Berdasarkan bentuknya akta terbagi menjadi atas akta otentik dan akta dibawah tangan. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa , menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentngan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.
Dalam Pasal 165 HIR memuat definisi tentang akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bakan tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka; akan tetai yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Pejabat yang dimaksudkan antara lain ialah notaris, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, hakim dan sebagainya.
Otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh dan di hadapan pejabat saja. Di samping itu caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Sutau akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabiloa ditandatangani oleh pihak –pihak yang bersangkutan. Hal ini juga dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (7) Undang-undang Jabatan Notaris, menyebutkan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Dengan demikian apabila suatu akta dibuat oleh atau dihadapan notaris tapi tidak mengikuti bentuk dan tata cara yang ditetapkan undang undang maka sifat keontetikannya menjadi hilang atau tidak ada.
Dalam pasal 38 UUJN disebutkan bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
Sebagai keterangan dari seorang pejabat, yaitu apa saja yang dikatakan oleh pejabat itu adalah sebagai yang dilihatnya dianggap benar terjadi di hadapannya, maka ketentuan pembuktiannya berlaku bagi setiap orang. Karena akta otentik itu merupakan risalah dari pejabat, maka hanyalah merupakan bukti dari pada apa yang terjadi di hadapnnya saja.
Oleh karena dalam hal akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam undang-undang, sehingga hal itu cukup merupakan jaminan dapat dipercayakannya pejabat tersebut, maka isi daripada akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi dianggaplah bahwa akta otentik itu dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.
Menurut beberapa ahli hukum, di antaranya Wiryono Prodjodikoro (1988 : 108), pengertian akta otentik yaitu :
“Surat yang dibuat dengan maksud dijadikan bukti oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu”
Selanjutnya akta otentik menurut Soepomo (2002 : 87), adalah :
“surat yang dibuat oleh suatu dimuka seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat tersebut sebagai bukti”
Dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa :
“Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”
Kata yang dibuat oleh dan dihadapan seorang pegawai umum sebagaimana tersebut dalam Pasal 1868 BW mengandung makna adanya 2 macam akta otentik yaitu :
a. Ambtelijke acte/procesverbaal acte/relaas acte
Akta yang dibuat pejabat, digunakan untuk membuktikan perbuatan perbuatan dan kenyataan yang terjadi dihadapan notaris pada saat membuat akta dimaksud sedangkan isinya adalah kesaksian tertulis dari seorang pegawai umum, yang dalam hal ini notaris mencatat perbuatan serta kenyataan yang disaksikan pada waktu membuat akta. Notaris membuat laporan atas relaas sehingga apa yang dibuatnya itu disebut juga sebagai relaas akta.
b. Partij acte
Disebut juga sebagai akta (para) pihak yaitu (para) pihak menghadap pada seorang pejabat umum dalam ini seorang notaris, kemudian memberitahukan dan menerangkan kemauan atau kehendak mereka untuk mengadakan suatu perjanjian (mis : kerjasama, sewa menyewa, jual beli, tukar menukar, dsb) dan selanjutnya meminta kepada notaris tadi agar supaya tentang perjanjian tersebut dibuatkan suatu akta maka yang demikian itu adalah suatu akta yang dibuat dihadapan notaris itu.
Jadi disini notaris hanya mendengarkan kehendak para pihak yang menghadap itu, kemudian notaris memasukkan atau menyusun perjanjian yang dibuat para pihak kedalam suatu akta.
Prof Soebekti : Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan suatu bukti tentang suatu peristiwa dan di tanda tangani atau dapat juga dikatakan bahwa suatu akta adalah surat yang diberi tanda tangan atau ditanda tangani. (Lihat Pasal 1874 BW Pasal 1 Ordonansi Tahun 1867 No 29) dan memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan dan dibuat sejak semula dengan sengaja untuk suatu pembuktian (bewijs). Oleh karenanya maka suatu akta memuat unsure unsure penting yang harus ada di dalam yaitu berupa unsur kesengajaan untuk menciptakan suatu bukti tertulis dan unsure penandatanganan tulisan itu.
Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan., yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa suatu akta yang karena tdak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena tidak berkuasa atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditanda tangani oleh para pihak. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk member ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut. Dalam Pasal 1888 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan- salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya.
Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probations causa) (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Formalitas causa artinya berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan hanya sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
Akta otentik mempunyai kekuatan bukti formil dan materil. Formil yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta itu. Materilnya, bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.
Kekuatan bukti yang sempurna yang bersifat akta party itu hanya berlaku antara kedua belah pihak atau ahli warisnya dan orang mendapat hak dari mereka. Terhadap pihak ketiga, akta otentik berkekuatan hanya sebagai bukti bebas, artinya penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim.
Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/dinyatakan didalam akta.
Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa keuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat pada akta. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende) sehingga akta akan kehilangan keotentikannya.
Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil, dan materil (Sudikno Mertokusumo,1993 : 121). Kekuatan pembuktian lahir yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lainnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya.
Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memnuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya.
Dalam kaitan dengan jabatan notaris yang berwenang membuat akta otentik khususnya yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 15 Ayat (2) butir f Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) yang berbunyi:
“kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.
Tidak jarang terjadi bahwa ada oknum notaris yang terjebak dalam tindak pidana. Bahwa notaris sebagai salah satu pejabat negara dapat melakuan tindak pidana penggelapan biaya perolehan hak atas tanah (BPHTB) dengan tidak menulis nilai transaksi yang sebenarnya dalam akta yang dibuatnya sehingga terjadi pengurangan pajak yang seharusnya dikenakan,
Dalam hal ini notaris telah melanggar sumpah jabatannya yang tertuang dalam pasal 16 ayat (1) butir a UUJN, yang berbunyi:
“bertindak jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”.
Tindak pidana penggelapan pajak merupakan tindakan yang sangat bertentangan dengan ketentuan yang mengatur tentang jabatan notaris, sehingga tindak pidana tersebut dapat dianggap telah melanggar sumpah jabatan yang pada waktu pelantikan diucapkan oleh semua pejabat notaris.
Penggelapan pajak juga melanggar ketentuan dalam pasal 266 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa:
“barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akte otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun;”
Suatu akte notaril mengenai jual-beli sebagai bukti bahwa para pihak tidak saja memberikan keterangan tertentu kepada notaris, akan tetapi juga bahwa mereka telah membuat suatu perjanjian, menurut pasal 1458 KUHPerdata bahwa:
“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan”
Maka akte notaril harus juga membuktikan tentang harganya, jadi juga tentang kebenaran yang telah
diberikan. Keterangan mengenai harga transaksi yang tidak sesuai sehingga terjadi penggelapan pajak merupakan tindak pidana Karena dapat menimbulkan kerugian menurut pasal 266 ayat (1) KUHP, Kerugian yang dimaksud dalam pasal ini tidak perlu timbul tapi cukup dengan kemungkinannya saja.
Tanggung jawab dan Ketelitian para pejabat umum yang membuat akta otentik tersebut dituntut sangat besar dalam membuat suatu akta. Notaris bukan saja bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, bahkan mereka bertanggung jawab kepada Pihak lain yang dirugikan. Akan tetapi dalam kaitannya dengan notaris tanggung jawab Notaris dapat terbatas apabila akta tersebut adalah akta Para pihak (akta Partij). Akta yang dibuat dihadapan Notaris isinya merupakan keinginan para pihak. Notaris dalam hal ini hanya membuat akta yang diinginkan oleh para pihak. Keinginan para pihak yang membuat perjanjian dituangkan oleh Notaris.
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar