Upaya
penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya
dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan
berkembang dalam kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai
dikembangkan dalam hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan
istilah ‘mediasi penal’ (penal mediation).
Sebagai
salah satu dasar hukum Mediasi penal adalah Surat Kapolri Surat Kapolri No Pol:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus
Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada
intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini
menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus
disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat
kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara
profesional dan proporsional.
SURAT
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NO.
POL : B / 3022 / XII / 2009 / SDEOPS
Tertanggal
14 DESEMBER 2009
PERIHAL
PENANGANAN KASUS MELALUI ALTERNATIF
DISPUTE RESOLUTION (ADR)
Salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan polmas adalah
konsep Alternatif Dispute Resolution
(ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain
melalui proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.
Akhir – akhir ini banyak terjadi
proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian yang sangat
kecil menjadi sorotan media massa dan masyarakat, terkesan aparat terlalu kaku
dalam penegakan hukum, berkaitan dengan hal tersebut, dapat mengambil langkah –
langkah :
1.
Mengupayakan
penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian masyarakat ekonomi sangat
kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui konsep adr;
2.
Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan adr harus disepakati oleh pihak yang
berperkara, namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
prosedur hukum yang berlaku secara proporsional dan professional;
3.
Penyelesaian
kasus pidana yang menggunakan adr harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan
harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan rt / rw setempat;
4.
Penyelesaian
kasus pidana dengn menggunakan adr harus menghormati norma
hukum, sosial, adat yg berlaku serta memenuhi azas keadilan;
5.
Memberdayakan
anggota polmas dan memerankan fkpm yg ada di wilayah masing – masing untuk
mampu mengidentifikasi kasus pidana yang mempunyai kerugian materil, ekonomi
sangat kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep adr;
6.
Untuk
kasus yang telah diselesaikan melalui konsep adr agar tidak lagi disentuh oleh
tindakan hukum lain yang kontra produktif dgn tujuan polmas;
Mediasi penal (penal
mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah,
antara lain :mediation in criminal cases atau mediation
in penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam
istilah Jerman disebut Der
Auergerichtliche Tataus-gleich dan dalam istilah Perancis disebut de
mediation pnale. Karena mediasi penal terutama mempertemukan
antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga
dikenal dengan istilah Victim-Offender
Mediation (VOM), Tter Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim
Arrangement (OVA) Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di
luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering
juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi polisi atau
melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di
dalam masyarakat. Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama
ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus
yang secara informal telah ada penyelesaian damai, namun tetap saja diproses ke
pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun
perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat
untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian
masalah di bidang hukum pidana.
Namun demikian terdapat pula
beberapa Dasar
Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia,
yaitu:
a Surat Kepolisian Negara
Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative
Dispute Resolution (ADR);
Surat ini menjadi rujukan
bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal:205, 302, 315, 352, 373,
379, 384, 407, 482, surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih
dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;
b
Delik yang dilakukan
berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82
KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa
telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82
KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai”
yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan;
c
Tindak pidana dilakukan
oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan
Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan
sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah
8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua,
wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997);
d
Undang-Undang Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan
kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus
pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96);
Demikian, semoga bermanfaat demi
kemajuan dan “kecerdasan” hukum di Indonesia.
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024)76670350
0821 3875 4004
2AB48511
kantorhukumkalingga.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar