TINDAK
PIDANA PERBUATAN ZINA (PERZINAHAN)
Negara
Indonesia akhir-akhir ini banyak diwarnai dengan munculnya kehebohan mengenai
video-video mesum yang beredar dari berbagai kalangan baik dari pejabat, artis,
pegawai negeri sipil PNS dan paling parah yang mengakibatkan kita miris dengan
keadaan bangsa ini ialah hal tersebut sudah terjadi dikalangan lingkungan
pelajar mulai mahasiswa, hingga siswa atau siswi SMA sederajat dan SMP
sederajat. Sungguh dapat dikatakan bangsa kita sedang mengalami apa yang
dinamakan degradasi moral.
Hukum
positif Indonesia tidak tegas mengatur mengenai hal tersebut sehingga banyak
sekali orang yang melakukan perzinahan, di dalama hukum nasional kita peraturan
mengenai perzinahan merupakan tindak pidana perkosaan pencabulan dan merupakan
delik aduan.
Yang
dimaksud dengan delik aduan itu sendiri yaitu adanya pengaduan tindak pidana
yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan
untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu.
Sehingga perzinahan hanya dapat di tindak lanjutin oleh pihak berwenang apabila
ada aduan dari masyarakat.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan aduan dan jangka
waktunya, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 72 KUHP seperti :
- Wakilnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang yang belum dewasa). Misalnya orang tua korban, pengacara, pengampu (curator) dan wali.
- Orang yang langsung dikenai kejahatan itu (korban).
Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut
diatur dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP. Maksud Pasal 74 ayat (1) yaitu kalau
seseorang mempunyai hak untuk mengajukan aduan, ia hanya boleh memasukan aduan
tersebut paling lama dalam jangka waktu enam bulan setelah kejadian itu
diketahuinya, tetapi kalau kebetulan ia berdiam di luar negeri, maka tenggang
waktu itu paling lama sembilan bulan.
Zina
(Perzinahan) Menurut KUHP Indonesia
KUHP sebagai kitab induk hukum pidana di Indonesia,
dalam pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana zina sebagai bagian dari
kejahatan terhadap kesusilaan, semuanya masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan
yang dimaksudkan ini dimuat dalam lima pasal, yakni: pasal 284 (perzinaan), pasal
285 (perkosaan bersetubuh), pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan
istrinya yang dalam keadaan pingsan). 287 (bersetubuh dengan perempuan yang
belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan Pasal. 288 (bersetubuh
dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan
luka atau kematian. Kejahatan terhadap kesusilaan di bidang persetubuhan ini,
selain perzinaan (284) hanya dapat dilakukan oleh si pembuai (laki-laki).
Dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk melindungi kepentingan
hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan.
Hal
inilah yang menarik untuk dikaji dan pada kesempatan ini saya ingin mengkaji
dari sisi hukum pidana positif, karena seolah-olah sanksi
bagi pelaku tindak pidana perzinahan yang diatur dalam hukum pidana kita tidak
memberi efek balik dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana dimaksud,
bahkan menurut pengamatan saya justru ada sedikit kelemahan dari keberadaan
aturan tentang tindak pidana perzinahan yang ada dalam hukum pidana materil
kita (KUHP), yang sekiranya memberi peluang kepada laki-laki/perempuan yang
telah menikah untuk berzinah/selingkuh. Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa
Hukum Pidana hendaknya dipandang sebagai suatu yang Ultimum Remedium
atau penerapan
sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum,
dimana harus dipergunakan dalam mengatur perilaku hidup
manusia. Jika (KUHP) sebagai Ultimum Remedium dalam mengatur
perilaku hidup manusia yang berzinah (selingkuh) saja sudah tidak mempan, lalu
harus bagaimana lagi ? (memang masih banyak faktor yang bisa dipergunakan
untuk mengubah perilaku hidup manusia).
Perbuatan yang mempunyai makna sama dengan
perzinaan dalam KUHP digolongkan
kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam Pasal 284-303 KUHP. Salah satu
kejahatan kesusilaan tersebut dikenal dengan perzinaan/mukah (overspel).
Yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, dapat dirumuskan sebagai berikut :
(1).
Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan jika :
1a. seorang pria yang
telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas
monogami) berlaku baginya;
2a. seorang wanita
yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami)
berlaku baginya.
3a. seorang pria yang
turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
4a. seorang wanita
yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal
diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.
(2). Tidak dilakukan
penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana
bagi mereka berlaku Pasal 27 KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti
dengan permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(4). Pengaduan dapat
ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5). Jika bagi
suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan tidak diindahkan selama
perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang
menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.
Mencermati
akan bunyi pasal yang mengatur tentang perzinahan diatas, maka unsur-unsur
terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi guna menghukum
seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan adalah :
(a). Salah satu
pihak telah menikah sah (tentang Sah-nya perkawinan dapat kita
lihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),
(b). Adanya
persetubuhan atas dasar suka sama suka (Unsur pasal ini menekankan
bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi. Perbedaan persetubuhan
dalam Pidana Perzinahan dan Pidana Pemerkosaan adalah, Dalam Pidana
Perzinahan terjadinya persetubuhan oleh karena suka sama suka sedangkan dalam
Pidana Pemerkosaan, terjadinya persetubuhan oleh karena tidak disukai oleh
salah satu pihak dan diikuti dengan adanya ancaman kekerasan),
(c). Harus ada
Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan (unsur ini
menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut,
tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi
korban/dirugikan). Bila dari ketiga unsur ini, salah satu tidak
terpenuhi, maka sudah pasti seseorang tidak dapat diproses sebagai pelaku
tindak pidana perzinahan.
Selain dilematisnya
pemenuhan ketiga unsur pasal dari tindak pidana perzinahan diatas, salah satu
persoalan penting yang juga menyebabkan aturan tentang tindak pidana perzinahan
ini seolah-olah tidak memberi “tekanan psikologi“ yang berarti bagi
setiap orang untuk tidak berbuat tindak pidana perzinahan adalah tidak dapat
dikenakannya tindakan “Penahanan” terhadap pelaku tindak pidana
perzinahan. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa seorang suami/istri yang
menjadi korban dari sebuah tindak pidana perzinahan, ketika menangkap “basah”
suami/istrinya dengan pasangan zinahnya, tentu lebih menginginkan
suaminya/istrinya yang berzinah tadi dikenakan penahanan, karena dengan
tindakan penahanan sedikit tidaknya terobati rasa keterpukulan psikis yang
dialaminya.
Sebagaimana kita ketahui
bahwa, Salah satu kekhasan dari Hukum Pidana daripada hukum-hukum lainnya
adalah “adanya penderitaan yang bersifat khusus”, dikatakan penderitaan
yang bersifat khusus oleh karena dalam hukum pidana adanya hukuman yang
langsung menyentuh pada subyek secara jasmani batiniah berupa hukuman penjara,
bahkan perampasan nyawa oleh negara melalui perangkat-perangkatnya, memang pada
hukum lainpun juga mengenal adanya suatu penderitaan yang dialami sebagai suatu
akibat hukum, Misalnya pada Hukum Perdata, adanya penyitaan harta benda milik
seseorang, yang sudah tentu juga menimbulkan penderitaan bagi yang terkena
tindakan penyitaan tersebut, akan tetapi hukuman penjara pada hukum pidana
sedikit tidak mempunyai nilai lebih khusus oleh karena merampas kebebasan hidup
bergerak dan lain sebagainya.
Tidak dikenakannya
penahanan terhadap pelaku tindak pidana perzinahan, membuat seorang pelaku
tindak pidana perzinahan “bergerak lebih leluasa (terutama pihak suami)”
untuk melepaskan diri dari jeratan proses hukum yang dialami. Saya katakan
bergerak lebih leluasa untuk melepaskan diri dari jeratan proses hukum oleh
karena apabila ada seorang istri melaporkan suaminya berzinah, karena ia
menangkap basah suaminya berzinah, sudah tentu polisi sebagai penyidik akan
memeriksa suami yang berzinah tadi, serta pemeriksaan saksi-saksi guna
dilakukannya pemberkasan menjadi sebuah berkas perkara yang nantinya dikirim
kepada jaksa selaku penuntut umum untuk kemudian diajukan ke pengadilan.
Disinilah kita bisa
membayangkan bagaimana tekanan batin yang dialami oleh istrinya yang baru saja
melaporkan suaminya berzinah tetapi beberapa saat kemudian ia harus menjalani
kehidupan bersama suaminya (serumah), karena suaminya tidak ditahan atas
laporan yang baru saja ia sampaikan. Sudah tentu si suami akan memberi “tekanan
(dalam pengertian yang luas)” kepada istrinya untuk segera mencabut
laporannya. Saya percaya pasti si istri akan mencabut laporannya, apalagi bila
dalam kehidupan sehari-hari, kelangsungan hidup rumah tangga mereka itu
dinafkahi oleh si suami (tulang punggung ekonomi keluarga), kalaupun si
istri tadi adalah seorang yang berpenghasilan tetap dan bisa saja tidak
tergantung sepenuhnya pada suami dalam hal pemenuhan ekonomi rumah tangga,
tetapi demi keutuhan kehidupan rumah tangganya dan kemartabatan perempuannya ia
pasti dapat mencabut laporannya. (biasanya yang tidak mau mencabut
laporannya, karena sudah memantapkan pilihan untuk tidak mau lagi hidup bersama
sebagai suami istri/cerai).
Karena jarang sekali
terjadi (sebagaimana saya katakan diatas), seorang istri yang melaporkan
suaminya berzinah dan membiarkan hingga proses peradilan berjalan atas
suaminya, kemudian suaminya menjalani hukuman penjara di Lembaga
Pemasyarakatan, setelah selesai suaminya menjalani hukuman penjara di lembaga
pemasyarakatan, baru mereka hidup normal lagi sebagai suami istri.
Seorang Pegawai Negeri
Sipil misalnya (bisa diambil contoh dari berbagai profesi, tetapi kebetulan
saat ini saya mengambil sampel pada profesi pegawai negeri sipil), apabila
ia melakukan tindak pidana perzinahan, terhadap dirinya tidak serta merta dapat
dikenakan tindakan disiplin sesuai peraturan disiplin pegawai negeri sipil,
mengapa demikian, karena belum ada putusan pengadilan yang inkrah bahwa ia
bersalah melakukan tindak pidana perzinahan, disamping itu ia masih dapat
menjalankan tugasnya sehar-hari dikantor oleh karena ia tidak di tahan. Akan
tetapi apabila ketika dilaporkan sebagai pelaku tindak pidana perzinahan,
kemudian melalui serangkaian pemeriksaan di polisi/penyidik didapat bukti yang
cukup dan diikuti dengan tindakan hukum berupa “penahanan”, tentu saja akan
berdampak pada terbelengkainya tugas yang diemban sehingga dapat mempengaruhi
reputasi kerjanya, oleh karena untuk sekian waktu (selama ditahan) ia
tidak dapat menjalani tugasnya sehari-hari sebagai seorang pegawai negeri
sipil. Maka hal ini akan membawa dampak psikologi bagi dirinya agar
mempertimbangkan secara matang apabila ingin melakukan tindak perzinahan sebab
sesaat setelah ia dilaporkan berzinah dan padanya didapati bukti yang cukup
kemudian dilakukan penahanan atas dirinya, maka ia akan mengalami “dampak
ikutan” setelah laporan itu, yakni kerugian moril dalam membangun kembali
keharmonisan keluarganya serta juga pada karier dan pekerjaannya. Benar bahwa
kalaupun tidak ditahan namun bila diputus bersalah oleh pengadilan ia juga
mengalami hal yang sama, akan tetapi sebagaimana dijelaskan diatas, rentang
waktu dari adanya laporan tentang sebuah tindak pidana perzinahan hingga
mendapat putusan pengadilan yang inkrah memakan waktu yang cukup lama sehingga
kita bisa membayangkan, bagaimana seorang suami istri yang sementara berperkara
di Pengadilan tinggal serumah (ingat sebagaimana saya sebutkan diatas : dengan
tidak ditahan, suami yag berzinah tadi dapat memberi tekanan balik pada istri
dan mempunyai waktu yang cukup untuk bergerak kearah mafia peradilan). Oleh
banyak kalangan menilai bahwa, walaupun seseorang Pegawai Negeri Sipil yang
diduga melakukan tindak pidana perzinahan tidak dikenakan penahanan, namun ia
tetap mengalami yang namanya kerugian moril, menurut saya pernyataan ini
benar adanya, akan tetapi bagaimana dengan pelaku yang sudah tidak mempunyai
rasa malu lagi dan berpikir bahwa bila tertangkap berzinahpun ia tidak ditahan
kok dan buktikan dulu melalui proses hukum bahwa ia bersalah karena berzinah.
Mengenai kejahatan zina yang dirumuskan pada ayat (1),
terdiri dari empat macam larangan, yakni:
1. Seorang
laki-laki yang telah kawin melakukan zina, padahal Pasal 27 BW (asas monogami)
berlaku baginya;
2. Seorang
perempuan yang telah kawin melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW
(asas monogami) berlaku baginya;
3. Seorang
laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin;
4. Seorang
perempuan yang turut berzina dengan seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa
Pasal 27 BW berlaku baginya. Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan
melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat esensial, yaitu:
·
melakukan
persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan istrinya;
·
bagi
dirinya berlaku Pasal 27 BW;
·
dirinya
sedang berada dalam perkawinan.
Apabila laki-laki atau perempuan yang melakukan zina
itu tidak berlaku Pasal 27 BW sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi
kawannya melakukan zina itu tunduk pada Pasal 27 BW dan diketahuinya bahwa
laki-laki atau perempuan yang berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah
melakukan kejahatan zina, akan tetapi telah turut serta melakukan zina yang
dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut
serta melakukan zina ini, dilihat dari Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai
pembuat peserta (mede pleger).
Jadi untuk turut serta dalam berzina, diperlukan empat
syarat, yaitu:
1. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki
bukan suaminya atau bukan istrinya. Orang ini tidak harus telah
menikah;
2. Dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 BW;
3. Temannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada
Pasal 27 BW 4. diketahuinya (unsur kesalahan: kesengajaan) bahwa:
a. Temannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami
atau beristri,
b. Yang Pasal 27 BW berlaku bagi temannya bersetubuh itu.
Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun
perempuannya tidak tunduk pada Pasal 27 BW kedua-duanya, baik laki-lakinya
maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga
tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya. Begitu juga apabila baik
laki-lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan, artinya tidak
sedang beristri atau tidak sedang bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal
27 BW maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak
melakukan zina maupun turut serta melakukan zina. Pasal 27 BW adalah mengenai
asas monogami, di mana dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh
kawin dengan satu istri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami.
Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu tetap
dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat penis tidak sampai masuk ke
dalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak
sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah
terjadi persetubuhan. Namun, telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut
ketentuan Pasal 53 KUHP telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan
berzina, karena belum terpenuhinya syarat seperti tersebut di atas.
Pengertian zina menurut Pasal 284 KUHP yang
disyaratkan harus laki-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawin
tersebut di atas, berlatar belakang pada pemikiran orang-orang Belanda bahwa
zina itu sebagai pengingkaran perkawinan, yang berbeda menurut hukum adat yang
berlatar belakang pada penodaan nilai-nilai kesucian daripada persetubuhan.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya hukum positif belum mampu
menjawab dan menyelesaikan permasalahan bangsa khususnya bidang tindak pidana
perzinahan sehingga ketentuan yang tertuang dalam aturan KUHP perlu direvisi
dengan memasukkan nilai-nilai yang ada di budaya masyarakat adat-istiadat serta
agama yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, penulis tertarik mengkaji mengenai
bagaimana analisis yuridis tindak pidana perbuatan zina (perzinahan).
Gambaran keberadaan Tindak
pidana perzinahan dalam bingkai hukum pidana positif kita diatas, diharapkan
dapat membuka wawasan kita, sehingga kita mempunyai rasa tanggungjawab bersama
dalam kehidupan berbalut “kontrak sosial” yang sementara kita jalani
sekarang ini untuk memperbaiki perilaku hidup yang menyimpang. Melalui tulisan
ini saya menitip pesan kepada para wakil rakyat republik ini yang sementara
berkiprah di senayan untuk dapat melihat juga persoalan-persoalan semacam ini guna
adanya pembaharuan Hukum Pidana Positif kita demi mencapai keteraturan hidup
menuju masyarakat yang aman, damai dan sejahtera, karena mencapai keteraturan
hidup menuju masyarakat yang aman, damai dan sejahtera dibutuhkan sumber daya
manusia yang “bermoral” bukan yang “amoral”.