Alternatif Pemidanaan “Restoratife Justice “ Bagi Anak yang Berkonflik Dengan hukum
Dalam berbagai wacana aktual, restorative
justice atau keadilan restoratif merupakan suatu cara khusus untuk
menyelesaikan kasus pidana diluar pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana
bisa diterapkan dalam sistem ini, namun penerapan sistem ini bisa dikatakan
jauh lebih efektif dibandingkan proses peradilan pidana yang
konvensional.Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud
MD, Selasa (13/3), saat menjadi narasumber dalam “Rakernis Fungsi Reserse
Kriminal Polri Tahun 2012,” yang diselenggarakan oleh Mabes Polri, di Hotel
Mercure-Ancol, Jakarta, yang bertemakan “Komitmen Penyidik Polri Melaksanakan
Penegakan Hukum dengan Jujur, Benar, dan Adil untuk Memenuhi Tuntutan Rasa
Keadilan Masyarakat.”
Konsep
pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana
serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang
berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan
seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative
justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang
sebenarnya direstorasi? Di
dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti
rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas.
Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan
ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak
korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun
diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian,
kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini
menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang
kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk
berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi
tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus
digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak
hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi,
semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa
melihat esensi.
Dalam proses
acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara
pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal
tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus
meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada
pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta
tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta
memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep
restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan
korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana
konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat
persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan
tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan
untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui
dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk
menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.Kewenangan untuk menyampingkan
perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang
hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat
penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila
hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh
polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus
dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana
yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan
terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru
perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih
menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan
pertimbangan legalistik yang formil.
Mantan Ketua
Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan
dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber
pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum
akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak
akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada tujuan
pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama
lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk
mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang
harmonis dan adil.Kisah dariProf. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimanatertuang dalam
buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade
Terakhir” akan saya kutip untuk menambah ruang pertanyaan dalam benak anda
mengenai konsep restorative justice ini;
“hampir 40 tahun lalu-ketika itu saya
belum lama memperoleh gelar Sarjana Hukum- saya ditugasi mengajar pada kursus
perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung....ketika membahas mengenai sifat-sifat
dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman
dan sekaligus meminta pendapat saya.Perwira Komandan Batalyon yang bersangkutan
menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua kelompok
masyarakat tradisional di suatu tempat. Mula-mula, dalam rangka memulihkan
ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi
masalah menjadi lebih meluas dan rumit. Kedua pihak yang bertikai dengan
ancaman kekerasan “mengepung” kantor tempat tahanan dan menuntut kawan-kawan
mereka dibebaskan, di pihak lain pertikaian berjalan terus.
Untuk mengatasi
persoalan, Batalyon mengambil kebijakan mengusahakan perdamaian antara kelompok
yang bertikai. Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih hewan,
kedua kelompok diundang. Kedua kelompok menerima undangan tersebut, melalui
upacara tertentu kedua kelompok berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses
hukum dihentikan.Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tersebut kemudian
bertanya, apakah tindakan kami salah, tidak meneruskan proses hukum tersebut,
sedangkan yang terjadi adalah suatu tindak pidana?”
Jawaban dari
pertanyaan tersebut mungkin beragam, ada yang sepakat bahwa hal itu bisa
dibenarkan, ada juga yang tidak setuju jika proses hukum dihentikan. Namun
Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, salah satu tujuan
hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara
yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan
pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses
pemidanaan.Sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya
sebuah “karya agung” bangsa Indonesia yang dipakai sebagai dasar
formil dalam setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan bagi
masyarakat, pendekatan humanis yang lebih adil harus didorong dan diutamakan
ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang tidak menciptakan
keadilan di dalam masyarakat. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses
pemidanaan pun adalah keadilan, sehingga sang pemutus nantinya bisa
menciptakan putusan yang berdasarkan keadilan dan bukan berdasarkan hukum, sama
seperti adagium populer yang dipakai sebagai pembuka dari tulisan
ini “Fiat Justisia Ruat Coelum”, walau langit runtuh KEADILAN harus
ditegakkan.[2]
Liebmann memberikan rumusan prinsip dasar restorative
justice sebagai berikut:
1.
Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban
2.
Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
3.
Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
4.
Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
5.
Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa depan
6.
Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik
korban maupun pelaku.
Sedangkan proses dari restorative
justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban,
reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi
korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka
dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha
dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).
2.2. Pendekatan hukum secara “restoratife
justice” terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai alternatife
pemidanaan
Dalam pasal 1
angka 6 Undang-Undang 11 tahun 2012 tentang system peradilan anak yang berbunyi
:
“Keadilan
restorative adalah penyelasaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan”.
A. Pemidanaan penjara bukan sebuah alternatif terbaik
bagi masadepan Anak
Perlakuan
bagi anak yang berorientasi terhadap perlindungan serta pemenuhan hak-hak bagi
anak sudah merupakan suatu kewajiban bagi seluruh komponen bangsa terutama para
aparat penegak hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 3
Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut merupakan jaminan pelaksanaan
hak-hak anak di bidang hukum.Sudah jamak diketahui bahwa permasalahan
perlindungan anak di Indonesia sangat berat dan kompleks.Salah satu persoalan
yang serius dan mendesak untuk memperoleh perhatian adalah penanganan anak yang
berhadapan dengan hukum atau anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Perlu
kita pikirkan bersama bahwa persoalan pemidanaan anak sangat serius karena :
(1) dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia
bahkan banyak bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap
anak yang masuk dalam mesin peradilan, (2) perspektif anak belum mewarnai proses
peradilan, (3) penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan
merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang
diharapkan, (4) selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum
kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh
pendidikan, dan hak kesehatan, dan (5) ada stigma yang melekat pada anak
setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan
psikis dan sosial ke depannya. (Hadi
Supeno. 2010. Dekriminalisasi Anak. KPAI).
Pengertian
keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak
untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan
dan proses hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan ketika anak dalam
posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum ketika anak
diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana.
Perlindungan (advokasi) terhadap anak secara yuridis
merupakan upaya yang ditujukan untuk mencegah agar anak tidak mengalami
perlakuan yang diskriminatif/perlakuan salah (child abused) baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
rangka menjamin kelangsungan hidup, tumbuh dan perkembangan anak secara wajar,
baik fisik maupun mental dan sosial.Kelangsungan hidup dan perkembangan anak
serta kehidupan sosial dan penghargaan terhadap pendapat anak yang berkonflik
dengan hukum merupakan permasalahan
yang sangat kompleks, dan banyak faktor yang menyebabkan
anak terlibat dalam konflik hukum. Baik sebagai korban maupun sebagai pelaku,
anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan perlindungan mengingat anak adalah
individu yang masih belum matang dan masih sangat tergantung pada orang lain.
Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai
ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang hidup, kehidupan dan
penghidupan, khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang masih asing
bagi dirinya.
Sesuai
dengan esensi yang terkandung dalam tujuan Undang-Undang Pengadilan Anak yaitu ”Untuk memberikan perlindungan kepada anak
dan menjamin kesejahteraan anak, meskipun ia berkonflik dengan hukum”. Selain
bertujuan memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan kepada anak,
juga bertujuan agar dalam penjatuhan sanksi hukum terhadap anak harus
benar-benar secara proporsionalitas,
tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada penghukuman (pidana penjara)
semata, akan tetapi juga memberikan alternatif lain dalam bentuk pembinaan (tredment) yaitu sanksi pidana non penal
(tindakan) dengan menerapkan konsep restorative
justice.
Oleh
karena itu advokasi terhadap anak sebagai bentuk upaya perlindungan anak yang
sedang berkonflik dengan hukum melalui sosialisasi tentang pelaksanaan restorative justice perlu terus
dilakukan dalam rangka mencari alternatif lain selain pidana penjara sebagai
tujuan pemidanaan di Indonesia.Berbagai latar belakang penyebab anak berkonflik
dengan hukum sering kali tidak menjadi fokus perhatian.Fokus media masa
biasanya hanya pada macam kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
anak.Misalnya berita kasus pencurian ringan yang dilakukan oleh anak karena
dalam keadaan lapar atau pengaruh lingkungan, pencabulanakibat lepasnya kontrol pemerintah dan masyarakat pada VCD dan
tabloid porno sampai dengan pembunuhan akibat pengaruh pemutaran film sadis
serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang narkotika dan lain
sebagainya.Sebagaimana yang ditegaskan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child)
Pasal 37 huruf (b) Resolusi No. 109, maupun Peraturan Minimum Standar PBB
tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak (The
Beijing Rules), Resolusi No. 40/33, tanggal 29 November 1985, yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor: 36
Tahun 1990. Dinyatakan: ”Penangkapan,
penahanan, dan penghukuman/pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang
diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum (ultimum meredium)
dan untuk jangka waktu yang paling pendek/waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Baik
instrumen yang bersifat internasional dan yang telah diratifikasi oleh
pemerintah Indonesia, maupun instrumen hukum positif nasional
Indonesia yang ada seperti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 22 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian, dan UU No. 23 No. 2002 Tentang Perlindungan Anak, telah menegaskan
kembali apa yang telah digariskan dalam konvensi tersebut.
Bahkan
Kepolisian Republik Indonesia telah membuat pedoman dalam melaksanakan tugas
sebagai penyidik Polri melalui Telegram Kapolri
tertanggal 11 November 2006 dengan Nomor Pol
: TR/1124/XI/2006, antara lain disebutkan; ”Kategori
tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam dengan sanksi pidana sampai
dengan 1 tahun dapat diterapkan diversi;
Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1 tahun s.d. 5
tahun dapat dipertimbangkan untuk penerapan diversi; dan anak kurang dari 12 tahun dilarang untuk ditahan, dan penanganan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep restorative justice”.
Berdasarkan
hasil penelitian Pusat Kajian Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KNP3A), dalam suatu
kajian analisis yang dilakukan pada bulan September s/d Nopember 2002 oleh
UNICEF bekerjasama dengan Pusat Kajian Kriminologi, mengemukakan bahwa: ”Di
atas 4.325 anak-anak ditangkap dan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara dan
Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia, sebagian dari mereka (84 %)
ditahan bersama-sama orang dewasa. Sebagai tambahan, 9.440 anak-anak ditangkap
dan sambil menantikan sidang pengadilan mereka ditempatkan di dalam rumah
tahanan negara dan tidak ada data yang tersedia tentang banyaknya anak-anak
yang dialihkan dari sistem peradilan ke sistem perlakuan yang lebih baik untuk
kepentingan anak (the best interest of
the child) yang merupakan implikasi dari konsep Restorative Justice, tetapi sebagian besar mereka 84 % -
90 % dikirim ke pengadilan dan dari sana ke penjara/lembaga pemasyarakatan.
Kondisi anak-anak di dalam rumah tahanan negara dan lembaga
pemasyarakatan (penjara) sangat memprihatinkan karena minimnya akses pada
pendidikan, kesehatan dan fasilitas bagi mereka pada saat mengisi waktu
senggang. (Laporan Tim Need
Assesment di Lapas dan Rutan Makassar, 2004).
Di tahun
2009 jumlah anak yang berkonflik dengan hukum berada dalam rumah tahanan negara
(Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebanyak 6.576 terdiri
dari 2.188 anak berstatus tahanan dan 3.388 berstatus narapidana
berada di dalam Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan (Data Bina
Statistik Dirjen Pemasyarakatan, Juli 2009). Banyaknya anak yang
berada di dalam Rutan/Lapas ini mengindikasikan bahwa ”Penangkapan, penahanan dan
penghukuman/pemenjaraan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum bukan lagi
merupakan upaya yang terakhir (ultimum meredium), karena dalam tingkatan
empiris terdapat sejumlah anak yang cukup besar yang berkonflik dengan hukum
justru berada dalam tahanan sambil menunggu proses hukum mulai dari penyidikan,
penuntutan sampai pada tahapan menunggu putusan pengadilan berupa putusan
pidana penjara”.
Hal
tersebut diperkuat dengan data yang ada bahwa; ”Banyak anak yang dipidana penjara yang pidananya kurang dari
1 (satu) tahun menjalani pidananya di dalam Rumah Tahanan Negara/di dalam
Lapas, bahkan terdapat 529 orang anak yang berada di Rutan/Lapas berusia di
bawah 12 tahun”. (Bina Statistik
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2009).
Berdasarkan
kondisi tersebut di atas, ada indikasi bahwa; ”Substansi hukum yang berlaku (UU
No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak) yang digunakan sebagai instrumen
dalam memperlakukan anak yang berkonflik dengan hukum cenderung belum
terimplentasikan secara optimal dan cenderung belum mencerminkan sebagai tindak
lanjut dari apa yang telah disepakati dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak
Resolusi PBB No. 109 Tahun 1990 yang telah diratifikasi dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990 dalam mewujudkan tujuan restorative justice sebagai salah satu alternatif
pelaksanaan pemidanaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum”.
Selain
kedua hal tersebut terdapat isu lagi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwa;
”Masih banyak aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan Petugas Lapas)
belum konsisten dalam menerapkan konseprestorative
justice”. Banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum, memunculkan banyak
pertanyaan dibenak banyak pihak, apakah anak Indonesia memang begitu nakal dan
jahat sehingga harus menghuni sel-sel penjara.Ternyata tidak, mereka
masuk karena ada sistem yang mengkriminalisasi anak. Pertama, doktrin masyarakat yang menganggap setiap anak yang
melakukan pelanggaran hukum harus dipenjara. Kedua, kultur aparat penegak hukum yang lebih sering memilih jalan
pemidanaan daripada alternatif hukuman seperti keadilan Restorative maupun Diversi. Ketiga, ada undang-undang yang semestinya melindungi anak tetapi
malah mengkriminalisasi anak, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Maka jangan heran kalau setiap harinya jumlah anak yang dikriminalisasi
oleh UU Pengadilan Anak bukan semakin berkurang tetapi malah semakin bertambah
banyak, sehingga kapasitas penjara akan mengalami over capacity bagi penghuninya.
Oleh karena itu
peran pemerintah perlu didorong karena mempunyai kewajiban memenuhi hak-hak
anak sebagai konsekwensi yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak.
Jika mempelajari sistem otonomi daerah melalui birokrasi yang diterapkan oleh
pemerintah saat ini dan untuk memenuhi hak-hak anak diperlukan adanya suatu
institusi/ataupun relawan yang memiliki kepedulian secara khusus
untuk menangani advokasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Melalui kebijakan tersebut diharapkan penanganan terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum dapat menggunakan restorative
justice sebagai alternatif dari pelaksanaan pemidanaan terhadap anak
dapat diwujudkan.
A. Kesimpulan
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan
yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan
bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan secara restoratife
justice ini dalam penyelesaianya melibatkan bukan hanya pelaku tindak pidana
dan korban tetapi melibatkan juga keluarga korban atau keluarga pelaku dan juga
masyarakat.Restorasi meliputi pemulihan hubungan
antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini
bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi
kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja
sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Kemudian
Sesuai dengan esensi yang terkandung dalam tujuan Undang-Undang Pengadilan
Anak yaitu ”Untuk
memberikan perlindungan kepada anak dan menjamin kesejahteraan anak, meskipun
ia berkonflik dengan hukum”. Selain bertujuan memberikan perlindungan
dan memberikan kesejahteraan kepada anak, juga bertujuan agar dalam penjatuhan
sanksi hukum terhadap anak harus benar-benar secara proporsionalitas, tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada
penghukuman (pidana penjara) semata, akan tetapi juga memberikan alternatif lain
dalam bentuk pembinaan (tredment)
yaitu sanksi pidana non penal (tindakan) dengan menerapkan konsep restorative justice, karena pemberian
sanksi pidana penjara bukan merupakan alternative terbaik bagi masa depan anak.
SADDAM SETIA GULTOM. SH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar