Prosedur Grasi
Bagi WNA Terpidana Narkotika
Karena
Anda menyebut soal Grasi, kami menyimpulkan bahwa pengedar dan
penyelundup narkoba dalam pertanyaan Anda sudah menjadi terpidana dalam kasus
narkotika tersebut. Hal ini karena grasi diperuntukkan bagi terpidana,
yang diberikan oleh presiden sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”)
berbunyi:
“Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden.”
Sedangkan
arti terpidana itu sendiri menurut UU grasi adalah seseorang yang
dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 1 angka 2 UU Grasi).
Grasi
merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh Presiden yang juga disebutkan dalam
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.”
Mengenai
grasi, hal ini hanya sedikit disinggung dalam Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyatakan bahwa proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan tindak
pidana Prekursor Narkotika pada tingkat banding, tingkat kasasi, peninjauan
kembali, dan eksekusi pidana mati, serta proses pemberian grasi, pelaksanaannya
harus dipercepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pada
dasarnya, prosedur pemberian grasi bagi terpidana narkotika yang berstatus
sebagai Warga Negara Asing (“WNA”) sama dengan prosedur pemberian grasi bagi
terpidana narkotika yang berstatus sebagai Warga Negara Indonesia (“WNI”).
Selama WNA tersebut tunduk pada syarat dan prosedur permohonan grasi yang
ditetapkan undang-undang, maka presiden dapat memberikan grasi kepada WNA
terpidana pengedar dan penyelundupan narkotika yang bersangkutan. UU Grasi dan
perubahannya juga tidak mengatur khusus soal permohonan grasi bagi WNA yang
menjadi terpidana kasus narkotika.
Perlu
diketahui bahwa pada dasarnya terpidana hanya dapat mengajukan permohonan grasi
kepada presiden jika putusan atas kasusnya yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU 5/2010.
Pemberian grasi oleh Presiden itu
dapat berupa Pasal 4 ayat (2) UU Grasi
a. peringanan atau
perubahan jenis pidana;
b. pengurangan
jumlah pidana; atau
c. penghapusan
pelaksanaan pidana.
Tata
cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi sendiri diatur dalam Bab III
UU Grasi dan perubahannya. Berikut kami rangkum:
Hak
Mengajukan Grasi
1. Hak mengajukan
grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua sidang yang
memutus perkara pada tingkat pertama.
2. Jika pada waktu
putusan pengadilan dijatuhkan terpidana tidak hadir, hak terpidana mengajukan
grasi diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus
perkara pada tingkat pertama.
Permohonan Grasi
1. Permohonan
grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya diajukan kepada Presiden.
2.
Permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana, dengan persetujuan
terpidana.
3. Dalam hal
terpidana dijatuhi pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga
terpidana tanpa persetujuan terpidana.
4. Demi
kepentingan kemanusiaan dan keadilan, menteri yang membidangi urusan
pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta keluarga
terpidana untuk mengajukan permohonan grasi.
5. Menteri yang
membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia berwenang
meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi menyampaikan permohonan
dimaksud kepada Presiden.
Waktu
Permohonan Grasi
1. Permohonan grasi
dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Permohonan
grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap
Tata
Cara Permohonan Grasi
1. Permohonan
grasi diajukan secara tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau
keluarganya, kepada Presiden.
2. Salinan
permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung.
3. Permohonan
grasi dan salinannya dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga
Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
4. Dalam hal
permohonan grasi dan salinannya diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan,
Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada
Presiden dan salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya
permohonan grasi dan salinannya.
5. Dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
salinan permohonan grasi, pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan
permohonan dan berkas perkara terpidana kepada Mahkamah Agung.
Berkas
Perkara Permohonan Grasi
Berdasarkan
penelusuran kami dalam laman resmi Pengadilan Negeri Raha, berkas perkara (untuk permohonan grasi) yang diajukan ke
Presiden harus dilengkapi dengan surat-surat sebagai berikut:
a.
Surat Pengantar.
b. Daftar isi
berkas perkara.
c. Akta
Berkekuatan hukum tetap.
d. Permohonan
Grasi dan Akta Penerimaan Permohonan Grasi.
e. Salinan
Permohonan Grasi dari dari terpidana dan Akta Penerimaan salinan permohonan
Grasi.
f. Surat Kuasa dari
terpidana untuk kuasanya atau surat persetujuan untuk keluarga dari terpidana
(jika ada).
g. Foto copy
Berita acara Sidang.
h. Foto copy
Putusan Pengadilan tingkat pertama.
i. Foto copy
Putusan Pengadilan tingkat Banding.
j. Foto copy
Putusan Pengadilan tingkat Kasasi.
k. Foto copy Surat
Dakwaan.
l. Eksepsi dan
Putusan sela (jika ada).
m. Foto copy Surat Tuntutan,
Pembelaan, Replik, Duplik (jika ada).
n. Foto copy
Penetapan Penujukan MH.
o. Foto copy
Penetapan hari sidang.
p. BAP dari
Penyidik.
q. Dan surat-surat
lain.
Contoh
pemberian grasi kepada WNA terpidana kasus narkotika pernah diberikan kepada Schapelle Leigh Corby. Sebagaimana
ditulis dalam Info Singkat Hukum yang kami akses dari laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat RI, pemberian grasi kepada terpidana kasus narkotika,
Schapelle Leigh Corby, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuai
kontroversi.
Dalam
tulisan tersebut juga dikatakan bahwa Grasi tersebut dinilai menjadi preseden
buruk dalam upaya pemberantasan narkotika dan obat terlarang di Indonesia.
Corby merupakan terpidana narkotika asal Australia yang divonis 20 tahun penjara
di Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti menyelundupkan 4,2 kilogram
ganja pada tahun 2004. Grasi ini tertuang pada Keputusan Presiden Nomor 22/G
Tahun 2012 dan ditetapkan pada 15 Mei 2012.
Di
samping itu, dikatakan pula bahwa pemberian grasi kepada Corby sebagai
terpidana WNA tersebut merupakan hak prerogatif presiden sesuai dengan Pasal 14
ayat (1) UUD 1945 dan UU 5/2010, namun pemberian grasi tersebut dinilai kurang
tepat karena kejahatan narkotika merupakan suatu kejahatan serius. Ini artinya,
dasar hukum prosedur pemberian grasi terhadap terpidana WNA pada dasarnya sama
dengan pemberian grasi terhadap terpidana WNI.
Dasar
hukum:
2. Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi;