Hibah Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pengertian Hibah
Yang dimaksud
dengan hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”. Sedangkan menurut
istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, adalah :
“Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
Bahwa, yang
dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian
Cuma-Cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada
pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak
perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu
hidupnya” si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan
pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat),
yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal,
dapat diubah atau ditarik kembali olehnya.
Pemberi dalam
testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan legaat (hibah
wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini adalah
suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara
sepihak oleh si penghibah. Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk
Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan
hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah.
Dasar Hibah
Mengenai
penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam beberapa pasal
yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan
tersebut adalah :
a.Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata:
“Hibah hanyalah dapat mengenai
benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan
dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal ”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada, bersama suatu
barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang pertama adalah
sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
b.Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
:
“ Si penghibah tidak boleh memperjanjikan
bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu
benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut
dianggap sebagai batal”.
Janji yang
diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan
kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap ada
padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan
barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan
sifat dan hakekat penghibahan.
Sudah jelas,
bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan batal, yang terjadi sebenarnya
adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil.
c.Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
:
“Adalah diperbolehkan kepada si
penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat
hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak maupun benda-benda
tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan
tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus diperhatikan
ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua kitab undang-undang ini”.
Bab kesepuluh
dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dimaksud itu adalah bab
yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Nikmat Hasil. Sekedar
ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah, dengan adanya
Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan
itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku.
Cara
menghibahkan sesuatu
Tentang cara menghibahkan sesuatu
telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam
pasal di bawah ini :
a. Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
:
“ Tiada suatu hibah kecuali yang
disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya
dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu ”.
b. Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
:
“ Tiada suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya “.
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001
Pin BB :2988A894
kantorhukumkalingga@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar