Pengertian Mediasi adalah proses penyelesaian
sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh
mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah
penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama
dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau
musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau
menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung.
Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Latar
belakang munculnya mediasi di Indonesia
Penyelesaian damai terhadap sengketa atau konflik sudah ada sejak dahulu. Menurut mereka cara ini dipandang lebih baik dari pada penyelesaian dengan cara kekerasan atau bertanding (contentious). Di Indonesia penyelesaian sengketa dengan cara damai telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka. Seperti penyelesaian masalah melalui Forum Runggun Adat dalam masyarakat Batak. Pada intinya faorum ini menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau, penyelesaian sengketa melalui lembaga hakim perdamaian yang mana hakim tersebut sebagai mediator atau fasilitator. Demikian pula di Jawa, penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama.
Penyelesaian damai terhadap sengketa atau konflik sudah ada sejak dahulu. Menurut mereka cara ini dipandang lebih baik dari pada penyelesaian dengan cara kekerasan atau bertanding (contentious). Di Indonesia penyelesaian sengketa dengan cara damai telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka. Seperti penyelesaian masalah melalui Forum Runggun Adat dalam masyarakat Batak. Pada intinya faorum ini menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau, penyelesaian sengketa melalui lembaga hakim perdamaian yang mana hakim tersebut sebagai mediator atau fasilitator. Demikian pula di Jawa, penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama.
Di
Indonesia penyelesaian konflik rumah tangga diselesaikan melalui Badan
Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Lembaga yang menjadi
mitra Departemen Agama sejak tahun 1960 pada dasarnya adalah ’lembaga mediasi’
khusus sengketa rumah tangga. Suami dan istri yang sedang bersengketa
diharapkan menggunakan BP4 sebelum mereka mendaftarkan perkaranya di
pengadilan. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara BP4 dan lembaga mediasi.
Dalam proses penyelesaian sengketa BP4 lebih cenderung menasehati dan
mendoktrin pasangan rumah tangga yang berkonflik. Peran penasehat di BP4 sangat
dominan laksana ’ustadz’ atau kiai yang menasehati santrinya. Berbeda dengan
mediasi, dimana mediator hanya sebagai fasilitator, tidak boleh menasehati,
adil dan tidak memihak. Para pihak sebagai penentu untuk menyelesaikan
masalahnya dan mencari solusinya. Persamaannya terletak pada upaya damai antara
pihak-pihak yang bersengketa. Apa yang dilakukan masyarakat pada dasarnya
adalah proses negosiasi dengan menggunakan teknik interest based bargaining,
yang merupakan teknik negosiasi modern atau dikenal dengan istilah ”mediasi”
yang sekarang populer dan diterapkan di berbagai negara.
Pada dasarnya munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial dimana pengadilan sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lamabat (waste of time), pemriksaan sangat formal (folrmalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk pengadilan sudah overloaded. Disamping itu keputusan pengadilan selalu diakhiri dengan menang dan kalah, sehingga kepastian hukum dipandang merugikan salah satu pihak berperkara. Hal ini berbeda jika penyelesaian perkara melalui jalur mediasi, dimana kemauan para pihak dapat terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Penyelesaian ini mengkedepankan kepentingan dua pihak sehingga putusannya bersifat win-win solution
Latar
belakang kelahiran mediasi diatas tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di
Indonesia. Oleh karenanya keberadaan mediasi menjadi sangat penting di tengah
semakin banyaknya perkara yang masuk di pengadilan. Cara penyelesaian sengketa
jalur non litigasi ini sudah diperkenalkan sejak masa pemerintahan Belanda.
Cara ini dilakukan dengan penerapan cara-cara damai sebelum perkara
disidangkan. Pertama kali aturan-aturan tersebut diperkenalkan oleh
pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering
atau disingkat Rv pada tahun1894. Disamping itu pemerintah Indonesia juga telah
mengeluarkan beberapa aturan melalui surat edaran, peraturan-peraturan, dan
perundangan-undangan. Tentang beberapa aturan tersebut dapat dibaca pada uraian
tentang landasan yuridis mediasi di Indonesia.
Penyelesaian
non litigasi ini telah dirintis sejak lama oleh para ahli hukum. Mahkamah Agung
sebagai lembaga tinggi negara merasa paling bertanggungjawab untuk merealisasikan
undang-undang tentang mediasi. MA menggelar beberapa Rapat Kerja Nasional pada
September 2001 di Yogyakarta yang membahas secara khusus penerapan upaya damai
di lembaga peradilan. Hasil Rakernas ini adalah SEMA No. 1 tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. MA juga
menyelenggarakan temu karya tentang mediasi pada Januari 2003. Hasil temu karya
tersebut adalah Perma No. 2 tahun 2003. Semangat untuk menciptakan lembaga
mediasi sudah ada sejak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bagir Manan
menyampaikan pidatonya pada 7 Januari 2003 dalam temu karya mediasi. Bagir
Manan mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional (National Mediation Center).
Delapan bulan kemudian, tepatnya 4 September 2003 Pusat Mediasi Nasional resmi
berdiri, sesaat sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 tahun 2003.
Mediasi dalam Sistem Hukum Normatif di Indonesia
a. HIR dan Rbg
Mediasi di pengadilan telah lama dipraktekkan sejak lama melalui
lembaga perdamaian (Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg). Dimana hakim wajib
terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum perkaranya
diperiksa.
b. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Mediasi pada Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
dimuat dalam Pasal 29, yaitu: “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan
kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi”.
c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Mediasi diatur pada Pasal 23 UU ini, yang bunyinya sebagai
berikut:
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan
dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat
melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan
di tempat kedudukan konsumen.”
1) Bahwa UU Perlindungan Konsumen memberikan alternatif
penyelesaian sengketa melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut BPSK.
2) Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan
pelaku usaha (dokter) bukanlah pilihan ekslusif, yang tidak dapat tidak harus
dipilih. Pilihan penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar
dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui badan pengadilan.
d. Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa
Pengaturan mengenai mediasi dapat kita temukan dalam ketentuan
pasal 6 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Ketentuan mengenai
mediasi yang diatur dalam pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 merupakan suatu
proses kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh
pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999. Menurut rumusan
dari pasal tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak
sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
e. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
Pendekatan mufakat dan mediasi khususnya sebagai cara
penyelesaian sengketa pelanggaran hak asasi manusia dapat dilihat dalam dua
pasal yaitu Pasal 76 dan Pasal 89 ayat (4) a Undang-undang No. 39 Tahun 1999
Tentang Pengadilan HAM. Namun tidak ada aturan tegas semua kasus pelanggaran
HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM.
f. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-undang ini mengatur penggunaan mediasi sebagai cara penyelesaian
sengketa lingkungan hidup. Pada Pasal 83 ayat (3) dinyatakan “dalam
penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dapat digunakan jasa
mediator dan/ atau arbiter untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup”.
Dengan demikian Undang-undang No. 32 Tahun 2009mengatur secara garis besar
penggunaan tiga cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu
negosisasi, mediasi dan arbitrase.
g. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan
Disamping HIR/Rbg, Pengaturan mediasi di pengadilan terdapat
dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
h. Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang
Mediasi Perbankan
Dalam dunia perbankan, mediasi diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia No. 10/1/PBI/2008 Tentang Mediasi Perbankan. Mediasi perbankan
dilaksanakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan bank yang disebabkan
tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam penyelesaian
pengaduan nasabah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar