Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 14 ayat (3) UU No. 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, jaminan fidusia baru
lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam
Buku Daftar Fidusia dan kreditur
akanmemperoleh sertifikat jaminan fidusia
berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan
mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta
mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam
perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selain itu, untuk pembebanan jaminan fidusia, Pasal 5 ayat (1) UUJF mengamanatkan Pembebanan Benda
dengan Jaminan Fidusiadibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan
merupakan akta Jaminan Fidusia. Mengutip
tulisan advokat Grace P. Nugroho, S.H. dalam
artikel berjudul Eksekusi
Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia Dengan Akta di Bawah Tangan, saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan
bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi
konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak
piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian
yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun
ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor
Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut
akta jaminan fidusia di bawah tangan.
Namun, sesuai dengan amanat UUJF, untuk mendapat perlindungan
hukum sebagaimana diatur dalam UUJF, pembebanan benda dengan akta jaminan
fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar
Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak
mendapat perlindungan sebagaimana disebutkan dalam UUJF.
Dalam hal debitur meninggal dunia, sedangkan
jaminan fidusia belum didaftarkan, pada dasarnya, terhadap perjanjian yang memberikan
penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan
eksekusilangsung. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal
hingga turunnya putusan pengadilan. Selain itu, bank sebagai kreditur menjadi
tidak memiliki hak didahulukan (lihat Pasal 27 ayat [1] UUJF) terhadap
kreditur lain dalam pengembalian pinjamannya karena penjaminan secara fidusia
dianggap tidak sah jika tidak didaftarkan.
Masih menurut Grace P. Nugroho, dalam praktiknya tidak jarang
kreditur langsung melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Mengingat
pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau,
debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan,
sehingga dapat dikatakan bahwa di atas barang tersebut berdiri hak sebagian
milik debitur dan sebagian milik kreditur. Jika eksekusi terhadap barang objek
fidusia tidak dilakukan melalui badan penilai harga yang resmi atau badan
pelelangan umum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan dapat digugat ganti kerugian.
Grace lebih jauh menjelaskan bahwa dalam konsepsi hukum pidana,
eksekusi objek fidusia di bawah tangan (tanpa putusan pengadilan) masuk
dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditur melakukan pemaksaan
dan ancaman perampasan. Grace menulis bahwa:
“Situasi ini dapat terjadi jika kreditur dalam
eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal
diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik
kreditur yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.
Bahkan apabila debitur mengalihkan benda objek fidusia yang
dilakukan di bawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UUJF,
karena tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
Memang, mungkin saja debitur yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di
laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana oleh kreditur. Baik kreditur maupun
debitur bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi
milik berdua baik kreditur dan debitur. Dibutuhkan putusan perdata oleh
pengadilan negeri setempat untuk mendudukkan porsi masing-masing pemilik
barang tersebut untuk kedua belah pihak.”
Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang
tersebut harus dilunasi oleh debitur. Dan apabila debitur kemudian meninggal
sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang tersebut dapat diwariskan kepada
ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum perdata Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata. Pasal tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan
sendirinya karena hukum, mendapat hak milik atas semua barang, semua hak dan
semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks
aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris.
Walaupun memang, tiada seorang pun
diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap tidak pernah
menjadi ahli waris (lihat Pasal
1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah bersedia
menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang,
hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima
masing-masing dari warisan itu (lihat Pasal
1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak TagihanKartu
Kredit Diwariskan ke Anak-Cucu? Dengan kata lain, ahli waris
dapat digugat oleh pihak bank ketika utang pewaris tidak dilunasi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad1847
No. 23);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht,
Staatsblad 1915 No 73);
*Dikutip dari HUKUMONLINE.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar