Bahwa mengenai
Praperadilan, dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa (sejak berlakunya
KUHAP pada 1981), secara praktik, Praperadilan yang awalnya diproyeksikan
sebagai sarana pengawasan untuk menguji keabsahan suatu upaya paksa (dwangmiddelen),
misalnya mengenai penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, kini dinilai
hanya bersifat pengawasan administratif belaka.
Hal ini dikarenakan sah
atau tidaknya penangkapan dan penahanan cukup dapat dibuktikan oleh penegak
hukum, dengan memperlihatkan ada atau tidak adanya surat penangkapan/surat
penahanan secara formal saja. Di samping itu, Penangguhan Penahanan yang
merupakan Hak dari Tersangka/Terdakwa, seringkali diabaikan oleh penegak hukum,
yang justru lebih mengedepankan syarat
subjektif penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu adanya
“Kekhawatiran” dari Penegak Hukum bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri,
merusak/menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi perbuatan."
Selain itu, kekuasaan
untuk melakukan penahanan cenderung dapat disalahgunakan oleh oknum penegak
hukum (abuse of power). Kondisi demikian melahirkan wacana dan
usulan agar peran dan fungsi Praperadilan diganti dengan Hakim Komisaris, yang
sesuai dengan draf RUU KUHAP yang baru, diperlengkapi kewenangan yang jauh
lebih luas dari Praperadilan.
Hakim Komisaris sendiri
sebenarnya bukanlah konsep baru dalam dunia penegakan hukum di Indonesia,
sebelumnya Hakim Komisaris sudah ada pada saat berlakunya Reglement op
de Strafvoerdering (RV), namun setelah berlakunya HIR, Hakim Komisaris
ditiadakan. Pada 1974, pernah ada wacana memasukkan hakim komisaris dalam RUU
KUHAP yang pertama, namun ada pertentangan dari berbagai kalangan penegak
hukum, karena dikhawatirkan akan mengganggu tugas dari kejaksaan dan kepolisian
sebagai hulp magistraat (pembantu jaksa) pada saat berlakunya HIR(Herzien
Indlandsch Reglement), sebelum KUHAP diundangkan sebagaimasterpiece dari
Hukum Acara Pidana Indonesia.
Dalam RUU KUHAP,
rancangan mengenai hakim komisaris sudah diformulasikan antara lain: kewenangan
hakim komisaris secara tunggal (oleh karena jabatannya/ex officio) untuk
menilai sah atau tidaknya upaya paksa (dwangmiddelen) baik mengenai
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penyadapan, serta untuk
soal penangguhan penahanan bagi tersangka, dan lain-lain.
Dalam menjalankan
tugasnya yang cukup berat dan “tertutup” tersebut, hakim komisaris secara
tunggal/mandiri hanya mendapat pengawasan dari Pengadilan Tinggi dan bukan dari
publik sebagai sarana pengawasan umum, yang bersumber dari salah satu asas
hukum acara pidana yang menyatakan “Pengadilan terbuka untuk umum”.
Mencermati begitu luasnya
kewenangan dari Hakim Komisaris sebagaimana tersebut di atas dan sifat
subjektifitas dari seorang hakim komisaris tanpa pengawasan yang “terbuka”
sebagaimana yang ada pada Praperadilan Indonesia saat ini, dikhawatirkan dapat
menggenapi adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt
absolutely” (kekuasaan cenderung korupsi, kekuasaan mutlak pasti
korupsi).
Dasar Hukum Praperadilan
Pasal 77 KUHAP
Pengadilan
Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini tentang :
a. Sah Atau Tidaknya Penangkapan, Penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 79 KUHAP
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.
1. PENGGELEDAHAN
Pasal 32 :
Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 33 :
(1) Dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri
setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan
yang diperlukan.
(2)
Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas
kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan
oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya.
(4) Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan
oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal
tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5) Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan
atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya
disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.
Pasal 34 :
(1) Dalam keadaan yang sangat perlu dan
mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk
mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal
33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. pada
halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di
atasnya;
b. pada
setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;
c. di
tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
d. di
tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
(2) Dalam hal penyidik melakukan
penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1)penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan
tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana
yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana
yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 36 :
Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan
rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam
Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus diketahui oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hukum di mana penggeledahan itu
dilakukan.
2. PENYITAAN
Pasal 38 :
(1) Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
(2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana
penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin
terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas
benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 39 :
(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa
yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung
untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda
yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda
yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda
lain yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda yang berada
dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1).
Pasal 42 :
(1) Penyidik berwenang memerintahkan kepada orang
yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut kepadanya
untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang menyerahkan benda itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat atau tulisan lain hanya dapat
diperintahkan untuk diserahkan kepada penyidik jika surat atau tulisan itu
berasal dari tersangka atau terdakwa atau ditujukan kepadanya atau kepunyaannya
atau diperuntukkan baginya atau jikalau benda tersebut merupakan alat untuk
melakukan tindak pidana.
Pasal 43 :
Penyitaan
surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri
setempat kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 44 :
(1) Benda sitaan
disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda
sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada
pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Pasal 46 :
(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan
kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang
atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak
memerlukan lagi;
b. perkara tersebut tidak jadi dituntut karena
tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. perkara
tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup
demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila perkara sudah diputus, maka benda
yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang
disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu
dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak
dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai
barang bukti dalam perkara lain.
3. PENANGKAPAN
Pasal 16 :
(1) Untuk kepentingan
penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan
penangkapan.
(2) Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.
Pasal 17 :
Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang
cukup.
Pasal 18 :
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh
petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat
tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta
uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal
tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan
bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang
ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)harus diberikan kepada keluarganya segera
setelah penangkapan dilakukan.
Pasal 19 :
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari.
(2) Terhadap tersangka
pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah
dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa
alasan yang sah.
4. PENAHANAN
Pasal 20 :
(1) Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan.
(2) Untuk kepentingan
penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan.
(3) Untuk kepentingan
pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan
penahanan.
Pasal 24 :
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama
empat puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan
tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu enam puluh hari tersebut,
penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 25 :
(1) Perintah penahanan yang diberikan oleh
penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri yang berwenang untuk paling lama
tiga puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan
tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut,
penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
Pasal 26 :
(1) Hakim Pengadilan Negeri yang mengadili
perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan
pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
(2) Jangka waktu
sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling
lama enam puluh hari.
(3) Ketentuan
sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan
dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi,
(4) Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun
perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan
demi hukum. (808hr)
KANTOR HUKUM KALINGGA
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
0818 05887468
2AB48511
kantorhukumkalingga.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar