I.
PENDAHULUAN
Bank sebagai badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dan menjalankan usahanya terutama dari dana
masyarakat dan kemudian menyalurkan kembali kepada masyarakat. Selain itu, bank
juga memberikan jasa-jasa keuangan dan pembayaran lainnya. Dengan demikian ada
dua peranan penting yang dimainkan oleh bank yaitu sebagai lembaga penyimpan
dana masyarakat dan sebagai lembaga penyedia dana bagi masyarakat dan atau
dunia usaha.
Dengan demikian Perbankan memiliki
fungsi penting dalam perekonomian negara.[1] Perbankan mempunyai fungsi utama
sebagai intermediasi, yaitu penghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya
secara efektif dan efisien pada sektor-sektor riil untuk menggerakkan
pembangunan dan stabilitas perekonomian sebuah negara. Dalam hal ini, bank
menghimpun dana dari masyarakat berdasarkan asas kepercayaan dari masyarakat.
Apabila masyarakat percaya pada bank, maka masyarakat akan merasa aman untuk
menyimpan uang atau dananya di bank. Dengan demikian, bank menanggung risiko
reputasi atau reputation risk yang besar. Bank harus selalu
menjaga tingkat kepercayaan dari nasabah atau masyarakat agar menyimpan dana
mereka di bank, dan bank dapat menyalurkan dana tersebut untuk menggerakkan
perekonomian bangsa.
Dalam dunia perbankan, nasabah
merupakan konsumen dari pelayanan jasa perbankan. Kedudukan nasabah dalam
hubungannya dengan pelayanan jasa perbankan, berada pada dua posisi yang dapat
bergantian sesuai dengan sisi mana mereka berada.[2]Dilihat dari sisi pengerahan dana, nasabah
yang menyimpan dananya pada bank baik sebagai penabung deposan, maupun pembeli
surat berharga, maka pada saat itu nasabah berkedudukan sebagai kreditur bank.
Sedangkan pada sisi penyaluran dana, nasabah peminjam berkedudukan sebagai
debitur dan bank sebagai kreditur.
Dari semua kedudukan tersebut, pada
dasarnya nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di
sektor usaha perbankan.
Fungsi lembaga perbankan sebagai
perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana membawa konsekuensi pada
timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku usaha dengan
nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dalam interaksi yang demikian
intensif antara bank dengan nasabah, mungkin saja terjadi friksi yang apabila
tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan
bank.
Timbulnya friksi tersebut terutama
disebabkan oleh empat hal yaitu:[3]
1.
Informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau
jasa yang ditawarkan bank;
2.
Pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk serta jasa
perbankan yang masih kurang;
3.
Ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi
nasabah peminjam dana;
4.
Tidak adanya saluran memadai untuk memfasilitasi penyelesaian
friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Perlindungan nasabah merupakan
tantangan perbankan yang berpengaruh secara langsung terhadap sebagian besar
masyarakat. Oleh karena itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi perbankan
dan Bank Indonesia untuk menciptakan standar yang jelas dalam memberikan
perlindungan kepada nasabah.
II. Perlindungan
Nasabah
Nasabah merupakan konsumen dari
pelayanan jasa perbankan, perlindungan konsumen baginya merupakan suatu
tuntutan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Dalam dunia perbankan, pihak
nasabah merupakan unsur yang sangat berperan sekali, mati hidupnya dunia perbankan
bersandar kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah.[4]
Kedudukan nasabah dalam hubungannya
dengan jasa perbankan, berada pada dua sisi yang dapat bergantian sesuai dengan
sisi mana berada. Dilihat pada sisi pengerahan dana, nasabah yang menyimpan
dananya pada bank baik sebagai penabung, deposan maupun pembeli surat berharga
(obligasi atau commercial paper) maka pada saat itu nasabah
berkedudukan sebagai debitur dan bank sebagai kreditur. Dalam pelayanan jasa
perbankan lainnya seperti dalam pelayanan bank garansi, penyewaan save
depostie box, transfer uang, dan pelayanan lainnya, nasabah mempunyai
kedudukan yang berbeda pula. Tetapi dari semua kedudukan tersebut pada dasarnya
nasabah merupakan konsumen dari pelaku usaha yang menyediakan jasa di sektor
perbankan[5].
Fokus persoalan perlindungan
nasabah tertuju pada ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketentuan
perjanjian yang mengatur hubungan antara bank dengan nasabah dapat terwujud
dari suatu perjanjian, baik perjanjian yang berbentuk akta di bawah tangan
maupun dalam bentuk otentik. Dalam konteks inilah perlu pengamatan yang baik
untuk menjaga suatu bentuk perlindungan bagi konsumen namun tidak melemahkan
kedudukan posisi bank, hal demikian perlu mengingat seringnya perjanjian yang
dilaksanakan antara bank dengan nasabah telah dibakukan dengan suatu perjanjian
baku[6].
Sisi lain yang menjadi fokus perlindungan
konsumen dalam sektor jasa perbankan, yaitu pelayanan di bidang perkreditan.
Hal-hal yang menjadi perhatian untuk perlindungan konsumen, yaitu pada proses
yang harus ditempuh, dan warkat-warkat yang digunakan dalam pemberian krdit
tersebut. Tidak kalah pentingnya pula yaitu saat pengikatan hukum antara bank
dengan nasabah dimana secara hukum biasanya menyangkut dua macam pengikatan
berupa: perjanjian kredit dan perjanjian tambahan yakni perjanjian mengikuti
perjanjian pokok berupa suatu perjanjian penjaminan[7].
Lembaga perbankan adalah lembaga
yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian guna tetap mengekalkan
kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah berusaha melindungi masyarakat
dari tindakan lembaga, ataupun oknumnya yang tidak bertanggungjawab, dan
merusak sendi kepercayaan masyarakat.
Bank Indonesia sebagai pelaksana
otoritas moneter mempunyai peranan yang besar dalam usaha melindungi, dan
menjamin agar nasabah tidak mengalami kerugian akibat tindakan bank yang salah.
Hal-hal yang menyangkut dengan usaha perlindungan nasabah diantaranya berupa
laporan dan data-data yang merupakan bahan informasi.
Bank Indonesia sebagai otoritas
pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan
terhadap kepentingan nasabah dalam hubungannya dengan bank.
Berbagai regulasi dalam bidang
perbankan mengenai perlindungan nasabah bank diantaranya adalah Penerbitan
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
“Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan
PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Penyelesaian Pengaduan Nasabah”
dan PBI No.8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang “Media Perbankan”.
Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah melalui Bank Indonesia mulai memperhatikan kepentingan nasabah dalam
konteks perlindungan nasabah bank yang sebelumnya cenderung terabaikan,
baik oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maupun tidak optimalnya
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
yang mensyaratkan adanya keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan
pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat, dalam konteks ini
termasuk dalam hubungan antara bank sebagai pelaku usaha dengan
nasabahnya.
Mengingat pentingnya
perlindungan nasabah tersebut, Bank Indonesia menetapkan upaya perlindungan
nasabah sebagai salah satu pilar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang terdiri dari
enam pilar, bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan pada
industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.
Arah kebijakan pengembangan
industri perbankan tersebut dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan
yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam
rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Enam pilar dalam API adalah:
1.
Struktur perbankan yang sehat
2.
Sistim pengaturan yang efektif
3.
Sistim pengawasan yang independen dan efektif
4.
Industri perbankan yang kuat
5.
Infrastruktur pendukung yang mencukupi
6.
Perlindungan Konsumen
Upaya perlindungan nasabah dalam
Pilar ke VI API dituangkan dalam empat aspek yang terkait satu sama lain dan
secara bersama-sama akan dapat meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan
hak-hak nasabah. Empat aspek tersebut adalah[8]:
1. Penyusunan standar
mekanisme pengaduan nasabah;
2. Pembentukan lembaga
mediasi perbankan;
3. Penyusunan standar
transparansi informasi produk, dan
4. Peningkatan edukasi untuk
nasabah.
Program penyusunan mekanisme
pengaduan nasabah di bank dan program pembentukan lembaga mediasi independen
ditujukan untuk mengatasi permasalahan antara nasabah dengan bank yang saat ini
sudah terjadi, sedangkan program penyusunan standar transparansi informasi
produk perbankan ditujukan sebagai sarana awal untuk mencegah timbulnya
permasalahan antara nasabah dengan bank. Khusus untuk program edukasi nasabah,
pelaksanaannya dirasakan perlu diperluas hingga mencakup mereka yang belum dan
akan menjadi nasabah bank agar pada saat pertama kali berhubungan dengan bank
para calon nasabah tersebut sudah memiliki informasi yang cukup mengenai
kegiatan usaha serta produk dan jasa bank.
Edukasi masyarakat di bidang
perbankan pada dasarnya merupakan pemberian informasi dan pemahaman kepada
masyarakat mengenai fungsi dan kegiatan usaha bank, serta produk dan jasa yang
ditawarkan bank. Pemberian Edukasi ini diharapkan dapat
memfasilitasi pemberian informasi yang cukup kepada masyarakat sebelum mereka
melakukan interaksi dengan bank. Dengan demikian akan terhindar adanya
kesenjangan informasi pada pemanfaatan produk dan jasa perbankan yang dapat
menyebabkan timbulnya permasalahan antara bank dengan nasabah di kemudian hari.
III. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Proses mediasi perbankan merupakan
kelanjutan dari pengaduan nasabah apabila nasabah merasa tidak puas atas
penanganan dan penyelesaian yang diberikan bank. Dalam pelaksanaan kegiatan
usaha perbankan seringkali hak-hak nasabah tidak dapat terlaksana dengan baik
sehingga menimbulkan friksi antara nasabah dengan bank yang ditunjukkan dengan
munculnya pengaduan nasabah.
Apabila pengaduan nasabah tidak
diselesaikan dengan baik oleh bank, maka berpotensi menjadi perselisihan atau
sengketa antara nasabah dengan bank cenderung berlarut-larut. Hal ini antara
lain ditunjukkan dengan cukup banyaknya keluhan-keluhan nasabah di berbagai
media. Munculnya keluhan-keluhan yang tersebar pada publik melalui berbagai
media tersebut dapat menurunkan reputasi bank di mata masyarakat dan berpotensi
menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga perbankan.
Untuk mengurangi publikasi negatif
terhadap operasional bank dan menjamin terselenggaranya mekanisme penyelesaian
pengaduan nasabah secara efektif dalam jangka waktu yang memadai, maka Bank
Indonesia menetapkan standar minimum mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/7/PBI/2005 Tentang Penyelesaian
Pengaduan Nasabah yang wajib dilaksanakan oleh seluruh bank.
Tetapi Penyelesaian pengaduan
nasabah oleh bank yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005
ini tidak selalu dapat memuaskan nasabah. Ketidakpuasan tersebut dikarenakan
tidak terpenuhinya tuntutan nasabah bank baik seluruhnya maupun sebagian
sehingga berpotensi menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank.
Dalam praktek dikenal berbagai
bentuk penyelesaian sengketa perdata seperti litigasi, arbitrase dan/atau
Mediasi. Namun, pihak-pihak yang bersengketa umumnya lebih banyak memilih
penyelesaian melalui proses litigasi di Pengadilan Negeri, baik melakukan
tuntutan secara perdata maupun secara pidana. Namun terdapat banyak kendala
yang sering dihadapi.
Kendala tersebut antara lain
lamanya penyelesaian perkara, serta putusan yang dijatuhkan seringkali
mencerminkan tidak adanyaunified legal work dan unified
legal opinion antara Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung[9].
Oleh karena itu, diatur mengenai
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Di antaranya adalah
arbitrase dan mediasi seperti yang diatur dalam UU No.30 tahun 1999. Pengaturan
Mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No.2 tahun 2003. Sedangkan Mediasi
Perbankan diatur dalam PBI No. 8/5/PBI/2006. Pada PBI No.8/5/PBI/2006 tentang
Mediasi Perbankan dinyatakan bahwa sampai dengan akhir tahun 2007 pelaksanaan
fungsi mediasi perbankan akan dilakukan oleh Bank Indonesia.
Menurut Peraturan Bank Indonesia No.8/5/PBI/2006, maka
yang dimaksud dengan Mediasi Perbankan adalah alternatif penyelesaian sengketa
antara Nasabah dan Bank yang tidak mencapai penyelesaian yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian
dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh
permasalahan yang disengketakan.
Hal-hal yang diatur dalam Mediasi
Perbankan adalah:
1. Nasabah atau perwakilan
nasabah dapat mengajukan upaya penyelesaian sengketa melalui mediasi ke BI
apabila nasabah merasa tidak puas atas penyelesaian pengaduan nasabah;
2. Sengketa yang dapat
diajukan penyelesaiannya adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi
keuangan yang memiliki tuntutan finansial paling banyak Rp. 500.000.000,00
(Lima ratus juta rupiah). Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial
yang diakibatkan oleh tuntutan immaterial;
3. Pengajuan penyelesaian
sengketa tidak melebihi 60 (enam puluh hari) kerja saat tanggal surat hasil
penyelesaian pengaduan yang disampaikan bank kepada nasabah;
4. Pelaksaan proses mediasi
sejak ditandatanganinya perjanjian mediasi samapi dengan penandatanganan Akta
Kesepakatan oleh para pihak dilaksanakan dalam waktu 30 hari kerja dan dapat
diperpanjang sampai dengan 30 hari berikutnya berdasarkan kesepakatan nasabah
dan bank;
5. Akta kesepakatan dapat
memuat menyeluruh, kesepakatan sebagian, atau tidak tercapainya kesepakatan
atau kasus yang disengketakan.
Dalam penyelesaian sengketa melalui
mediasi, para pihak biasanya mampu mencapai kesepakatan di antara mereka,
sehingga manfaat mediasi dapat dirasakan. Beberapa keuntungan mediasi adalah
sebagai berikut:
1. Mediasi dapat
menyelesaikan sengketa dengan cepat, biaya murah dibandingkan dengan proses
beracara di Pengadilan atau melalui Arbitrase. Dalam proses mediasi tidak
diperlukan gugatan ataupun biaya untuk mengajukan banding sehingga biayanya
lebih murah
2. Mendorong terciptanya
iklim yang kondusif bagi para pihak yang bersengketa tetap menjaga hubungan
kerjasama mereka yang sempat terganggu akibat terjadinya persengketaan diantara
mereka.
3. Proses mediasi lebih
bersifat informal dan menghasilkan putusan yang tidak memihak.
IV. Lembaga
Mediasi Perbankan Independen di Indonesia
Sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 PBI No
8/5/PBI/2006, yang membentuk lembaga mediasi perbankan independen adalah
asosiasi perbankan. Asosiasi perbankan yang membentuk lembaga mediasi perbankan
independen dapat terdiri dari gabungan asosiasi perbankan untuk menjaga
independensinya. Selain dapat pula dilakukan perekrutan dari kalangan bankir.
Bank Indonesia (BI) harus
mewajibkan seluruh bank untuk menjadi anggota dari lembaga mediasi perbankan.
Agar mempunyai kekuatan hukum mengikat maka BI perlu membuat PBI tentang
kewajiban Bank menjadi anggota lembaga mediasi. Kemudian untuk menjaga kualitas
dari lembaga mediasi perbankan ini, maka BI dapat memberi akreditasi pada
lembaga mediasi perbankan indonesia tersebut. Lembaga Mediasi mempunyai
kewajiban melaporkan secara berkala pada BI mengenai sengketa yang pernah
dimediasikan.
Kemudian dari laporan tersebut BI
dapat mengevaluasi kinerja dari lembaga mediasi perbankan indpendent tersebut
dan memberikan akreditasinya. Untuk prosedur akreditasi, maka BI perlu
membentuk PBI tentang akreditasi.
Dalam Lembaga mediasi ini harus ada
mediator independen yang dapat memberikan saran sesuai dengan profesinya
masing-masing, misalnya ada konflik antara nasabah dengan bank mengenai masalah
hukum, maka harus ada seorang mediator yang ahli di bidang hukum perbankan.
Kemudian lembaga ini harus
berfungsi seperti arbitrase sehingga keputusannya mengikat bagi kedua belah
pihak. Oleh karena itu, hasil dari kesepakatan kedua belah pihak kemudian
didaftarkan pada Pengadilan negeri agar mempunyai kekuatan hokum mengikat.
Dalam mendirikan mediasi perlu
diadakan segmentasi mediasi perbankan agar tercipta parallel
institution lembaga mediasi perbankan sehingga masyarakat dapat
memilih lembaga mana yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan demikian pembentukan mediasi
perbankan diharapkan akan memberikan nilai positif baik bagi nasabah maupun
bank, yaitu seperti terciptanya kepastian penyelesaian sengketa antara nasabah
dengan bank. Melalui mediasi perbankan ini juga akan mendorong terciptanya
keseimbangan hubungan antara posisi nasabah dengan bank.
Tetapi dalam mendirikan Lembaga
Mediasi ini terdapat beberapa kendala antara lain masalah dana. Dana yang
diperlukan untuk mendirikan lembaga mediasi perbankan independen tersebut tentu
sangat besar. Pada awalnya, lembaga mediasi perbankan tersebut memerlukan dana
operasional. Apabila biaya ini dibebankan pada bank sebagai anggota dari
lembaga mediasi perbankan, tentu sangat sulit. Saat ini bank di Indonesia
sedang giat-giatnya melakukan konsolidasi internal untuk memenuhi modal dan
sertifikasi para bankir. Hal ini menyebabkan konsentrasi modal bank
diprioritaskan untuk bank itu sendiri. Dari permasalahan tersebut terdapat
pemikiran apa tidak sebaiknya mediasi perbankan ini dijalankan oleh BI saja.
Selama ini sebelum terbentuknya lembaga mediasi perbankan independen, mediasi
perbankan dijalankan oleh BI. BI telah mempunyai sarana dan prasarana yang
memadai, pendanaan yang cukup dan sumber daya berupa mediator yang memperoleh
pelatihan dan sertifikasi sebagai mediator dan mempunyai latar belakang
perbankan.
V. Penutup
Keberadaan lembaga mediasi
perbankan merupakan sebuah bentuk perlindungan terhadap konsumen. Hal ini
merupakan salah satu langkah kebijakan yang akan diterapkan Bank Indonesia (BI)
yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Keberadaan lembaga
tersebut merupakan suatu terobosan seperti di negara lain karena Indonesia
ingin memberdayakan nasabah perbankan dengan memberikan perlindungan kepada
nasabah.
Kehadiran mediasi perbankan sangat
penting. Hal ini dikarenakan perbankan merupakan lembaga yang sangat
mengandalkan kepercayaan dari masyarakat luas. Masyarakat mengandalkan jasa
bank dilandasi rasa kepercayaan. Oleh karena itu, kepercayaan dari masyarakat
harus tetap terjaga.
Keberadaan Lembaga Mediasi
independen ini akan memberikan manfaat baik bagi nasabah maupun bank.
end note
--------------------------- ]
Pustaka
”Arsitektur
Perbankan Indonesia.” //www.BI.go. id/API,html>. Diakses 27 November 2007.
Burhanuddin Abdullah. Jalan
Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta
: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006)
Djumhana, Muhammad. Hukum
Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)
Fuady, Munir. Hukum
Perbankan Modern Buku Kesatu. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Muliaman D. Hadad , “Perlindungan
dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,” Http://www.bi.go,id,
diakses tgl 19 Nov 2007
Yahya Harahap, Perlawanan
Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar
Hukum Eksekusi(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996)
[1] Burhanuddin Abdullah, Jalan
Menuju Stabilitas Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Jakarta
: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006) hal 2003.
[2] Muhammad Djumhana, Hukum
Perbankan di Indonesia (Bandung: PT Citra Aditya Bhakti, 2003)., Hal
282
[3] Muliaman D. Hadad (a), “Perlindungan
dan Pemberdayaan Nasabah Bank Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia,”Http://www.bi.go,id,
diakses tgl 19 Nov 2007
[4] M. Djumhana, Opcit, hal
282.
[5] Ibid
[6] Ibid, Hal 282-283
[7] Ibid, hal 283
[8] Muliaman D Hadad,
op.cit
[9] Yahya Harahap, Perlawanan
Terhadap Eksekusi Grose Akta Serta Putusan Pengadilan dan Arbitrase dan Standar
Hukum Eksekusi (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal 5.
ditjenpp.kemenkumham.go.id