MASALAH HARTA BERSAMA (HARTA GONO GINI)
DALAM HUKUM
Salah satu masalah hukum yang sering dihadapi
oleh para isteri yang sedang menempuh proses perceraian atau sudah bercerai
dengan suaminya adalah tidak adilnya pembagian harta bersama atau yang biasa
juga disebut harta gono-gini. Jika Anda salah satu dari sekian banyak perempuan
yang mengalami ketidakadilan dalam putusan pembagian harta bersama, Anda dapat
mengetahui upaya apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk mengupayakan pembagian
harta yang lebih adil melalui lembar info ini.
Pengertian Harta Bersama
Harta bersama (gono-gini) adalah harta benda atau
hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta
tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas
harta bersama. Jadi, harta
bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau
usaha salah seorang dari mereka. Ini berarti baik suami maupun istri mempunyai
hak dan kewajiban yang sama atas harta bersama dan segala tindakan hukum atas
harta bersama harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Harta bersama dapat
berupa benda berwujud, benda tidak berwujud (hak dan kewajiban), benda
bergerak, benda tidak bergerak dan surat-surat berharga. Sepanjang tidak diatur
lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing-masing
pihak isteri maupun suami berhak atas separoh (seperdua) dari harta bersama.
Apa saja harta yang tidak termasuk harta bersama?
Menurut hukum perkawinan yang berlaku
(Undang-Undang No 1 thn 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam),
harta kekayaan yang dimiliki sebelum perkawinan (harta bawaan) tidak termasuk
dalam harta bersama kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Dengan
demikian, pada dasarnya, harta bawaan suami tetap menjadi milik suami dan harta
bawaan istri tetap menjadi milik istri. Selain itu, mahar, warisan, hadiah dan
hibah yang didapat selama perkawinan bukanlah harta bersama.
Ketidakadilan Pembagian Harta Bersama
Seringkali pihak isteri dirugikan dan mengalami
ketidakadilan dalam pembagian harta bersama. Ketidakadilan ini terkait dengan
masalah pembakuan peran suami isteri dalam Undang-Undang No. 1 thn 1974 tentang
Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri
ibu rumah tangga. UUP juga telah menempatkan isteri sebatas pengelola rumah
tangga (domestik) dengan aturan yang mewajibkan isteri mengatur urusan rumah
tangga sebaik-baiknya. Dampaknya, banyak isteri yang tidak memiliki kesempatan
bekerja dan mencari nafkah sendiri sehingga tidak bisa mengolah ketrampilan yang
dimilikinya untuk memperoleh penghasilan. Dalam hal ini, para isteri mengalami
ketergantungan ekonomi terhadap suaminya. Bagaimana jika kemudian terjadi
perceraian? Isteri yang telah "dirumahkan" tentu akan mengalami
kesulitan untuk mandiri secara ekonomi. Beban isteri pun semakin berat jika
dalam perkawinan sudah lahir anak-anak yang menjadi tanggungannya.
Ketidakadilan lainnya yang sering terjadi adalah
beban ganda yang memberatkan pihak isteri. Kadang kala isteri bekerja diluar
rumah sebagai pencari nafkah (bahkan sebagai pencari nafkah utama) dan juga
dibebani dengan pekerjaan rumah tangga sepulangnya ke rumah. Kebanyakan suami
yang merasa pekerjaan rumah tangga adalah urusan isteri saja,umumnya enggan
melakukan pekerjaan rumah tangga meski isterinya sejak pagi bekerja di luar
rumah.
Dengan demikian, adalah hal yang tidak adil bagi
perempuan jika aturan pembagian harta bersama hanya terbatas pada pembagian
separoh dari harta bersama karena tidak sedikit isteri yang berkontribusi lebih
besar daripada suami. Ketentuan pembagian harta bersama sebaiknya diatur secara
proporsional dan adil sesuai dengan kontribusi dan peran masing-masing pihak.
Misalnya dalam kasus perselisihan harta bersama antara ibu Nina (bukan nama
sebenarnya) dan suaminya. Ibu Nina memilih untuk membagi harta bersama melalui
pembuatan kesepakatan bersama dengan suaminya. Sebelumnya, dibuat daftar harta
bersama yang dimiliki oleh Ibu Nina dan suami selama perkawinan. Dalam
kesepakatan tersebut, baik Ibu Nina maupun suami memperoleh bagian harta sesuai
dengan kontribusi masing-masing pihak.
Namun, penting untuk diingat bahwa dalam membuat
kesepakatan Anda harus dalam keadaan bebas dari segala tekanan, intimidasi dan
ancaman.
Jika Anda tidak mendapatkan kesepakatan yang
adil, sedikitnya Anda memperoleh separuh bagian harta bersama sesuai hukum yang
berlaku.
Hal yang dapat Anda lakukan untuk menghindari
percampuran harta karena perkawinan
Jika Anda tidak menghendaki harta kekayaan yang
Anda peroleh selama masa perkawinan menjadi harta bersama, Anda harus membuat
perjanjian perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal-hal
yang dapat diatur dalam perjanjian perkawinan ,diantaranya, adalah :
a) Ketentuan pembagian harta bersama termasuk
prosentase pembagian harta bersama jika terjadi perceraian;
b) Pengaturan atau penanganan urusan keuangan
keluarga selama perkawinan berlangsung;
c) Pemisahan harta selama perkawinan berlangsung,
artinya harta yang anda peroleh dan harta suami terpisah sama sekali.
Membuat perjanjian perkawinan adalah hal yang
penting untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam pembagian harta bersama.
Dalam perjanjian perkawinan juga dapat diatur
ketentuan bahwa jika terjadi perceraian (termasuk cerai karena kematian), Anda
berhak mendapatkan prosentase lebih dari separuh bagian apabila Anda tidak
bekerja,dilarang bekerja, menanggung beban ganda, menanggung beban perwalian
anak,mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan sebagainya. Jika Anda
tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda dapat melakukan musyawah
mengenai besarnya pembagian harta bersama yang akan Anda terima.
Perjanjian perkawinan sebaiknya tidak dibuat
dibawah tangan tetapi disahkan oleh notaris dan dicatatkan dalam lembaga
pencatatan perkawinan. Pada saat perkawinan dilangsungkan, perjanjian
perkawinan juga harus disahkan pula oleh pegawai pencatat perkawinan. Bagi yang
beragama Islam, perjanjian perkawinan dicatatkan di KUA dan bagi yang beragama
non Islam dicatat di Kantor Catatan Sipil.
Cara mengajukan gugatan pembagian harta bersama
Bagi yang beragama Islam, gugatan harta bersama
dapat diajukan ke Pengadilan Agama bersamaan dengan gugatan perceraian atau
dapat juga diajukan terpisah setelah adanya putusan cerai. Anda dapat memilih
prosedur mana yang sesuai dengan kepentingan Anda. Perlu Anda ketahui, jika
pasangan Anda setuju bercerai tetapi tidak setuju dengan pembagian harta
bersama, putusan cerai Anda bisa terhambat. Jadi, jika Anda menghendaki putusan
cerai segera dilaksanakan maka sebaiknya Anda mengajukan gugatan pembagian
harta bersama setelah adanya putusan cerai. Namun, jika Anda ingin menghemat
biaya peradilan dan sudah ada kesepakatan pasangan suami–isteri untuk bercerai
maka gugatan pembagian harta bersama sebaiknya diajukan bersamaan dengan pengajuan
gugatan perceraian.
Pengadilan Agama berwenang memutuskan pembagian
harta bersama berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Menurut KHI, apabila
terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup
lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang
pasangannya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang
hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Sementara, janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Sedangkan bagi yang beragama selain Islam,
gugatan harta bersama baru dapat diajukan setelah adanya putusan perceraian ke
Pengadilan Negeri terkait.
Jika Anda tidak puas dengan putusan harta bersama
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri, Anda dapat
mengajukan upaya hukum banding dalam jangka waktu 14 hari sejak Anda mengetahui
atau menerima putusan Pengadilan tingkat pertama.
Permasalahan yang sering dihadapi perempuan
ketika mengajukan gugatan harta bersama dan cara mengatasinya
1. Harta yang diperoleh dalam perkawinan biasanya
dibeli atas nama suami dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta pun
disimpan oleh suami.
Solusi: Walaupun harta
atas nama suami, hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang harus Anda lakukan
adalah membuat foto kopi setiap dokumen yang berkaitan dengan harta bersama.
2. Sering kali isteri tidak tahu bahwa pembuktian merupakan hal penting dalam
berperkara untuk dapat memperoleh hak atas harta bersama.
Solusi: Jika Anda ingin
mengajukan gugatan cerai dan harta bersama, sebaiknya Anda mengumpulkan semua
bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan harta bersama seperti
sertifikat kepemilikan rumah, tanah, mobil dan kekayaan keluarga lainnya. Ini
penting agar pada saat menggugat harta bersama isteri tidak mengalami kesulitan
pada tahap pembuktian.
Apabila suami tidak mempunyai itikad baik untuk
membagi harta bersama, sebaiknya jangan memberitahu suami kalau Anda berniat
untuk mengajukan gugatan cerai dan harta bersama karena membuka kemungkinan
suami "mengamankan" atau menyembunyikan dokumen-dokumen tersebut.
3. Jika Anda belum juga memiliki dokumen-dokumen
yang diperlukan padahal Anda sudah ingin mengajukan gugat cerai, maka Anda
mesti secepat mungkin menguasai secara fisik harta benda atau kekayaan yang
bisa Anda kuasai. Hal ini penting dilakukan sebagai strategi agar pihak suami
yang mengajukan gugatan harta bersama sehingga
beban pembuktian ada di pihak suami.
Upaya yang dapat ditempuh jika suami menguasai
harta bersama
Jika Suami tidak mau memberikan bagian harta
bersama, berikut hal-hal yang dapat dilakukan oleh pihak isteri :
1. Melakukan upaya musyawarah atau mediasi dengan
pihak suami untuk mencari titik temu dan membuat kesepakatan.
Dalam melakukan musyawarah dengan pihak suami,
pihak isteri harus memperhitungkan biaya kehidupannya dan anak-anak serta
kemampuannya untuk menanggung biaya-biaya atau pengeluaran dikemudian hari.
Meskipun Anda tidak membuat perjanjian perkawinan sebelumnya, Anda tetap dapat
melakukan musyawah mengenai besarnya pembagian harta bersama yang Anda terima
yang akan dituangkan dalam perjanjian atau kesepakatan bersama. Jika selama
perkawinan isteri tidak bekerja, dilarang bekerja, memiliki ketergantungan
secara ekonomi pada suaminya maka isteri sebaiknya mengupayakan mendapat lebih
dari separoh (seperdua) harta bersama atau sedikitnya separoh harta bersama.
Dalam kondisi pihak isteri menanggung beban biaya menghidupi anak-anak, isteri
mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), isteri bekerja sebagai pencari
nafkah utama atau harta kekayaan diperoleh dari jerih payah isteri maka pihak
isteri sangat dianjurkan untuk mengupayakan mendapat bagian lebih besar dari separoh
harta bersama.
2. Tetap mempertahankan harta bagiannya dari
harta bersama meskipun pihak suami melakukan teror dan intimidasi dan secepat
mungkin mengajukan gugatan pembagian harta bersama.
3. Jika terjadi kekerasan atau ancaman kekerasan
dari pihak suami, maka isteri harus secepat mungkin melaporkan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang dialami ke kantor polisi terdekat. Anda juga dapat
menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terdekat atau LBH APIK di Jakarta dan
daerah.
Bagaimana jika pihak suami tidak mematuhi putusan
Pengadilan tentang pembagian Harta bersama? Upaya yang dapat Anda dapat tempuh
adalah:
1. Melakukan upaya musyarawah dengan pihak suami
dan jika diperlukan melibatkan pihak keluarga suami atau isteri dalam
musyawarah tersebut;
2. Mengajukan upaya eksekusi putusan harta
bersama yang telah memiliki kekuatan hukum tetap ke Pengadilan yang berwenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar