Dewan Kehormatan Pemilihan Umum (DKPP) adalah sebuah lembaga
yang dibentuk untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas
penyelenggara Pemilu. Yang dimaksud penyelenggara Pemilu adalah anggota KPU,
anggota Bawaslu, dan segenap jajarannya, termasuk jajaran pada sekretariat
masing-masing. Untuk memastikan para penyelenggara Pemilu tetap terjaga
kemandirian, integritas, dan kredibelitasnya, maka DKPP menitikberatkan
pelaksanaan praktis asas-asas penyelenggara Pemilu, sebagaimana dimaktub di
dalam UU No. 15 Tahun 2011, meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian
hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Produk dari pelaksanaan tugas dan wewenang DKPP adalah Putusan.
Sesuai ranah kewenangan DKPP, Putusan DKPP berupa pengenaan sanksi atau
rehabilitasi. Penetapan Putusan ini yang diambil dalam suatu rapat pleno DKPP
yang bersifat tertutup. Pleno DKPP baru akan memutuskan ketika pemeriksaan
dalam persidangan telah dianggap cukup melakukan pemeriksaan pengaduan,
mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi-saksi, serta memperhatikan bukti/dokumen
tertulis, dan mempelajari bukti dan alat-alat bukti yang disertakan. Prinsip
dari peradilan etika yang dikembangkan ini adalah semua orang didengarkan (audi
et alteram partum). Sanksi yang dapat diterbitkan DKPP adalah berupa
Teguran Tertulis, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Tetap alias
pemecatan.
Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui
peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk
mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh
Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia
atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi
modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi
khususnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah
politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya Pemilu dibutuhkan
lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan
Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin
yang betul-betul bermartabat.
Keberadaan DKPP bukanlah hal baru karena sebelumnya sudah ada
yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) sejak 2008. DK KPU
adalah institusi ethic difungsikan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan
pelanggaran kode etik bagi penyelenggara.Namun, wewenangnya tidak begitu kuat,
lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga
memberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat ad hock.
DK KPU 2008-2011dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik
tetapi dari aspek struktural kurang balances karena didominasi
oleh penyelenggara Pemilu. DK KPU beberapa kali dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH., dan prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah
dan DPR memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa
anggota KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota termasuk salah satu mantan anggota KPU
2010 memberi harapan baru bagi publik pada perubahan.
Dari prestasi yang baik dan dengan menampilkan performa
kelembagaan DK KPU yang produktif di mata publik inilah yang kemudian menjadi
titik tolak lahirnya institusi DKPP. Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan
lembaga-lembaga pemantau Pemilu sontak mendorong misi mulia ini dengan
meningkatkan kapasitas wewenang dan memastikan institusi ini jadi tetap dan
tidak hanya menangani kode etik pada KPU tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan
lewat produk hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilu.
DKPP secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan
komposisi keanggotaan yang cukup membanggakan. Lima anggota DKPP periode
2012-2017 ini terdiri dari tiga perwakilan unsur DPR yakni Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH., Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si., dan Saut Hamonangan
Sirait, M.Th., sedangkan unsur pemerintah Prof. Abdul Bari Azed dan Dr. Valina
Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu, Ida Budhiati,
SH., MH., dan Ir. Nelson Simanjuntak.
Track record kelimanya tidak diragukan, Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., misalnya, sejak 2008-2011 jadi ketua DK KPU, Nur
Hidayat Sardini pernah jadi ketua Panwas Provinsi terbaik di Indonesia, dan
pernah pula jadi ketua Bawaslu, sedangkan Saut Hamonangan Sirait pernah jadi
anggota Panwas Provinsi Jateng dan sempat jadi anggota KPU Pusat, sementara Dr.
Valina Singka Subekti merupakan mantan anggota KPU 2004, dan Prof. Abdul Bari
Azed beberapa kali jadi Dirjen Kemenkumham RI, dan Ida Budhiati mantan anggota
KPUD Provinsi Jateng serta Nelson Simanjuntak sebelumnya aktif sebagai tenaga
asistensi di Bawaslu.
Sejak dibentuk, DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif,
profesional, dan produktif, namun tetap dalam bingkai amanat UU. Kelimanya
menyadari betul betapa jalan terjal yang harus dilalui mereka dalam rangka
menegakkan harkat dan martabat politik bangsa khususnya melalui penyelenggaraan
Pemilu. Mereka juga berkomitmen terus meningkatkan kapasitas penyelenggara
Pemilu dari dimensi SDM dan infrastruktur guna terwujudnya kualitas bangsa
dalam berdemokrasi dengan tujuan menghasilkan pemimpin bangsa yang amanah
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang
Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling
berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu,
dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga
penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para
pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E
UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh
undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah
dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan
huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU
(Bawaslu).
Berdasarkan
ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3
fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan,
yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan
kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga
penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum”
(dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam
2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu
“Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas
Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu). Tugas dan kewenangan DKPP (Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per orang
pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti
sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan
di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya
terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat
provinsi. Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam
lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara
tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.
Yang
bekerja secara tidak tetap, misalnya, adalah pegawai negeri sipil yang bekerja
di KPU atau yang bekerja di Bawaslu. Sedangkan yang bekerja secara tidak tetap
atau adhoc, misalnya, adalah Ketua dan Anggota Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu) di tingkat kabupaten/kota atau pun petugas.
Didalam
Pasal 110 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum
menjelaskan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga
kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi,
anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta Bawaslu,
Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu
Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian,
intregitas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP
dibentuk untuk memeriksa, megadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan
pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran
di bawahnya. Tugas DKPP berdasarkan peraturan dewan kehormatan
penyelenggara pemilihan umum nomor 2 tahun 2012 tentang
pedoman beracara kode etik penyelenggara pemiilihan umum:
1.
Menerima
pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
2.
Melakukan
penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran
kode etik Penyelenggara Pemilu yang berbunyi:
3.
Menetapkan
Putusan; dan
4.
Menyampaikan
Putusan kepada pihak terkait untuk ditindak lanjuti.
Sementara
itu dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya, DKPP memiliki kewenangan untuk:
1.
Memanggil
penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan
penjelasan dan pembelaan;
2.
Memanggil
pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai
keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; dan
3.
Memberikan
sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.
Proses
penyelenggaraan pemilu yang sedang berjalan, ada hal menarik dimana pemegang
kekuasaan seperti KPU dan Bawaslu mengeluhkan sistem kerja DKPP dalam
menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Singkatnya, keluhan tersebut karena
DKPP kadangkala offside dan melahap porsi kekuasaan yang
dimiliki oleh lembaga lain. Bukti faktualnya yakni adanya putusan-putusan DKPP
yang secara yuridis dan konseptual merupakan wilayah sengketa pemilu. Implikasi
lanjutan dari putusan seperti ini adalah adanya akibat hukum berupa
pengembalian hak konstitusional. Putusan dikeluhkan oleh Bawaslu, bahkan lebih
jauh, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memberikan teguran ke DKPP bahwa
putusan diluar terkait pelanggaran kode etik merupakan produk yang cacat hukum.
Komisi II DPR menganggap pertemuan
itu digelar untuk meminta penjelasan atas putusan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP). Terutama, putusan yang memerintahkan KPU untuk
memverifikasi faktual 18 partai politik yang tak lolos verifikasi administrasi.
Anggota Komisi II DPR menganggap putusan DKPP itu melampaui kewenangan yang
ditetapkan dalam Undang-UndangNomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen
Indonesia menganggap DKPP telah membuat keputusan yang melampaui kewenangannya.
Padahal, kewenangan DKPP sebatas memutuskan pelanggaran etika. Keputusan DKPP
tersebut dapat mengancam tahapan pemilu dan menimbulkan ketidakpastian hukum,
serta hancurnya wibawa penyelenggara pemilu di hadapan peserta pemilu.
DKPP tidak punya kewenangan untuk menentukan
partai politik mana yang boleh dan tidak boleh mengikuti proses verifikasi
faktual oleh KPU.
Keputusan DKPP yang memperbolehkan 18 partai
politik mengikuti proses verifikasi faktual oleh KPU berarti membatalkan
(ketetapan) keputusan KPU yang menyatakan 18 partai politik tidak lolos
berdasarkan verifikasi administrasi oleh KPU.
Alasan atau pertimbangan DKPP mengikutsertakan
18 partai politik dalam proses verifikasi faktual adalah adanya pembangkangan,
pemboikotan, dan ketidaktaatan jajaran sekretariat jenderal yang merupakan
dissimilar process. Akibatnya, proses pendaftaran dan verifikasi administrasi
partai politik peserta Pemilu 2014 menjadi terhambat dan dapat merusak proses
dan hasil dari tahapan pendaftaran dan verifikasi administrasi partai politik
peserta Pemilu 2014.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya keraguan,
kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kemarahan parpol yang tidak lolos dalam
verifikasi administrasi.
Pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu
telah mendapatkan porsi masing-masing dalam menyelenggarakan kekuasaan. Dalam
takaran konstitusional, proses distribusi kekuasaan telah diberikan secara
proporsional untuk mewujudkan check and balances. Komisi Pemilihan
Umum (KPU) mendapatkan porsi sebagai penyelenggara pemilu, Badan Pengawas
Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan porsi mengawasi dan menyelesaikan sengketa
pemilu, sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendapatkan
porsi untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.
Tidak terlalu sulit untuk mengatakan
demikian, karena menafsirkan norma di dalam Undang-Undang 15/2011 Tentang
Penyelenggara Pemilu tidak perlu ilmu penafsiran hukum seperti yang dimiliki
oleh para Negarawan di Mahkamah Konstitusi, karena memang Undang-Undang 15/2011
telah mengaturnya secara jelas dan tegas mengenai pembagian porsi kekuasaan a
quo.
Penegasan pembagian porsi kewenangan ini
penting untuk diketahui oleh publik. Mengingat hubungan konfliktual yang muncul
diantara pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu. Salah satu penyebabnya adalah
perebutan dan penambahan porsi kekuasaan oleh salah satu lembaga, yang
sebenarnya telah mendapatkan porsi yang sudah cukup sebagai lembaga supporting
system dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Penyebab diatas hanya merupakan sebiji
benih yang berada di dalam lumbung kekuasaan. Terdapat juga benih konflik
lainnya, diantaranya arogansi dan gengsi kelembagaan, profesionalisme dalam
menjalankan kewenangan, khususnya terkait dalam penyelesaian permasalahan hukum
pemilu yang mengharuskan adanya interaksi di antara pemegang kekuasaan
penyelenggara pemilu. Bahkan bisa jadi, benih yang jangan sampai tumbuh subur
adalah karena adanya kepentingan politik pemegang kekuasaan untuk merugikan
dan/atau menguntungkan salah satu peserta pemilu, yang diujung lorongnya
terdapat keuntungan ekonomi dan upaya pelanggengan jabatan sebagai pejabat
publik.
Sistem pemilu apapun yang dipakai, upaya
membentuk pemerintahan kuat dalam sistem pemerintahan parlementer lebih mudah
dicapai karena parpol atau koalisi partai yang meraih kursi terbanyak di
parlemen berhak membentuk pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah dalam
sistem parlementer lebih mudah mencapai governability tinggi
karena mereka mendapat dukungan mayoritas parlemen. Hal ini berbeda dengan
sistem pemerintahan presidensial, di mana soal governability pada
sistem ini sering menghadapi masalah, akibat hasil pemilu legislatif sering
tidak sejalan dengan hasil pemilu eksekutif. Atau, terjadi apa yang disebut
dengan divided government atau pemerintahan terbelah, di mana
presiden terpilih sering tidak didukung parlemen karena parpol atau koalisi
parpol pendukung presiden terpilih tidak mampu meraih mayoritas kursi parlemen.
Atau, legislatif didominasi oleh satu atau lebih parpol yang berbeda dengan
parpol yang memegang kekuasaan eksekutif.
Perwakilan tiap daerah adalah anggota
KPU, anggota KPU Provinsi, KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota, KIP
Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota
KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota,
anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan/atau anggota
Pengawas Pemilu Luar Negeri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik
Penyelenggara Pemilu. Para pihak dalam perselisihan hasil pemilu anggota
DPR,DPD dan DPRD adalah:
a. Partai politik dan / atau perseorangan
dalam peserta pemilu sebagai pihak pemohon ;
b. KPU sebagai pihak termohon.
Selain pihak termohon dan pemohon ada juga
kemungkinan peserta pemilu yang menjadi pemohon berkepentingan terhadap
perselisihan hasil pemilu. Biasanya diposisikan sebagai pihak terkait.
Setelah itu pemeriksaan pengaduan dan/atau laporan, Verifikasi Materiel,
Registrasi, dan Penjadwalan Sidang, lalu yang terakhir adalah persidangan
sampai dengan selesai.
Kerjasama antara DKPP, KPU, dan Bawaslu
dengan pihak Kepolisian, baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai alat
negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sangat penting untuk
dikembangkan. Tugas yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum secara
teknis memang dikaitkan dengan komisi pemilihan umum dengan peran Bawaslu
sebagai lembaga pengawasnya. Akan tetapi semua keputusan yang diambil, baik
oleh KPU maupun Bawaslu dan juga oleh DKPP, semua berkenaan dan bersangkut paut
dengan dinamika penyelenggaraan kompetisi politik yang diatur menurut UUD 1945
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam iklim demokrasi yang baru
dikembangkan selama lima belas tahun era reformasi, banyak sekali jabatan
publik yang diperebutkan atau dikompetisikan, baik melalui pemilihan langsung
melalui pemilu maupun pemilihan tidak langsung, yaitu melalui lembaga
perwakilan rakyat.
Refleksi atas pemenuhan keadilan dalam
Pemilu 2009 mesti dilakukan. Itu penting sebagai modal awal penataan system
keadilan pemilu ke depan. Bagaimana melihat kelemahan dan tidak berjalannya
sistem keadilan pemilu. Refleksi juga dilakukan untuk mengangkat kembali keberhasilan
yang dicapai sehingga bisa diakomodir dalam penataan system ke depan.
Identifikasi ini penting untuk menutup setiap kelemahan dengan harapan dalam
Pemilu 2014 tidak kembali terulang. Atau paling tidak kebijakan yang akan
disusun tidak salah arah atau justru menghilangkan keberhasilan sebelumnya.
Refleksi tersebut paling tidak mencakup 3 (tiga) hal, khususnya terkait dengan
apa yang akan dicapai dalam penyusunan kerangka system keadilan pemilu.
Pertama, jaminan atas setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait proses
pemilu, apakah telah sesuai dengan kerangka hukum atau tidak. Kedua, apakah
system yang dirancang dalam pemilu 2009 telah memberikan perlindungan dan
bahkan mampu memulihkan hak pilih seseorang jika dilanggar. Terakhir, sudahkah
system keadilan pemilu membuka ruang bagi warga negara (pemilih) untuk
mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan dan mendapat kanputusan yang adil
dalam hal hak pilih mereka terlanggar. Konsep keadilan pemilu tersebut
diharapkan mampu memotret kondisi pemilu 2009. Apakah keadilan pemilu telah
terkonsep dengan baik, begitu juga dengan implementasinya.
Dari segi penegakan hukum, Kepolisian juga
dapat memahami dengan tetap apa dan bagaimana tugas KPU dalam menyelenggarakan
pemilu dan apa dan bagaimana pula tugas Bawaslu dalam mengawasi pelaksanakaan
pemilihan umum. Penting disadari bahwa kedudukan dan peranan Bawaslu menurut
ketentuan UU yang baru, yaitu UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu, agak berbeda dengan kedudukan dan peranan Bawaslu sebelumnya menurut UU
No. 22 Tahun 2007. Sekarang Bawaslu disebut sebagai lembaga semi atau quasi
judisial juga, yaitu di bidang administrasi penyelenggaraan pemilu.
Demikian pula DKPP, juga merupakan lembaga semi-judisial atau quasi yudisial,
khususnya di bidang etika penyelenggara pemilu. Penting untuk disampaikan dalam
forum yang penting ini, ketika pertama kali anggota KPU diberhentikan dari
jabatannya karena terbukti melanggar kode etik, yang bersangkutan merasa
terhina dan merasa diperlakukan tidak menyenangkan, sehingga karena itu ia
mengadukan Ketua dan para anggota KPU dan Ketua dan para anggota DK-KPU ke
pihak kepolisian. Itu terjadi pada tahun 2009, yaitu menjelang pelaksanaan
pemungutan suara pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali dalam
sejarah Republik Indonesia.
Berdasarkan UU tentang Penyelenggara
Pemilu, subjek yang dapat menjadi pihak yang berperkara di DKPP dapat mencakup
pengertian yang luas dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam
Peraturan tentang Pedoman Beracara DKPP, pengertian pihak yang dapat berperkara
tersebut dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik
penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh
DKPP. Lagi pula, DKPP juga perlu memberikan dukungan penguatan kepada KPU dan
Bawaslu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan
dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri
oleh KPU dan Bawaslu atau pun hal-hal yang semestinya ditangani dan
diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung
ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu
sendiri lebih dulu.
Karena itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang secara
langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk
kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di
tingkat provinsi atau tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran
yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota lebih dulu harus diklarifikasi dan
ditangani oleh KPU Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun laporan atau pengaduan
terkait diajukan langsung oleh masyarakat, oleh partai politik atau pun oleh
penyelenggara pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka laporan atau pengaduan
tersebut akan diperiksa dan diselesaikan lebih oleh KPU atau Bawaslu melalui
anggota anggota KPU atau anggota Bawaslu yang duduk sebagai anggota DKPP.
Objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku
pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum.
Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan
perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh
perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang
dipertanggung-jawabkan juga secara individu orang per orang.
Dengan perkataan lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah individu,
baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu
institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dapat dituduh melanggar kode
etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagai institusi, tetapi orang per orang yang
kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau Bawaslu tersebut.
Karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus mampu membuktikan apa
saja yang telah dilakukan oleh orang per orang individu ketua atau anggota KPU
atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Masalah penting yang sering kurang dipahami dengan baik atau kurang mendapat
perhatian dalam perkembangan modern mengenai sistem peradilan adalah perspektif
tentang keadilan restoratif (restorative justice). Pada umumnya, proses
peradilan konvensional selalu dipahami dalam konteks paradigma keadilan
retributif (retributive justice). Yang diutamakan dalam proses peradilan
adalah sistem sanksi hukum yang bersifat menghukum, membalas dendam,
melampiaskan sakit hati, atau menyalurkan kemarahan, baik korban dalam arti
sempit ataupun korban dalam arti luas, yaitu masyarakat pada umumnya yang tidak
puas, dan bahkan benci dan marah kepada penjahat yang telah melawan hukum dan
merugikan masyarakat Dalam hukum pidana, tersedia sistem sanksi pidana mati,
pidana penjara, pidana denda, dan sebagainya. Sedangkan dalam sistem peradilan
etika diadakan sanksi teguran dan sanksi pemberhentian dari jabatan publik.
Semua bentuk sanksi hukum maupun etika tersebut bersifat pembalasan dengan cara
menghukum dan melampiaskan amarah.
Namun
dewasa ini, teori pembalasan ini mendapatkan perlawanan yang semakin kuat dan
kritis di kalangan para ahli, seiring makin berkembang-luasnya kesadaran baru
mengenai standar-standar kemanusiaan global. Hukuman atau pidana mati semakin dipersoalkan
dalam teori dan praktik, dan demikian pula sanksi penjara dipandang makin lama
makin tidak efektif dalam mengendalikan kecenderungan perilaku menyimpang (deviant
behaviors) dalam kehidupan masyarakat modern.
Di
bidang pemberantasan korupsi, misalnya, semakin luas aspirasi mengenai
pentingnya pengenaan sanksi perampasan harta kekayaan dengan menggunakan sistem
pembuktian terbalik. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
harus dirampas seluruh harta kekayaan yang dimilikinya, kecuali ia mampu
membuktikan bahwa bagian-bagian mana dari harta kekayaan yang dimilikinya itu
yang diperoleh dengan cara yang memang sah menurut hukum. Sistem sanksi yang
demikian ini dianggap lebih bersifat memulihkan kerugian negara daripada
sekedar melampiskan balasan sanksi penjara ataupun pidana mati bagi penjahat
yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan sistem sanksi
perampasan harta tersebut, kepentingan kerugian kekayaan negara dapat
dipulihkan sebagaimana mestinya, bukan sekedar melampiskan kemarahan kepada
korupsi dan kepada koruptor.
Cara
pandang keadilan restoratif ini merupakan warisan umat manusia dalam sejarah
pra-modern yang cenderung mulai direvitalisasi kembali untuk kepentingan masa
kini. Oleh karena itu, jika seseorang terbukti melanggar hukum, yang penting
mendapat perhatian justru adalah nasib korban yang harus dipulihkan. Masalahnya
kemudian jika dikaitkan dengan peradilan pidana dan peradilan etika
penyelenggara pemilu yang tidak berkaitan dengan proses pemilu ataupun dengan
hasil pemilu, melainkan hanya dengan perilaku etik dari aparat penyelenggara
pemilu, timbul masalah yang boleh jadi belum saatnya dipertimbangkan mengenai
relevansi dan urgensinya.
Untuk membantu KPU Provinsi, DKPP dapat
saja menuangkan advis hukum mengenai hal itu dalam ‘ratio-decidendi’
atau pertimbangan putusan yang secara substantif dapat dipandang sebagai advis
yang bersifat anjuran moral kepada KPU untuk bertindak. Bahkan, agar lebih
tegas dan mudah dipahami, DKPP dapat pula berinovasi dengan menuangkan advis
etik tersebut dalam rumusan amar sehingga memiliki daya ikat dan daya bimbing
yang lebih kuat dan efektif.
Namun demikian, inovasi semacam itu sangat rawan disalah-gunakan di satu segi,
dan mudah pula mengundang kontroversi sebagai akibat reaksi pro dan kontra
terhadap putusan DKPP. Mengapa demikian? Sebabnya ialah kesadaran mengenai
pentingnya perspektif ‘restorative justice’ itu masih sangat tipis di
kalangan masyarakat. Hukum pun masih dipahami hanya sebagai persoalan prosedur
yang bersifat formal. Hukum hanya dipandang sebagai kata-kata tekstual, bukan
dan belum dipahami sebagai instrumen keadilan yang bersifat substantif dengan
memberikan solusi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Inovasi semacam
ini juga rawan disalahgunakan bagi pencari keadilan yang semu, yaitu DKPP rawan
dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan dalam menghadapi
keputusan KPU yang tidak menguntungkan bagi partai politik atau pun pihak-pihak
terkait.
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum lain atau upaya hukum yang lebih
lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam
sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu
langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara
kekuasaan negara dan termasuk badan-badan peradilan terikat dan wajib
melaksanakan putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi
putusan DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu,
atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait.
Putusan-putusan DKPP dan
keputusan-keputusan administratif atau yang biasa dikenal sebagai
keputusan-keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan DKPP tersebut,
tidak dapat dijadikan objek perkara di pengadilan, khususnya di Pengadilan Tata
Usaha Negara. Karena menurut UU tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP itu
bersifat final dan mengikat. Sifat final dan mengikat ini sudah dipahami
bersama oleh Ketua dan semua unsur Pimpinan Mahkamah Agung dalam pertemuan
bersama antara DKPP dan Pimpinan Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu.
Bahkan hal tersebut sudah lebih dulu dikomunikasikan dengan pihak kepolisian
dalam pertemuan konsultasi DKPP dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (808hr)
KANTOR HUKUM KALINGGA
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
kantorhukumkalingga@gmail.com
kantorhukumkalingga@yahoo.com
kantorhukumkalingga.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar