat Sardini pernah jadi ketua Panwas Provinsi terbaik di Indonesia, dan pernah pula jadi ketua Bawaslu, sedangkan Saut Hamonangan Sirait pernah jadi anggota Panwas Provinsi Jateng dan sempat jadi anggota KPU Pusat, sementara Dr. Valina Singka Subekti merupakan mantan anggota KPU 2004, dan Prof. Abdul Bari Azed beberapa kali jadi Dirjen Kemenkumham RI, dan Ida Budhiati mantan anggota KPUD Provinsi Jateng serta Nelson Simanjuntak sebelumnya aktif sebagai tenaga asistensi di Bawaslu.
Sejak dibentuk, DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif, namun tetap dalam bingkai amanat UU. Kelimanya menyadari betul betapa jalan terjal yang harus dilalui mereka dalam rangka menegakkan harkat dan martabat politik bangsa khususnya melalui penyelenggaraan Pemilu. Mereka juga berkomitmen terus meningkatkan kapasitas penyelenggara Pemilu dari dimensi SDM dan infrastruktur guna terwujudnya kualitas bangsa dalam berdemokrasi dengan tujuan menghasilkan pemimpin bangsa yang amanah

            Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).

Berdasarkan ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).  Tugas dan kewenangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi. Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.
Yang bekerja secara tidak tetap, misalnya, adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di KPU atau yang bekerja di Bawaslu. Sedangkan yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc, misalnya, adalah Ketua dan Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kabupaten/kota atau pun petugas.
             Didalam Pasal 110 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjelaskan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
            DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, intregitas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk memeriksa, megadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Tugas DKPP berdasarkan peraturan dewan kehormatan penyelenggara pemilihan umum  nomor 2 tahun 2012  tentang  pedoman beracara kode etik penyelenggara pemiilihan umum:
1.      Menerima pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
2.      Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yang berbunyi:
3.      Menetapkan Putusan; dan
4.       Menyampaikan Putusan kepada pihak terkait untuk ditindak lanjuti.

Sementara itu dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya, DKPP memiliki kewenangan untuk:
1.      Memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
2.      Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; dan
3.      Memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.

Proses penyelenggaraan pemilu yang sedang berjalan, ada hal menarik dimana pemegang kekuasaan seperti KPU dan Bawaslu mengeluhkan sistem kerja DKPP dalam menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Singkatnya, keluhan tersebut karena DKPP kadangkala offside dan melahap porsi kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga lain. Bukti faktualnya yakni adanya putusan-putusan DKPP yang secara yuridis dan konseptual merupakan wilayah sengketa pemilu. Implikasi lanjutan dari putusan seperti ini adalah adanya akibat hukum berupa pengembalian hak konstitusional. Putusan dikeluhkan oleh Bawaslu, bahkan lebih jauh, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memberikan teguran ke DKPP bahwa putusan diluar terkait pelanggaran kode etik merupakan produk yang cacat hukum.
Komisi II DPR menganggap pertemuan itu digelar untuk meminta penjelasan atas putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Terutama, putusan yang memerintahkan KPU untuk memverifikasi faktual 18 partai politik yang tak lolos verifikasi administrasi. Anggota Komisi II DPR menganggap putusan DKPP itu melampaui kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-UndangNomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia menganggap DKPP telah membuat keputusan yang melampaui kewenangannya. Padahal, kewenangan DKPP sebatas memutuskan pelanggaran etika. Keputusan DKPP tersebut dapat mengancam tahapan pemilu dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta hancurnya wibawa penyelenggara pemilu di hadapan peserta pemilu.
DKPP tidak punya kewenangan untuk menentukan partai politik mana yang boleh dan tidak boleh mengikuti proses verifikasi faktual oleh KPU.
Keputusan DKPP yang memperbolehkan 18 partai politik mengikuti proses verifikasi faktual oleh KPU berarti membatalkan (ketetapan) keputusan KPU yang menyatakan 18 partai politik tidak lolos berdasarkan verifikasi administrasi oleh KPU.
Alasan atau pertimbangan DKPP mengikutsertakan 18 partai politik dalam proses verifikasi faktual adalah adanya pembangkangan, pemboikotan, dan ketidaktaatan jajaran sekretariat jenderal yang merupakan dissimilar process. Akibatnya, proses pendaftaran dan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014 menjadi terhambat dan dapat merusak proses dan hasil dari tahapan pendaftaran dan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya keraguan, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kemarahan parpol yang tidak lolos dalam verifikasi administrasi.
            Pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu telah mendapatkan porsi masing-masing dalam menyelenggarakan kekuasaan. Dalam takaran konstitusional, proses distribusi kekuasaan telah diberikan secara proporsional untuk mewujudkan check and balances. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan porsi sebagai penyelenggara pemilu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan porsi mengawasi dan menyelesaikan sengketa pemilu, sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendapatkan porsi untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.
Tidak terlalu sulit untuk mengatakan demikian, karena menafsirkan norma di dalam Undang-Undang 15/2011 Tentang Penyelenggara Pemilu tidak perlu ilmu penafsiran hukum seperti yang dimiliki oleh para Negarawan di Mahkamah Konstitusi, karena memang Undang-Undang 15/2011 telah mengaturnya secara jelas dan tegas mengenai pembagian porsi kekuasaan a quo.
Penegasan pembagian porsi kewenangan ini penting untuk diketahui oleh publik. Mengingat hubungan konfliktual yang muncul diantara pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu. Salah satu penyebabnya adalah perebutan dan penambahan  porsi kekuasaan oleh salah satu lembaga, yang sebenarnya telah mendapatkan porsi yang sudah cukup sebagai lembaga supporting system dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Penyebab diatas hanya merupakan sebiji benih yang berada di dalam lumbung kekuasaan. Terdapat juga benih konflik lainnya, diantaranya arogansi dan gengsi kelembagaan, profesionalisme dalam menjalankan kewenangan, khususnya terkait dalam penyelesaian permasalahan hukum pemilu yang mengharuskan adanya interaksi di antara pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu. Bahkan bisa jadi, benih yang jangan sampai tumbuh subur adalah karena adanya kepentingan politik pemegang kekuasaan untuk merugikan dan/atau menguntungkan salah satu peserta pemilu, yang diujung lorongnya terdapat keuntungan ekonomi dan upaya pelanggengan jabatan sebagai pejabat publik.

Sistem pemilu apapun yang dipakai, upaya membentuk pemerintahan kuat dalam sistem pemerintahan parlementer lebih mudah dicapai karena parpol atau koalisi partai yang meraih kursi terbanyak di parlemen berhak membentuk pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah dalam sistem parlementer lebih mudah mencapai governability tinggi karena mereka mendapat dukungan mayoritas parlemen. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana soal governability pada sistem ini sering menghadapi masalah, akibat hasil pemilu legislatif sering tidak sejalan dengan hasil pemilu eksekutif. Atau, terjadi apa yang disebut dengan divided government atau pemerintahan terbelah, di mana presiden terpilih sering tidak didukung parlemen karena parpol atau koalisi parpol pendukung presiden terpilih tidak mampu meraih mayoritas kursi parlemen. Atau, legislatif didominasi oleh satu atau lebih parpol yang berbeda dengan parpol yang memegang kekuasaan eksekutif.
Perwakilan tiap daerah adalah anggota KPU, anggota KPU Provinsi, KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota, KIP Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan/atau anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. Para pihak dalam perselisihan hasil pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD adalah:

a. Partai politik dan / atau perseorangan dalam peserta pemilu sebagai pihak pemohon ;
b. KPU sebagai pihak termohon.

Selain pihak termohon dan pemohon ada juga kemungkinan peserta pemilu yang menjadi pemohon berkepentingan terhadap perselisihan hasil pemilu. Biasanya diposisikan sebagai pihak terkait.
            Setelah itu pemeriksaan pengaduan dan/atau laporan, Verifikasi Materiel, Registrasi, dan Penjadwalan Sidang, lalu yang terakhir adalah persidangan sampai dengan selesai.
            Kerjasama antara DKPP, KPU, dan Bawaslu dengan pihak Kepolisian, baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sangat penting untuk dikembangkan. Tugas yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum secara teknis memang dikaitkan dengan komisi pemilihan umum dengan peran Bawaslu sebagai lembaga pengawasnya. Akan tetapi semua keputusan yang diambil, baik oleh KPU maupun Bawaslu dan juga oleh DKPP, semua berkenaan dan bersangkut paut dengan dinamika penyelenggaraan kompetisi politik yang diatur menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam iklim demokrasi yang baru dikembangkan selama lima belas tahun era reformasi, banyak sekali jabatan publik yang diperebutkan atau dikompetisikan, baik melalui pemilihan langsung melalui pemilu maupun pemilihan tidak langsung, yaitu melalui lembaga perwakilan rakyat.
Refleksi atas pemenuhan keadilan dalam Pemilu 2009 mesti dilakukan. Itu penting sebagai modal awal penataan system keadilan pemilu ke depan. Bagaimana melihat kelemahan dan tidak berjalannya sistem keadilan pemilu. Refleksi juga dilakukan untuk mengangkat kembali keberhasilan yang dicapai sehingga bisa diakomodir dalam penataan system ke depan. Identifikasi ini penting untuk menutup setiap kelemahan dengan harapan dalam Pemilu 2014 tidak kembali terulang. Atau paling tidak kebijakan yang akan disusun tidak salah arah atau justru menghilangkan keberhasilan sebelumnya.
            Refleksi tersebut paling tidak mencakup 3 (tiga) hal, khususnya terkait dengan apa yang akan dicapai dalam penyusunan kerangka system keadilan pemilu. Pertama, jaminan atas setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait proses pemilu, apakah telah sesuai dengan kerangka hukum atau tidak. Kedua, apakah system yang dirancang dalam pemilu 2009 telah memberikan perlindungan dan bahkan mampu memulihkan hak pilih seseorang jika dilanggar. Terakhir, sudahkah system keadilan pemilu membuka ruang bagi warga negara (pemilih) untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan dan mendapat kanputusan yang adil dalam hal hak pilih mereka terlanggar. Konsep keadilan pemilu tersebut diharapkan mampu memotret kondisi pemilu 2009. Apakah keadilan pemilu telah terkonsep dengan baik, begitu juga dengan implementasinya.
Dari segi penegakan hukum, Kepolisian juga dapat memahami dengan tetap apa dan bagaimana tugas KPU dalam menyelenggarakan pemilu dan apa dan bagaimana pula tugas Bawaslu dalam mengawasi pelaksanakaan pemilihan umum. Penting disadari bahwa kedudukan dan peranan Bawaslu menurut ketentuan UU yang baru, yaitu UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, agak berbeda dengan kedudukan dan peranan Bawaslu sebelumnya menurut UU No. 22 Tahun 2007. Sekarang Bawaslu disebut sebagai lembaga semi atau quasi judisial juga, yaitu di bidang administrasi penyelenggaraan pemilu.
            Demikian pula DKPP, juga merupakan lembaga semi-judisial atau quasi yudisial, khususnya di bidang etika penyelenggara pemilu. Penting untuk disampaikan dalam forum yang penting ini, ketika pertama kali anggota KPU diberhentikan dari jabatannya karena terbukti melanggar kode etik, yang bersangkutan merasa terhina dan merasa diperlakukan tidak menyenangkan, sehingga karena itu ia mengadukan Ketua dan para anggota KPU dan Ketua dan para anggota DK-KPU ke pihak kepolisian. Itu terjadi pada tahun 2009, yaitu menjelang pelaksanaan pemungutan suara pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia.

            Berdasarkan UU tentang Penyelenggara Pemilu, subjek yang dapat menjadi pihak yang berperkara di DKPP dapat mencakup pengertian yang luas dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam Peraturan tentang Pedoman Beracara DKPP, pengertian pihak yang dapat berperkara tersebut dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh DKPP. Lagi pula, DKPP juga perlu memberikan dukungan penguatan kepada KPU dan Bawaslu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri oleh KPU dan Bawaslu atau pun hal-hal yang semestinya ditangani dan diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu sendiri lebih dulu.
            Karena itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang secara langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat provinsi atau tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota lebih dulu harus diklarifikasi dan ditangani oleh KPU Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun laporan atau pengaduan terkait diajukan langsung oleh masyarakat, oleh partai politik atau pun oleh penyelenggara pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka laporan atau pengaduan tersebut akan diperiksa dan diselesaikan lebih oleh KPU atau Bawaslu melalui anggota anggota KPU atau anggota Bawaslu yang duduk sebagai anggota DKPP.
            Objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum. Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang dipertanggung-jawabkan juga secara individu orang per orang. 
            Dengan perkataan lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah individu, baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dapat dituduh melanggar kode etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagai institusi, tetapi orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau Bawaslu tersebut. Karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus mampu membuktikan apa saja yang telah dilakukan oleh orang per orang individu ketua atau anggota KPU atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
            Masalah penting yang sering kurang dipahami dengan baik atau kurang mendapat perhatian dalam perkembangan modern mengenai sistem peradilan adalah perspektif tentang keadilan restoratif (restorative justice). Pada umumnya, proses peradilan konvensional selalu dipahami dalam konteks paradigma keadilan retributif (retributive justice). Yang diutamakan dalam proses peradilan adalah sistem sanksi hukum yang bersifat menghukum, membalas dendam, melampiaskan sakit hati, atau menyalurkan kemarahan, baik korban dalam arti sempit ataupun korban dalam arti luas, yaitu masyarakat pada umumnya yang tidak puas, dan bahkan benci dan marah kepada penjahat yang telah melawan hukum dan merugikan masyarakat Dalam hukum pidana, tersedia sistem sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan sebagainya. Sedangkan dalam sistem peradilan etika diadakan sanksi teguran dan sanksi pemberhentian dari jabatan publik. Semua bentuk sanksi hukum maupun etika tersebut bersifat pembalasan dengan cara menghukum dan melampiaskan amarah.
Namun dewasa ini, teori pembalasan ini mendapatkan perlawanan yang semakin kuat dan kritis di kalangan para ahli, seiring makin berkembang-luasnya kesadaran baru mengenai standar-standar kemanusiaan global. Hukuman atau pidana mati semakin dipersoalkan dalam teori dan praktik, dan demikian pula sanksi penjara dipandang makin lama makin tidak efektif dalam mengendalikan kecenderungan perilaku menyimpang (deviant behaviors) dalam kehidupan masyarakat modern.
Di bidang pemberantasan korupsi, misalnya, semakin luas aspirasi mengenai pentingnya pengenaan sanksi perampasan harta kekayaan dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, harus dirampas seluruh harta kekayaan yang dimilikinya, kecuali ia mampu membuktikan bahwa bagian-bagian mana dari harta kekayaan yang dimilikinya itu yang diperoleh dengan cara yang memang sah menurut hukum. Sistem sanksi yang demikian ini dianggap lebih bersifat memulihkan kerugian negara daripada sekedar melampiskan balasan sanksi penjara ataupun pidana mati bagi penjahat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan sistem sanksi perampasan harta tersebut, kepentingan kerugian kekayaan negara dapat dipulihkan sebagaimana mestinya, bukan sekedar melampiskan kemarahan kepada korupsi dan kepada koruptor.
Cara pandang keadilan restoratif ini merupakan warisan umat manusia dalam sejarah pra-modern yang cenderung mulai direvitalisasi kembali untuk kepentingan masa kini. Oleh karena itu, jika seseorang terbukti melanggar hukum, yang penting mendapat perhatian justru adalah nasib korban yang harus dipulihkan. Masalahnya kemudian jika dikaitkan dengan peradilan pidana dan peradilan etika penyelenggara pemilu yang tidak berkaitan dengan proses pemilu ataupun dengan hasil pemilu, melainkan hanya dengan perilaku etik dari aparat penyelenggara pemilu, timbul masalah yang boleh jadi belum saatnya dipertimbangkan mengenai relevansi dan urgensinya.
Untuk membantu KPU Provinsi, DKPP dapat saja menuangkan advis hukum mengenai hal itu dalam ‘ratio-decidendi’ atau pertimbangan putusan yang secara substantif dapat dipandang sebagai advis yang bersifat anjuran moral kepada KPU untuk bertindak. Bahkan, agar lebih tegas dan mudah dipahami, DKPP dapat pula berinovasi dengan menuangkan advis etik tersebut dalam rumusan amar sehingga memiliki daya ikat dan daya bimbing yang lebih kuat dan efektif.
            Namun demikian, inovasi semacam itu sangat rawan disalah-gunakan di satu segi, dan mudah pula mengundang kontroversi sebagai akibat reaksi pro dan kontra terhadap putusan DKPP. Mengapa demikian? Sebabnya ialah kesadaran mengenai pentingnya perspektif ‘restorative justice’ itu masih sangat tipis di kalangan masyarakat. Hukum pun masih dipahami hanya sebagai persoalan prosedur yang bersifat formal. Hukum hanya dipandang sebagai kata-kata tekstual, bukan dan belum dipahami sebagai instrumen keadilan yang bersifat substantif dengan memberikan solusi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Inovasi semacam ini juga rawan disalahgunakan bagi pencari keadilan yang semu, yaitu DKPP rawan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan dalam menghadapi keputusan KPU yang tidak menguntungkan bagi partai politik atau pun pihak-pihak terkait.
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara dan termasuk badan-badan peradilan terikat dan wajib melaksanakan putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi putusan DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu, atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait.
Putusan-putusan DKPP dan keputusan-keputusan administratif atau yang biasa dikenal sebagai keputusan-keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan DKPP tersebut, tidak dapat dijadikan objek perkara di pengadilan, khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena menurut UU tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP itu bersifat final dan mengikat. Sifat final dan mengikat ini sudah dipahami bersama oleh Ketua dan semua unsur Pimpinan Mahkamah Agung dalam pertemuan bersama antara DKPP dan Pimpinan Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu. Bahkan hal tersebut sudah lebih dulu dikomunikasikan dengan pihak kepolisian dalam pertemuan konsultasi DKPP dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (808hr)


KANTOR HUKUM KALINGGA
 Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
kantorhukumkalingga@gmail.com
kantorhukumkalingga@yahoo.com
kantorhukumkalingga.blogspot.com