Ini Delapan Kejanggalan UU MD3
Delapan Kejanggalan UU MD3
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil
untuk Perubahan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menemukan sejumlah
hal yang dianggap janggal. Direktur Monitoring dan Advokasi Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri mengemukakan ada delapan catatan kritis
substansi UU MD3 yang harus ditinjau kembali. Pertama, tren Penambahan
Kewenangan MPR. Ia mengatakan sebagian besar penambahan kewenangan praktis
hanya untuk kepentingan sosialisasi."Ini tentu saja akan berdampak pada
pembengkakan anggaran," katanya, Ahad (13/1). Kedua, Mekanisme Pemilihan
Pimpinan DPR (Pasal 84). Ia mengatakan di naskah akademik, tidak ada latar belakang
dan alasan mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR. "Dengan kata lain,
muncul usulan “akrobatik” yang ingin mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR,
dari sebelumnya berdasarkan perolehan kursi terbanyak diganti dengan cara
dipilih (voting). Padahal usulan perubahan tersebut tidak pernah muncul
penjelasannya dalam Naskah Akademik RUU MD3," katanya. Ketiga,
keterwakilan Perempuan. Ia beranggapan dihapusnya ketentuan memperhatikan
keterwakilan perempuan merupakan sebuah kemunduran dalam mendorong peran
anggota legislatif perempuan pada posisi strategis di parlemen. Keempat, hak
imunitas (pasal 224). Ketentuan ayat (4) berpotensi mengancam anggota DPR yang
kritis terhadap situasi maupun kebijakan di internal DPR, khususnya jika ada
penyalahgunaan fungsi, wewenang, dan tugas dalam rapat tertutup DPR.Ketentuan
ayat (5) menimbulkan kompleksitas dalam menentukan tafsir dan batasan terhadap
definisi pelaksanaan tugas dan wewenang. Akibatnya, kompleksitas itu sendiri
akan menyulitkan Mahkamah Kehormatan dalam menentukan ada atau tidaknya
hubungan (dugaan anggota DPR melakukan tindak pidana) dengan pelaksanaan tugas
dan wewenang.
Kelima, Penyidikan (Pasal 245). Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum, syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan seharusnya tidak perlu karena dikhawatirkan berpotensi menjadi celah bagi penghilangan alat bukti atau melarikan diri.Keenam, Mahkamah Kehormatan (Pasal 224). Keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.Ketujuh, hilangnya BAKN dari AKD. Dengan tidak adanya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat kelengkapan DPR, menjadikan fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi tidak tajam dan elaboratif. kedelapan, hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan (pasal 80 huruf (j). didalamnya disebut anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Kelima, Penyidikan (Pasal 245). Selain tidak sesuai dengan prinsip persamaan di depan hukum, syarat izin persetujuan dari Mahkamah Kehormatan seharusnya tidak perlu karena dikhawatirkan berpotensi menjadi celah bagi penghilangan alat bukti atau melarikan diri.Keenam, Mahkamah Kehormatan (Pasal 224). Keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin pemanggilan dan pemeriksaan.Ketujuh, hilangnya BAKN dari AKD. Dengan tidak adanya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat kelengkapan DPR, menjadikan fungsi pengawasan terhadap akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menjadi tidak tajam dan elaboratif. kedelapan, hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan (pasal 80 huruf (j). didalamnya disebut anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Tanggapan
Saddam Setia Gultom
Dari
kedelapan kejanggalan sebagaimana yang di sebutkan diatas memang ada yang
seharusnya tidak dilakukan perubahan, artinya dalam Undang-undang sebelumnya
masih bisa diterapkan, sehingga tidak terlalu banyak menguras Anggaran dan juga
waktu. Misalnya Penambahan Kewenangan MPR yang sebelumnya sudah jelas
di atur di dalam Undang-Undang MD3 sebelum perubahan,
Tugas
dan Wewenang
Pasal 4
MPR
mempunyai tugas dan wewenang:
a.
mengubah
dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil
pemilihan umum;
c.
memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden;
d.
melantik Wakil Presiden
menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya;
e.
memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang
diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya; dan
f.
memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila
keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan
calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya
meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,
sampai berakhir masa jabatannya.
Terhadap tugas
dan wewenang MPR sebagaimana diatas menurut saya sudah tepat dan tidak perlu
penambahan sebagaimana dalam perubahan.
Sedangkan mekanisme
dalam Pemilihan Ketua DPR memang seharusnya dilakukan dengan Voting artinya
perubahan itu sudah tepat, inilah salah satu yang menandakan kita sebagai
negara Demokratis. Trimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar