Perseteruan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan
Koalisi Merah Putih (KMP) makin runyam setelah ada deklarasi pimpinan DPR
tandingan. Terbelahnya dua kubu di parlemen hingga muncul DPR tandingan baru
terjadi kali ini dalam sejarah Indonesia. Hal itu tak bisa dipungkiri sebagai
buntut dari pelaksanaan Pilpres 2014.
Secara logika hal ini tentunya akan menghambat Kebijakan
pemerintahana Jokowi – JK. selain itu, juga dapat menimbulkan Spekulasi Politik
di masyarakat. Salah satunya spekulasi yang mungkin terjadi adalah Pembubaran
Parlemen oleh Presiden melalui suatu Dekrit.
Wewenang
pembubaran parlemen
Secara
teoritis, dalam sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan untuk
membubarkan parlemen, begitu pula sebaliknya. Kekuatan utama dalam konsep
sistem presidensil memang terletak pada prinsip pokok tersebut, terciptanya
keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.
Berbeda
dengan yang terjadi dalam sistem parlementer dan sistem semi-parlementer di
negara-negara non-monarki, presiden sebagai kepala negara (head of state)
biasanya memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dengan beberapa variasi
prasyarat kondisi dan mekanisme prosedural. Pengaturan tersebut ditujukan untuk
mengimbangi kekuasaan parlemen yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan
kabinet, baik terhadap tiap anggota kabinet ataupun keseluruhan kabinet.
Prasyarat
kondisi yang biasanya ditentukan dalam konsitusi adalah terjadinya
kemacetan/kebuntuan politik antara eksekutif (kabinet) dan legislatif
(parlemen). Gambaran sederhana di beberapa negara bila hal tersebut terjadi
adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet, mengajukan permohonan kepada
Presiden untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum ulang bagi anggota
parlemen.
Bila
permohonan itu disetujui dan disahkan oleh Presiden, maka secara resmi anggota
parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan dalam waktu yang ditentukan, akan ada
pemilihan ulang untuk memilih anggota parlemen yang baru. Administrasi pemerintahan
rutin dan penyelenggaraan pemilu biasanya akan dipegang oleh kabinet demisioner
sampai dengan parlemen baru terbentuk dan berhasil memilih perdana menteri dan
kabinet yang baru. Prinsip yang dijunjung adalah keputusan akhir tetap ada di
tangan rakyat.
Tiga
model sistem pemerintahan yang utama, yakni presidensil, parlementer, dan
semi-parlementer, dengan segala variannya merupakan konstruksi pengalaman
sejarah politik yang panjang dari masing-masing negara demokrasi modern yang
menganutnya. Walapun sebagian besar negara modern tetap mengacu pada
model-model utama yang ada di negara penemunya, hampir bisa dipastikan tiap
negara memiliki karakterisitk khas sesuai dengan sejarah dan dinamika
sosial-ekonomi-politik dan budayanya masing-masing.
Namun
demikian, masing-masing sistem memiliki latar belakang pemikiran dan orientasi
politiknya yang secara prinsipil berlainan. Perbedaan ini pada gilirannya akan
melahirkan kerangka sistem pemerintahan tertentu, yang diharapkan dapat
menjamin seoptimal mungkin orientasi politik yang sudah ditetapkan. Jadi,
sebuah model sistem pemerintahan tidak serta merta dapat dimodifikasi sesuai
kepentingan politik jangka pendek, karena ia dibangun dalam satu kerangka yang
utuh dan konsisten.
Dekrit
Presiden di Indonesia
Secara
tidak langsung spekulasi mengenai pembubaran DPR munujuk pada sejarah Dekrit
Presiden Soekarno yang membubarkan konstituante. Apa referensi tersebut tepat?
Pada
5 Juli 1959 Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, mengeluarkan Dekrit
Presiden yang bertujuan menyelesaikan kebuntuan dalam merumuskan undang-undang
dasar. Pernyataan utama dari Dekrit adalah dibubarkanya Badan Konstituante
hasil Pemilihan Umum Desember 1955, kembalinya konstitusi kepada UUD 1945,
penarikan UUD 1950, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mendirikan
lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945. Saat itu pula, berakhirlah
masa kerja Badan Konstituante dan sekaligus pula sistem pemerintahan
parlementer.
Selama
masa Orde Baru, sejarah lebih sering mengedepankan catatan mengenai apa yang
disebut dengan kegagalan konstituante daripada dinamika politik di belakangnya.
Terhadap hal ini, Yusril Ihza Mahendra menyatakan (terlepas hal itu otoriter
atau demokratis-Pen.) bahwa tindakan Soekarno tersebut merupakan revolusi hukum
yang secara politik berhasil dipertahankan olehnya (Kompas:
31 Januari 01).
Yang
perlu dicermati dalam kasus ini adalah sistem pemerintahan pada saat itu yang
memang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dianut sekarang. Walaupun tidak
secara langsung memberikan wewenang tertentu kepada presiden, UUDS 1950
mengatur suatu sistem pemerintahan parlementer yang menyebabkan presiden
memiliki tempat yang sangat berbeda dalam struktur politik dan ketatanegaraan
dengan yang berlaku saat ini.
Bila
ditilik secara rinci dalam dinamika politik yang berkembang pada masa itu, ada
beberapa pertanyaan yang menarik untuk diangkat, yakni aktor/lembaga mana yang
berinsiatif, dan prosedur hukum apa yang dilakukan?
Inisiatif
utama dari Dekrit ini sepertinya tidak hanya berasal dari Presiden Soekarno
(yang dalam masa genting ini sebenarnya sedang berada di Jepang), walaupun
sangat mungkin diinspirasikan oleh beberapa pidato Soekarno untuk membubarkan
parlemen pada tahun 1956. Dalam catatan sejarah, yang paling menonjol mengambil
inisiatif ini ada tiga kelompok, yakni Angkatan Darat (dengan tokohnya
Nasution), partai yang disokong oleh militer (IPKI), dan partai-partai
(berhaluan non-islam) yang ada dalam parlemen dan badan konstituante. Selain
itu ada juga peran pembantu yang dilakonkan oleh PM Djuanda.
Hampir
bisa dikatakan Presiden Soekarno terkesan pasif. Karena selama terjadi dead-lock di
konstituante. Dan selama ia masih di luar negeri, Kasad Jendral Nasution
sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum darurat, telah mengeluarkan maklumat
yang melarang semua kegiatan politik dan menangguhkan semua rapat-rapat
konstituante, sampai Soekarno pulang dari luar negeri, maklumat darurat
ini disetujui oleh PM Djuanda tanpa rapat kabinet (Nasution: 1995).
Usaha
yang paling penting dari pengkondisian bubarnya konstituante ini adalah mosi
pembubaran konstituante yang diajukan oleh IPKI dalam sidang konstituante yang
terakhir, serta usulan dekrit presiden yang diajukan oleh BKSPM (Badan Kerja
Sama Pemuda dan Militer) dan kawat Jenderal Sungkono (Anggota terkemuka dari
Persatuan Veteran 45) kepada Presiden Soekarno (ibid).
IPKI
dengan 18 partai radikal kecil juga kemudian menyatakan bahwa mereka tidak akan
datang ke dalam sidang konsitituante lagi. Begitu juga PNI dan PKI yang
menyatakan hanya akan datang ke sidang konstituante di Bandung dalam rangka
pembubaran konstiutante.
Peluang
pembubaran DPR
Pembubaran
parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya
terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal
dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil.
Penting
untuk dicermati bahwa kondisi politik maupun sistem ketatanegaraan Indonesia
sangat berbeda dengan tahun 1959. Sehingga apabila Presiden Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tetap berkeras untuk mengeluarkan Dekrit dengan mengacu pada Dekrit
1959, tindakan itu tidak akan dapat dibenarkan secara legal maupun secara
politis.
Secara
legal, tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan
hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan bahwa hubungan DPR
dan presiden adalah sejajar. Sementara undang-undang keadaan bahaya yang sempat
diduga akan menjadi dasar hukum bagi tindakan ini juga ternyata tidak
memberikan kewenangan kepada presiden untuk membubarkan DPR.
Sedangkan
secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang kemudian
dapat melegitimasi tindakan tersebut. Tanpa adanya kondisi yang dapat
melegitimasinya, maka sejarah akan mencatat tindakan itu sebagai tindakan inkonstitusional
dari seorang diktator daripada suatu revolusi. Kondisi politik yang dapat
melegitimasi tindakan itu adalah adanya keadaan darurat yang memaksa presiden
untuk membubarkan DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan dari militer.
Reaksi
langsung yang dapat dimunculkan oleh DPR adalah dengan melakukan pembangkangan,
yang kemudian dapat berujung pada pengiriman memorandum kepada MPR untuk
melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna menjatuhkan presiden dengan alasan
melanggar konstitusi. Walaupun untuk sampai pada SI dibutuhkan waktu setidaknya
empat bulan sejak dikirimkannya memorandum pertama, implikasi
politik yang ditimbulkannya akan cukup kuat untuk membalikkan kedudukan antara
MPR dan Presiden.
Namun
terhadap tindakan pembangkangan MPR ini, ada cara yang umum (berlaku di dunia
ketiga) untuk mencegahnya, yaitu dengan penghentian secara militeristik segala
aktivitas resmi parlemen dan mungkin juga aktivitas politik pada umumnya.
Menurut para ahli tata negara, ini berarti suatu tindakan coup d'etat.
Hal
yang paling mungkin dilakukan secara konstitusional adalah pembubaran DPR oleh
para anggota DPR. Namun untuk sampai pada hal ini, perlu ada penggembosan di
kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi pembubaran DPR. Cara
yang tidak umum terjadi dalam sistem presidensil, tapi juga tidak ada larangan
yang menghambatnya secara konstitusional.
Selama
masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini, maka DPR
tidak dapat bubar secara institusional. Namun setelah ini, fungsi DPR tidak
akan berjalan sebagaimana seharusnya, yang akhirnya akan menyebabkan DPR akan
kehilangan legitimasi. Kemacetan politik yang dihasilkan akan mengarah pula
pada kondisi yang memungkinkan presiden membubarkan DPR. Akibat sampingannya,
konflik antara presiden dan DPR telah berhasil dipindahkan menjadi konflik
internal DPR.
Apabila
hal ini yang terjadi, maka akan terjadi konflik politik yang berkepanjangan.
Dan karenanya, akan berujung pula pada nasib seluruh bangsa ini. Oleh karena
itu, meski langkah ini memang tidak mudah karena membutuhkan
kekuatan politik yang besar, segala upaya politik yang menuju ke arah itu perlu
dicermati.
Akhir dari seluruh uraian di atas,
mungkin prinsip dasar demokrasi yang klasik perlu kembali diingat dalam hal
ini. Keputusan akhir (harus) ada di tangan rakyat. Bukan hanya pemimpin dan
wakil rakyat, bukan cuma rakyat yang terdidik dan terorganisir, melainkan
rakyat Indonesia secara keseluruhan.
*Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1816/pembubaran-dpr-secara-konstitusional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar