Analisis Kebijakan Pertanahan di Indonesia Ditinjau
Dari Pasal 33 Undang – Undang Dasar 1945 dan Nilai – Nilai
Dalam Pancasila Serta Perbandingannya Dengan Kebijakan Pertanahan di Negara
Lain
A.
Latar Belakang
Ketimpangan
pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia—sebagaimana halnya ketimpangan
ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya—adalah sangat tajam dan ironis. Di satu
sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee dan
menjadikannya sebagai asset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak
petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi
keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya.
Dengan tujuan
pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah
maka program landreform yang telah lama dipeti-eskan (hanya menjadi
program/kebijakan tehnis saja) haruslah digiatkan kembali. Guna mengetahui
perkembangan dari landreform ini, penulisan ini akan membahas aspek historis
yaitu pengaturan dan pelaksanaan landreform dari masing-masing Orde.
B.
LANDREFORM
1.
Sejarah dan Arti Penting UUPA
Salah satu hasil
karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan
Undang-Undang yang pertama kalinya
memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat4”. Inilah
dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa
Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan
pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu
tidak mengabaikan yang lain.
Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung
beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato
pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional
berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri
dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan
rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas
tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.
Semangat
untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh
dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi
sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme6. Soetandyo Wignjosoebroto
menyatakan:
“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang
bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana
Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu
adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari
negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”
Semangat menentang strategi kapitalisme dan
kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas
manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan
sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak
individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis
pembentukan UUPA.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas
bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum
agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan
dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan
makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan
dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal
penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform
yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket
peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan
untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan
keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya
sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap
yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah
produksi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
redistribusi tanah pertanian.
Salah satu konsepsi terpenting dalam UUPA yang
kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi
sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas
terpenting ini.
Hak
Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal
dalam UUPA 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk:
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka
hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai
hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di
negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada
tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta
menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan
tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya
kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa. Dengan ini AP. Parlindungan
menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara.
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan
negara ini harus dibatasi dua hal:
pertama,
oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat
pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias
terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah
satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat
perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut.
Kedua,
pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh
negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan
kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi
pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat
akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
.
Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas
dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak
terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur
masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu
ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum
dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan landreform.
Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga
pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang
layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah.
2. Tinjauan Historis Landreform
Orde Lama
Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai
redistribusi tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960
tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah
menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan
semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah
antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari
pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan
melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia,
seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan
industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor
II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan
pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ
exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti
kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai
agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan
bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan
peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform
dan pengurusan hak atas tanah15. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini
meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform
sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan
semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh
dijadikan sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi
politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan,
terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan
tanah16. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite
kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang
mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang
benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah
telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari
PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang
terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan
ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan
tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga
adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima
pendapat golongan radikal
tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan
inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam
perumusan UUPA menjadi anggotanya.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program
pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk
mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah.
Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan)
yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah.
Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian
Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan
sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak
sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu
dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform
sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu
oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak
ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai
awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal
itu karena:
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam
pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin
meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan
berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk
menggagalkan landreform;
4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak
yaitu yang pro dan kontra landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan
menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang
berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari program landreform masa
ini—menurut Utrecht—adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar21, yaitu
sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964.
Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah
152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru
dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah
kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan
Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai
kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam
pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan
asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan
Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang
kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan
negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan
pinjaman-pinjaman baru. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu
kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga
dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula
dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi
tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai
masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini
menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform,
terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang
tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil
yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung
populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada
pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama
dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi
terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan
penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi
pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan
bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang
dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai
berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah
seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan
lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan
yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1)
8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6%
dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah
tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan
pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya
menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok
kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar. Data tersebut
menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh
para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber
daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini
juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang
dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan
internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang
bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform,
produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut
kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan
stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak
menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif,
apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel
negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada
pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan
sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih
digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel
positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data
yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi
Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada
sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat...
terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas
administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh
tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang
kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998
adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru
diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah
1.267.961 rumah tangga tani.
ORDE
REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam
demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka
semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR
Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi
terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber
daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di
tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang
justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali
masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5
TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria
adalah:
- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan
memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;
- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas,
pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007
hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat
miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha
produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar
di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan.
Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar,
tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.
B. Kebijakan Perpajakan di Negara lain
1. Cina
Sejarah
pajak properti riil di Cina dapat ditelusuri kembali ke empat ribu tahun yang
lalu ketika petani memberikan kontribusi seperdelapan dari hasil panen mereka
kepada pemerintah. Praktek pada waktu itu adalah untuk membagi sepotong persegi
tanah menjadi sembilan bidang ukuran yang sama, dengan dua plot pada setiap
sisi alun-alun, dan satu di tengah. Kemudian delapan keluarga ditugaskan hak
untuk membudidayakan delapan plot luar. Masing-masing delapan keluarga memiliki
kewajiban untuk mengolah plot terletak di pusat kesembilan. Karena semua plot
yang sama dalam ukuran, produk dari plot kesembilan adalah kontribusi tahunan
delapan petani, atau pajak, kepada pemerintah. kontribusi Setiap keluarga, atau
tarif pajak dalam hal modern, adalah sekitar sepuluh persen dari pendapatan
produksinya.
Sistem
pajak kekayaan Cina modern ini dirancang oleh Dr Sun Yat-sen, pendiri Republik.
ideologi Dr Sun disebut Tiga Prinsip Rakyat. tanah-Nya dan filosofi perpajakan
sangat dipengaruhi oleh ekonom Amerika turn-of-the-abad, Henry George. Pada
tahun 1912, Dr Sun menanggapi pertanyaan dari sekelompok wartawan Amerika
dengan mengatakan: "Ajaran tukang pajak tunggal Anda, Henry George, akan
menjadi dasar atau program kami reformasi. The pajak tanah sebagai satu-satunya
alat yang mendukung pemerintah merupakan pajak tak terhingga adil, wajar, dan
merata ... " Penekanan filsafat Dr
Sun di perpajakan properti kemudian diatur dalam Konstitusi China.
Selama
tiga puluh tahun setelah Republik Cina diproklamasikan pada tahun 1912, negara
ini berada di bawah permusuhan konstan antara panglima perang dan dari invasi
Jepang. Sebagai panglima perang memerintah negara atas nama Republik tetapi
bertentangan dengan Undang-Undang, orang Cina dan sistem pemerintah
dieksploitasi tanpa ampun. Setelah kematian Dr Sun pada tahun 1925,
penggantinya politiknya, Chiang Kaishek, begitu sibuk dengan berusaha untuk
mengendalikan para panglima perang, melawan penaklukan Jepang, dan menghindari
revolusi Komunis di bawah Mao Tse-tung bahwa dia memiliki kesempatan sedikit
untuk melaksanakan tanah skala besar reformasi di daratan.
Penegakan
kebijakan pertanahan Dr Sun, yang itu mungkin terjadi, juga bisa digagalkan
pengambilalihan Maois akhirnya dengan memperbaiki keluhan populer yang didorong
itu. Chiang kekuatan menarik diri dari daratan Cina ke Taiwan pada tahun 1949,
dan Statuta untuk Persamaan Hak Tanah Perkotaan berlaku pada tahun 1954 untuk
menegaskan kembali ideologi tanah perpajakan Dr Sun. Statuta dimaksudkan untuk
mencapai empat tujuan:
(1)
penilaian nilai wajar tanah;
(2) pajak sesuai dengan nilai dinyatakan;
(3) pembelian pemerintah opsional sebesar
nilai dinyatakan, dan
(4)
kenikmatan publik selisih nilai tanah di masa depan. Tujuan tersebut menjadi
pedoman dari semua undang-undang hak perpajakan di tahun kemudian.
Pada
tahun 1977, Undang-Undang Pajak Tanah disahkan untuk memberikan tenaga yang
lebih kuat dan penegakan peraturan pajak yang berhubungan dengan tanah. Dua
pajak yang berhubungan dengan tanah besar ditetapkan dalam undang-undang: nilai
pajak tanah-tanah-pajak dan nilai selisih. Pajak tanah-nilai dikembangkan untuk
memperluas basis penerimaan pemerintah daerah. Kenaikan pajak tanah-nilai ini
dirancang untuk menjamin pemenuhan publik selisih nilai tanah di masa depan.
Dengan kata lain, tujuan tanah-nilai kenaikan pajak ini adalah untuk menjamin
pemerataan manfaat masa depan dari tanah dan untuk mengendalikan spekulasi
tanah. Untuk efektivitas pelaksanaan undang-undang, baik pajak
tanah-tanah-nilai dan nilai selisih pajak yang dilakukan di dalam yurisdiksi
lokal.
Tanah
dan bangunan pajak terkait di Taiwan termasuk pajak tanah-nilai, pajak tanah
pertanian, pajak tanah-nilai selisih, pajak notaris, pajak rumah, dan real dan
pajak hadiah. Pajak tanah pertanian dihentikan pada tahun 1986. Estat dan
hadiah pajak adalah pajak pemerintah pusat. Akta pajak dicatat 8,5 persen dari
pendapatan prefektur dan kota pada tahun 1995 dan relatif kurang signifikan
dalam sistem penerimaan di Taiwan. Fokus utama dari bab ini akan di-nilai pajak
tanah, pajak tanah-nilai kenaikan, dan pajak rumah. Ketiga jenis pajak di
Taiwan biasanya disebut pajak properti di negara-negara lain di seluruh dunia.
Pada
tahun 1995 pajak nasional dicatat 53,8
persen dari total pendapatan nasional, sedangkan pajak provinsi dan kota
menyumbang 20,4 persen, dan prefektur dan pajak kota menyumbang 20,9 persen.
[2] Pada tahun fiskal yang sama, 75,3 persen dari total pendapatan pajak
prefektur dan kota berasal dari pajak tanah di mana-nilai pajak tanah dicatat
sebesar 14,9 persen dan pajak pertambahan nilai tanah dicatat 60,4 persen
(lihat Tabel 1). Statistik menunjukkan pentingnya pajak tanah, terutama pajak
pertambahan nilai tanah, di dasar pendapatan pemerintah setempat. Antara 1985
dan 1990, pertumbuhan pendapatan total tahunan 18 persen, sedangkan pajak
pertambahan nilai tanah meningkat 28,6 persen per tahun. Meskipun tingkat
pertumbuhan tahunan untuk semua pajak menjadi stabil antara tahun 1990, dan
1995 jumlah pajak selisih nilai tanah terus naik dari NT $ 82900000000 pada
tahun 1990 menjadi NT $ 155.300.000.000 pada tahun 1995. Puncak pengumpulan
kenaikan pajak tanah-nilai itu pada tahun 1992 ketika selisih nilai tanah-ac
pajak dihitung 71 persen dari total pendapatan daerah.
2. Taiwan
Sebagai
negara yang pada awalnya merupakan bagian dari China, Taiwan memiliki sejarah
pertanahan yang mirip, namun dengan masa depan yang berbeda.
Pajak
Tanah
Pajak
ini dikenakan setiap tahun untuk menahan tanah di Taiwan. Pajak dinilai oleh
pemerintah mempertimbangkan nilai total tanah yang dimiliki oleh seseorang atau
badan di suatu daerah. Tanah untuk digunakan di rumah dikenai pajak pada tarif
tetap sebesar 0,2%, jika kondisi tertentu yang ditetapkan dapat dipenuhi. Tanah
yang digunakan untuk keperluan lain dikenai pajak dengan tarif progresif, mulai
dari 1% menjadi 5,5%.
Kesenjangan
antara kaya dan miskin telah mempersempit untuk seperempat abad terakhir di
Taiwan, dan negara itu sangat makmur di bawah pengaruh reformasi tanah yang
mencerminkan konsep-konsep yang sangat mirip dengan pemikiran Henry George. Di
tempat lain di dunia, khususnya di "dunia ketiga" negara, kesenjangan
kaya-miskin telah melebar. Dua negara seperti itu Iran dan Nikaragua di mana
revolusi berdarah terjadi selama 1979. Beberapa kali dalam Kemajuan dan
Kemiskinan, Henry George mengomentari kemungkinan pemberontakan tersebut dalam
kondisi kesenjangan pendapatan meningkat.
Tanah
didistribusikan dalam ekonomi usaha bebas; pendapatan dibawa lebih dekat dengan
kesetaraan, bukan dengan membasmi orang kaya tapi membangun masyarakat miskin.
Sangat sedikit orang terluka dalam proses. Apa yang terjadi di Taiwan
mengakibatkan penyatuan ide-ide George Henry dengan filosofi Konfusius kuno
persamaan kesempatan, dan dengan pemikiran tertentu reformis tanah Jerman yang
juga telah dipengaruhi oleh George Henry.
Chiang
Kai-shek, melalui reformasi tanah, penuh semangat fiskal ide-ide pemerataan
kesempatan yang sama kepada Henry George dan Dr Sun Yat-Sun anakan. Tanah
pertanian reformasi datang pertama, yang dirancang rapi untuk judul dalam,
seperti cocok dalam suatu negara kemudian hampir kokoh pertanian. Urban land
reform datang kemudian. Kenaikan pajak itu untuk beberapa tahun diterapkan
hanya untuk tanah perkotaan tetapi diperluas ke semua tanah pada tahun 1973.
Mereka dialihkan ke proyek-proyek sosial yang dinyatakan dalam jumlah cukup
besar akan menjadi panen pribadi spekulan tanah.
Tanah
reformasi dimulai dengan kontrol sewa pedesaan dan bergerak cepat untuk
distribusi dari domain publik yang terpaksa diwariskan Jepang ke Cina pada
retrosesi. Ini termasuk lahan padi terbaik di pantai barat. Sesuai dengan
prinsip Dr Sun Ming Shen, ini dijual dalam paket lima hektar kepada keluarga petani
yang telah mengolah itu. Pada saat yang sama, kontrol sewa dikurangi menjadi 37
+ persen dari tanaman padi tuan tanah 'berbagi di peternakan disewa dari 66
persen atau lebih. Hukum ini berlaku karena reservoir tanah dalam domain Jepang
yang ditawarkan untuk dijual di jangka panjang. Ketentuan pembayaran itu
sehingga petani tidak harus membayar lebih dari 37 + persen dari pendapatan
tanaman padi-nya. Begitu hukum-hukum ini adalah sebagian dicerna, pemerintah
mulai membeli tanah dari tuan tanah dan menjualnya kembali kepada para penyewa
pada istilah serupa sehingga petani tidak harus membayar lebih dari 37 +
persen.
Hal
ini berdampak pada perekonomian lokal yang lebih tajam dan lebih cepat daripada
bahkan optimis pendukung yang paling berani untuk memprediksi. Dr Sun sudah
lama menunjukkan kepada Anak Mm Chu-I (Tiga Prinsip Rakyat) industrialisasi
yang harus diikuti, tidak mendahului, bangunan dari kapasitas internal untuk
mengkonsumsi. Reformasi tanah tidak hanya itu. Petani dua kali lipat pendapatan
mereka ketika menyewa datang ke 37-1/2 persen; dan, dengan demikian mendorong,
membuktikan lagi kebenaran pernyataan George Henry:
Memberikan
keamanan manusia bahwa dia bisa menuai dan dia akan menabur. Yakinkan seorang
kepemilikan rumah dia ingin membangun dan ia akan membangunnya. Ini adalah
imbalan alamiah kerja. Hal ini demi menuai bahwa orang menabur, melainkan demi
memiliki rumah yang laki-laki membangun.
Dengan
tuan tanah dibawa ke teluk dan dengan kepemilikan meyakinkan, para petani mulai
menanam palawija padi dan tanaman sayuran selang, sehingga penggandaan
pendapatan mereka untuk kedua kalinya. The-ke-satu meningkat empat memiliki
multiplier effect seluruh perekonomian Cina. Urutan rinci pembangunan ekonomi
kurang penting dibandingkan totalitas yang mengesankan. Dalam satu dekade
banyak pulau itu rehoused. Struktur adobe Bekas dengan atap rumbia dan
berlantai tanah memberikan cara untuk rumah bata dengan atap genteng, dan
lantai semen. Listrik diperpanjang di seluruh pedesaan: kipas listrik mantra perbedaan
antara kenyamanan dan ketidaknyamanan sedemikian iklim, dan mereka tambahan
awal untuk rumah negara yang paling banyak. Transportasi melewati tahapan dari
sepeda berkarat dengan yang baru, mengkilap-merek sepeda dengan sepeda motor
kecil untuk mobil. Dengan setiap perubahan ekonomi datang industri baru,
menjual ke pasar sepeda lokal adat, peralatan listrik, dan kemudian sepeda
motor.
Pemerataan
pendapatan. Untuk beberapa waktu Bank Dunia telah menghitung indeks kesetaraan
penghasilan. Proses ini sangat tepat karena sifat kenyal dari data input, namun
dalam hal ini mengungkapkan mentah. Seperti reformasi tanah mengambil memegang
teguh di Taiwan, pendapatan per kapita paling kaya kelima penduduk meningkat
relatif terhadap pendapatan per kapita yang paling kaya kelima. Reformasi tanah
membangun kemakmuran negara dari bawah ke atas. Ini tidak berarti bahwa puncak
itu ditebang. atas terus meningkat, tetapi kelima bawah jauh lebih cepat
bangkit bahwa kesenjangan antara mereka menyempit.
Di
Taiwan, sebuah sistem koperasi telah berkembang pada masa Jepang sebagai
gerakan bawah tanah-semi. Koperasi itu bankir dari semacam, menyembunyikan
kekayaan dari Jepang dan menyediakan layanan rahasia lain, dan mereka
mengembangkan kekuatan dan keyakinan petani. Ketika terjadi reformasi tanah,
koperasi muncul dan menjadi faktor dominan dalam penyediaan, pemasaran, dan
perbankan lokal. Mereka tidak pernah menikmati monopoli eksklusif; petani dapat
membeli dan menjual dari dan ke siapapun mereka inginkan, tapi koperasi biasanya
memberikan kesepakatan yang terbaik "." Ini telah menjadi faktor
signifikan dalam membuat reformasi tanah "tongkat."
Sistem
pajak juga harus dirancang sedemikian rupa sehingga petani tidak dikenai pajak
dari kepemilikan mereka. pajak Pedesaan di Taiwan hampir seluruhnya tanah dan
disimpan pada tingkat yang mendorong petani, dan tidak dengan cara apa pun
mencegah mereka.
3. Australia
Negara
persemakmuran Australia adalah federasi yang didirikan pada tanggal 1 Januari
1901. Ini terdiri dari enam negara, semua koloni Inggris yang sebelumnya
terpisah - New South Wales, Queensland, Victoria, Australia Selatan, Australia
Barat, Tasmania - dan jarang penduduknya Northern Territory yang kini memiliki
pemerintahan teritorial dipilih oleh warga sendiri. Luas total Persemakmuran
adalah 2.974.581 mil persegi. Pada saat federasi, penunjukan "koloni"
diubah menjadi "negara" untuk semua tapi Northern Territory, yang
mempertahankan sebutan aslinya.
Persemakmuran
juga termasuk 940 mil persegi Capital Territory di mana ibu kota negara,
Canberra, terletak, dan yang juga memiliki pemerintahan lokal terpilih.
Ada
tiga tingkat pemerintahan di Australia, dan tiga tingkat pembiayaan: federal,
negara bagian, dan lokal (kotamadya, shire, borough, dll). Di Australia, pajak
tanah federal dihapuskan pada awal 1952; alasan untuk dugaan ini bervariasi.
Semua negara memiliki pajak tanah negara, tetapi dengan variasi dalam
pelaksanaannya. Mereka semua memiliki berbagai pengecualian dan gradasi.
Akhirnya, di tingkat pemerintah daerah, harga properti kota mungkin didasarkan
pada situs-nilai saja, atau lain atau sama pada nilai situs dan perbaikan
dengan (modal ditingkatkan atau nilai tahunan bersih), atau kadang-kadang pada
"Shandy" sistem - campuran dari dua. Pada tahun-tahun belakangan ini,
di kebanyakan negara bagian, ada kecenderungan untuk melemahkan rating
situs-nilai, misalnya, dengan melengkapi atau menggantinya dengan biaya tetap
untuk tujuan tertentu.
Fungsi
utama pemerintah daerah di Australia adalah untuk memberikan dan memelihara
jalan, penerangan jalan, pengumpulan dan pembuangan sampah, perpustakaan, pusat
kesehatan ibu dan penitipan anak,, dan fasilitas rekreasi. Ini juga mungkin
mensubsidi tertentu pendidikan dan layanan konseling, meski pendidikan tidak
dianggap sebagai tanggung jawab terutama lokal. Juga adalah keamanan publik.
Beberapa fungsi lokal yang didukung, bukan melalui pajak properti, tetapi
melalui retribusi.
Sejarah
Pengembangan Lahan-Nilai Perpajakan
Hampir
sejak awal, beberapa nilai tanah menangkap untuk kepentingan publik di
Australia telah diperoleh melalui penyewaan tanah Crown (yaitu, tanah sekali
publik yang dimiliki oleh Pemerintah Inggris dan sekarang oleh Commonwealth).
Sebuah
pajak tanah federal lulus diperkenalkan pada tahun 1910, dengan tujuan yang
dinyatakan oleh memecah perkebunan besar. Pound 5.000 dari nilai unimproved
dibebaskan, dan tingkat rendah kecuali untuk perkebunan yang sangat besar, para
pemilik yang sering lolos pajak dengan nominal pengelompokan mereka di antara
anggota keluarga .. Sebagaimana disebutkan di atas, hal itu dihapuskan pada
tahun 1952.
pajak
tanah Negara diperkenalkan ke dalam enam negara dalam urutan sebagai berikut:
Australia Selatan, 1884; New South Wales, 1895; Tasmania, 1907, Australia
Barat, 1907, Victoria, 1910, dan Queensland, 1915. Mereka sangat bervariasi,
hanya berlaku untuk sifat tertentu, dan menderita cacat administrasi yang
serius.
Sejauh
ini yang paling penting adalah pajak tanah lokal atau "tingkat nilai
situs." Semua enam negara mengizinkan adopsi mereka dengan pilihan lokal;
Tasmania adalah satu-satunya di mana tidak ada wilayah hukum penarikan diri
dari pilihan ini, walaupun upaya yang kuat telah dibuat di sana untuk
mempromosikannya. Penggunaannya mulai di New South Wales dan Queensland pada
tahun 1890, dan universal di kedua negara; di Australia Barat mulai tahun 1902,
dan dominan di sana. Di South Australia dan Victoria rating nilai bersih
tahunan yang dominan, tetapi nilai rating situs telah ada di bekas sejak 1893,
dan di kedua sejak 1919.
Canberra,
ibukota nasional, yang kini meliputi sebagian besar Australian Capital
Territory (ditransfer ke Persemakmuran oleh New South Wales), didirikan pada
akhir tahun 1920 pada sistem sewa, yang melibatkan pembayaran sewa kepada
pemerintah federal. Setelah situs terpilih untuk wilayah ibukota pada tahun
1909, sebuah kompetisi internasional untuk merencanakan kota itu dimenangkan
oleh Georgist, Walter Burley Griffin Chicago, untuk siapa danau pusat Canberra
adalah bernama. Sistem sewa yang diterapkan ke seluruh ACT, bukan hanya ke
kota. Meskipun tahun 99-prasarana nominal tetap berlaku, menjadi untuk semua
tujuan praktis surat "mati" ketika pembayaran sewa sewa perumahan ini
dibubarkan oleh lalu-Perdana Menteri John Gorton pada tanggal 1 Januari 1971,
bergerak dimaksudkan, menurut lawan-lawannya , untuk menggalang dukungan publik
untuk pemilihan kembali nya. "Diperkirakan bahwa pemerintah mengalihkan
100 juta dolar Australia di ekuitas kepada penyewa guna usaha pada waktu itu,
yang mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan yang penting." "Namun,
situs-nilai rating, yang diperkenalkan pada tahun 1927, terus seluruh wilayah.
Sejarah sistem kepemilikan tanah di Canberra disajikan dalam sebuah buku yang
sangat baik oleh Frank Brennan, Canberra dalam Krisis.
4. Hongkong
'Pajak
Bumi dan harga tanah yang tinggi di Hong Kong
1.
Pemerintah Hong Kong sebagian besar berasal dari total pendapatan dari tanah,
termasuk premi pada lahan baru dan modifikasi sewa yang ada, tarif, pajak
properti, materai pada transaksi properti, sewa. Pada 1993/94 pendapatan
tersebut dikurangi biaya produksi tanah, termasuk bagian diambil oleh Dana
Tanah yang akan kembali kepada Pemerintah SAR setelah 1997, sebesar HK $
56000000000, atau 35% dari total pendapatan pemerintah termasuk pendapatan Dana
Tanah. (Ini tidak termasuk pajak laba atas transaksi properti). Jumlah ini
lebih besar dari hasil pajak keuntungan.
2.
Setelah tahun 1997 jumlah ini akan meningkat karena laju tahunan 3% dibebankan
pada pemberian sewa baru.
3.
Bisa dikatakan bahwa pajak tanah adalah salah satu pajak utama di Hong Kong,
jika bukan pajak utama. Jika semua bentuk pajak tanah dibatalkan, menggantikan
pendapatan yang hilang di 1993/94, pemerintah akan memiliki lebih dari dua kali
lipat tingkat keuntungan pajak. Hal ini menempatkan ke dalam perspektif klaim
yang sering Hong Kong adalah rezim pajak yang rendah. Hal ini sebenarnya tidak
begitu rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, hanya bahwa pajak
yang dibayarkan pada tanah bukan pada keuntungan atau penghasilan.
4.
Salah satu drive utama dari kebijakan pemerintah untuk menjaga harga tanah
tinggi sehingga hasil dari berbagai pajak tanah tetap tinggi. Crown tanah
dilepaskan dengan cara yang terkendali pada lelang dengan perawatan diambil
untuk memastikan bahwa pasar tidak banjir. Harga diposting dan cadangan adalah
tanah ditarik jika hal ini tidak tercapai. pertimbangan yang sama berlaku untuk
pengelolaan wilayah laut cermat yang dapat dikonversi menjadi tanah. Kebijakan
ini diutamakan terhadap kebijakan Pemerintah lain, misalnya bahkan ketika
Pemerintah mengambil kebijakan pada tahun 1994 mendorong harga tanah yang lebih
rendah, ia masih mempertahankan kebijakan harga cadangan di lelang dan dipotong
tanah pada berbagai kesempatan meskipun ini akan memiliki efek menjaga harga
yang lebih tinggi daripada seharusnya.
5.
Pemerintah Cina telah menjadi pendukung kuat kebijakan harga tanah yang tinggi
dan telah mengkritik Pemerintah Hong Kong kuat untuk setiap langkah yang
mungkin menyebabkan hasil pajak tanah yang lebih rendah. Berdasarkan Deklarasi
Bersama bidang tahunan pembebasan lahan dibatasi sampai 50 hektar, sebagai
dikendalikan oleh Sino-British Tanah Komisi.
6.
Implikasi dari kebijakan harga tanah tinggi jauh-mencapai:
Secara
umum, harga tanah yang lebih tinggi dan kurang tanah (atau akomodasi ruang)
tersedia untuk orang-orang dan bisnis di Hong Kong di bawah kebijakan daripada
akan terjadi tanpa itu. Dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini sangat
signifikan.
Mempertahankan
kebijakan Pemerintah drive menjadi aliansi "suci" dengan para
pengembang properti dan bank-bank yang semuanya memiliki kepentingan dalam
mempertahankan harga setinggi mungkin.
Kebijakan
ini mendorong ketergantungan yang tidak sehat oleh Pemerintah pada tindakan
administratif dan bukan kekuatan-kekuatan pasar. Jadi, misalnya, Pemerintah
memilih untuk melakukan intervensi di pasar properti di tahun 1994 dengan
tindakan administratif, misalnya dengan membuat presale flat sulit, bukan oleh
"operasi pasar terbuka", yaitu dengan mengeluarkan lebih banyak
tanah. Ini akan menetapkan preseden menyenangkan.
Untuk
mengimbangi efek distorsi kebijakan perusahaan, pemerintah terpaksa menjadi
intervensi lebih lanjut dalam proses pasar dengan luas menyediakan perumahan
rakyat. Hal ini mengejutkan bahwa dalam ekonomi pasar bebas seharusnya, lebih
dari 40% penduduk tinggal di perumahan umum - semua yang dimiliki oleh pemilik
tunggal. Kebijakan ini bahkan telah diperpanjang oleh kelas "sandwich apa
yang disebut" perumahan program dukungan.
7.
Meskipun tinggi pentingnya masalah ini, kesadaran masyarakat sangat rendah, dan
Pemerintah jarang jika pernah menantang. Mungkin orang Hong Kong sangat senang
dapat dikenakan pajak dengan cara ini, tetapi mereka tidak pernah bertanya.
8.
Untuk mendorong kesadaran masyarakat yang lebih besar, sebuah perdebatan
gerakan di Legco bisa dikemukakan, sepanjang baris berikut:
"Itu
mengingat fakta bahwa pemerintah menarik sebagian besar pendapatan secara
langsung atau tidak langsung dari pelepasan tanah, yang merupakan pemasok
monopoli, dan bahwa seperti peningkatan pendapatan-merupakan bentuk perpajakan
pada masyarakat, ini Dewan mendesak Pemerintah untuk mengadopsi kebijakan
melepaskan tanah lebih bebas dan membuat baik segala kekurangan pendapatan
dengan cara alternatif. "
Hukum
bukan semata-mata hanya rule and logic, akan tetapi social structure and
behavior, artinya, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam
perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur
sosial dan prilaku. Berangkat dari dasar pemikiran Donald Black, yang
mengetengahkan bahwa hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia akan selalu
mengalami perkembangan. Kita lihat bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu.
Konsep hukum, seperti “rule of law” sekarang ini juga tidak muncul dengan
tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan
tersendiri. Apabila disini dikatakan hukum bukan hanya semata-mata sekumpulan
aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan
prilaku, maka yang dimaksud dalam konteks ini ialah, bahwa ada hubungan timbal
balik yang erat antara hukum dan masyarakat.
Pada
ranah yang lebih konkrit lagi, bahwa pembicaraan mengenai hukum dengan struktur
masyarakat pada suatu waktu tertentu bermanfaat besar untuk menjelaskan
dinamika yang terjadi pada pelapisan sosial masyarakat. Seperti halnya topik
yang dihadapkan penulis pada kesempatan ini, yaitu sampai sejauhmana kebijakan
pertanahan di Indonesia secara sosiologis dapat mendatangkan kemanfaatan sosial
bagi masyarakat.
Tanah
sebagai hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar
1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya)..[3] Sesuai dengan sifatnya yang multidimensi dan
sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan
tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran tentang
pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat
sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
Eksistensi
tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi
ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah
merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup
dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam
pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting
sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi
Sebagai
karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara,
dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup
bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini
sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat
(3) UUD 1945, yang berbunyi:
“Bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Tanah
sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam
kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala
kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah
merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu tanah bagi
bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang
harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Dalam perjalanan sejarah
bangsa Indonesia, tanah telah menjadi salah satu bagian dari pembangunan hukum
yang menarik. Hal ini terutama karena sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan
hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai
individu, anggota masyarakat dan sebagai suatu bangsa.
Dalam
optik sosologi hukum, tanah merupakan sebagai bagian dari objek sosial yang
mendasar bagi terbentuknya kebijakan pertanahan. Seperti apa yang dikatakan
Emile Durkheim, sebagai seseorang sosiolog dengan lebih sederhana ia melakukan
pencarian “apa yang mengikat masyarakat itu?”.. Dari sinilah berkembang
perhatiannya terhadap seluk beluk dan hakikat suatu tatanan (order) sosial.
Dengan melihat kenyataan yang diamati dari dinamika struktur sosial masyarakat,
maka Durkheim sampai kepada hukum sebagai suatu kenyataan dalam terbangunnya
suatu tatanan masyarakat yang dapat meletakkan solidaritas sosial secara
fundamental. Manifestasi nyata dari solidaritas tercermin ke dalam hukum, yaitu
sebagai lambang yang dapat diamati dan diukur bagi solidaritas sosial
UU
No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan
dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, merupakan kenyataan
hukum dalam menjelaskan tujuan dari tanah sebagai social asset dan capital
asset. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas)
tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA
merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila
Dalam
perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula
berciri populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang
cenderung pro-kapital yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi;
yang pada suatu saat lebih cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian
bergeser ke arah pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an
Pada
awal berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya
alam yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai
pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik
temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap
orang disebabkan antara lain karena perbedaan dalam akses modal dan akses
politik.
Pertanyaan
yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna “untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan diterjemahkan
secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang
pertanahan. Tampaknya pilihan tepat adalah melakukan refleksi terhadap hal-hal
yang mendasar daripada sekedar mendata kekurangan peraturan pelaksanaan UUPA
yang memang dianggap penting. Tetapi lebih dari itu diperlukan pemikiran yang
tidak berhenti pada kuantitas peraturan yang masih diperlukan, namun terlebih pada
kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Kiranya
hal inilah secara sosiologis, akan tampak semakin rumit dengan terbitnya
berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan
menyongsong era perdagangan bebas. Kesadaran akan arti pentingnya melakukan
reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis
ekonomi, maupun sengketa tanah secara horizontal yang mulai dirasakan akhir
tahun 1977, telah mendorong pemikiran kearah reformasi kebijakan di bidang
pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak,
mendorong kearah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan
mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab.
Liberalisasi
ekonomi yang diartikan sebagai sistem perekonomian yang lebih mengarah pada
mekanisme pasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Saat ini yang
diperlukan adalah antisipasi terhadap dampak keterbukaan ini, terutama dengan
hadirnya berbagai investasi yang mau tidak mau harus memanfaatkan tanah yang
merupakan sumberdaya alam yang langka, terutama berkaitan dengan hak/kemudahan
yang diberikan, tanpa mengakibatkan kerugian terhadap rakyat.
Intensitas
pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai
keperluan (pemukiman, industri, dan berbagai prasarana) memaksa alih fungsi
tanah pertanian, terutama di daerah pinggiran, menjadi tanah non-pertanian
dengan segala konsekuensinya. Perkembangan yang terjadi tersebut boleh
dikatakan hampir tidak menyentuh pola kehidupan petani penggarap yang semakin
sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya, karena
praktik perijinan yang memungkinkan alih fungsi tanah beradasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II yang karena alasan kepentingan
pembangunan mengarahkan alih fungsi tanah tersebut.
Secara
sederhana konsekuensinya adalah bahwa Pemerintah berkewajiban menyediakan tanah
yang diperlukan, baik untuk investasi maupun keperluan pembangunan lainnya,
sedangkan tanah harus diambil dari rakyat karena tanah negara dapat dikatakan
sudah sulit untuk dijumpai. Akibat selanjutnya adalah, bahwa tanpa intervensi
dari Pemerintah, akses rakyat terhadap tanah baik di perdesaaan maupun di
perkotaan, menjadi semakin berkurang.
Sementara
itu dikalangan rakyat petani masih dapat dilihat kesenjangan antara mereka yang
memiliki tanah kurang dari dua hektar dibandingkan dengan mereka yang memiliki
tanah seluas dua hektar atau lebih.[10] Pemilikan tanah dalam batas minimum itu
pun masih dimungkinkan untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil secara
warisan. Hubungan hukum yang terjadi yang berkenaan dengan pemilikan dan
penguasaan tanah pertanian pada umumnya dilakukan melalui lembaga gadai tanah,
bagi hasil, atau penyakapan. Walaupun ketentuan tentang gadai dan bagi hasil
telah diterbitkan seusia UUPA, namun hubungan hukum yang terjadi pada umumnya
mendasarkan pada norma-norma hukum setempat yang tidak tertulis. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap hubungan hukum tersebut masih
diperparah dengan gejala pemilikan tanah secara guntai (absentee), dan
kadang-kadang disertai dengan pelanggaran batas maksimum, yang dalam
kenyataannya justru memberikan akses terhadap mereka yang dari segi
kehidupannya tidak tergantung pada usaha pertanian.
Ketimpangan
serta ketidakadilan yang dapat terjadi karena kurang berfungsinya secara
efektif ketentuan hukum yang ada atau yang dilakukan melalui penyelundupan
hukum itu menimbulkan pertanyaan: apakah tidak sejogjanya berbagai ketentuan
yang ada tersebut ditinjau kembali untuk dilihat relevansinya dengan
perkembangaan keadaan dan disempurnakan sebagaimana mestinya? Disamping itu
tentu diperlukan upaya untuk menegakkan peraturan yang ada secara konsekuen dan
konsisten.
Sebagai
perbandingan, konservasi tanah pertanian di Filipina dilakukan melalui upaya
Departemen Pertanian yang disebut Integrated Protected Area System (IPAS), yang
bertujuan untuk melindungi tanah pertanian dan perubahan penggunaan yang kurang
bertanggung jawab. Alih fungsi tanah pertanian hanya dapat dilakukan melalui
keputusan melakukan relaksifikasi tanah oleh pemerintah daerah setelah melewati
dengar pendapat yang intensif. Perubahan fungsi tanah pertanian tersebut
berkisar antara lima persen sampai sepuluh persen dari keseluruhan tanah
pertanian yang ada, tergantung dari kelas atau tingkatan perkotaan tersebut.
Tanah pertanian hanya boleh dirubah fungsinya apabila tanah tersebut tidak
sesuai lagi untuk usaha pertanian atau apabila nilai ekonomis yang diperoleh
akan lebih besar jika tanah tersebut dipergunakan untuk pemukiman, perdagangan,
atau industri sesuai dengan keputusan DPR setempat.[12]
Uraian
di atas lebih difokuskan pada situasi tekanan terhadap persediaan tanah
pertanian, utamanya di pulai Jawa namun, kondisi di luar Jawa pun ternyata
sudah memerlukan perhatian yang seksama. Sebagai contoh, di daerah Kalimantan
barat yang di dominasi wilayah hutan, distribusi penguasaannya (HPH, HTI,
perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain) seringkali berakibat pada pengurangan
akses masyarakat setempat terhadap tanah. Mengingat bahwa agro-industri
diwilayah tersebut menjanjikan prospek yang cerah, kepentingan dan akses
masyarakat setempat terhadap tanah perlu mendapatkan perlindungan agar tidak
terdesak sama sekali. Hanya dengan pemahaman yang arif terhadap struktur
masyarakat setempat, dan bagaimana kelembagaan yang ada berfungsi dalam
masyarakat tersebut dengan hubungannya satu sama lain, serta memahami presepsi
dan ekspektasi mereka terhadap hak atas tanahnya kebijaksanaan terhadap
pendistribusian tanah tidak akan merugikan masyarakat setempat
Disamping
itu, distribusi tanah di perkotaan bukannya tidak mengalami masalah yang
delematis. Salah satu contohnya kelemahan dalam penerapan manajemen tanah
perkotaan tampak dari meningkatnya harga tanah yang mendorong timbulnya
spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk pemukiman, serta
menjamurnya pemukiman liar. Pada umumnya, tanah perkotaan itu diperoleh melalui
proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang dilakukan Pemerintah maupun pidak
swasta. Tersedianya sistem informasi pertanahan yang handal sangat diperlukan
untuk mendorong manajemen pertanahan yang efesien dalam arti penggunaan tanah
secara optimal.
Tidak
jauh berbeda dengan akses tanah dipedesaan, di perkotaanpun akses rakyat jelata
terhadap sebidang tanah untuk perumahan boleh dikatakan sangat sulit, namun di
sisi lain terdapat badan hukum atau perorangan yag menguasai tanah perkotaan
secara berlebihan dengan maksud investasi atau spekulasi. Walaupun sudah
diisyaratkan UU 56/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bahwa mengenai
batas maksimum tanah perkotaaan akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah
(PP), namun PP termaksud sampai saat ini belum kunjung terbit.
Distribusi
penguasaan tanah yang timpang telah menunjukkan dampak yang merugikan.
Penguasaan tanah untuk industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa
alih fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Apakah dengan
sendirinya penguasaan tanah secara besar-besaran itu harus dihentikan? Kiranya
yang diperlukan dalam hal ini adalah sikap tegas dalam menegakkan kebijakan
yang korektif, dalam arti kemampuan untuk pengendaliannya. Sudah saatnya pula
Pemerintah meningkatkan berbagai upaya intervensi melalui kebijakan fiskal,
penatagunaan tanah, pembentukan lembaga yang berfungsi sebagai Bank Tanah serta
upaya lain. Dalam upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah jelas
berdampak pada akses seseorang tehadap sebidang tanah.
Dengan
memahami secara utuh hubungan suatu masyarakat dengan tanahnya, akan terbuka
kesempatan untuk melakukan komunikasi yang efektif serta akan memberikan
peluang bagi masyarakat setempat untuk semakin terbuka terhadap perubahan
dengan hal-hal baru yang positif dan bermanfaat bagi mereka, bukan melalui
cara-cara yang bersifat paksaan, tetapi dengan jalan mengakui keberadaan mereka
dan menghormati hak-haknya. Dalam kaitan ini seyogyanya dipahami bahwa
keharusan untuk mengeluarkan suatu wilayah (enclave) yang secara nyata telah
dimiliki oleh suatu masyarakat hukum merupakan hal yang sewajarnya dilakukan
untuk menghindarkan tumpang tindihnya penguasaan tanah.
Falsafah
UUPA Terhadap Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Memasuki
abad ke-21, dalam usianya yang ke-36, falsafah Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan
kebijakan yang mendukungnya, dipertanyakan kembali. Setidaknya terdapat dua
kelompok yang mewakili kecenderungan pemikiran yang berbeda terhadap orientasi
kebijakan saat ini dan kebijakan yang akan dating. Penggunaan berbagai istilah,
misalnya; reformasi, amandemen, ataupun revisi UUPA sesuai dengan defenisi
masing-masing menyiratkan adanya keinginan untuk melihat kembali apakah
falsafah UUPA masih relevan atau sudah saatnya ditinggalkan.
Sebagai
landasan kebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandaskan pada Pasal 33
Ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh
masyarakat dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam,
khususnya tanah. Perbedaan pendapat tentang relevansi falsafah UUPA yang
didasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajam seiring dengan kebijakan
deregulasi menyongsong era industrialisasi yang antara lain ditujukan untuk
semakin menarik investasi modal asing.
Dikotomi
cara pandang terhadap UUPA sangat terkait erat pada implementasi fungsi sosial
dan ekonomi hak atas tanah. Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada
nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang tentunya
lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan modal dan mengakibatkan
ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses, jelas tidak
sesuai dengan jiwa UUPA. Dasar pemikiran Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat
kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Dengan fungsi
sosial tersebut, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidak dapat
dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan
tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat
bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan
negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak
sama sekali oleh kepentingan umum masyarakat. Kepentingan masyarakat dan
kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan
pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Konsep
fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa
tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama
seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi
warga masyarakat bersangkutan. Artinya kepentingan bersama dan kepentingan
orang per orang harus saling terpenuhi dan penggunaannya dilakukan bersama-sama
di bawah pimpinan penguasa adat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga
diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, dan memanfaatkan bagian-bagian
tertentu dari tanah adapt (ulayat). Dengan demikian, hak atas tanah menurut
hukum adat bukan hanya berisi wewenang tetapi juga kewajiban untuk
memanfaatkannya. Konsep pemilikan tanah menurut hukum adat tersebut kemudian
direduksi dalam UUPA sebagai hukum tanah nasional.
Hak
Milik Atas Tanah Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
Bersumber
pada hukum adat sebagai sumber utama UUPA/Hukum Tanah Nasional, maka Hak Milik
didefenisikan sebagai hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA.
Memahami lebih jauh hak milik atas tanah, perlu kita tinjau berbagai konsepsi
hukum meliputi konsepsi hukum tanah adat, konsepsi hukum tanah barat dan
konsepsi hukum tanah feodal serta konsepsi hukum tanah lainnya. Menurut hukum
adat, hak milik atas tanah pada awalnya diperoleh dengan membuka tanah.
Selanjutnya pemilikan tanah berkelanjutan dan dapat dijual belikan, diwariskan,
dihibahkan, digadaikan dan sebagainya. Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan
kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, mengedepankan
keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”.
Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial.
Dilihat
dari kajian sosiologi hukum yang dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis
realitas hukum dan konsistensi tujuan pendaftaran tanah. Belum lahirnya
peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat dan
Undang-undang tentang hak milik tanah, kajian dilakukan terhadap peraturan
perundangan yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UUPA. Kajian diarahkan
terhadap variabel-variabel yang relevan meliputi landasan hukum, peraturan
perundang-undangan, asas-asas pendaftaran tanah, kebijakan pertanahan, dan
lain-lain (das sollen), dan selanjutnya dilakukan pengkajian variabel-variabel
penentu lahirnya kepastian hukum dalam realitas masyarakat (das sein).
Sistem
Pendaftaran Tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi
positif, intinya adalah segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan
sertifikat, berlaku sebagai tanda bukti hak yang kuat sampai dapat dibuktikan
suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar).
Beberapa
hal yang merupakan faktor penentu lahirnya kepastian hukum, dapat dikelompokkan
ke dalam landasan Yuridis-Normatif, landasan sosioyuridis dan kebijakan
pertanahan. Faktor-faktor tersebut secara formil maupun materiil mempunyai
peranan yang sangat menentukan timbulnya kepastian hukum hak milik atas tanah
yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini sesuai dengan asas nemo plus juris
yang mendasari sistem pendaftaran tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif
dengan tendensi positif, yaitu negara tidak menjamin kebenaran data yang
diperoleh dari pemohon hak tanah dari data itu. Kebenaran hukum ditentukan oleh
hakim dalam proses peradilan
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa hak milik tanah yang sudah terdaftar dan memperoleh
sertifikat telah mendapat jaminan kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum
yang dimaksudkan meliputi kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek
serta proses administrasi penerbitan sertifikat. Hal ini jelas dinyatakan
sebagai salah satu tujuan pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts
kadaster..
Perwujudan
peradilan sosial dibidang pertanahan dapat dilihat dalam prinsip-prinsip dasar
UUPA, yakni prinsip ‘negara menguasai’, prinsip penghormatan terhadap hak atas
tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip
landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya
pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar ini kemudian dijabarkan
dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan
lainnya. Dalam praktik dapat dijumpai berbagai peraturan yang bias terhadap
kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian serupa
kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Bila kita sepakat bahwa berbagai
kebijakan pertanahan harus ditujukan bagi tercapainya keadilan sosial bagi
seluruh masyarakat, maka beberapa hal perlu diperhatikan.
Yang
menjadi bagian awal ialah, prinsip-prinsip dasar UUPA tidaklah bersifat statis.
Dinamika perkembangan selama 36 tahun menghendaki diadakannya interpretasi dan
reinterpretasi terhadap prinsip-prinsip tersebut secara bertanggungjawab.
Menghadapi perkembangan baru, kebijakan yang ditempuh haruslah dilaksanakan
dengan tetap taat asas, yakni sesuai dengan konsepsi yang melandasinya, namun
akomodatif terhadap perkembangan tersebut.
Kemudian
prinsip selanjutnya, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa keberpihakan kepada
kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, secara
langsung berakibat berkurangnya perhatian kepada investasi modal asing.
Kebijakan apa pun yang dibuat semestinya memerhatikan keseimbangan antara
berbagai kepentingan. Dalam optik sosiologi hukum, keinginan untuk melakukan
peninjauan kembali terhadap kebijakan pertanahan yang menyangkut hak milik atas
tanah, seyogianya dipahami sebagai keinginan untuk menilai secara arif apakah
produk hukum yang telah ada dan sedang dirancang terutama dalam rangka menarik
investasi tidak berat sebelah. Sepanjang falsafah UUPA masih relevan,
peninjauan kembali bukanlah ditujukan kepada UUPA, melainkan terutama
dimaksudkan untuk mengganti, menambah, atau menyempurnakan peraturanperaturan
pelaksanaan UUPA.
Menuju
Reformasi Kebijakan Pertanahan Progresif
Adalah
Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang
dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan
gagasan hukum progresif.Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi
kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof.
Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan
hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan.
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan
zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan
masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia
penegak hukum itu sendiri.
Dilihat
dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan
sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit.
Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah
berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati
diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat,
berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan
hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu,
Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan
kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme
dengan sifat formalitasnya yang melekat.
Dalam
kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan di bidang pertanahan yang
telah digariskan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok Agraria atau UUPA. Seiring dengan semakin derasnya kecenderungan global
terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, semakin dirasakan pula perlunya
melakukan pembaruan pola pikir yang mendasari terbitnya berbagai kebijakan di
bidang pertanahan selama ini.
Pertambahan
jumlah penduduk kelangkaan tanah dan kemunduran kualitasnya, alih fungsi tanah
dan semakin tajamnya konflik dalam penggunaan tanah antarberbagai aktor
pembangunan dalam berbagai tingkatan; kemiskinan, sempitnya lapangan kerja dan
akses yang timpang dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, serta semakin
terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, hanyalah beberapa contoh kenyataan
yang harus dihadapi saat ini.
Dalam
perjalanan waktu, setidaknya ada titik balik perubahan sebagai dasar berpijak
untuk pembuatan kebijakan pertanahan progresif di masa yang akan datang.
Kebijakan di bidang pertanahan ditujukan untuk, yakni efisiensi dan pertumbuhan
ekonomi, keadilan sosial, pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah
yang berkelanjutan. Untuk tercapainya efisiensi dapat ditempuh berbagai
pendekatan dengan berpijak pada aspek urgensi, konsistensi, dan resiko.
Tujuan
untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui beberapa aspek
misalnya, peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan,
identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam berbagai konflik kepentingan
serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat. Tujuan yang berkaitan
dengan masalah lingkungan hidup menghendaki tersedianya peraturan tentang
penggunaan tanah yang komprehensif, kemampuan menggali peran serta masyarakat
setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta koordinasi cabang-cabang
administrasi yang efektif.
Menerjemahkan
orientasi kebijakan dengan memperhatikan ketiga tujuan tersebut masih belum
mencukupi. Diperlukan penjabaran berbagai aktivitas yang dapat digunakan
sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berbagai sarana tersebut
beruapa tersedianya peraturan perundang-undangan yang mampu menjabarkan berbagai
aspek dari orientasi kebijakan dan tujuannya, yakni:
(1)
demokratisasi berupa pengawasan terhadap kekuasaan, jaminan stabilitas politik
sebagai akibat demokratisasi, dan perlindungan hak asasi manusia;
(2)
peningkatan kepastian hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang
diperlukan dan pelaksanaannya konsisten;
(3)
pemberdayaan kelembagaan yakni memperkuat administrasi pertanahan, meningkatkan
kemampuan sumber daya manusia pendukung dan transparansi dalam proses pembuatan
keputusan;
(4)
meningkatkan insentif ekonomi dengan berupa efektifitas perpajakan dan
transparansi di dalam pasar tanah; dan
(5) menetapkan batas-batas kewenangan
pemerintah berupa perumusan tanggungjawab pokok dan pengembangan model
kemitraan antara swasta dan pemerintah
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadi, Wiratni, 2006, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah
dengan Kebijakan Pertanahan di Indonesia, PT Refika Aditama : Jakarta
Fauzi, Noer, 1999, Petani&Penguasa:
Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harsono, Boedi, 1999, Hukum
Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta;
Ismail, Nurhasan, 2006, Perkembangan
Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi
pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Parlindungan, AP., 1991, Komentar
atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung;
Simarmata, Ricardo, 2006, Pengakuan
Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in
Bangkok;
Suseno, Frans Magnis, 1993, Filsafat
sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta;
Tjondronegoro, Sediono MP.
&Gunawan Wiradi, 1984, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah
Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan PT
Gramedia, Jakarta;
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari
Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di
Indonesia, Rajawali Press, Jakarta;
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
(024) 76670350
HandPhone : 082220117918
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut