PERKAWINAN BEDA
KEWARGANEGARAAN
I.
Dasar
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia
Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan
II.
Latar Belakang
Perkawinan
beda kewarganegaraan atau kebangsaan merupakan hal yang tidak aneh lagi di
Indonesia. Banyak wanita atau pria kebangsaan Indonesia yang menikah dengan
pria atau wanita yang berkebangsaan lain. Menurut Undang-undang perkawinan no.1
tahun 1974 pernikahan campuran adalah pernikahan antara 2 orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan , karena perbedaan kewarganegaraan
dan salah satu pihak berkewarga negaraan Indonesia.
Penentuan
sistem kewarganeagaraan yang dianut di dunia ada dua yaitu (Ius sanguinis)
kewarganegaraa tunggal yang berdasarkan asas keturunan dan (Ius soli) yang
berdasarkan tempat kelahiran. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan Bipatrida
atau kewarganegaraan yang ganda dan apatrida yaitu tanpa kewarganegaraan.
berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah
atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin maka anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya. Kewarganegaraan ganda terbatas yang diberikan kepada anak
hasil dari suatu perkawinan campuran dikarenakan apabila terdapat suatu
perceraian atau putusnya perkawinan karena kematian maka anak tersebut masih
memiliki status kewarganegaraan, sehingga orang tuanya tidak perlu lagi memelihara
anak asing. Jadi, Undang–undang baru ini lebih memberikan perlindungan, dan
status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dari “ perkawinan campur” juga jadi
lebih jelas.
III.
Pembahasan
Banyak hal
yang harus kita pahami mengenai perkawinan beda kewarganegaraan atau yang biasa
disebut perkawinan campuran. Disini saya akan mengkaji perkawinan beda
kewarganegaraan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Ketertarikan
membahas hal ini adalah banyaknya rekan-rekan ataupun saudara yang menanyakan
mengenai prosedur perkawinan beda kewarganegaraan atau bagaimana status anak
secara hukum yang diakuin di indonesia.
Apakah Pengertian perkawinan campuran itu?
Menurut
Pasal 57 UU Perkawinan, yang dimaksud dengan Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Jadi, Perkawinan seorang warga negara Indonesia (WNI), dengan warga negara
asing (WNA) merupakan perkawinan campuran. Namun, apabila perkawinan
dilakukan antara dua orang warga negara Indonesia yang berbeda agama, bukan
merupakan perkawinan campuran.
Bagaimana dasar hukum perkawinan campuran Di
Indonesia?
Perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dasar hukumnya adalah Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan (pasal 59 ayat 1). Di dalam pasal 60
UU menyebutkan bahwa Perkawinan campuran tidak dapat dilaksanakan sebelum
terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh pihak
masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut
telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan
perkawinan campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa
syarat-syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk
memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang berkepentingan,
Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat
keterangan itu beralasan atau tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan
tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan tersebut.
Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan
lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.
Bagaimana apabila perkawinan campuran tersebut dilangsungkan
di luar Indonesia?
Perkawinan
yang dilangsungkan di luar Indonesia antara seorang WNI dengan seorang WNA
adalah sah bilamana dilangsungkan menurut hukum yang berlaku di negara di mana
perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana diatur dalam
pasal 56 ayat 1 yang berbunyi:
“Perkawinan di Indonesia
antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia
dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku
di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia
tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini”
Retno
S. Darussalam, S.H. di dalam klinik hukumonline menyatakan, bila perkawinan
campuran akan dilakukan di luar Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan
mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan
pada institusi Catatan Sipil setempat. Selama para pihak telah melaksanakan
pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara di
mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah dengan
segala akibat hukumnya. Akibat hukum di sini, misalnya status mengenai anak, harta
perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri bila perkawinan berakhir
karena perceraian dan/atau sebagainya. Namun, untuk sahnya
perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri tersebut menurut hukum Indonesia
harus dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Bagaimana apabila melewati dari waktu yang
telah ditetapkan?
Apabila
lewat dari waktu yang ditetapkan maka harus melalui Pengadilan Negeri sesuai
dengan domisili yang bersangkutan dan akan dikenai sanksi denda sesuai dengan
Peraturan Daerah setempat juncto pasal 107 Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
yang berbunyi:
1. Denda administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2), Pasal 105 ayat (2) dan Pasal 106
diatur dalam Peraturan Daerah.
2. Penetapan besaran denda
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan memperhatikan
Ketentuan Undang-Undang dan kondisi masyarakat di daerah masing-masing.
3. Denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan daerah Kabupaten/Kota,
dan bagi Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan penerimaan daerah Provinsi.”
Bagaimana dampak dari perkawinan campuran?
Menurut
artikel di dalam www.lbhmawarsaron.com, dampak dari perkawinan campuran ini
adalah mengenai status kewarganegaraan dari perempuan WNI maupun anak-anak yang
lahir kemudian hari. Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan) dinyatakan: “Perempuan Warga Negara
Indonesia yang kawin dengan laki-laki warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti Kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan
tersebut”.
Namun
bagi perempuan WNI yang masih ingin memegang Kewarganegaraan Indonesia-nya,
Pasal 26 (3) UU menyatakan: ”Perempuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau laki-laki sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) jika ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia dapat mengajukan surat
pernyataan mengenai keinginannya kepada Pejabat atau Perwakilan Republik
Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal perempuan atau laki-laki
tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengakibatkan kewarganegaraan ganda”.
Sehingga
perempuan WNI yang ingin mempertahankan Kewarganegaraannya dapat mengajukan
Surat Pernyataan keinginan tetap berkewarganegaraan Indonesia kepada Pejabat
atau Perwakilan Republik Indonesia yang berwenang di tempat tinggal pihak suami
WNA. Surat pernyataan tersebut diajukan perempuan WNI setelah tiga tahun sejak
tanggal perkawinan berlangsung [pasal 26 ayat (4) UU Kewarganegaraan].
Perlu
diperhatikan bahwa pengajuan tersebut tidak boleh mengakibatkan WNI menjadi
berkewarganegaraan ganda (bipatride). WNI tersebut harus melepaskan status
kewarganegaraan yang didapatkan dari perkawinan campuran tersebut, barulah
kemudian WNI dapat mengajukan Surat Pernyataan keinginan tetap
berkewarganegaraan Indonesia.
Bagaimana status anak kewarganegaraan anak yang
lahir dari perkawinan campuran?
Menurut UU
Kewarganegaraan Baru
1.
Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang
kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal.
Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
a)
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan
negara tempat kelahiran.
b)
Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah
asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat
kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
c)
Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan
satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d)
Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang
ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun
tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada
anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian. Mengenai hilangnya
kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila
anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis
menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2.
Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan
Campuran
Berdasarkan
UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA,
maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI,
sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin
maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus
disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau
setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji
dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki
potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan
pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan
negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang
lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada
pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan
status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana
bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara
yang lain. Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia,
terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang
belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut.
Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti
hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi
pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat
materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974),
namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal
tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut
yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata
internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat
karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang
bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli
hukum perdata internasional.
3.
Kritisi terhadap UU Kewarganegaraan yang baru
Walaupun
banyak menuai pujian, lahirnya UU baru ini juga masih menuai kritik dari
berbagai pihak. Salah satu pujian sekaligus kritik yang terkait dengan status
kewarganegaraan anak perkawinan campuran datang dari KPC Melati (organisasi
para istri warga negara asing).
“Ketua KPC
Melati Enggi Holt mengatakan, Undang-Undang Kewarganegaraan menjamin kewarganegaraan
anak hasil perkawinan antar bangsa. Enggi memuji kerja DPR yang mengakomodasi
prinsip dwi kewarganegaraan, seperti mereka usulkan, dan menilai masuknya
prinsip ini ke UU yang baru merupakan langkah maju. Sebab selama ini, anak
hasil perkawinan campur selalu mengikuti kewarganegaraan bapak mereka. Hanya
saja KPC Melati menyayangkan aturan warga negara ganda bagi anak hasil
perkawinan campur hanya terbatas hingga si anak berusia 18 tahun. Padahal KPC
Melati berharap aturan tersebut bisa berlaku sepanjang hayat si anak.
Penulis
kurang setuju dengan kritik yang disampaikan oleh KPC Melati tersebut. Menurut
hemat penulis, kewarganegaraan ganda sepanjang hayat akan menimbulkan kerancuan
dalam menentukan hukum yang mengatur status personal seseorang. Karena begitu
seseorang mencapat taraf dewasa, ia akan banyak melakukan perbuatan hukum,
dimana dalam setiap perbuatan hukum tersebut, untuk hal-hal yang terkait dengan
status personalnya akan diatur dengan hukum nasionalnya, maka akan
membingungkan bila hukum nasional nya ada dua, apalagi bila hukum yang satu
bertentangan dengan hukum yang lain. Sebagai contoh dapat dianalogikan sebagai
berikut : “Joko, pemegang kewarganegaraan ganda, Indonesia dan Belanda, ia
hendak melakukan pernikahan sesama jenis. Menurut hukum Indonesia hal tersebut
dilarang dan melanggar ketertiban hukum, sedangkan menurut hukum Belanda hal
tersebut diperbolehkan. Maka akan timbul kerancuan hukum mana yang harus
diikutinya dalam hal pemenuhan syarat materiil perkawinan khususnya.”
Terkait
dengan persoalan status anak, penulis cenderung mengkritisi pasal 6 UU
Kewarganegaraan yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan
setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah. Bagaimana bila anak tersebut perlu
sekali melakukan pemilihan kewarganegaraan sebelum menikah, karena sangat
terkait dengan penentuan hukum untuk status personalnya, karena pengaturan
perkawinan menurut ketentuan negara yang satu ternyata bertentangan dengan
ketentuan negara yang lain. Seharusnya bila memang pernikahan itu membutuhkan
suatu penentuan status personal yang jelas, maka anak diperbolehkan untuk
memilih kewarganegaraannya sebelum pernikahan itu dilangsungkan. Hal ini
penting untuk mengindari penyelundupan hukum, dan menghindari terjadinya
pelanggaran ketertiban umum yang berlaku di suatu negara.
Anak dari perkawinan
campuran bisa memiliki status kewarganegaraan ganda. Menurut Dinna Sabriani di
dalam artikel tanya jawab klinik hukumonline, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Kemenhukham) mempermudah proses penyampaian pernyataan memilih
kewarganegaraan bagi anak yang memiliki kewarganegaraan ganda. Anak yang lahir
dari pasangan berbeda warga negara, salah satunya, WNI, bisa memiliki
kewarganegaraan ganda hingga berusia 18 tahun. Paling lambat tiga tahun setelah
mencapai usia 18 tahun atau sudah kawin, si anak harus menyatakan memilih
kewarganegaraannya. Mau pilih WNI atau menjadi warga negara asing, negara asal
ayah atau ibunya. Lewat Peraturan Menhukham No. M.HH-19.A.H.10.01 Tahun 2011,
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menegaskan pernyataan memilih
kewarganegaraan dapat dilakukan bukan hanya di Kementerian Hukum dan HAM,
tetapi juga di kantor-kantor wilayah keimigrasian yang tersebar di wilayah
Indonesia. Bahkan, pernyataan memilih dapat disampaikan di luar negeri, lewat
kantor perwakilan Indonesia atau di tempat lain yang ditentukan oleh Menteri.
Kantor perwakilan Indonesia yang punya kewenangan adalah kantor yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal anak. Jika memilih menjadi WNI, si anak harus
mengajukan pernyataan memilih yang formulirnya tersedia di kantor-kantor
imigrasi. Jika si anak memilih WNI atau affidavitnya dicabut maka ia berhak
menyandang status WNI, yang ditetapkan lewat Surat Keputusan Menteri.
Ada dua kategori anak yang
harus memilih status kewarganegaraan. Batasannya adalah pengesahan UU No 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
1) Anak yang lahir sebelum 1
Agustus 2006, adalah mereka yang sudah mengantongi Surat Keputusan Menhukham
tentang kewarganegaraan.
2) Anak yang lahir sesudah 1
Agustus 2006, yang memiliki affidavit.
Dalam konteks ini, affidavit
adalah surat keimigrasian yang dilekatkan atau disatukan pada paspor asing yang
memuat keterangan sebagai anak berkewarganegaraan ganda. Pemegang affidavit
mendapatkan fasilitas keimigrasian saat keluar masuk Indonesia.
Jika anak berkewarganegaraan
ganda memilih menjadi Warga Negara Asing (WNA), maka pernyataan itu harus
disampaikan kepada pejabat atau perwakilan Indonesia yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal si anak. Jika selama ini anak tersebut sudah
memegang paspor Indonesia, maka paspor itu harus dicabut. Demikian pula jika
anak tersebut memiliki affidavit, maka surat itu harus dicabut pejabat yang
menerima pernyataan memilih menjadi WNA. Sang pejabat kemudian menyampaikannya
ke Ditjen Imigrasi. Petugas akan memutakhirkan data sistem informasi
keimigrasian.
Bagi perkawinan campuran
yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan di kantor Catatan Sipil
paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti
perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda
di Indonesia (pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).
IV. Kesimpulan
Anak adalah subjek hukum
yang belum cakap melakukan perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh
orang tua atau walinya yang memiliki kecakapan. Pengaturan status hukum anak
hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi
pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU
baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan
campuran.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
UU Kewarganegaraan yang baru ini menuai pujian dan juga kritik, termasuk terkait dengan status anak. Penulis juga menganalogikan sejumlah potensi masalah yang bisa timbul dari kewarganegaraan ganda pada anak. Seiring berkembangnya zaman dan sistem hukum, UU Kewarganegaraan yang baru ini penerapannya semoga dapat terus dikritisi oleh para ahli hukum perdata internasional, terutama untuk mengantisipasi potensi masalah.
By.
EDU KALINGGA