“Teleconference
means any testimony or statement taken in the witness's physical absence by
using technical means of transmission, at long distance and in actual time,
either of sound or animated images “
Salah
satu alat bukti yang diatur dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (pasal 185 ayat (1) KUHAP). Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 butir 27
KUHAP maka yang harus diterangkan oleh saksi dalam sidang adalah :
a. apa
yang saksi lihat sendiri;
b. apa
yang saksi dengar sendiri ; dan
c. apa
yang saksi alami sendiri
Namun
faktanya sekarang keterangan saksi telah mengalami perkembangan, seiring dengan
berkembangnya pengetahuan masyarakatan di bidang teknologi komunikasi dan
informasi saat ini, dalam praktek peradilan pidana keterangan saksi tidak lagi
diberikan secara langsung (fisik) harus dipersidangan untuk memberikan
kesaksiannya. Dewasa ini dalam dunia peradilan Indonesia telah diperkenalkan
cara pemeriksaan saksi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang
dikenal dengan istilah teleconference.
Padahal
KUHAP tidak mengenal bukti-bukti elektronik maupun
ketentuan-ketentuan tentang prosedur pemeriksaan saksi
lewat sarana teknologi informasi (teleconference),
seperti yang pernah terjadi dalam sidang perkara pidana dengan terdakwa Rahardi Ramelan di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa saksi
mantan Presiden Indonesia B.J. Habibi dengan menggunkan teleconference. Prosedur
pemeriksaan memakai sarana teknologi dengan cara teleconference tersebut,
baru pertama kali terjadi dan diperaktekan dalam sejarah peradilan Indonesia.
Setelah
pemberian kesaksian melalui teleconference yang
dilakukan oleh B.J. Habibie, selanjutnya giliran saksi-saksi kasus pelanggaran
HAM berat di Timor-Timur yang meminta PN. Jakarta
Pusat untuk mengambil kesaksian mereka secara teleconference demi
alasan keamanan dan efisiensi waktu. PN. Jakarta Pusat dengan berbagai
pertimbangan itu akhirnya mengabulkan permintaan mereka untuk mengambil
kesaksian dari saksi-saksi tersebut secara teleconference.
Kesaksian teleconference tersebut dilaksanakan di kota
Dili, sementara terdakwa duduk
di kursi pesakitan PN. Jakarta Pusat.
Begitu
pula dengan persidangan Abu Bakar Ba’asyir, terdakwa kasus rencana pengeboman
beberapa gereja di malam Natal tahun 2000 dan rencana pembunuhan kepada
Megawati yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden. Saksi-saksi
yang akan didengarkan kesaksiannya dalam persidangan tersebut berada di Singapura
dan status mereka adalah tahanan pihak kepolisian negara Singapura. Tidak
gampang untuk menghadirkan Faiz Bafana dan Ja’far bin Misrooki ke ruang
persidangan untuk didengarkan keterangannya sebagai saksi mengingat statusnya
tersebut. Maka dari itu digunakanlah media teleconferenceuntuk
memberikan kesaksian pada persidangan Abu Bakar Ba’asyir. Para saksi memberikan
keterangannya dari bekas gedung Kementerian
Dalam Negeri Singapura kepada sidang yang digelar di PN. Jakarta Pusat.
Pemeriksaan
saksi jarak jauh (teleconference) untuk di Bali sendiri juga
pernah dilakukan di Pengadilan Negeri Denpasar dalam kasus terorisme Bom Bali yang terdakwanya adalah Ali Gufron alias Muklas alias Sofwan yang
mengahdirkan saksi Wan
Min bin Wan Matematika
yang berada di Malaysia yang kesaksiannya diberikan dari jarak jauh secarateleconference.
Pada
tahun 2011 ini pemeriksaan saksi melalui teleconference kembali
diperaktekan dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir terhadap 16 saksi yang akan memberi
kesaksian, berdasarkan Surat Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor :
148 / PEN.PID /2011 / PN.Jkt.Sel. tanggal 10 Maret 2011, yang pada pokoknya mengabulkan
permohonan pemeriksaan saksi secara teleconference atas 16 saksi
tersebut dengan dasar dan argumentasi sebagai berikut:
1. Pasal
33 jo. Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 15 tahun. 2003 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 tahun 2002 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme menjadi Undang-Undang
2. Pasal
2 jo. Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara
Tindak Pidana Terorisme.
3. Pasal
9 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Kesaksian yang disampaikan melalui media teleconference seperti
contoh yang ada merupakan langkah yang besar dan baru di dalam dunia hukum,
khususnya hukum acara di Indonesia.
Namun tidak semua permohonan pemeriksaan saksi dapat
dilakukan dan diterima oleh Pengadilan, seperti kasus Schapelle Leigh Corby
yang permohonan untuk pemeriksaan melaluiteleconference atau
wawancara jarak jauh tidak dapat diterima padahal penasehat hukum Corby, Erwin
Siregar mendalilkan bahwa penggunaan teleconference itu
merupakan instrumen untuk mencari kebenaran materil. Akan tetapi Mahkamah Agung
tidak menerima pemeriksaan saksi melalui teleconference, dengan
dalil bahwa dalam sistem hukum civil law, yurisprudensi bersifat
persuasif.
“Sehingga tak ada
kewajiban bagi hakim di Indoensia
menggunakan teleconference dan
bukan pula merupakan keharusan menurut hukum acarapidana yang berlaku
di Indonesia untuk menggunakan teleconference dalam
proses pemeriksaaan saksi”.
Memang jika dikaitkan dengan KUHAP sepintas pemeriksaan saksi melalui
teleconference bertentangan dengan ketentuan pasal 160 ayat
(1) dan pasal 167 ayat (1) KUHAP. Pada ketentuan pasal
160 ayat (1) huruf a KUHAP menyebutkan
“saksi di panggil
ke ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang
sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut
umum, terdakwa atau penasehat hukum terdakwa”.
Kemudian berdasarkan ketentuan pasal 167 ayat (1) KUHAP,
“setelah saksi
memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk
meninggalkannya”.
Sehingga
berdasarkan ketentuan pasal tersebut, kehadiran seorang saksi secara fisik
dituntut untuk hadir dan memberi kesaksian dalam persidangan.
Akan tetapi jika kita mencermati kembali
ketentuan pasal 185 ayat (1) KUHAP, secara tegas menyatakan bahwa
“keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di depan
sidang pengadilan”. Sehingga kata menyatakan di depan sidang disini menjadi
tidak jelas (abscur), oleh karena KUHAP sendiri tidak menjelaskan
atau menegaskan dalam memberikan keterangan di depan sidang saksi harus hadir
secara langsung (fisik) ke persidangan untuk memberikan keterangan. Di kalangan
praktisi hukum kalimat yang menyatakan “keterangan saksi dinyatakan di depan
persidangan” menimbulkan celah untuk ditafsirkan, terlebih celah ini
secara eksplisit termuat dalam ketentuan pasal 9
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak harus
dihadirkan ke pengadilan, yaitu :
1. Saksi
diperbolehkan memberi keterangan secara tertulis di hadapan pejabat seperti
notaris, hakim, atau camat.
2. Keterangan
saksi dapat diperiksa lewat teleconference.
3. Pemeriksaannya
seperti mistery guest, yang memberikan keterangan dalam ruangan
khusus.
Selain itu keterangan saksi melalui sarana teleconference telah
memenuhi ketentuan pasal 185 ayat (1) KUHAP yang pada pokoknya
menyatakan “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di depan sidang pengadilan”, dimana keterangan saksi secara teleconference juga
dinyatakan di depan persidangan akan tetapi tidak secara langsung (fisik) hadir
dalam persidangan. Dari ketentuan tersebut, memang secara tekstual tidak
dituntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang sidang. Akan tetapi
pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP, pada intinya mengatur bahwa
kehadiran fisik seorang saksi adalah mutlak. Namun kenyataannya untuk
mencari dan menegakan kebenaraan materiil yang berujung pada keadilan terhadap
hal yang tekstual tersebut, dalam praktik sedikit ditinggalkan.
Pemikirkan mengenai pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa
sejatinya telah ada jauh sebelumnya, hal ini terbukti dari putusan Mahkamah
Agung RI Nomor : 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan kaidah hukum : “keterangan saksi yang tidak dapat hadir di persidangan
karena suatu halangan yang sah pada dasarnya tetap di sumpah. Dan keterangannya tersebut sama nilaianya dengan
kesaksian di bawah sumpah”.
Aspek ini sebenarnya harus dilakukan di dunia peradilan
di Indonesia apabila tidak ingin di pandang negatif oleh masyarakat. Dengan
dasar yuridis ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Sehingga dalam menggali, mengikuti, memahami dan mengejar
kebenaraan materiil dalam hukum pidana maka aspek formal hendaknya ditinggalkan
secara selektif.
Salah satu perubahan yang fundamental di dalam KUHAP
adalah telah diperkenalkannya cara pemeriksaan saksi dari jarak jauh dengan
memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal dengan teleconference.
Teleconference yaitu hubungan jarak jauh antara orang satu dengan yang lain, dimana
kita dapat mendengar suara dan gambar lawan bicara kita secara real
time.
Menurut kamus istilah teknologi informasi, teleconference adalah
pertemuan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang dilakukan melewati
telefon atau koneksi jaringan. Pertemuan tersebut dapat hanya menggunakan suara (audio
conference) atau menggunakan video (video conference) yang
memungkinkan peserta konfrensi saling melihat.
Teleconference:
the live exchange of information among persons and machines remote from one
anither but linked by a telecommunications system. (teleconfrensi
: pertukaran informasi yang diambil langsung diantara orang-orang dan
mesin-mesin yang jauh satu sama lain tetapi dihubungkan dengan suatu sistem
telecomunikasi-telecomunikasi).
Selanjutnya
pengertian video teleconference : 1. Teleconference that includes video
communications. 2. Pertaining to a two way electronic communications system
that permits two or more persons in different locations to engage in the
equivalent of face to face audio ang video communications. (teleconfrensi
video: 1. Sebuah telekonfrensi yang memasukkan komunikasi-komunikasi video. 2.
Yang menyinggung mengenai suatu sitem komunikasi elektronik dua arah yang
memberikan dua atau lebih orang di tempat-tempat yang berbeda untuk menggunakan
komunikasi-komunikasi audio dan video yang sama dengan komunikasi yang saling
berhadap-hadapan).
Menurut Husna Amalia video conference yang
juga dikenal dengan video teleconference adalah “suatu
teknologi telekomunikasi interaktif yang memungkinkan dua lokasi
atau lebih untuk berinteraksi lewat video dan audio secara
simultan”.
Teleconference juga dapat diartikan sebagai pertemuan yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih yang dilakukan melewati telepone atau koneksi jaringan. Pertemuan
tersebut hanya dapat menggunakan suara (audio conference) atau
menggunakan video (video conference) yang memungkinkan peserta
konferensi saling melihat secara bersamaan. Secara harfiah teleconference juga
dapat diartikan konferensi, artinya pertemuan jarak jauh antara beberapa orang
yang fisiknya berada pada lokasi yang berbeda
secara geografis. pembicaraan bisa dilakukan secara realtime dan interaktif dengan
dukungan infrastruktur jaringan serta
perangkat multimedia.
Realtime yaitu waktu
nyata, waktu sesungguhnya, istilah yang digunakan untuk menunjukkan suatu aksi
dapat dipantau pada waktu aksi tersebut terjadi. Pada konsepteleconference diartikan
bahwa setiap aksi yang disorot pada media merupakan
kejadian pada saat yang sama atau dalam istilah lain yaitu siaran langsung (live). Interaktif yaitu
kemampuan sistem / program yang bisa
menanyakan sesuatu pada pengguna (mengadakan tanya jawab), kemudian mengambil
tindakan berdasarkan respon tersebut. Infrastruktur yaitu
prasarana yang digunakan.
Multimedia yaitu
berbagai media. Istilah bagi transmisi data dan manipulasi semua bentuk informasi, baik berbentuk kata-kata, gambar, video, musik, angka, atau tulisan
tangan.
Macam-macam teleconference :
a. audio conference, di mana
orang-orang tersebut bisa berbicara seperti dalam pembicaraan telepon, namun
ini melibatkan lebih dari dua orang.
b. video conference yang
memungkinkan orang-orang tersebut saling melihat melalui layar monitor yang
tersedia. Perangkat yang dibutuhkan pun tergantung dari conference apa
yang dilakukan.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut diatas, dapat
penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan saksi secara teleconference adalah
pembuktian dengan saksi dimana keberdaan saksi tidak dalam sidang pengadilan,
tetapi keberadaan saksi di luar sidang pengadilan. Tetapi saksi tersebut tetap
melakukan kesaksian dengan menggunakan alat komunikasi jarak jauh (teleconference).
Ciri spesifik dari teleconference yang
memiliki nuansa hukum yaitu “pertemuan dimaksud harus memiliki dampak atau
akibat hukum”. Misalkan teleconference yang dilakukan
dalam rangka memberikan suatu keterangan atau kesaksian di pengadilan. Dimana
dalam memberi kesaksian, saksi harus memenuhi ketentuan pasal 160 ayat (3)
KUHAP yaitumengucapkan sumpah
atau janji serta keterangan tersebut diberikan oleh saksi mengenai apa yang saksi lihat
sendiri, saksi dengar sendiri dan saksi alami sendiri serta menyebut alasan
pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27
KUHAP).
Dewasa ini keterangan saksi yang disampaikan di depan
sidang pengadilan mengalami perluasan pengertian yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat di bidang teknologi dan hukum. Terhadap hal ini
(perkembangan teknologi dan hukum) sejatinya peraturan perundang-undangan
kita telah diakomodir dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a.
Pasal 26A
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
menyatakan :
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat
diperoleh dari :
a. alat
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen,
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
b.
Pasal 27, pasal
33, dan pasal 34 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang :
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a. Alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana.
b. Alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
c. Data,
rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan / atau didengar, yang
dapat dekeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik ataupun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas kepada :
(1) Tulisan
suara atau gambar
(2) Peta,
rancangan foto, atau sejenisnya
(3) Huruf,
tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memehaminya.
Pasal 33 : Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang
memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib
diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan
diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses
pemeriksaan perkara.
Pasal 34
ayat (1) : Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh
aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
a. perlindungan
atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b. kerahasiaan
identitas saksi;
c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Pasal 34 ayat (2) : Ketentuan mengenai tata cara
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
c.
Pasal 38
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaiamana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
tahun 2003 :
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucuian uang
berupa :
a. Alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
b. Alat
bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara
elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu, dan
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.
Pasal 1 angka 7 : Dokumen adalah data, rekaman, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada:
a. tulisan,
suara, atau gambar;
b. peta,
rancangan, foto, atau sejenisnya;
c. huruf,
tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
d.
Pasal 9
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban :
ayat (1) : Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya
berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat
memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut
scdang diperiksa.
ayat
(2) : Saksi
dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya
secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
ayat (3) : Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Menurut joko ketentuan pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, yang menegaskan ada tiga pilihan saksi tak harus dihadirkan ke
pengadilan, yaitu :
1. Saksi diperbolehkan memberi
keterangan secara tertulis di hadapan pejabat seperti notaris, hakim, atau
camat.
2. Keterangan saksi
dapat diperiksa lewat teleconference.
3. Pemeriksaannya seperti mistery
guest, yang memberikan keterangan dalam ruangan khusus.
e.
Pasal 29 dan pasal
30 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang :
Pasal
29 : Alat bukti selain
sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula
berupa :
a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas,
atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :
1) tulisan,
suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
Pasal
30 : Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan
seorang sanksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
f.
Pasal 44
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik :
Pasal 44 : Alat bukti penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah
sebagai berikut:
a. alat
bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan
b. alat
bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3)
Pasal 1 angka 1 : Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI),
surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
Pasal 1 angka 4 : Dokumen Elektronik adalah
setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau
sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer
atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses,
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu memahaminya.
Pasal 5 ayat (1) : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Pasal 5 ayat (2) : Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
Pasal 5 ayat (3) : Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
g.
Pasal 4 huruf c
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM Berat :
Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
h.
Pasal 3
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tatacara
Perlindungan Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara
Terorisme :
Perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh aparat hukum dan aparat
keamanan berupa:
a. perlindungan
atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b. kerahasiaan
identitas saksi;
c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
Selain itu sandaran mengenai prosedur khusus pemeriksaan saksi secarateleconference dalam dunia
Internasional, telah tegas diatur dalam ketentuan pasal 22 Statuta Yugoslavia 1993, pasal 21 Statuta Rwanda
1995, dan pasal 68 angka 2 Statuta Roma 1998yang intinya menyatakan bahwa prosedur
khusus pemeriksaan demi melindungi saksi dan/atau korban, adalah dengan melakukan persidangan in camera atau
memberikan keterangan dengan sarana elektronik atau alat-alat khusus
lainnya. Untuk lebih
jelasnya, berikut penulis uraikan isi ketentuan pasal tersebut diatas :
Ketentuan pasal 22 Statuta Yugoslavia 1993 menyebutkan
bahwa : “The International
Tribunal shall provide in its rules of procedure and evidence for the
protection of victims and witnesses. Such protection measures shall include,
but shall not be limited to, the conduct of in camera proceedings and the
protection of the victim's identity.” (Pengadilan Internasional wajib memberikan dalam aturan
prosedur dan bukti untuk perlindungan korban dan saksi. Tindakan perlindungan
tersebut termasuk, namun tidak terbatas pada, perilaku dalam proses kamera dan
perlindungan indentitas korban).
Ketentuan pasal 21 Statuta Rwanda 1995 menyebutkan hal yang sama, yaitu
: “The International Tribunal for Rwanda shall provide in its rules of
procedure and evidence for the protection of victims and witnesses. Such
protection measures shall include, but shall not be liminted to, the conduct of
in camera proceedings and the protection of the victim’s identity.” (Pengadilan International untuk Rwanda akan memberikan
dalam aturan tata kerjanya dan bukti untuk perlindungan korban dan saksi.
Tindakan perlindungan tersebut termasuk, namun tidak akan terbatas pada,
prilaku dalam proses kamera dan perlindungan identitas korban).
Senada dengan pasal-pasal yang telah penulis
uraikan sebelumnya, ketentuan pasal 68 angka 2 dalam Statuta Roma 1998 juga
mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban, yang dijelaskan sebagai
berikut :
As
an exception to the principle of public hearings provaide for in article 67,
the Chambers of the court may, to protect victims and witnesses or an accused,
conduct any part of the procedings in camera or allow the presentation of
evidence by electronic or other special means. In particular, such measures
shall be imlpemented in the case of a victim of sexual violence or a child who
is a victimor a witness, unless otherwise ordered by the court, having regard
to all the circumstances, particularly the views of the victim or witnees.
(Sebagai
pengecualian prinsip audiensin publik diatur dalam pasal 67, Chambers dari
Pengadilan dapat, untuk melindungi korban dan saksi atau Terdakwa, melakukan
setiap bagian dari proses kamera atau memungkinkan penyajian bukti dengan
khusus elektronik atau lainnya berarti. Secara khusus, langkah-langkah tersebut
harus diterapkan dalam kasus korban kekerasan seksual atau seorang anak yang
menjadi korban atau saksi, kecuali bila diperintah oleh Pengadilan, setelah
mempertimbangkan semua keadaan, khususnya pandangan korban dan saksi).
Secara faktual pemeriksaan secara teleconference di
Indonesia pernah di praktekan sebanyak 5 kali, dalam persidangan Rahardi Ramelan, Pengadilan HAM Ad
Hoc Timor – Timur, persidangan Ali Gufron Alias Muklas, serta
persidangan Abu Bakar Ba'asyir.
1. Dalam Persidangan rahardi Ramelan di dasarkan atas Surat
Penetapan Nomor :354/Pid.B/2002/PN. Jakarta Selatan dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut :
a. Bahwa pemeriksaan atas perkara terdakwa telah
sampai pada pemeriksaan saksi-saksi yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran
materiil ;
b. Bahwa salah satu saksi yang tercantum
dalam berita Acara Pemeriksaan penyidik adalah saksi B.J. Habibie yang hingga
persidangan hari ini berada dan atau berdomisili di kota Hamburg Jerman
sehingga yang bersangkutan tidak dapat hadir dimuka persidangan untuk
memberikan keterangan sebagai saksi yang dikarenakan keluarga / istrinya yang
bernama Nyonya Haris Habibie dalam keadaan sedang
menderita sakit yang tidak dapat ditinggalkan ;
c. Bahwa keterangan saksi B.J. Habibie menurut
majelis hakim sangat perlu di dengar untuk kepentingan pemeriksaan terdakwa
dalam rangka mencari kebenaraan materiil ;
d. Bahwa berkenaan dengan adanya kendala
keberadaan saksi B.J. Habibie di Jerman, sedangkan persidangan pengadilan
dilaksanakan di Jakarta majelis hakim melihat salah satu solusinya adalah
dengan menggunakan / memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada saat ini ;
e. Bahwa majelis hakim berpendapat keterangan
saksi B.J. Habibie tetap dipandang perlu untuk didengar secara langsung dimuka
persidangan dengan memanfaatkanteleconference ;
f. Bahwa pemanfaatan
teknologi teleconference selain dimaksudkan untuk mempermudah
mendengar keterangan saksi B.J. habibie dimaksudkan juga agar masyarakat luas
dapat mengikuti pemeriksaan perkara terdakwa secara transparan ;
g. Bahwa dalam rangka pelaksanaan persidangan jarak
jauh melalui tehnik dan saranavideo teleconference tersebut,
diharapkan peran serta dari jaksa penuntut umum untuk memberitahukan saksi B.J.
Habibie dan melakukan approach dengan konsultan Jenderal
Republik Indonesia di kota Hamburg Jerman sebagai tempat yang ditentukan
majelis hakim untuk persidangan dimaksud ;
h. Bahwa pada saat persidangan
berlangsung saksi B.J. Habibie didampingi oleh seorang Konsultan Jenderal
Republik Indonesia ;
i. Bahwa pemeriksaan saksi B.J. Habibie yang
berada di Kantor Konsultan Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan proses persidangan yang berlangsung
di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ;
j. Bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, majelis hakim memandang perlu untuk
menetapkan hari persidangan dalam rangkan pemeriksaan saksi B.J. Habibie dengan
memanfaatkan teknologi teleconference sebagaimana tersebut
pada bagian akhir penetapan ini ;
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim menetapkan
:
- Menyatakan
pemeriksaan saksi B.J. Habibie dalam perkara pidana No. 354/Pid.B/2002/PN.
Jakarta Selatan, atas nama terdakwa Rahardi Ramelan, dilakukan dengan cara
persidangan jarak jauh dengan tehnik teleconference ;
- Menetapkan tempat pemeriksaan saksi di Kantor Konsulat
Jenderal Republik Indonesia di Hamburg Jerman ;
- Memerintahkan Jaksa
Penuntut Umum mengahadirkan saksi B.J. Habibie di Kontor Konsulat Jenderal
Republik Indonesia di kota Hamburg Jerman, pada hari selasa, tanggal 2 Juli
2002 pikil 09.00 waktu Hamburg Jerman dan atau pukul 14.00 WIB, guna didengar
kesaksiannya dalam perkara Terdakwa Rahardi Ramelan, dengan didampingi staf
Konsulat Jenderal Republik Indonesia setempat.
2. Dalam pengadilan HAM Ad Hoc Timor-Timur,
dalam persidangan ini pemeriksaan saksi secara virtual didasarkan atas Surat Penetapan No. 08/Pid.HAM Ad Hoc 2002/PN Jakarta Pusat tertanggal 3 Desember
2002 untuk menggelar sidang melalui teleconferencedalam pemeriksaan
sejumlah saksi kasus pelanggaran berat HAM Timor-Timur (Timtim). Dalam
penetapannya, Andi Samsan Nganro menegaskan, sebagai berikut :
a.
Bahwa Majelis
Hakim memandang perlu untuk mendengarkan keterangan sejumlah saksi korban serta
saksi Uskup Belo guna memperoleh pembuktian materiil yang akurat.
b.
Bahwa dasar
pelaksanaaan pemeriksaan saksi dengan teleconference juga
mengacu pada yurisprudensi penggunaan teleconference pada
pemeriksaan B.J. Habibie, yaitu pada kasus dugaan penyalahgunaan dana non
budgeter bulog sebesar Rp 62.900.000.000,00 (Enam puluh dua milyar sembilan
ratus juta rupiah) oleh Terdakwa mantan Menperindag atau Kabulog Rahardi
Ramelan, pada tanggal 2 Juli 2002.
c.
Bahwa dasar
pelaksanaaan pemeriksaan saksi dengan teleconference didasarkan
pula pada PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat membuka peluang bagi
pemeriksaan saksi tanpa kehadiran di persidangan secara langsung. Pengaturan
tersebut terletak pada Pasal 4 huruf c Bab II tentang bentuk-bentuk
perlindungan pada PP No. 2 Tahun 2002 yaitu : “perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 meliputi pemberian keterangan pada saat pemeriksaan sidang
pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.”
d.
Bahwa sidang teleconference pengadilan
HAM Ad Hoc di Jakarta, dilaksanakan Senin 16 Desember 2002 dalam perkara
pelanggaran HAM berat Timor Leste atas Terdakwa mantan Danrem 164 / Wira Dharma
Brigjen Noer Muis.
3. Dalam persidangan
kasus Makar atasnama Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir, pemeriksaan saksi secara
teleconference di dasarkan atas Surat Penetapan bernomor :
547/Pid.B/2003/PN. Jkt. Pst. tertanggal 19
juni 2003, dengan pertimbangan hukumnya sebagai berikut :
1. Untuk mewujudkan
prinsip penyelenggaraan peradilan yang baik dan jujur ;
2. Bahwa ternyata dalam Berita Acara Pemeriksaan ada
saksi-saksi berada di Malaysia dan Singapura ;
3. Bahwa keterangan saksi-saksi yang berada di
kedua Negara tersebut perlu didengar dan diuji kebenarannya untuk mendapatkan
kebenaran materiil ;
4. Bahwa jaksa Penuntut Umum
mengajukan saksi dengan menggunakan mediateleconference dengan
ketentuan sebagai berikut :
a. Demi objektifitas,
pemeriksaan saksi-saksi akan dihadiri dan disaksikan oleh wakil / utusan PN.
Jakarta Pusat, Jaksa Penuntut Umum, Penasehat Hukum Terdakwa dan utusan / wakil
dari keduataan besar kedua negara ;
b. Tempat yang
akan dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan saksi akan disesuaikan dengan
aturan hukum dan diserahkan pada kebijakan kedua negara.
4. Teleconference dalam
persidangan Ali Gufron Alias Muklas, polarisasi pemikiran majelishakim Pengadilan
Negeri Denpasar yang menyidangkan kasus atas nama terdakwa Ali Gufron Alias Muklas menggelar persidangan secara teleconference pada
pemeriksaan saksi Wan Min Bin Wan Mat yang berada di Malaysia. Didasarkan atas argumen sebagai berikut :
a. Bahwa memang benar teleconference tidak
diatur dalam KUHAP karena pembuat Undang-Undang pada waktu itu tentunya tidak
menyadari adanya revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian
pesat sehingga KUHAP tidak mampu mengantisipasinya. Apabila mengacu secara kaku
/ formal legalistic memang teleconference tidak sesuai dengan
ketentuan pasal 160 ayat (1) huruf a dan pasal 167 KUHAP yang menghendaki
kehadiran saksi secara fisik di ruang sidang. Akan tetapi, Majelis Hakim dengan
tolak ukur ketentuan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004 (sekarang diatur
dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
keHakiman) mewajibkan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali,
mengikuti, dan memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana,
aspek formal hendaknya bisa ditinggalkan secara selektif.
b. Bahwa pada
dasarnya KUHAP dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materiil
sehingga teleconference hanyalah sekedar sarana untuk mencari
kebenaran materiil tersebut sehingga apa salahnya apabila dimanfaatkan.
c. Bahwa dalam
persidangan teleconference saksi juga bisa hadir di ruang
sidang secara virtual. Semua pihak boleh juga menguji keterangan saksi dan
keterangannyapun
5. Berdasarkan Surat Penetapan Nomor : 148/PEN.PID/2011/PN.Jkt.Sel. Tanggal 10
Maret 2011, penggunaan
Teleconference dalam perkara peradilan tindak pidana Terorisme atas nama
Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir, kembali dilaksanakan. Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 148/PEN.PID/2011/PN.Jkt.Sel. Tanggal 10 Maret
2011, pada pokoknya mengabulkan permohonan pemeriksaan secara teleconferenceatas
16 saksi tersebut dengan dasar dan argumentasi hakim sebagai berikut:
a. Bahwa dasar hukum pemeriksaan saksi-saksi secara teleconference adalah
sebagai berikut :
- Pasal 33 jo. Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang-Undang No.
15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang
No. 1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme jadi
Undang-Undang ;
- Pasal 2 jo. Pasal 3 huruf c Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap saksi, Penyidik, Penuntut
Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme ;
- Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
b. Bahwa konsekuensi Hukum diakuinya azas kesamaan di depan
Hukum (equality before the law), maka dalam system dan proses
peradilan pidana di Indonesia, selain korban, terhadap saksi juga harus
diberikan jaminan perlindungan hukum.
c. Bahwa perlindungan hukum bagi saksi dan korban didasarkan
pada penghargaan atas harkat dan martabat manusia, agar dapat memberikan rasa
aman dan adil serta kepastian Hukum.
Sejatinya
perkembangan mengenai penyajian teleconference di pengadilan
untuk memeriksa saksi juga terpengaruh dari adanya adagium yang
menyatakan “bahwa hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal”. Sehingga
di perlukan adanya terobosan hukum yang di bentuk oleh hakim, yang merupakan kewajiban bagi hakim itu sendiri untuk selalu menggali
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, untuk memenuhi rasa
keadilan.
Oleh
karena pemeriksaan secara teeleconfrence di Indonesia tidak di
atur dalam KUHAP, melainkan hanya diatur secara tersamar dalam undung-undang
yang secara lex specialist mengatur mengenai perkembangan alat
bukti, sedangkan ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai teleconference terdapat
dalam yurisprudensi. Di Indonesia
sendiriyurisprundesi
tersebut bersifat “Persuasive precedent” atau hanya
sebagai sumber hukum dalam arti formal. Indonesia juga tidak mengenal asas
precedent (bukan
sebagai the binding force of the precedent) tegasnya tidak mengenal stare decisis atau asas stare decisis et quita non movere (yaitu suatu prinsip hukum yang menyatakan bahwa
pengadilan yang lebih rendah harus mengikuti keputusan pengadilan yang lebih
tinggi). Maka
untuk menggunakan/memanfaatkan media teleconference dalam
pemeriksaan di persidangan menjadi sah, majelis hakim perlu mengeluarkan
penetapan secara khusus untuk terlaksananyateleconference. Hal ini
berarti bahwa proses pemberian kesaksian melalui teleconference ini
tidak dapat secara otomatis digunakan sebagai peraturan yang langsung dapat
diterapkan.
Dalam pengertian yuridis, tentang bukti dan alat bukti,
telah dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “bukti adalah sesuatu untuk
meyakinkan kebenaran suatu dalil atau peristiwa,” Alat bukti, “alat pembuktian, bewijs
middle adalah alat-alat yang dipergunakan untuk membuktikan benar atau
tidaknya suatu dalil di muka pengadilan, misalnya: kesaksian,
bukti-bukti tulisan, persangkaan, sumpah dan lain-lain”.
Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat bukti
tersebut dipergunakan, diajukan ataupun dipertahankan, sesuatu hukum acara yang
berlaku. Secara garis besar
pembuktian juga berarti :
- Ketentuan
yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan
kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum
masing-masing terikat pada ketentuan tata cara penilaian alat bukti yang
ditentukanundang-undang.
- Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan
dijatuhkannya dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan Undang-Undang secara“limitatif”, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 184 KUHAP.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the
degree of evidence”keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian
mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok
ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya agar keterangan
seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian, harus dipenuhi aturan ketentuan sebagi berikut :
a. Harus
mengucapkan sumpah atau janji
Menurut pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum memberi
keterangan ia wajib memberikan sumpah atau janji, akan tetapi pada ayat (4)
memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi
memeberikan keterangan. Dengan demikian saat pengucapan sumpah atau janji pada
prinsipnya wajib diucapkan sebelum saksi memberi keterangan (promissoris) namun
dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan maka sumpah atau janji dapat
diucapkan sesudah saksi memberi keterangan (assertoris).Akan tetapi
jika saksi menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alsan yang sah,
saksi tersebut dapat dikenakan panyanderaan yang dilakukan berdasarkan
penetapan hakim ketua sidang paling lama 14 hari (pasal 161 KUHAP).
b. Keterangan saksi
yang dinilai sebagai alat bukti
Tidak semua
keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang
mempunyai nilai ialah keterangan yang ditegaskan dalam pasal 1 angka 27 KUHAP
yaitu
·
yang saksi lihat
sendiri,
·
saksi dengar
sendiri dan bukan saksi hanya mendengar dari orang lain(testimonium de
auditu)
·
dan saksi alami
sendiri,
·
serta menyebut
alasan dari pengetahuannya itu.
c. Keterangan
saksi yang diberikan di sidang pengadilan
Agar keterangan
saksi dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan itu harus dinyatakan di
sidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP,
dengan demikian keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang ia
dengar, ia lihat dan yang ia alami sendiri mengenai suatu peristiwa pidana baru
dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu dinyatakan saksi di
pengadilan.
d. Keterangan seorang
saksi saja dianggap tidak cukup
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 185 ayat (2),
keterangan seorang saksi saja belum dapat diambil sebagai alat bukti
yang cukup untuk membuktikan kesalahanterdakwa atau “unnus testis nullus
testis. Ini berarti jika alat bukti yang dikemukakan penuntut
umum hanya terdiri dari seorang saksi tanpa ditambah dengan keterangan saksi
yang lain atau alat bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak
dapat dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan
dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, memperhatikan uraian diatas
dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh pasal 185 ayat (2),
yaitu:
·
Untuk dapat
membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung
oleh dua orang saksi;
·
Atau saksi
yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal harus dicukupi
atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.
- e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri
Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang beranggapan,
dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan saksi yang banyak itu telah
cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Pendapat yang demikian keliru karena
sekalipun saksi yang dihadirkan dan didengar keterangannya di disidang
pengadilan secara kuantitatif telah melampaui batas minimum pembuktian belum
tentu keterangan mereka secara kualitatif memadai sebagai alat bukti yang sah
untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Hal ini sesuai dengan amanah pasal
185 ayat (4) KUHAP yang menjelaskan bahwa “keterangan beberapa saksi yang
berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya
kejadian atau keadaan tertentu”.
Apabila syarat-syarat sah keterangan saksi tersebut telah
terpenuhi maka keterangan yang telah diberikan oleh seorang saksi itu telah
mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat diakui sebagai alat bukti. Keterangan saksi tersebut akan dijadikan pertimbangan hakim untuk
memberikan putusan atas suatu tindak pidana.
Seperti diatur dalam KUHAP, terdapat beberapa ketentuan
mengenai saksi yang sah menurut hukum sehingga dapat digunakan sebagai alat
bukti. Yang dimaksud dengan kesaksian menurut M. Karjadi dan R. Soesilo yaitu “suatu keterangan
dengan lisan di muka Hakim dengan sumpah tentang hal-hal mengenai
kejadian tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri”.
Jika ketentuan mengenai saksi diatas diterapkan dalam
kesaksian yang diberikan secara teleconference dalam
persidangan yang memanfaatkan media teleconferencepemeriksaannya,
maka dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Keterangan
saksi dimuka sidang pengadilan
Penggunaan teleconference dalam hal ini
telah menyajikan gambar secara detail dan kualitas suara jelas tanpa gangguan (noice), memungkinkan
hakim untuk mengetahui secara langsung sorot mata, roman muka, maupun bahasa
tubuh (gestures) yang ditunjukan oleh seorang saksi di muka
persidangan. Dengan demikian pada prinsipnya kehadiran seorang saksi di muka
persidangan sebagaimana dimaksud secara fisik juga terpenuhi dengan menggunakan teleconference.
b. Dengan disumpah
terlebih dahulu
Sebagaimana ketentuan pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam
memanfaatkan teknologiteleconference tidak jauh berbeda dengan
persidangan biasa, yaitu sebelum memberi keterangan saksi wajib mengucapkan
sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya.
c. Tentang
peristiwa tertentu yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri (Nontestimonium de Auditu).
Seperti halnya di setiap persidangan pidana, bahwa
keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu. Dalam hal ini teleconfernce akan menjadi
alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya.
Selain ketiga ketentuan mengenai saksi yang harus
dipenuhi agar sah menurut hukum, perlu diperhatikan pula asas peradilan yang
cepat, sederhana dan biaya ringan. Sehingga jangan sampai penggunaan teleconference justru
melanggar ketentuan asas dalam peradilan pidana karena besarnya biaya yang
harus dikeluarkan untuk memanfaatkan teknologiteleconference tersebut.
Dalam permeriksaan saksi secara teleconference asas
biaya ringan ini telah terpenuhi, penggunaan media teleconference di
pengadilan tidak lagi bertentangan dengan asas biaya ringan oleh karena
sekarang ini penggunaan teleconferece sudah relatif murah
dengan diperkenalkannya teknik video dua arah. Sehingga dengan terjangkaunya
biaya penyelengaaraan teleconference maka teknologi inipun
dapat digunakan oleh setiap orang yang beracara di persidangan, sejauh dianggap
perlu oleh Majelis Hakim.
Untuk
memperkuat argument penulis diatas, berikut penulis kemukakan pendapat para
pakar hukum mengenai pemeriksaan saksi secara teleconference :
Menurut RM. Sudikno Mertokusumo, pakar hukum
perdata dan hukum acara perdata, beliau berpendapat bahwa “kalau peristiwa kongrit tersebut tidak diatur sama sekali
dalam undang-undang, maka yang harus dipertanyakan apakah peristiwa
konkret itu bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum atau tidak? “Kalau
tidak, untuk apa dilarang.”?. Pendapat ini dikuatkan Muchsan, Mantan Hakim Agung, ia
menyatakan bahwa ”jika suatu hal belum diatur, itu tidak berarti hal tersebut
dilarang. Apalagiteleconference dilakukan demi manfaat dan
kepentingan umum”.
Dan sebagai salah satu penganut paham sosiologis, hakim
Pengadilan Tinggi Jawa Barat, Arsyad Sanusi. Juga turut bersuara, menurutnya ”keterangan saksi melaluiteleconference sama
nilainya dengan saksi yang disumpah. Bahkan, sepanjang yang bersangkutan tidak
menyangkal keterangan saksi lain via teleconference, maka
keterangantelconference tersebut bisa menjadi alat bukti yang sah”. ”Sepanjang tidak ada rekayasa, kebohongan, dan intimidasi
dari berbagai pihak, termasuk dari aparat penegak hukum. Ringkasnya: sepanjang
menjunjung asaz kejujuran, tranparansi, dan berkeadilan, tidak ada masalah
dengan kesaksian via teleconference, walau belum diatur dalam hukum
acara”, lanjut Bambang Sukamto yang melengkapi pendapat Arsyad.
Menurut mantan Menkeh dan HAM, Yusril Ihza Mahendra,
bahwa “keterangan saksi secra teleconference itu bobotnya sama
dengan kesaksian tertulis (affidavit) ataupun keterangan yang
diucapkan di bawah sumpah”.
Sebagai pakar hukum sekaligus penulis buku tentang KUHAP.
Luhut MP Pangaribuan menjelaskan bahwa sejatinya, teleconference bisa
dijadikan alat bukti untuk mencari kebenaran materiil. Menurutnya, tempat
kesaksian tidaklah terlalu penting dalam mencari kebenaran materiil itu. Hukum
acara, seperti juga pasal 184 KUHAP (aturan mengenai keterangan saksi) pada
hakikatnya juga merupakan arahan atau sebagai petunjuk untuk mencari kebenaraan
materiil. Terlebih dalam persidangan teleconference,
saksi juga bisa hadir di ruang sidang secara virtual. Jadi, sebenarnya tak ada
bedanya. Semua pihak juga boleh menguji keterangan dari saksi. Keterangannya
pun bisa didengar oleh semua pihak. Pendapat ini juga diamini oleh Agus
Subekti (Hakim Pengadilan
Negeri Denpasar), yang mengungkapkan bahwa kesaksian secara teleconference adalah merupakan
suatu asas yang berkembang pada era globalisasi seperti saat ini, sehingga
kesaksian secara teleconferencedalam persidangan tidak perlu di
permasalahan / diperdebatkan oleh karena keterangan saksi secara teleconfrece adalah
sama dengan keterangan saksi secara konvensional yang bertujuan untuk mencari
kebenaran materiil (wawancara pada tanggal 20 Oktober
2011).
Namun jika kita menelaah kembali ketentuan pasal 160 ayat
(1) huruf a KUHAP, spintas memang ketentuan tersebut mensyaratkan kehadiran
secara fisik di muka persidangan, akan tetapi kehadiran secara fisik di muka
persidangan dalam hal ini harus diartikan kehadiran fisik keterangan
kesaksiannya. Jadi memperluas pengertian di muka persidangan sebagaimana
disebutkan dalam ayat tersebut. Pemeriksaan saksi secara teleconference juga
termasuk dalam pengertian pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan kepada
saksi atau para saksi.
Penafsiran hukum terhadap beberapa ketentuan yang
menyangkut hukum acara pidana merupakan terobosan yang perlu dilakukan dalam
kaitannya untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri. Hal tersebut diperlukan agar
Hakim tidak terbelenggu dengan hanya bepedoman pada alat-alat bukti yang
konvensional semata, yang akan mengakibatkan suatu ketidak adilan oleh karena
jika Hakim terbelenggu dengan tidak melakukan terobosan hukum serta hanya
berpedoman pada alat-alat bukti yang konvensional maka dipastikan banyak
dakwaan Jaksa Penuntut Umum akan mental, tandas Erly Soelistyarini melengkapi
pendapatnya diatas.
Hadirnya Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Pelanggarah HAM Berat, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Peraturan
Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Tatacara Perlindungan
Terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Terorisme, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban,
merupakan tonggak kemajuan dalam menyikapi pemeriksaan saksi secarateleconference dengan
telah memberikan sedikit solusi atas kekosongan hukum acara pidana.
Akan tetapi kembali lagi bahwa diterima atau tidaknya
suatu alat bukti di persidangan ditentukan oleh hakim. Namun tidak
semua alat bukti yang diterima di dalam persidangan adalah layak di percaya dan
berbobot.
Pengalaman dan analisis hakim merupakan
paduan terbaik yang dapat digunakan untuk menentukan barang bukti mana yang
layak untuk dianggap kridibel. Dalam mengevaluasi penggunaan alat bukti di
dalam persidangan, perhatian perlu difokuskan pada keterkaitan antara alat
bukti tersebut dengan hal yang hendak dibuktikan kebenarannya.
5. SimpulanBerdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai keterangan saksi secara teleconference dalam
pembuktian perkara pidana, sebagai berikut :
a. Bahwa legalitas pembuktian
melalui keterangan saksi secara teleconference adalah legal /
sah menurut hukum sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
·
Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji lebih
dahulu (pasal 160 ayat (3) jo. pasal 185 ayat (7) KUHAP)
·
Keterangan
saksi dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual /teleconference di
muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari pasal 185 ayat (1) KUHAP)
·
Isi keterangan
harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami, serta menyebutkan
alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27 KUHAP)
·
Keterangan saksi
tersebut saling bersesuaian
satu sama lain (pasal 185
ayat (6) KUHAP)
b. Bahwa kekuatan pembuktian (kracht
beweijs) dari kesaksian yang dikemukakan melaluiteleconference,
jika dihubungkan dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam ketentuanpasal 184 KUHAP,
baik secara langsung maupun melalui penafsiran hukum, makakesaksian yang
dikemukakan melalui teleconference dapat digolongkan
sebagai alat bukti keterangan saksi sebagaimana diataur dalam ketentuan pasal
184 ayat (1) KUHAP,sehingga kesaksian yang dikemukakan melalui teleconference ini
adalah sah dan dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian perkara
pidana, sedangkan mengenai kekuatan hukum keterangan saksi secara teleconference, memiliki
kekuatan hukum sama dengan pembuktian pada kasus pidana konvensional
sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.(808hr)
KANTOR HUKUM KALINGGA
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
0818 05887468
2AB48511
kantorhukumkalingga.blogspot.com