HIBAH DAN WASIAT
(KAJIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, FIQIH DAN
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)
Hibah
dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang
berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan
hukum dan peristiwanya sendiri.
Meskipun
tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara
yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang
sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini
bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan
RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).
Dalam
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata
wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih
dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak
prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah
dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam
tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang
berlakunya setelah kematian pemberi wasiat.
Hibah
dan wasiat berdasarkan hokum Islam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan
Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1)
UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim
Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang
hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990)..
Hibah
dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan
diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan
menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya
(Khiyar Fil-kasab).
Oleh karena itu apabila
(misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya,
maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan
anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri,
Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah
dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3
(dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.
Oleh
karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat
fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan
perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak
sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu
dibuatkan akta sebagai alat bukti.
Memang
hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah
pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun
apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat berhubungan dengan
kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.
Walaupun
hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau
wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun
diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir
tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan
perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti
pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara
kewarisan.
Hal
ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak
diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak
bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum
yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun
terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Dengan
demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis)
tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk
dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum
Islam.
Hibah
dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat
dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan
wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat,
jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat.
Sedangkan
ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun
ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan
transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi
sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya
belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam
KHI.
Lain
halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail
dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah
yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih
dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi.
Hibah yang diatur dalam pasal
210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda
yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta,
yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Pengertian
hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang
lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa
imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu).
Definisi
yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak
ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan
illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata
untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling
mengasihi (tahaaduu tahaabuu).
Dalam
KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal
sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil
dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul
ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan
miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan
hadiah tidak disyaratkan ijab kabul.
Dalam
pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan
dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena
karena sudah mendapatkan hibah.
Dalam
fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah
atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat
ditarik kembali.
Ketentuan
ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang
diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut
secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta
hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain.
Oleh
karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau
masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah
bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak
dapat dicabut kembali.
Pasal
213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat
dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Ketentuan ini
menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan
dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap
berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh
menghibahkan hartanya.
Hukum
Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan
diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis
wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah
dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3)
KHI).
Ketentuan
ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i).
melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam empat
mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang
diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak
bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya
yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”.
Para
Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan,
karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya
melaksanakanya.
Namun
demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram
tergantung pada maksud dan tujuannya.
1.Wajib
apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT,
misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia,
misalnya hutang dan lainnya.
2.Sunah
adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan.
3.Haram
apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama.
4.Makruh
apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama.
5.Mubah
apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan.
Sehubungan
wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang
sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah,
karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan
syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum.
Dasar
hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180,
sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan
bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari
Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut
berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat
waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam,
yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris.
Apabila
seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi
hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih
hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24).
Sebagaimana
yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di
hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu)
meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan
pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan
berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak
atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya,
tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya).
Tetapi
berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti
(plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian
berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang
kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan
mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli
waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum.
Masalahnya
belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara
Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan
Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun
2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk
menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama.
Putusan
pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan
hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan.
Oleh
karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait
dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau
pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN
terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain.
Apabila
putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat
kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit
atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan.
ADAPUN
PERBEDAAN HIBAH DAN WASIAT
WARIS
|
HIBAH
|
WASIAT
|
|
Waktu
|
Setelah wafat
|
Sebelum wafat
|
Setelah wafat
|
Penerima
|
Ahli waris
|
ahli waris &
bukan ahli waris
|
bukan ahli waris
|
Nilai
|
Sesuai faraidh
|
Bebas
|
Maksimal 1/3
|
Hukum
|
wajib
|
Sunnah
|
Sunnah
|
BATAL HIBAH
Hibah dapat dikatakan batal demi hukum ataupun dapat dimintakan pembatalannya, tergantung dari syarat-syarat manakah yang dilanggar.Untuk menemukan konstruksi hukumnya, pasal 1320 BW secara garis besar harus dibaca sebagai berikut :Syarat syahnya perjanjian :
1.Sepakat ;
2.Cakap ;
3.Hal
tertentu ;
4.Sebab yang
halal.
Syarat
No.1/
Sepakat dan syarat
No.2/Cakap
disebut sebagai syarat Subjektif yaitu syarat yang berkaitan atau ditujukan
pada si subjek hukum atau orangnya; yang apabila tidak memenuhi syarat-syarat
atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian dapat dimintakan
pembatalannya.Sedangkan syarat
No.3/Suatu
hal tertentu dan syarat
No.4/Sebab
yang halal disebut syarat Objektif yaitu syarat yang ditujukan pada objek hukum
atau bendanya.
Apabila
tidak memenuhi syarat-syarat/ unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian batal
demi hukum.Dengan demikian, apabila dikatakan suatu hibah batal demi hukum maka
tidak perlu dilakukan permohonan pembatalannya kepada hakim (oleh si pemberi
hibah) karena secara yuridis hibah tersebut tidak pernah ada dan
konsekuensi-konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada
pelanggaran syarat No.1 dan No.2 maka dapat dimintakan pembatalannya oleh si
pemberi hibah/ orang yang paling berhak.Sebagai catatan: kata dapat dalam
terminologi hukum mengandung opsi yang ditujukan kepada si pemberi hibah /
orang yang paling berhak untuk melakukan proses pembatalannya melalui hakim di
pengadilan.2) Hibah yang terlanjur terproses dan penerima hibah adalah anak
yang belum dewasa maka dikategorikan sebagai tidak cakap secara hukum; dalam
hal ini hibah tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditunjuk sebagai
walinya sampai anak berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan apakah
diperlukan penetapan pengadilan bagi orang tua untuk mengembalikan objek
hibahnya maka, kembali kepada unsur No.2/Cakap sebagaimana telah diterangkan
diatas maka hibah dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim di pengadilan.
Hibah
Bahwa
seseorang yang mendalilkan mempunyai hak atas tanahberdasarkan hibah tersebut sebagaimana dimaksud oleh pasal 210 ayat (1)
KHI dan apabila diperoleh berdasarkan hibah maka segera tanah tersebut dibalik namakan
atas nama penerima hibah jika tidak demikian kalau timbul sengketa dikemudian
hari maka status tanah tersebut tetap seperti semula kecuali benar benar dapat
dibuktikan perubahan status kepemilikannya;
Putusan No. 27 K/AG/2002 tanggal 26 Februari 2004
Himpunan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam bidang perdata Agama MARI, 2009, hal, 765
Keputusan Mahkamah Agung No. 225 K/Sip/1960 tanggal 23 Agustus 1960,
yang menyatakan bahwa hibah tidak
memerlukan persetujuan ahli waris.
Pemberian hibah tidak boleh mengakibatkan ahli waris
menjadi tidak berhak atas harta penginggalan si pewaris
426 K/ Sip/1963 = Hibah dilarang apabila mengakibatkan hilangnya hak ahli waris dari anak sah pewaris
BATALNYA
HIBAH
Pertimbangan Pengadilan Tmggi yang
dibenarkan Mahkamah Agung:
Pasal 124
ayat 3 K.U.H. perdata melarang
suami untuk menghibahkan sebagian dari harta bersama tanpa persetujuan istrinya, kecuali untuk memberikan suatu kedudukan
kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka.
Barang gono gini harus jatuh
kepada anak kandung bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa
sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.
Yurisprudensi
Mahkamah AgungNo. 400 K/Sip/1975
Terbit : 1977-1
Hal. 98-105
Penghibahan yg dilakukan oleh
almarhum kepada ahli waris-ahli warisnya dengan merugikan ahli waris lainnya
(karena dengan penghibahan itu ahli waris lainnya tidak mendapat bagian)
dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan, karena bertentangan dengan peri
keadilan dan Hukum Adat yang berlaku di daerah Priangan.
Yurisprudensi
Mahkamah AgungNo. 391 K/Sip/1969
Terbit : 1970
Hal. 289
Tidak ada komentar:
Posting Komentar