Minggu, 22 Maret 2015

AKIBAT HUKUM JAMINAN FIDUSIA YANG BELUM DIDAFTARKAN

Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akanmemperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusiadibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia. Mengutip tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam artikel berjudul Eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan.

Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF.

Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusilangsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF) terhadap kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.

Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.

Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:

Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF, karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.  Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.” 

Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.

Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak TagihanKartu Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan kata lain, ahli waris dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad1847 No. 23);
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73);


*Dikutip dari HUKUMONLINE.COM

PIDANA BERSYARAT DAN PIDANA/HUKUMAN PERCOBAAN



PIDANA BERSYARAT DAN PIDANA/HUKUMAN PERCOBAAN

Pidana bersyarat, yang dalam praktik hukum sering disebut dengan pidana/hukuman percobaan, adalah sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu. Seperti misalnya, pidana harus dijalankan jika sebelum masa percobaan tersebut selesai, orang tersebut melakukan tindak pidana. Ini berarti jika orang tersebut tidak melakukan tindak pidana selama masa percobaan, maka pidana tersebut tidak perlu dijalankan. Karena pidana bersyarat tersebut bergantung pada apakah orang tersebut melakukan tindak pidana selama masa percobaan, maka sering disebut dengan pidana percobaan.

Pidana bersyarat adalah pidana dengan syarat-syarat tertentu. Pidana bersyarat ini diatur dalam Pasal 14a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang  berbunyi:

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Sederhananya, Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” (hal. 183-184) menjelaskan mengenai pidana penghukuman bersyarat (pidana bersyarat) yang diatur dalam Pasal 14a dan seterusnya dalam KUHP, bahwa apabila seorang dihukum penjara selama-lamanya satu tahun atau kurungan, maka hakim dapat menentukan bahwa hukuman itu tidak dijalankan. Kecuali, kemudian ditentukan lain oleh hakim, seperti apabila si terhukum dalam tenggang waktu percobaan melakukan tindak pidana lagi atau tidak memenuhi syarat tertentu, misalnya tidak membayar ganti kerugian kepada si korban dalam waktu tertentu.  
Wirjono (Ibid, hal. 184) juga menambahkan bahwa dalam praktik, hukuman semacam ini jarang sekali dijalankan karena si terhukum akan berusaha benar-benar dalam masa percobaan tidak melakukan suatu tindak pidana dan syarat khusus biasanya dipenuhi. Di samping itu, apabila syarat-syarat dipenuhi, hukuman tidak otomatis dijalankan, tetapi harus ada putusan lagi dari hakim dan ada kemungkinan hakim belum memerintahkan supaya hukuman dijalankan, yaitu apabila misalnya si terhukum dapat menginsafkan hakim bahwa si terhukum dapat dimaafkan dalam hal ini tidak memenuhi syarat-syarat. Dalam praktik, mungkin sekali penghukuman bersyarat ini sama sekali tidak dirasakan sebagai hukuman.   
Jadi, berdasarkan bunyi Pasal 14a KUHP, khususnya dalam ayat (2) dan penjelasan Wirjono di atas dapat kita lihat bahwa pidana bersyarat memiliki keterkaitan dengan masa percobaan selama pidana bersyarat itu dilakukan, yakni suatu pemidanaan dimana pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan (salah satunya) karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut habis. Inilah yang kemudian dalam praktiknya, pidana bersyarat disamakan dengan pidana percobaan.
Di samping itu, Anandito Utomo, S.H. dalam artikel Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat juga menyatakan bahwa pidana bersyarat adalah pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Penjelasan lebih lanjut soal pidana bersyarat dan contoh kasusnya dapat Anda simak dalam artikel tersebut.
Sekedar tambahan informasi untuk Anda, dalam sistem peradilan anak juga dikenal istilah pidana bersyarat, yakni disertai syarat umum dan syarat khusus. Apa saja itu? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Pidana Bersyarat Terhadap Anak dalam Praktik.  
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:


Kamis, 12 Maret 2015

Putusan MK No. 26/PUU/XI/2013



Mahkamah Konsitusi Tegaskan Hak Imunitas Advokat di Dalam dan di Luar Pengadilan

Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
“Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan perkara 26/PUU-XI/2013,  pengujian Pasal 16 Undang-Undang (UU)  Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang terkenal sebagai hak imunitas advokat yang diajukan oleh sejumlah advokat. Putusan tersebut dinyatakan MK dalam sidang pengucapan putusan yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva, Rabu (14/05/2013).
Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini ”. Menurut Mahkamah dalam pertimbangannya, pengertian jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. 
Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut Mahkamah, peran advokat berupa pemberian konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Peran advokat di luar pengadilan tersebut telah memberikan sumbangan berarti bagi pemberdayaan masyarakat serta pembaruan hukum nasional, termasuk juga dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Para Pemohon juga mendalilkan Pasal 16 UU tersebut hanya memberikan perlindungan kepada advokat untuk tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan klien di dalam persidangan padahal pemberian jasa hukum oleh advokat juga dilaksanakan di luar pengadilan. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-II/2004, tanggal 13 Desember 2004, mempertimbangkan, “UU Nomor 18/2003 Tentang Advokat adalah Undang-Undang yang mengatur syarat-syarat, hak dan kewajiban menjadi anggota organisasi profesi advokat, yang memuat juga pengawasan terhadap pelaksanaan profesi advokat dalam memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Oleh karena itu, tujuan Undang-Undang advokat, di samping melindungi advokat sebagai organisasi profesi, yang paling utama adalah melindungi masyarakat dari jasa advokat yang tidak memenuhi syarat-syarat yang sah atau dari kemungkinan penyalahgunaan jasa profesi advokat”. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, antara UU yang dimohonkan diuji oleh Pemohon dengan UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang dijadikan salah satu argumentasi pemohon, terdapat perbedaan mengenai perlindungan advokat dan Pemberi Bantuan Hukum dalam menjalankan profesinya. Perbedaan dimaksud telah menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan Pemberi Bantuan Hukum yang bermuara pada timbulnya ketidakpastian hukum yang adil diantara kedua profesi tersebut.
Mahkamah melihat keadaan demikian bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Keadaan tersebut juga bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian menurut Mahkamah, untuk menghindari terjadinya ketidakpastian hukum, juga untuk mewujudkan keadilan bagi kedua profesi tersebut, Mahkamah perlu menegaskan bahwa ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

Dengan pendapat tersebut maka Mahkamah menyatakan:
“Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia No.49 Tahu 2003, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia No 4288) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya. Artinya adalah hak imunitas tersebut berlaku sepanjang advokat menganggap bahwa hak imunitas harus dijalankan dengan itikad baik”.
Demikian kami sampaikan terimakasih.

Saddm Setia Gultom, SH. 

Dasar Hukum:
Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
Putusan MK No. 26/PUU/XI/2013;

Kamis, 05 Maret 2015

PROSES PERKARA KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA



Sesuai dengan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Proses penyelesaian perkara kepailitan di Indonesia dilakukan di Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.

Dalam hal wilayah Pengadilan yang berwenang memutus perkara kepailitan, terdapat beberapa hal yang harus diketahui oleh debitor dan kreditor, yaitu:
1.      Permohonan pernyataan pailit diputuskan di Pengadilan di daerah tempat kedudukan hukum debitor.
2.      Apabila debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor.
3.      Dalam hal debitor adalah pesero suatu firma, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut.
4.      Dalam hal debitor tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia.
5.      Dalam hal debitor merupakan badan hukum, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar badan hukum tersebut.
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lambat 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Putusan Pengadilan tersebut wajib memuat:
1.      Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan
2.      Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.


Putusan atas permohonan pernyataan pailit yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum.
Berdasarkan Pasal 10 UU Kepailitan, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk:
1)    meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor; atau
2)    menunjuk kurator sementara untuk mengawasi:
a)    pengelolaan usaha debitor; dan
b)   pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitor yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.
Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditor. Pembatalan diajukan kepada Pengadilan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Pembatalan hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak lain yang bersangkutan, mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.
Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit, atas usul Hakim Pengawas, permintaan kurator, atau atas permintaan seorang kreditor atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas, dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik ditempatkan di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas. Perintah penahanan dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Dasar Hukum :
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.