Pada
prinsipnya, hak untuk hidup merupakan hak fundamental atau hak asasi dari
setiap manusia. Konstitusi kita yakni UUD 1945 melindungi hak untuk hidup ini
dalam Pasal 28A UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya. Euthanasia berasal dari kata Yunani euthanatos, mati dengan baik tanpa
penderitaan. Belanda salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan
hukum kedokteran mendefinisikan euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat
oleh Euthanasia Study Group
dari KNMG (Ikatan Dokter
Belanda), yang menyatakan euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan
sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini
dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri.
Sebagaimana
dikutip Haryadi, menurut Kartono Muhammad, euthanasia dapat dikelompokkan dalam
5 kelompok yaitu:
1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian
dengan cara menolak memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau
menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung.
2. Euthanasia aktif, mengambil tindakan
secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kematian.
3. Euthanasia sukarela, mempercepat
kematian atas persetujuan atau permintaan pasien.
4.
Euthanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau
persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai merey killing.
5. Euthanasia nonvolountary, mempercepat
kematian sesuai dengan keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui
pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah (Kartono Muhammad, 1992:19).
Jadi,
tindakan dokter yang sudah lepas tangan terhadap pasien yang gawat dengan
menyuruhnya pulang atau tetap di Rumah Sakit tanpa dilakukan tindakan medis
lebih lanjut dapat dikategorikan sebagaieuthanasia pasif sesuai dengan pembagian di atas.
Namun, Anda tidak menyebutkan apakah ada persetujuan pihak keluarga maupun
pasien dalam hal ini.
Jika
dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak
asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikel hukumonline Meski Tidak Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP, pakar hukum pidana Universitas
Padjadjaran Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur tentang larangan melakukan euthanasia. yakni dalamPasal 344 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun.”
Dari
ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia aktif
dan sukarela. Sehingga, menurut
Haryadi, dalampraktiknya di
Indonesia, Pasal 344 KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan
euthanasia sebagai tindak pidana, sebab euthanasia yang sering terjadi di
negara ini adalah yang pasif, sedangkan pengaturan yang ada melarang euthanasia
aktif dan sukarela.
Pada
sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas menyebutkan
kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP
seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa,
sekalipun keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial,
agama dan etika dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Berkaca
dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan prosedur euthanasia yang
diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan penetapan pengadilan
untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga pasien menyatakan
kehendaknya untuk melakukaneuthanasia, namun pengadilan bisa saja
menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata
Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat
ditolak oleh pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut
Komariah apabila tidak ada jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara
biomedis seseorang terpaksa dicabut nyawanya melalui euthanasia,
harus ada penetapan pengadilan untuk menjalankan proses tersebut.
Sebab,
penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak yang
memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga dokter
tidak bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan, keterangan dari
kejaksaan juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut
masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas,
menurutnya hidup mati seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.
Di
Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di
penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan
itu ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan
euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial
ekonomi. Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan
euthanasia tidak sewenang-wenang. Lebih
jauh simak artikel Euthanasia Dimungkinkan Dengan Syarat Limitatif danPermohonan Euthanasia Menimbulkan Pro dan Kontra.
Jadi,
euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif dapat
dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam
praktiknya tidak mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi. (808hr)
KANTOR HUKUM KALINGGA
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
0818 05887468
2AB48511
kantorhukumkalingga@gmail.com
kantorhukumkalingga@yahoo.com
kantorhukumkalingga.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar