PERATURAN
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2012
TENTANG
MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA SEBAGAI PENGGANTI PERKAP NOMOR12 TAHUN 2009
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Menimbang:
a. bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memelihara keamanan dalam negeri;
b. bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang penyidikan
tindak pidana, yang dilaksanakan secara profesional, transparan, dan akuntabel
terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang
mencerminkan rasa keadilan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf
b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
tentang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana;
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
3. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG MANAJEMEN
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah
alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
3. Manajemen Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidikan yang meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
4. Penyidik adalah Pejabat Polri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.
5. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang karena diberi wewenang tertentu
dapat melakukan tugas penyidikan.
6. Atasan Penyidik adalah Pejabat Polri yang berperan selaku penyidik, dan
secara struktural membawahi langsung penyidik/penyidik pembantu.
7. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum berupa kejahatan atau
pelanggaran yang diancam dengan hukuman pidana penjara, kurungan atau denda.
8. Penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk melakukan penyelidikan.
9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
10. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
11. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat dan atau dialami sendiri.
12. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana.
13. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya.
14. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak
atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
15. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang
berlaku terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang
merugikannya.
16. Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri
tentang adanya suatu peristiwa yang diduga terdapat pidananya baik yang
ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang
karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan.
17. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang selanjutnya disingkat SPDP
adalah surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.
18. Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat setelah tindak pidana
itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya diketemukan benda yang
diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan
bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak
pidana itu.
19. Tempat Kejadian Perkara yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat dimana
suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain dimana
tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak
pidana tersebut dapat ditemukan.
20. Barang Bukti adalah barang-barang baik yang berwujud, bergerak atau tidak
bergerak yang dapat dijadikan alat bukti dan fungsinya untuk diperlihatkan
kepada terdakwa ataupun saksi dipersidangan guna mempertebal keyakinan Hakim
dalam menentukan kesalahan terdakwa.
21. Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti
yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak
pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.
22. Bukti yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat
bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan
tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan.
23. Alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Pasal 2
Tujuan dari peraturan ini:
a. sebagai pedoman dalam penyelenggaraan manajemen penyidikan tindak pidana di
lingkungan Polri;
b. terselenggaranya manajemen penyidikan yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian secara efektif dan
efisien; dan
c. sebagai evaluasi penilaian kinerja penyidik dalam proses penyidikan tindak
pidana guna terwujudnya tertib administrasi Penyidikan dan kepastian hukum.
Pasal 3
Prinsip-prinsip dalam peraturan ini:
a. legalitas, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. profesional, yaitu penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugas,
fungsi dan wewenang penyidikan sesuai kompetensi yang dimiliki;
c. proporsional, yaitu setiap penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya;
d. prosedural, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai
mekanisme dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan;
e. transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara
terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat;
f. akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan; dan
g. efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah
dan tuntas.
BAB II
PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
Bagian Kesatu
Dasar
Pasal 4
Dasar dilakukan Penyidikan:
a. laporan polisi/pengaduan;
b. surat perintah tugas;
c. laporan hasil penyelidikan (LHP);
d. surat perintah penyidikan; dan
e. SPDP.
Pasal 5
(1) Laporan Polisi/Pengaduan terdiri dari:
a. Laporan Polisi Model A; dan
b. Laporan Polisi Model B.
(2) Laporan Polisi Model A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau
menemukan langsung peristiwa yang terjadi.
(3) Laporan Polisi Model B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah
Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang
diterima dari masyarakat.
Pasal 6
Surat perintah tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b,
sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar penugasan;
b. identitas petugas;
c. jenis penugasan;
d. lama waktu penugasan; dan
e. pejabat pemberi perintah.
Pasal 7
(1) LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, dibuat oleh tim penyelidik
dan ditandatangani oleh ketua tim penyelidik.
(2) LHP sekurang-kurangnya berisi laporan tentang waktu, tempat kegiatan, hasil
penyelidikan, hambatan, pendapat dan saran.
Pasal 8
Surat perintah penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d,
sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar penyidikan;
b. identitas petugas tim penyidik;
c. jenis perkara yang disidik;
d. waktu dimulainya penyidikan; dan
e. identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah.
Bagian Kedua
Administrasi Penyelidikan dan Penyidikan
Pasal 9
Administrasi penyelidikan, meliputi:
a. surat perintah tugas;
b. surat perintah penyelidikan; dan
c. LHP.
Pasal 10
(1) Administrasi penyidikan merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang
disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan,
pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin
ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan
peradilan, operasional maupun pengawasan Penyidikan, meliputi:
a. sampul berkas perkara;
b. isi berkas perkara, meliputi;
1. daftar isi;
2. resume;
3. laporan polisi;
4. surat perintah tugas;
5. surat perintah Penyidikan;
6. SPDP;
7. berita acara pemeriksaan TKP;
8. surat panggilan saksi/ahli;
9. surat perintah membawa saksi;
10. berita acara membawa dan menghadapkan saksi;
11. berita acara penyumpahan saksi/ahli;
12. berita acara pemeriksaan saksi/ahli;
13. surat panggilan tersangka;
14. surat perintah penangkapan;
15. berita acara penangkapan;
16. berita acara pemeriksaan tersangka;
17. berita acara konfrontasi;
18. berita acara rekonstruksi;
19. surat permintaan bantuan penangkapan;
20. berita acara penyerahan tersangka;
21. surat perintah pelepasan tersangka;
22. berita acara pelepasan tersangka;
23. surat perintah penahanan;
24. berita acara penahanan;
25. surat permintaan perpanjangan penahanan kepada jaksa penuntut umum (JPU)
dan hakim;
26. surat penetapan perpanjangan penahanan;
27. berita acara perpanjangan penahanan;
28. surat pemberitahuan perpanjangan penahanan kepada keluarga tersangka;
29. surat perintah pengeluaran tahanan;
30. berita acara pengeluaran tahanan;
31. surat perintah pembantaran penahanan;
32. berita acara pembantaran penahanan;
33. surat perintah pencabutan pembantaran penahanan;
34. berita acara pencabutan pembantaran penahanan;
35. surat perintah penahanan lanjutan;
36. berita acara penahanan lanjutan;
37. surat permintaan izin/izin khusus penggeledahan kepada ketua pengadilan;
38. surat perintah penggeledahan;
39. surat permintaan persetujuan penggeledahan kepada ketua pengadilan;
40. berita acara penggeledahan rumah tinggal/tempat tertutup lainnya;
41. surat permintaan izin/izin khusus penyitaan kepada ketua pengadilan;
42. surat permintaan persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan;
43. surat perintah penyitaan;
44. berita acara penyitaan;
45. surat permintaan persetujuan Presiden, Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur,
Majelis Pengawas Daerah (Notaris) untuk melakukan pemanggilan/pemeriksaan
terhadap pejabat tertentu;
46. surat perintah pembungkusan, penyegelan dan pelabelan barang bukti;
47. berita acara pembungkusan, penyegelan dan pelabelan barang bukti;
48. surat perintah pengembalian barang bukti;
49. berita acara pengembalian barang bukti;
50. surat permintaan bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (labfor);
51. surat hasil pemeriksaan labfor;
52. surat permintaan bantuan pemeriksaan identifikasi;
53. surat hasil pemeriksaan identifikasi;
54. surat pengiriman berkas perkara;
55. tanda terima berkas perkara;
56. surat pengiriman tersangka dan barang bukti;
57. berita acara serah terima tersangka dan barang bukti;
58. surat bantuan penyelidikan;
59. daftar saksi;
60. daftar tersangka;
61. daftar barang bukti;
62. surat permintaan blokir rekening bank;
63. berita acara blokir rekening bank;
64. surat permintaan pembukaan blokir rekening bank;
65. berita acara pembukaan blokir rekening bank;
66. Surat permintaan penangkapan tersangka yang masuk Daftar Pencarian Orang
(DPO) .
67. surat pencabutan permintaan penangkapan tersangka yang masuk Daftar
Pencarian Orang (DPO);
68. surat permintaan pencarian barang sesuai Daftar Pencarian Barang (DPB);
69. surat pencabutan permintaan pencarian barang sesuai Daftar Pencarian Barang
(DPB);
70. surat permintaan cegah dan tangkal (cekal);
71. surat pencabutan cekal;
72. surat penitipan barang bukti;
73. surat perintah penyisihan barang bukti;
74. berita acara penyisihan barang bukti;
75. surat perintah pelelangan barang bukti;
76. berita acara pelelangan barang bukti;
77. surat perintah pemusnahan barang bukti;
78. berita acara pemusnahan barang bukti;
79. surat perintah penitipan barang bukti; dan
80. berita acara penitipan barang bukti.
(2) Isi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, bilamana
diperlukan dapat ditambahkan berita acara perekaman suara dan/atau gambar.
(3) Selain administrasi penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
administrasi penyidikan yang dapat dilampirkan di dalam berkas perkara
meliputi:
a. surat perintah penyelidikan;
b. LHP;
c. kartutik kejahatan/pelanggaran;
d. kartu sidik jari; dan
e. foto Tersangka dalam 3 (tiga) posisi.
(4) Administrasi penyidikan yang tidak termasuk dalam berkas perkara, meliputi:
a. surat perintah penghentian penyidikan;
b. surat ketetapan penghentian penyidikan;
c. surat pemberitahuan penghentian penyidikan;
d. surat pelimpahan berkas perkara penyidikan kepada instansi lain;
e. berita acara pelimpahan berkas perkara penyidikan kepada instansi lain; dan
f. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).
Bagian Ketiga
Penyelidikan
Pasal 11
(1) Kegiatan penyelidikan dilakukan:
a. sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan; dan
b. sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan.
(2) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan
untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana.
(3) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan
bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyidikan untuk:
a. menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan;
b. membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya; dan
c. dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa.
Pasal 12
(1) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 meliputi:
a. pengolahan TKP;
b. pengamatan (observasi);
c. wawancara (interview);
d. pembuntutan (surveillance);
e. penyamaran (under cover);
f. pelacakan (tracking); dan
g. penelitian dan analisis dokumen.
(2) Sasaran penyelidikan meliputi:
a. orang;
b. benda atau barang;
c. tempat;
d. peristiwa/kejadian; dan
e. kegiatan.
Pasal 13
(1) Petugas penyelidik dalam melaksanakan tugas penyelidikan, wajib dilengkapi
dengan surat perintah penyelidikan yang ditandatangani oleh atasan penyelidik
selaku Penyidik.
(2) Petugas penyelidik wajib membuat laporan hasil penyelidikan kepada pejabat
pemberi perintah.
(3) Laporan hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
secara tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis
paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.
Bagian Keempat
Penyidikan
Pasal 14
(1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat
perintah penyidikan.
(2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima Sentra
Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam
bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.
(3) Setelah Laporan Polisi dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di
SPKT atau Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan
pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi
pelapor.
(4) Kepala SPKT atau Kepala Siaga Bareskrim Polri segera meneruskan laporan
polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) kepada:
a. Karobinops Bareskrim Polri untuk laporan yang diterima di Mabes Polri;
b. Direktur Reserse Kriminal Polda untuk laporan yang diterima di SPKT Polda
sesuai jenis perkara yang dilaporkan;
c. Kapolres/Wakapolres untuk laporan yang diterima di SPKT Polres; dan
d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang diterima di SPKT Polsek.
(5) Laporan Polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan ke kesatuan yang lebih rendah atau
sebaliknya dapat ditarik ke kesatuan lebih tinggi.
Pasal 15
Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:
a. penyelidikan;
b. pengiriman SPDP;
c. upaya paksa;
d. pemeriksaan;
e. gelar perkara;
f. penyelesaian berkas perkara;
g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. penghentian Penyidikan.
BAB III
MANAJEMEN PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 16
(1) Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib membuat rencana
penyelidikan.
(2) Rencana penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
a. surat perintah penyelidikan;
b. jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan
penyelidikan;
c. objek …..
12
c. objek, sasaran dan target hasil penyelidikan;
d. kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan
penyelidikan;
f. waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; dan
g. kebutuhan anggaran penyelidikan.
Pasal 17
(1) Sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan.
(2) Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada
atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat:
a. jumlah dan identitas penyidik;
b. sasaran/target penyidikan;
c. kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan;
d. karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik;
e. waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara;
f. kebutuhan anggaran penyidikan; dan
g. kelengkapan administrasi penyidikan.
(3) Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk
melaksanakan penyidikan agar profesional, efektif dan efisien.
(4) Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria:
a. perkara mudah;
b. perkara sedang;
c. perkara sulit; dan
d. perkara sangat sulit.
Pasal 18
(1) Kriteria perkara mudah antara lain:
a. saksi cukup;
b. alat bukti cukup;
c. tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan
d. proses penanganan relatif cepat.
(2) Kriteria perkara sedang antara lain:
a. saksi cukup;
b. terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka;
c. identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap;
d. tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir;
e. tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan
f. tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah
didapatkan.
(3) Kriteria perkara sulit antara lain:
a. saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang terjadi;
b. tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau
memiliki jabatan tertentu;
c. tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan
terorganisir;
d. barang Bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat;
e. diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara;
f. diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya;
g. tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan
h. memerlukan waktu penyidikan yang cukup.
(4) Kriteria perkara sangat sulit antara lain:
a. belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana;
b. saksi belum diketahui keberadaannya;
c. saksi atau tersangka berada di luar negeri;
d. TKP di beberapa negara/lintas negara;
e. tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi;
f. barang Bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita;
g. tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau
memiliki jabatan tertentu; dan
h. memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang.
Pasal 19
Penanganan perkara sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(4), ditentukan sebagai berikut:
a. tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit;
b. tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang dan sulit; dan
c. tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.
Bagian Kedua
Pengorganisasian
Pasal 20
(1) Atasan penyidik selaku penyidik wajib mengorganisir seluruh sumber daya
yang tersedia, untuk:
a. pembentukan tim penyelidik dari:
1. fungsi Reskrim;
2. fungsi kepolisian lainnya; dan
3. bantuan teknis kepolisian;
b. dukungan anggaran penyelidikan; dan
c. dukungan peralatan.
(2) Tim penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat meminta
bantuan dari instansi terkait.
Pasal 21
(1) Atasan penyidik selaku penyidik wajib mengorganisir seluruh sumber daya
yang tersedia, untuk:
a. pembentukan tim penyidik;
b. dukungan anggaran penyidikan; dan
c. dukungan peralatan.
(2) Pembentukan tim penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
disesuaikan dengan kompetensi penyidik dan kriteria tingkat kesulitan perkara
yang ditangani, dan dapat dibentuk tim penyidik gabungan dari beberapa satuan
fungsi Reskrim (join investigation team).
(3) Tim penyidik dapat dibantu oleh tim bantuan teknis dan tenaga ahli.
Pasal 22
(1) Tim penyelidik atau tim penyidik terdiri dari:
a. ketua;
b. wakil ketua; dan
c. anggota.
(2) Personel yang ditunjuk dalam tim penyelidik atau tim penyidik harus
memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas, sesuai dengan perkara yang
ditangani.
(3) Tim penyelidik atau tim penyidik dibentuk dengan surat perintah.
Pasal 23
Satuan fungsi Reskrim yang lebih tinggi dapat mendukung satuan bawah guna
memberikan bantuan penyidikan (back-up) berupa personel, peralatan, dan
anggaran dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Paragraf 1
Penyelidikan
Pasal 24
Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. pengolahan TKP:
1. mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas
tersangka, dan Saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya;
2. mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti; dan
3. memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi;
b. pengamatan (observasi):
1. melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu untuk
mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan; dan
2. mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada berdasarkan
pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya;
c. wawancara (interview):
1. mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik wawancara
secara tertutup maupun terbuka; dan
2. mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari jawaban
atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, dan
bilamana;
d. pembuntutan (surveillance):
1. mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain
yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana;
2. mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak
pidana; dan
3. mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil kejahatan;
e. pelacakan (tracking):
1. mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan
teknologi informasi;
2. melakukan pelacakan melalui kerja sama dengan Interpol, kementerian/
lembaga/badan/komisi/instansi terkait; dan
3. melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan;
f. penyamaran (undercover):
1. menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya untuk
memperoleh bahan keterangan atau informasi;
2. menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari kelompok
tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana; dan
3. khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran sebagai
calon pembeli (undercover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam
distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran
disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution);
g. penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus
tertentu dengan cara:
1. mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana; dan
2. meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi
perkara tindak pidana serta modus operandinya.
Paragraf 2
SPDP
Pasal 25
(1) SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, dibuat dan dikirimkan
setelah terbit surat perintah penyidikan.
(2) SPDP sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan;
b. waktu dimulainya penyidikan;
c. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana
yang disidik;
d. identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan
e. identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
Paragraf 3
Upaya Paksa
Pasal 26
Upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi:
a. pemanggilan;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. penyitaan; dan
f. pemeriksaan surat.
Pasal 27
(1) Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan secara
tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar Laporan Polisi, laporan
hasil penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam
berita acara.
(2) Surat panggilan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku
penyidik.
(3) Surat panggilan disampaikan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang
cukup paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima sebelum waktu untuk datang
memenuhi panggilan.
(4) Surat panggilan sedapat mungkin diserahkan kepada yang bersangkutan
disertai dengan tanda terima, kecuali dalam hal:
a. yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan diserahkan melalui
keluarganya, kuasa hukum, ketua RT/RW/lingkungan, atau kepala desa atau orang
lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut segera akan disampaikan
kepada yang bersangkutan; dan
b. seseorang yang dipanggil berada di luar wilayah hukum kesatuan Polri yang
memanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri tempat
tinggal yang bersangkutan atau dikirimkan melalui pos/jasa pengiriman surat dengan
disertai bukti penerimaan pengiriman.
(5) Dalam hal yang dipanggil tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang
sah, penyidik membuat surat panggilan kedua.
(6) Apabila panggilan kedua tidak datang sesuai waktu yang telah ditetapkan,
penyidik menerbitkan surat perintah membawa.
Pasal 28
(1) Pemanggilan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar
negeri, dilakukan melalui perwakilan Negara Republik Indonesia tempat domisili
orang yang dipanggil.
(2) Pemanggilan terhadap Warga Negara Asing (WNA) yang berada di luar negeri,
dilakukan melalui perwakilan negaranya di Indonesia.
(3) Pengiriman surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diberikan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang cukup dan dilengkapi
dengan tanda terima pengiriman.
Pasal 29
(1) Surat panggilan kepada ahli dikirim oleh penyidik kepada seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, secara langsung kepada yang
bersangkutan atau melalui institusinya.
(2) Sebelum surat panggilan kepada ahli dikirimkan, demi kelancaran
pemeriksaan, penyidik melakukan koordinasi dengan ahli yang akan dipanggil guna
keperluan:
a. memberikan informasi awal tentang perkara yang sedang disidik;
b. memberikan informasi tentang penjelasan yang diharapkan dari ahli; dan
c. untuk menentukan waktu dan tempat pemeriksaan ahli.
Pasal 30
Dalam hal Saksi atau Ahli bersedia hadir untuk memberikan keterangan tanpa
surat panggilan, surat panggilan dapat dibuat dan ditandatangani oleh penyidik
dan saksi atau ahli, sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan.
Pasal 31
(1) Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam rangka penyidikan
perkara sampai lebih dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas keberadaannya,
dapat dicatat di dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan dibuatkan Surat
Pencarian Orang. (2) Pejabat yang berwenang menandatangani DPO: a. Reskrim: 1.
para Direktur pada Bareskrim Polri; 2. para Direktur Reskrim Polda; dan 3. para
Kasatreskrim Polres; b. Kadensus 88 AT Polri; c. Polair: 1. Direktur Polair
Polri; dan 2. Direktur Polair Polda; d. Lalu Lintas…..
19
d. Lalu Lintas: 1. Kabidbingakkum Korlantas Polri; dan 2. Direktur Lalu Lintas
Polda; e. Kapolsek. (3) Dalam hal tersangka dan/atau orang yang dicari sudah
ditemukan atau tidak diperlukan lagi dalam penyidikan maka wajib dikeluarkan
Pencabutan DPO. (4) Pejabat yang berwenang menerbitkan Pencabutan DPO: a.
fungsi Reskrim: 1. para Direktur pada Bareskrim Polri; 2. para Direktur Reskrim
Polda; dan 3. para Kasatreskrim Polres; b. Kadensus 88 AT Polri; c. Polair: 1.
Direktur Polair Polri; dan 2. Direktur Polair Polda; d. fungsi Lalu Lintas: 1.
Kabidbingakkum Korlantas Polri; dan 2. Direktur Lalu Lintas Polda; e. Kapolsek.
Pasal 32
(1) Dalam hal tersangka yang tidak ditahan dan diperkirakan akan melarikan diri
dari wilayah Negara Indonesia, dapat dikenakan tindakan pencegahan. (2) Dalam
hal setiap orang yang berada di luar negeri dan diduga akan melakukan tindak
pidana di Indonesia, dapat dikenakan tindakan penangkalan. (3) Dalam keadaan
mendesak atau mendadak, untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat mengajukan
permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi untuk mencegah dan/atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana. (4) Pejabat yang
berwenang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau penangkalan sesuai
tingkatan daerah hukum penyidikan sebagai berikut: a. Direktur/wakil Direktur
pada Bareskrim Polri; b. Direktur/wakil Direktur Reskrim Polda; c. Kapolres;
dan d. Kapolsek. (5) Pejabat …..
20
(5) Pejabat yang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau penangkalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib melaporkan kepada Kapolri paling
lambat 20 (dua puluh) hari untuk mendapat pengukuhan melalui Keputusan Kapolri.
(6) Keputusan Kapolri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat didelegasikan
kepada pejabat yang ditunjuk.
Pasal 33
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilakukan oleh
penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi
dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik
selaku penyidik.
(3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka
dan/atau penasihat hukum setelah tersangka ditangkap.
(4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Dalam hal tertangkap tangan, tindakan penangkapan dapat dilakukan oleh
petugas dengan tanpa dilengkapi surat perintah penangkapan atau surat perintah
tugas.
(2) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah melakukan penangkapan
segera menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik/penyidik pembantu
kepolisian terdekat.
(3) Penyidik/penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah
menerima penyerahan tersangka dan barang bukti wajib membuat berita acara
penerimaan/penyerahan dan berita acara penangkapan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan oleh penyidik/penyidik pembantu, penyidik/
penyidik pembantu wajib segera membuat berita acara penangkapan.
Pasal 35
(1) Penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan atas permintaan
bantuan dari:
a. kesatuan Polri dari luar kesatuannya berdasarkan DPO;
b. instansi lain yang berwenang; dan
c. permintaan negara anggota International Criminal Police Organization
(ICPO)-Interpol.
(2) Permintaan …..
21
(2) Permintaan bantuan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus
mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa.
(3) Penyidik wajib segera menyerahkan orang yang ditangkap kepada instansi yang
meminta bantuan penangkapan disertai dengan berita acara penyerahan tersangka.
(4) Terhadap tersangka yang diduga berada di luar negeri, Penyidik dapat
berkoordinasi dengan Interpol (Divhubinter Polri) untuk meminta dibuatkan red
notice.
Pasal 36
(1) Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan
sebagai berikut:
a. adanya bukti permulaan yang cukup; dan
b. tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa
alasan yang patut dan wajar.
(2) Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat berdasarkan adanya bukti
permulaan yang cukup, dan hanya berlaku terhadap satu orang tersangka yang
identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan.
(3) Dalam hal membantu penangkapan terhadap seseorang yang terdaftar di dalam
DPO, setiap pejabat yang berwenang di suatu kesatuan membuat surat perintah
penangkapan.
Pasal 37
(1) Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib:
a. memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri;
b. menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan;
c. memberitahukan alasan penangkapan dan hak-hak tersangka;
d. menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman
kepada tersangka pada saat penangkapan; dan
e. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu
orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan.
(2) Penangkapan terhadap WNA harus segera diberitahukan ke kedutaan atau
konsulat perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan secara
langsung oleh penyidik atau melalui Divhubinter Polri.
Pasal …..
22
Pasal 38
Dalam hal penangkapan terhadap anak, penyidik wajib memperhatikan hak-hak bagi
setiap anak yang ditangkap, meliputi:
a. hak didampingi oleh orang tua atau wali;
b. hak mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak;
c. hak privasi untuk tidak dipublikasikan identitasnya;
d. ditempatkan di ruang pelayanan khusus; dan
e. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak.
Pasal 39
Dalam hal penangkapan terhadap perempuan, penyidik wajib memperhatikan
perlakuan khusus sebagai berikut:
a. sedapat mungkin dilakukan oleh Polwan;
b. dipisahkan penempatannya dari ruang tersangka laki-laki; dan
c. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
Pasal 40
(1) Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat
berita acara penangkapan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan identitas penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penangkapan;
b. nama identitas yang ditangkap;
c. tempat, tanggal dan waktu penangkapan;
d. alasan penangkapan, uraian perkara dan/atau pasal yang dipersangkakan; dan
e. keadaan kesehatan orang yang ditangkap.
(2) Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib:
a. menyerahkan 1 (satu) lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka dan
mengirimkan tembusannya kepada keluarga;
b. wajib memeriksa kesehatan tersangka dan sedapat mungkin dilakukan
dokumentasi/foto dan visum et repertum; dan
c. terhadap tersangka dalam keadaan sakit, penyidik segera menghubungi
dokter/petugas kesehatan untuk memberi pelayanan medis dan membuat berita acara
tentang kondisi kesehatan tersangka.
(3) Terhadap tersangka yang telah ditangkap, penyidik/penyidik pembantu wajib
segera melakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan
tersangka.
Pasal …..
23
Pasal 41
(1) Apabila seseorang yang ditangkap tidak cukup bukti melakukan tindak pidana,
penyidik/penyidik pembantu wajib segera melepaskan orang tersebut.
(2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan membuat berita acara
pelepasan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu, yang
bersangkutan dan pihak lain yang menyaksikan.
Pasal 42
(1) Tersangka yang ditangkap dan memenuhi unsur pidana, namun tidak dilakukan
penahanan, tersangka tersebut dipulangkan.
(2) Pemulangan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuatkan berita
acara pelepasan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu, tersangka
yang bersangkutan dan pihak lain yang menyaksikan.
Pasal 43
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dilakukan oleh
penyidik terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti yang cukup.
(2) Prosedur dan teknis penahanan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik
yang mengeluarkan surat perintah penahanan, sedang tanggung jawab mengenai
kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan.
Pasal 44
Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai
berikut:
a. tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri;
b. tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya;
c. tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan
d. tersangka diperkirakan mempersulit Penyidikan.
Pasal 45
(1) Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh
penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui
mekanisme gelar perkara.
(3) Surat …..
24
(3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau
penasihat hukum tersangka.
Pasal 46
(1) Penahanan terhadap seseorang yang mendapat perlakuan khusus menurut
peraturan perundang-undangan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan
tertulis dari pejabat sesuai ketentuan.
(2) Pejabat yang berwenang menandatangani surat perintah penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau
penasihat hukum tersangka.
Pasal 47
(1) Penangguhan penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangguhan
penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(2) Bilamana diperlukan, penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat didahului dengan gelar perkara.
(3) Setiap penangguhan penahanan wajib dilaporkan kepada atasan pejabat yang
menandatangani surat perintah penangguhan penahanan.
Pasal 48
(1) Terhadap tersangka yang telah diberikan penangguhan penahanan, dapat
dilakukan penahanan kembali melalui penerbitan surat perintah pencabutan
penangguhan penahanan yang ditandatangani oleh Penyidik atau Atasan Penyidik
selaku Penyidik.
(2) Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan dikeluarkan karena
tersangka telah melanggar persyaratan penangguhan penahahan.
(3) Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib diterbitkan surat perintah penahanan lanjutan yang dikeluarkan
oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan Penyidikan dan/atau kepentingan tersangka, penyidik dapat
melakukan pengalihan jenis penahanan dari penahanan rumah tahanan negara
menjadi penahanan rumah atau kota.
(2) Pengalihan …..
25
(2) Pengalihan jenis penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
diberikan dengan pertimbangan:
a. permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum disertai alasannya;
b. hasil pemeriksaan medis tentang kondisi kesehatan tersangka; dan
c. rekomendasi hasil gelar perkara.
(3) Pengalihan jenis penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah
pengalihan jenis penahanan yang dikeluarkan oleh Penyidik atau Atasan Penyidik
selaku Penyidik.
Pasal 50
(1) Dalam hal tahanan yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan
secara intensif dan/atau rawat inap di rumah sakit, dapat dilakukan pembantaran
penahanan.
(2) Pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi
dengan surat perintah pembantaran penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau
atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diterbitkan dengan pertimbangan:
d. hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan bahwa tersangka perlu dilakukan
perawatan di rumah sakit; atau
e. permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum untuk kepentingan
perawatan kesehatan yang dilampiri catatan kesehatan.
(4) Surat perintah pembantaran penahanan ditandatangani oleh penyidik atau
atasan penyidik selaku penyidik.
Pasal 51
(1) Apabila kondisi kesehatan tersangka yang dibantarkan penahanannya telah
membaik, dilakukan pencabutan pembantaran penahanan dan dilakukan penahanan
lanjutan.
(2) Pencabutan pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diterbitkan surat perintah pencabutan pembantaran yang dikeluarkan oleh
penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pencabutan pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikeluarkan berdasarkan pertimbangan hasil pemeriksaan dokter yang
menyatakan kondisi kesehatan tersangka telah membaik, dan diterbitkan surat
perintah penahanan lanjutan.
Pasal …..
26
Pasal 52
(1) Surat perintah penahanan lanjutan ditandatangani oleh penyidik atau atasan
penyidik selaku penyidik.
(2) Surat perintah penahanan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dikeluarkan dengan pertimbangan:
a. tersangka yang diberikan pembantaran telah sehat kembali sedangkan tindakan
penahanan masih diperlukan; dan
b. tersangka yang dibantarkan telah melarikan diri dan berhasil ditangkap
kembali.
Pasal 53
(1) Tahanan dikeluarkan dari Rutan dengan pertimbangan:
a. masa penahanan sudah habis atau demi hukum;
b. tersangka diserahkan ke Penuntut Umum;
c. dipindahkan/dititipkan ke Rutan lainnya;
d. ditangguhkan penahanannya;
e. dibantarkan penahanannya karena sakit; atau
f. adanya keputusan hakim praperadilan yang memerintahkan untuk mengeluarkan
tersangka dari tahanan.
(2) Pengeluaran tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan
surat perintah pengeluaran tahanan yang ditandatangani oleh penyidik atau
atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pengeluaran tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
wajib dibuatkan berita acara pengeluaran tahanan.
Pasal 54
(1) Perlakuan dan penempatan terhadap tahanan wajib dibedakan antara tahanan
laki-laki dewasa, perempuan, dan anak-anak.
(2) Perlakuan terhadap tahanan laki-laki dewasa meliputi:
a. harus tetap diperlakukan secara manusiawi;
b. mempedomani asas praduga tak bersalah;
c. berhak mendapat penjelasan mengenai alasan penahanan dan tuduhan yang
dikenakan kepadanya;
d. hanya boleh ditahan di Rutan;
e. keluarga dan penasihat hukum harus diberikan informasi tentang tempat
penahanan;
f. berhak …..
27
f. berhak untuk mendapatkan bantuan hukum;
g. berhak untuk bertemu dengan keluarga dan penasihat hukum;
h. berhak untuk memperoleh pelayanan medis;
i. berhak memperoleh bantuan penerjemah, bila tidak bisa berbahasa Indonesia;
j. harus dipisahkan dari tahanan perempuan dan anak-anak;
k. berhak mendapatkan kesempatan menjalankan ibadah menurut agama/ kepercayaan
atau keyakinannya; dan
l. waktu besuk tahanan ditentukan oleh kepala kesatuan masing-masing.
(3) Perlakuan terhadap tahanan perempuan, meliputi:
a. ditempatkan di ruang tahanan khusus perempuan;
b. berhak mendapat perlakuan khusus;
c. dipisahkan penempatannya dari ruang tahanan tersangka laki-laki dan
anak-anak; dan
d. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
(4) Perlakuan terhadap tahanan anak-anak, meliputi:
a. berhak mendapat pendampingan dari orang tua atau wali;
b. berhak untuk mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak;
c. berhak mendapatkan privasi untuk tidak dipublikasikan identitasnya;
d. ditempatkan di ruang tahanan khusus anak;
e. dipisahkan penempatannya dari ruang tahanan laki-laki dan perempuan dewasa;
dan
f. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak.
Pasal 55
(1) Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dilakukan oleh
penyidik/penyidik pembantu terhadap badan/pakaian dan rumah/tempat lainnya.
(2) Penyidik yang melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh
penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Penggeledahan dilaksanakan untuk kepentingan penyidikan guna mencari dan
menemukan barang bukti dan/atau penangkapan tersangka.
(4) Penggeledahan pakaian dan/atau badan terhadap wanita dilakukan oleh polisi
wanita atau wanita yang diminta bantuannya oleh penyidik/penyidik pembantu.
(5) Prosedur dan teknis penggeledahan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal …..
28
Pasal 56
(1) Setelah penggeledahan dilakukan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat
berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh tersangka atau keluarganya
atau orang yang menguasai tempat yang digeledah atau orang yang diberi kuasa.
(2) Dalam hal tersangka atau keluarganya atau orang yang menguasai tempat yang
digeledah atau orang yang diberi kuasa tidak mau menandatangani berita acara
penggeledahan, harus dibuatkan berita acara penolakan penandatanganan berita
acara penggeledahan.
Pasal 57
(1) Penggeledahan rumah/alat angkutan serta tempat-tempat tertutup lainnya
hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
(2) Surat permintaan izin penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disaksikan oleh
Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat setempat atau orang yang bertanggung
jawab/menguasai tempat tersebut.
Pasal 58
(1) Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, penyidik/penyidik pembantu dapat
melakukan penggeledahan dengan menggunakan surat perintah penggeledahan yang
ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik tanpa
dilengkapi surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu.
(2) Setelah dilaksanakan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyidik/penyidik pembantu wajib segera membuat berita acara penggeledahan dan
memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat tentang pelaksanaan
penggeledahan untuk memperoleh persetujuan penggeledahan.
(3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disaksikan oleh
Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat setempat atau orang yang bertanggung
jawab/menguasai tempat tersebut.
Pasal 59
(1) Penggeledahan terhadap badan/pakaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib:
a. memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan dilakukan
dengan sopan;
b. meminta kesediaan orang untuk digeledah dan meminta maaf atas terganggu hak
privasinya;
c. menunjukkan …..
29
c. menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
d. melakukan penggeledahan secara cermat dan teliti untuk mencari/ mendapatkan
bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana;
e. memperhatikan dan menghargai hak-hak orang yang digeledah;
f. melaksanakan penggeledahan terhadap perempuan oleh petugas perempuan;
g. melaksanakan penggeledahan dalam waktu yang secukupnya;
h. menyampaikan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan; dan
i. setelah melakukan penggeledahan, penyidik segera membuat berita acara
penggeledahan.
(2) Penggeledahan terhadap rumah/tempat lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib:
a. melengkapi administrasi penggeledahan;
b. memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan penggeledahan;
c. memberitahukan penghuni tentang kepentingan penggeledahan;
d. menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang atau orang dengan cara yang
teliti, sopan, etis dan simpatik dan harus didampingi oleh penghuni/saksi;
f. melakukan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik penggeledahan;
g. dalam hal petugas mendapatkan benda/barang atau orang yang dicari, tindakan
untuk mengamankan barang bukti wajib disaksikan oleh pihak yang digeledah atau
saksi dari warga setempat/ketua lingkungan;
h. setelah melaksanakan penggeledahan penyidik/penyidik pembantu menyampaikan
ucapan terima kasih dan mohon maaf; dan
i. dalam waktu paling lama 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah,
harus dibuat berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau
penghuni rumah/tempat lainnya yang bersangkutan.
Pasal 60
(1) Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dilakukan oleh
penyidik/penyidik pembantu terhadap benda/barang atau tagihan tersangka yang
berkaitan dengan perkara yang ditangani untuk kepentingan penyidikan.
(2) Penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas dan surat perintah
penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku
penyidik dan membuat berita acara penyitaan.
(3) Prosedur …..
30
(3) Prosedur dan teknis penyitaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Setiap benda sitaan disimpan di tempat khusus atau Rumah Penyimpanan Benda
Sitaan Negara (Rupbasan).
(5) Terhadap benda/barang sitaan berupa uang wajib disimpan di rekening khusus
penampungan barang bukti Polri yang terdaftar di Kementerian Keuangan.
Pasal 61
(1) Terhadap benda/barang sitaan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan
memerlukan perawatan dengan biaya tinggi dapat dititip rawat kepada orang yang
berhak atau orang dari mana benda itu disita.
(2) Terhadap benda/barang sitaan berupa narkoba, benda yang mudah rusak, dan
berbahaya, prosedur penanganannya dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Dalam hal setelah dilakukan penyitaan, diketahui bahwa ada benda yang tidak
terkait dengan perkara yang ditangani, penyidik/penyidik pembantu segera
mengembalikan kepada orang dari mana benda itu disita, dengan dilengkapi berita
acara yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan yang menerima.
Pasal 62
(1) Pemeriksaan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, adalah
tindakan penyidik/penyidik pembantu untuk memeriksa dan menyita surat yang
dikirim melalui kantor pos dan giro, perusahaan telekomunikasi, jasa pengiriman
barang atau angkutan, jika benda/barang tersebut diduga kuat mempunyai hubungan
dengan perkara pidana yang sedang ditangani.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
penyidik/penyidik pembantu dapat meminta kepada kepala Kantor Pos dan Giro,
perusahaan telekomunikasi, jasa pengiriman barang atau angkutan untuk
menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk kepentingan itu harus
dibuatkan surat tanda penerimaan.
(3) Pemeriksaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin
khusus yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
(4) Perlakuan terhadap surat yang telah diperiksa dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara pemeriksaan surat .
Paragraf …..
31
Paragraf 4
Pemeriksaan
Pasal 63
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, dilakukan oleh
penyidik/penyidik pembantu terhadap saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan
dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik
pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk mendapatkan
keterangan saksi, ahli dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara
pemeriksaan, guna membuat terang perkara sehingga peran seseorang maupun barang
bukti dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas.
(3) Penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), wajib memiliki kompetensi sebagai pemeriksa.
Pasal 64
(1) Pemeriksaan terhadap saksi dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu untuk
mendapatkan keterangan tentang apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami
sendiri.
(2) Terhadap saksi yang diduga cukup alasan tidak dapat hadir dalam persidangan
di pengadilan, dapat dilakukan penyumpahan atau pengucapan janji sebelum
pemeriksaan dilaksanakan dan dibuat berita acara.
(3) Penyidik/penyidik pembantu wajib segera melakukan pemeriksaan terhadap
saksi yang telah hadir memenuhi panggilan.
(4) Apabila saksi telah dipanggil 2 (dua) kali namun tidak memenuhi panggilan,
dengan alasan yang patut atau wajar, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat
kediaman Saksi atau tempat lain yang tidak melanggar kepatutan.
(5) Pemeriksaan terhadap saksi perempuan dan anak-anak diperlakukan secara
khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pemeriksaan terhadap saksi atau korban yang mendapatkan perlindungan,
penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan pemeriksaan di tempat khusus.
(7) Penyidik/Penyidik Pembantu menuangkan keterangan yang diberikan saksi dalam
berita acara pemeriksaan saksi.
Pasal 65
(1) Pemeriksaan terhadap ahli dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu untuk
mendapatkan keterangan dari seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal
yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
Penyidikan.
(2) Sebelum …..
32
(2) Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap ahli, penyidik/penyidik pembantu
terlebih dahulu melakukan penyumpahan atau pengucapan janji dari ahli yang akan
memberikan keterangan sesuai keahliannya.
(3) Pemeriksa menuangkan keterangan yang diberikan Ahli dalam berita acara
pemeriksaan ahli.
Pasal 66
(1) Pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu
untuk mendapatkan keterangan dari tersangka tentang perbuatan pidana yang
dilakukan.
(2) Tersangka wajib diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti
tentang hak-haknya dan perkara yang dipersangkakan pada saat pemeriksaan akan
dimulai.
(3) Tersangka yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
penyidik/penyidik pembantu wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka yang
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau
lebih.
(4) Penyidik/penyidik pembantu dilarang menggunakan kekerasan, tekanan atau
ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku sebagai pihak yang akan
menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum.
(5) Penyidik/penyidik pembantu wajib menyiapkan penerjemah bagi tersangka yang
tidak memahami bahasa Indonesia, dan juru bicara bagi tersangka yang bisu atau
tuli.
(6) Apabila tersangka tidak dapat memenuhi 2 (dua) kali panggilan dengan alasan
yang patut dan wajar, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat kediaman tersangka
atau tempat lain yang tidak melanggar kepatutan.
(7) Terhadap tersangka perempuan dan anak diperlakukan secara khusus sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Penyidik/penyidik pembantu wajib menuangkan keterangan yang diberikan
Tersangka dalam berita acara pemeriksaan tersangka, dan turunannya dapat
diberikan kepada tersangka/penasihat hukumnya.
(9) Pada saat pemeriksaan tersangka, penasihat hukum tersangka dapat mengikuti
jalannya pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan, kecuali
tersangka diduga melakukan kejahatan terhadap keamanan negara.
(10) Dalam hal tersangka tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan
tersangka, dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya, dan
penyidik membuat berita acara penolakan penandatanganan.
Pasal …..
33
Pasal 67
(1) Untuk kepentingan pembuktian tentang persesuaian keterangan antara Saksi
dengan saksi, saksi dengan tersangka, tersangka dengan tersangka, dapat
dilakukan pemeriksaan konfrontasi.
(2) Pemeriksaan konfrontasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik/penyidik pembantu wajib menghindarkan terjadinya konflik.
(3) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara konfrontasi.
Pasal 68
(1) Untuk kepentingan pembuktian, Penyidik/Penyidik Pembantu dapat melakukan
rekonstruksi dan membuat dokumentasi.
(2) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara rekonstruksi.
Paragraf 5
Gelar Perkara
Pasal 69
Gelar perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e, dilaksanakan dengan
cara:
a. gelar perkara biasa; dan
b. gelar perkara khusus.
Pasal 70
(1) Gelar perkara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a,
dilaksanakan pada tahap:
a. awal proses penyidikan;
b. pertengahan proses penyidikan; dan
c. akhir proses penyidikan.
(2) Gelar perkara pada tahap awal Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bertujuan untuk:
a. menentukan status perkara pidana atau bukan;
b. merumuskan rencana penyidikan;
c. menentukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan;
d. menentukan saksi, tersangka, dan barang bukti;
e. menentukan target waktu; dan
f. penerapan teknik dan taktik Penyidikan.
(3) Gelar …..
34
(3) Gelar perkara pada tahap pertengahan penyidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b bertujuan untuk:
a. evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam Penyidikan;
b. mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai dan upaya percepatan
penyelesaian penyidikan;
c. menentukan rencana penindakan lebih lanjut;
d. memastikan terpenuhinya unsur pasal yang dipersangkakan;
e. memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan barang bukti dengan pasal
yang dipersangkakan;
f. memastikan pelaksanaan Penyidikan telah sesuai dengan target yang
ditetapkan; dan/atau
g. mengembangkan rencana dan sasaran Penyidikan.
(4) Gelar perkara pada tahap akhir Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c bertujuan untuk:
a. evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan;
b. pemecahan masalah atau hambatan penyidikan;
c. memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan bukti;
d. penyempurnaan berkas perkara;
e. menentukan layak tidaknya berkas perkara dilimpahkan kepada penuntut umum
atau dihentikan; dan/atau
f. pemenuhan petunjuk JPU.
Pasal 71
(1) Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b, bertujuan
untuk:
a. merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau
penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik;
b. membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti
baru;
c. menentukan tindakan kepolisian secara khusus; atau
d. membuka kembali Penyidikan berdasarkan putusan praperadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
(2) Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
terhadap kasus-kasus tertentu dengan pertimbangan:
a. memerlukan persetujuan tertulis Presiden/Mendagri/Gubernur;
b. menjadi perhatian publik secara luas;
c. atas permintaan penyidik;
d. perkara …..
35
d. perkara terjadi di lintas negara atau lintas wilayah dalam negeri;
e. berdampak massal atau kontinjensi;
f. kriteria perkaranya sangat sulit;
g. permintaan pencekalan dan pengajuan DPO ke NCB Interpol/Divhubinter Polri;
atau
h. pembukaan blokir rekening.
Pasal 72
(1) Tahapan penyelenggaraan gelar perkara meliputi:
a. persiapan;
b. pelaksanaan; dan
c. kelanjutan hasil gelar perkara.
(2) Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. penyiapan bahan paparan gelar perkara oleh tim penyidik;
b. penyiapan sarana dan prasarana gelar perkara; dan
c. pengiriman surat undangan gelar perkara.
(3) Tahap pelaksanaan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi:
a. pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar perkara;
b. paparan tim penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan
hasil penyidikan yang telah dilaksanakan;
c. tanggapan para peserta gelar perkara;
d. diskusi permasalahan yang terkait dalam penyidikan perkara; dan
e. kesimpulan gelar perkara.
(4) Tahap kelanjutan hasil gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. pembuatan laporan hasil gelar perkara;
b. penyampaian laporan kepada pejabat yang berwenang;
c. arahan dan disposisi pejabat yang berwenang;
d. tindak lanjut hasil gelar perkara oleh penyidik dan melaporkan
perkembangannya kepada atasan penyidik; dan
e. pengecekan pelaksanaan hasil gelar perkara oleh pengawas penyidikan.
Paragraf …..
36
Paragraf 6
Penyelesaian Berkas Perkara
Pasal 73
(1) Penyelesaian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf f
meliputi tahapan:
a. pembuatan resume berkas perkara; dan
b. pemberkasan.
(2) Pembuatan resume berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar Penyidikan;
b. uraian singkat perkara;
c. uraian tentang fakta-fakta;
d. analisis yuridis; dan
e. kesimpulan.
(3) Pemberkasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurang-kurangnya
memuat:
a. sampul berkas perkara;
b. daftar isi;
c. berita acara pendapat/resume;
d. laporan polisi;
e. berita acara setiap tindakan Penyidik/Penyidik pembantu;
f. administrasi Penyidikan;
g. daftar Saksi;
h. daftar Tersangka; dan
i. daftar barang bukti.
(4) Setelah dilakukan pemberkasan, diserahkan kepada atasan Penyidik selaku
Penyidik untuk dilakukan penelitian.
(5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi persyaratan formal
dan material untuk setiap dokumen yang dibuat oleh Penyidik.
(6) Setelah berkas lengkap dan memenuhi syarat segera dilakukan penjilidan dan
penyegelan.
Paragraf …..
37
Paragraf 7
Penyerahan Berkas Perkara
Pasal 74
(1) Penyerahan berkas perkara kepada JPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf g dilakukan sebagai berikut:
a. tahap pertama, menyerahkan berkas perkara; dan
b. tahap kedua, penyerahan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti setelah
berkas perkara dinyatakan lengkap.
(2) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari berkas perkara tidak dikembalikan
oleh JPU, berkas perkara dianggap lengkap dan Penyidik/Penyidik Pembantu dapat
menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti (tahap II).
Paragraf 8
Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
Pasal 75
(1) Penyerahan tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf h, dibuatkan berita acara serah terima tersangka dan barang bukti yang
ditandatangani oleh Penyidik/Penyidik Pembantu yang menyerahkan dan JPU yang
menerima.
(2) Penyerahan tanggung jawab tersangka wajib dilaksanakan di kantor JPU.
(3) Penyerahan tanggung jawab atas barang bukti dapat dilaksanakan di tempat
lain, dimana barang bukti disimpan.
Paragraf 9
Penghentian Penyidikan
Pasal 76
(1) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i,
dilakukan apabila:
a. tidak terdapat cukup bukti;
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. demi hukum, karena:
1. tersangka meninggal dunia;
2. perkara telah kadaluarsa;
3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap (nebis in idem).
(2) Sebelum …..
38
(2) Sebelum dilakukan penghentian penyidikan, wajib dilakukan gelar perkara.
(3) Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan
surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka
atau penasihat hukumnya.
(4) Dalam hal penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan pra
peradilan dan/atau ditemukan bukti baru, penyidik harus melanjutkan penyidikan
kembali dengan menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian penyidikan
dan surat perintah penyidikan lanjutan.
Pasal 77
Dalam acara pemeriksaan cepat yang merupakan perkara tindak pidana ringan, dan
perkara pelanggaran lalu lintas, penyidik atas kuasa penuntut umum demi hukum
menyerahkan berkas perkara, barang bukti, Saksi, dan terdakwa ke pengadilan.
Bagian Keempat
Pengawasan dan Pengendalian
Paragraf Kesatu
Subyek
Pasal 78
Subyek pengawasan dan pengendalian penyidikan meliputi:
a. atasan penyidik; dan
b. pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan.
Pasal 79
Atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, meliputi:
a. tingkat Mabes Polri;
1. pejabat struktural yang karena jabatannya sebagai atasan penyidik:
a) Kapolri;
b) Kabaharkam Polri;
c) Kabareskrim Polri;
d) Kakorlantas Polri;
e) Direktur pada Bareskrim Polri.
f) Dirpolair Polri; dan
g) Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 AT Polri;
2. atasan langsung yang membawahi Penyidik;
b. tingkat …..
39
b. tingkat Polda:
1. pejabat struktural yang karena jabatannya sebagai atasan penyidik:
a) Kapolda;
b) Dirreskrim, Dirlantas, Dirpolair;
c) Kasubdit pada Ditreskrim; dan
d) Kasubdit Laka Ditlantas, Kasubdit Gakum Ditpolair;
2. atasan langsung yang membawahi penyidik;
c. tingkat Polres:
1. pejabat struktural yang karena jabatannya sebagai atasan penyidik:
a) Kapolres;
b) Kasatreskrim, Kasatlantas, Kasatpolair; dan
c) Kapolsek;
2. atasan langsung yang membawahi penyidik.
Pasal 80
Pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 huruf b, meliputi:
a. tingkat Mabes Polri:
1. Kepala Biro Wassidik Bareskrim Polri; dan
2. pengemban fungsi pengawasan pada Baharkam Polri, Korlantas Polri, Biro
Wassidik Bareskrim Polri, Densus 88 AT Polri;
b. tingkat Polda:
1. Kepala Bagian Wassidik Ditreskrim;
2. Pengemban fungsi pengawasan pada Ditlantas; dan
3. Pengemban fungsi pengawasan pada Ditpolair;
c. tingkat Polres:
1. Kaur Bin Ops (KBO) Satreskrim;
2. KBO Satlantas; dan
3. KBO Satpolair.
Paragraf 2
Objek
Pasal 81
Objek pengawasan dan pengendalian Penyelidikan dan Penyidikan meliputi:
a. petugas penyelidik dan penyidik;
b. kegiatan penyelidikan dan penyidikan;
c. administrasi penyelidikan dan penyidikan; dan
d. administrasi lain yang mendukung penyelidikan dan penyidikan.
Pasal …..
40
Pasal 82
(1) Petugas penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a
adalah pejabat Polri yang melakukan penyelidikan/penyidikan berdasarkan surat
perintah tugas.
(2) Pengawasan dan pengendalian terhadap petugas penyelidik dan penyidik,
meliputi:
a. sikap, moral dan perilaku selama melaksanakan tugas penyelidikan dan
penyidikan;
b. perlakuan dan pelayanan terhadap tersangka, saksi dan barang bukti;
c. hubungan penyelidik/penyidik dengan tersangka, saksi, dan keluarga atau
pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani; dan
d. hubungan penyidik dengan instansi penegak hukum dan instansi terkait
lainnya.
(3) Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan penyelidikan dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b, meliputi:
a. teknis dan taktis penyelidikan/penyidikan; dan
b. profesionalisme penyelidikan/penyidikan.
(4) Pengawasan dan pengendalian terhadap administrasi penyelidikan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf c, meliputi:
a. kelengkapan administrasi penyelidikan/penyidikan;
b. legalitas dan akuntabilitas administrasi penyelidikan/penyidikan.
(5) Pengawasan dan pengendalian terhadap administrasi lain yang mendukung
penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf d,
meliputi:
a. buku register perkara; dan
b. pengisian dan pencatatan tata naskah (takah) perkara.
Paragraf 3
Metode
Pasal 83
Metode pengawasan dan pengendalian kegiatan penyelidikan dan penyidikan,
meliputi:
a. penelitian laporan;
b. pengawasan melekat;
c. petunjuk dan arahan;
d. supervisi; dan
e. gelar perkara.
Pasal …..
41
Pasal 84
Penelitian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a, meliputi
kegiatan pemeriksaan terhadap:
a. Laporan Pengaduan/Laporan Polisi;
b. LHP;
c. SP2HP; dan
d. laporan kemajuan perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan.
Pasal 85
Penelitian laporan bertujuan untuk mengetahui:
a. proses penyelidikan dan penyidikan sudah sesuai dengan ketentuan atau
ditemukan adanya kendala, hambatan, atau permasalahan;
b. ada tidaknya unsur pidana;
c. penerapan pasal sesuai dengan perkaranya;
d. perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan; dan
e. jumlah perkara yang terjadi dan persentase penyelesaiannya.
Pasal 86
Penelitian laporan dilakukan oleh:
a. pejabat struktural;
b. Atasan Penyidik; dan
c. pejabat pengemban fungsi pengawasan Penyidikan.
Pasal 87
Pengawasan melekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b, dilaksanakan
oleh atasan penyidik dengan cara pengawasan dan pengendalian:
a. langsung pelaksanaan penyelidikan;
b. administrasi penyidikan;
c. pengolahan TKP;
d. tindakan upaya paksa;
e. pelaksanaan rekonstruksi atau reka ulang;
f. penanganan tahanan dan barang bukti; dan
g. tindakan lain yang ada kaitannya dengan penyelidikan dan penyidikan.
Pasal …..
42
Pasal 88
(1) Petunjuk dan arahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf c, diberikan
dengan cara:
a. melalui surat;
b. langsung melalui tatap muka, dan briefing; atau
c. melalui telepon atau alat komunikasi lainnya.
(2) Petunjuk dan arahan dapat dilakukan oleh atasan langsung penyidik, pejabat
struktural, dan pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan.
Pasal 89
(1) Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf d, dilaksanakan:
a. secara rutin; dan
b. insidentil.
(2) Supervisi secara rutin dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
(3) Supervisi insidentil dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
(4) Supervisi dilaksanakan oleh pejabat struktural, pengemban fungsi pengawasan
Penyidikan serta pengemban fungsi pengawasan umum dan daerah.
Pasal 90
Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 bertujuan untuk:
a. mengetahui proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai ketentuan
atau ditemukan adanya kendala, hambatan, atau permasalahan;
b. klarifikasi terhadap laporan atau pengaduan masyarakat dengan fakta yang ada
atau ditemukan;
c. memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi penyidik/penyidik
pembantu dan memberikan alternatif solusi;
d. menjamin kualitas proses penyelidikan dan penyidikan; dan
e. sebagai konsultan dalam pemecahan masalah.
Paragraf 4
Hasil Pengawasan
Pasal 91
Dalam hal hasil pengawasan ditemukan adanya dugaan pelanggaran disiplin atau
kode etik profesi Polri yang dilakukan penyidik/penyidik pembantu, sebelum
diproses melalui mekanisme acara hukuman disiplin, harus dilakukan pemeriksaan
pendahuluan oleh atasan penyidik, pengawas penyidikan atau pejabat atasan
pengawas penyidikan.
Pasal …..
43
Pasal 92
Dalam hal hasil pemeriksaan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91,
telah menemukan petunjuk:
a. diduga telah terjadi pelanggaran disiplin atau pelanggaran kode etik profesi
Polri, pemeriksaan selanjutnya diserahkan kepada fungsi Propam Polri paling
lambat 7 (tujuh) hari setelah dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan; dan
b. diduga telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik
pembantu dalam pelaksanaan penyidikan, proses penyidikannya diserahkan kepada
fungsi Reskrim.
Pasal 93
Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian kinerja Penyidik/Penyidik
Pembantu, catatan setiap kegiatan Penyidikan berikut berkas perkara wajib
disimpan dalam database Sistem Pengawasan dan Penilaian Kinerja Penyidik
(SPPKP).
BAB IV
EVALUASI KINERJA PENYIDIK
Pasal 94
(1) Untuk mengukur tingkat keberhasilan penyidik/penyidik pembantu, dilakukan
evaluasi kinerja dengan membuat rekapitulasi data tentang kegiatan dan hasil
penyelidikan dan penyidikan berupa:
a. jumlah perkara yang diterima, diproses dan diselesaikan; dan
b. rincian jumlah setiap jenis penindakan yang dilaksanakan oleh
penyidik/penyidik pembantu meliputi pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pengeluaran tahanan dan penyerahan berkas
perkara.
(2) Evaluasi rekapitulasi data kegiatan dan hasil penindakan dilaksanakan
secara berkala dan berjenjang dari tingkat Polsek sampai tingkat Mabes Polri
sekurang-kurangnya setiap 1 (satu) bulan sekali dan dirangkum dalam laporan
bulanan.
(3) Laporan bulanan dibuat secara berjenjang dari tingkat Polsek sampai dengan
Mabes Polri dengan jadwal pengiriman setiap bulannya sebagai berikut:
a. laporan dari Polsek paling lambat tanggal 5 (lima) setiap bulan sudah
diterima di Polres (Kapolres dan Kasatreskrim);
b. laporan dari Polres paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan sudah
diterima di Polda (Kapolda dan Dirreskrim); dan
c. laporan dari Polda dan Satker Mabes Polri yang menangani penyidikan paling
lambat tanggal 15 (lima belas) setiap bulan sudah diterima di Bareskrim Polri
(Kabareskrim Polri).
(4) Laporan …..
44
(4) Laporan bulanan digunakan sebagai bahan untuk:
a. pemantauan perkembangan penyidikan;
b. evaluasi kinerja satuan kewilayahan;
c. evaluasi kinerja satker Mabes Polri yang menangani penyidikan; dan
d. pendataan di Pusat Informasi Kriminal Nasional.
Pasal 95
(1) Analisis dan evaluasi (Anev) kemampuan penyelesaian perkara yang ditangani
secara periodik:
a. Anev kinerja penyidik/penyidik pembantu pada semester pertama dan kedua pada
tahun berjalan; dan
b. Anev kinerja penyidik/penyidik pembantu selama 1 (satu) tahun.
(2) Pengiriman Anev kinerja tiap semester dan tahunan dengan jadwal sebagai
berikut:
a. Anev semester pertama dari Polres paling lambat tanggal 10 Juli sudah
diterima di Polda, dari Polda dan Satker Mabes Polri yang membidangi penyidikan
paling lambat tanggal 15 Juli sudah diterima Kabareskrim Polri; dan
b. Anev semester kedua dan akhir tahun dari Polres paling lambat tanggal 10 Januari
sudah diterima di Polda, dari Polda dan Satker Mabes Polri yang membidangi
penyidikan paling lambat tanggal 15 Januari pada tahun berikutnya sudah
diterima Kabareskrim Polri.
Pasal 96
(1) Untuk kepentingan evaluasi perkara yang ditangani PPNS dan pendataan
Pusiknas, Korwas PPNS tingkat Polda dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri wajib
berkoordinasi dan meminta data perkara yang ditangani oleh PPNS.
(2) Korwas PPNS Polda dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri wajib melaporkan
hasil koordinasi dan data penanganan perkara oleh PPNS paling lambat tanggal 15
(lima belas) setiap bulan sudah diterima Kabareskrim Polri.
(3) Anev semester dari Korwas PPNS Polda dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri
sudah diterima paling lambat tanggal 10 Juli, anev semester kedua dan akhir
tahun paling lambat tanggal 15 Januari pada tahun berikutnya sudah diterima
Kabareskrim Polri.
Pasal …..
45
Pasal 97
Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian kinerja penyidik, catatan setiap
kegiatan penyidikan berikut berkas perkara wajib disimpan dalam database Sistem
Pengawasan dan Penilaian Kinerja Penyidik (SPPKP).
BAB V
PERAN ATASAN PENYIDIK
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 98
Atasan penyidik bertugas untuk memastikan setiap tahapan penyidikan berjalan
sesuai ketentuan, melalui upaya sebagai berikut:
a. tahap persiapan:
1. meneliti kelengkapan administrasi penyidikan dan rencana penyidikan; dan
2. memberikan petunjuk tentang proses penyidikan yang akan dilaksanakan;
b. tahap pelaksanaan:
1. menjamin proses penyidikan terlaksana secara transparan dan akuntabel sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. melakukan kegiatan pengawasan penyidikan melalui:
a) pemeriksaan tata naskah administrasi penyidikan;
b) SP2HP;
c) pemeriksaan laporan kemajuan penyidikan;
d) pengelolaan tahanan dan barang bukti;
e) supervisi; dan
f) pelaksanaan gelar perkara;
c. tahap pengakhiran:
1. meneliti kelengkapan Berkas Perkara sebelum diajukan ke JPU untuk
menghindari terjadinya bolak-balik berkas perkara;
2. memberikan petunjuk kepada penyidik/penyidik pembantu ketika Berkas Perkara
dikembalikan oleh JPU;
3. mengikuti perkembangan penyerahan Berkas Perkara, Tersangka dan barang bukti
kepada JPU; dan/atau
4. meneliti secara cermat pertimbangan hukum dasar penetapan SP3.
Bagian …..
46
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 99
Atasan penyidik berwenang untuk:
a. memberdayakan seluruh sumber daya personel, materiil, dan anggaran untuk
menjamin terselenggaranya proses penyelidikan dan penyidikan secara efektif dan
efisien;
b. melakukan Anev hasil penyelidikan dan penyidikan, mengendalikan jalannya
penyelidikan dan penyidikan serta memantau kinerja penyidik/penyidik pembantu;
c. mengawasi pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan yang memenuhi
persyaratan formal dan material; dan
d. melakukan analisis hasil akhir penyelidikan dan penyidikan.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab
Pasal 100
Atasan penyidik bertanggung jawab secara manajerial terhadap:
a. keselamatan penyelidik dan penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan
tugas;
b. peningkatan pengetahuan dan keterampilan penyidik/penyidik pembantu;
c. proses penyelidikan dan penyidikan serta penyelesaian penanganan perkara;
d. pemecahan masalah dan hambatan yang dihadapi oleh penyidik/penyidik pembantu
dalam pelaksanaan tugas;
e. penyelenggaraan proses penyidikan secara profesional, prosedural, objektif,
transparan dan akuntabel;
f. terwujudnya kepastian hukum dalam proses penyidikan;
g. adanya gugatan praperadilan atau upaya hukum lain sebagai akibat dari proses
penyidikan;
h. independensi penyidikan;
i. komplain masyarakat; dan
j. pemberitaan media massa yang dapat menimbulkan opini yang salah terhadap
penyidikan.
BAB …..
47
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 101 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Peraturan Kapolri Nomor
12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Tindak Pidana di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku. Pasal 102 Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2012
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Drs. TIMUR PRADOPO
JENDERAL POLISI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR
Paraf:
1. Kabareskrim Polri : …………
2. Kadivkum Polri : …………
3. Kasetum Polri : …………
4. Wakapolri : …………