PANDANGAN HUKUM HAK GARAP ATAS TANAH
UUPA dan berbagai aturan pelaksanaanya sebenarnya sudah
membuat dua penggolongan status tanah di Indonesia, yaitu tanah hak dan tanah
Negara. Namun di sisi lain, sebagai implikasi konsep hak menguasai dari Negara,
semua tanah di Indonesia dianggap sebagai tanah Negara, termasuk tanah-tanah
hak. Berdasarkan pada pengertian mengenai tanah hak dan tanah Negara yang telah
disebutkan sebelumnya, bukanlah hal yang mudah untuk menentukan dimana letak
tanah garapan dan hak garapan di dalam konstruksi hukum tanah nasional. Bahkan
Budi Harsono secara tegas dalam bukunya mengatakan bahwa hukum tanah nasional
tidak mengenal tanah garapan maupun hak garapan. UUPA sendiri tidak mengatur
mengenai tanah garapan maupun hak menggarap, karena tanah garapan bukan
merupakan tanah hak. Sejumlah literatur hukum pertanahan justru
mengkait-kaitkan tanah garapan dengan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik atau
kuasanya dan pendudukan tanah secara tidak sah (onwettige
occupatie). Meskipun tidak diatur dalam UUPA, beberapa peraturan
perundang-undangan organiknya sudah mencoba untuk mengatur mengenai tanah
garapan. Diantaranya adalah aturan mengenai surat izin menggarap yang diberikan
dalam rangka landreform.
Untuk mencapai salah satu tujuan pokoknya, yaitu untuk mewujudkan dasar-dasar
bagi terbentuknya unifikasi dan kesederhanaan pada hukum tanah nasional, UUPA
membuat ketentuan konversi. Melalui ketentuan konversi tersebut, hak-hak lama
berdasarkan hukum adat dan hukum barat, disesuaikan dengan UUPA. Khusus bagi
tanah-tanah adat yang bukan obyek konversi, penyesuaian terhadap UUPA difasilitasi
dengan ketentuan penegasan hak. Bahkan pada Tahun 1962 dikeluarkan sebuah
peraturan yang memungkinkan tanah-tanah adat yang tidak didukung oleh
bukti-bukti hak untuk didaftarkan menjadi salah satu hak atas tanah menurut
UUPA, atau disebut juga dengan cara pengakuan hak. Oleh peraturan pelaksana
mengenai konversi, pemohon pendaftaran tanah-tanah adat obyek konversi cukup
menunjukan tanda bukti hak, surat keterang Kepada Desa/Lurah yang dikuatkan
oleh camat untuk membenarkan kevalidan tanda bukti hak tersebut, serta KTP.
Bahkan bagi tanah-tanah yang tidak lagi tersedia bukti haknya, masih
diperbolehkan untuk dimohonkan hak atas tanah. Persyaratan yang longgar dengan
intensi untuk memperlancar konversi dimaksudkan agar UUPA segera bisa
diberlakukan atas tanah-tanah adat, karena selama masih belum masuk ke dalam
wilayah pengaturan hukum pertanahan formal, maka selamanya tanah-tanah adat
atau ulayat akan berada dalam wilayah pengaturan hukum adat dan kebiasaan.
Dalam perkembangannya, pendaftaran konversi tanah-tanah adat atau ulayat tidak
berlangsung mulus, salah satu penyebab utamanya adalah terhentinya keberlakuan
UUPA dalam kawasan hutan serta superioritas keberlakuan hukum pertambangan
dalam wilayah kuasa pertambangan. Meskipun demikian, mengacu pada pengertian
formal mengenai tanah garapan, mereka bukan lagi sebagai pemilik atau pihak
yang dianggap berhak atas tanah tersebut. Kedudukan masyarakat adat tersebut
berubah menjadi hanya sebatas penggarap saja. UUPA yang dimaksudkan sebagai
produk hukum utama dalam bidang pertanahan di Indonesia, ternyata belum
sepenuhnya dapat memenuhi harapan. Mengingat hak menggarap atas tanah Negara
belum atau tidak diatur dalam UUPA, maka ditengah kebutuhan tanah demi
pembangunan dan kebutuhan tanah oleh individu, sungguh diperlukan suatu
kebijakan yang tepat. Kenyataan yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh
adalah hak menggarap atau hak mengerjakan yang sering dipersoalkan dan
diperdebatkan adalah, bahwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat,
mayoritas adalah rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah dan berlatar
belakang ekonomi lemah.
Jual beli hak menggarap tanah berkaitan erat dengan
legalitas kepemilikan tanah dan sekaligus legalitas perjanjian. Mengingat hak
menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA, atau
sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN, telah menjadikan jual
beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara sungguh-sungguh. Mengingat
hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA, atau sekurang-kurangnya
belum secara tegas diatur oleh BPN, telah menjadikan jual beli hak menggarap
juga memerlukan perhatian secara sungguh-sungguh. Interpretasi atau konstruksi
hak menggarap yang masih berada pada wilayah perdebatan, dan pada akhirnya
secara lokal melahirkan peraturan daerah sebagai landasan hukum sementara,
telah menjadikan surat keterangan menggarap dan surat pernyataan menggarap
sebagai berkaitan dengan subyek hukum. Sebab suatu jual beli benda bergerak
ataupun benda tidak bergerak, selalu membutuhkan kejelasan atas subyek hukum
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal jual beli hak menggarap atau
izin menggarap, status obyek atau benda yang diperjanjikan akan menimbulkan
permasalahan tersendiri, hal tersebut dikarenakan cara peralihan hak menggarap
atau izin menggarap tidak melaui jual beli, melainkan dengan memohonkan kembali
kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak menggarap atau izin menggarap
tersebut. Apabila status obyek yang diperjanjikan (dijualbelikan) tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, maka sudah dapat dipastikan bahwa perjanjian
(jual beli) tersebut dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sahnya
perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan
demikian perjanjian (jual beli) tersebut tidak memenuhi syarat obyektif.
Apabila syarat obyektif suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka akibat hukum
yang timbul dari perjanjian tersebut ialah perjanjian batal demi hukum.
Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah
ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada
dasar untuk saling menuntut di depan hakim, atau dalam Bahasa Inggris dikatakan
bahwa perjanjian yang demikian itu “null and void”. Berdasarkan
pada uraian diatas dan bab-bab sebelumnya, maka Putusan Mahkamah Agung Nomor
378 K/Pdt/2012 Tentang Jual Beli Izin Menggarap Tanah Negara Antara Soedirjo
Aliman, Dkk Melawah Hj. Maemunah, Dkk tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Mahkamah Agung telah benar dalam menerapkan hukum, karena Mahkamah Agung
menggunakan sifat hukum kebendaan yang bersifat tegas, ketat dan tidak dapat
dirubah dalam memutuskan perkara tersebut. Akan tetapi, apabila Mahkamah Agung
memutuskan untuk memenangkan pihak tergugat (Soedirjo Aliman, Dkk), maka secara
tidak langsung Mahkamah Agung menganggap bahwa telah terjadi perjanjian (jual
beli) izin menggarap antara Soedirjo Aliman dengan H. Umar Syukur. Padahal cara
peralihan hak menggarap atau izin menggarap tidak melaui jual beli, melainkan
dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak
menggarap atau izin menggarap tersebut. Tentunya hal tersebut tidak sesuai
dengan hukum perjanjian, terutama pada syarat sahnya suatu perjanjian Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat obyektif dari
perjanjian.
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
(024) 76670350
HandPhone : 082220117918
Tidak ada komentar:
Posting Komentar