A. HUKUM WARIS PERDATA
Menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
1.
Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
2.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).
Cara yang pertama dinamakan mewarisi
menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan
mewarisi secara “testamentair”.
Dalam hukum waris berlaku suatu asas,
bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan
harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak
membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian
warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak
mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak
mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada
orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan
adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan
ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat
dari warisan (pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada
orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk
keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang
meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika
anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris,
maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal
pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia
lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu
dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta
peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan
wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan.
Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai
tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer
itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap
perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan
segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus
membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang
mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat
kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun
belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka
weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta
peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi
milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH
Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak
berhak mewaris ialah:
a. Mereka yang telah
dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
b. Mereka yang dengan
putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan
pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman
penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
c. Mereka yang dengan
kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
d. Mereka yang telah
menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.
B. HUKUM WARIS ISLAM
Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam
sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam
pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat
dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan
Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan
dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak
untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa
yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak
ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan
oleh rasulullah Saw. Yang artinya:
“Belajarlah Al
Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah
kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan
terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka
bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.
Berdasarkan hadits tersebut di atas,
maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para
penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan
yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
- hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
- Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal
berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.
- Ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi
ahli waris.
- Harta peninggalan adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak
miliknya maupun hak-haknya.
- Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
- Wasiat adalah pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah
pewaris meninggal dunia.
- Hibah adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang
masih hidup untuk dimiliki.
- Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan
pasal 175 KHI adalah:
- Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman
jenazah selesai.
- Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa
pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
- Menyelesaiakan wasiat pewaris.
- Membagi harta warisan diantara ahli waris yang
berhak.
Para ahli waris baik secara
bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris
yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan
Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli
waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka
harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada
Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191
KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari
seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dari gono-gini
dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah
menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).
Duda mendapat separuh bagian, bila
pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda
mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).
Janda mendapat seperempat bagian,
bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak,
maka janda mendapat sepdelapan bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan
ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang:
- Perkawinan.
- Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam.
- Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu
diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu
perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu,
sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari
15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan. Ahli waris dari
pihak laki-laki ialah:
a.
Anak laki-laki (al ibn).
b.
Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
c.
Bapak (al ab).
d.
Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
e.
Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
f.
Saudara laki-laki sebapak (al
akh liab).
g.
Saudara laki-laki seibu (al
akh lium).
h.
Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
i.
Keponakan laki-laki sebapak (ibnul
akh liab).
j.
Paman seibu sebapak.
k.
Paman sebapak (al ammu
liab).
l.
Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
m.
Sepupu laki-laki sebapak (ibnul
ammy liab).
n.
Suami (az zauj).
o.
Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang
memerdekakan seorang.
p.
hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.
Sedangkan ahli waris dari pihak
perempuan adalah:
a. Anak perempuan (al bint).
b. Cucu perempuan (bintul ibn).
c. Ibu (al um).
d. Nenek, yaitu ibunya
ibu ( al jaddatun).
e. Nenek dari pihak
bapak (al jaddah minal ab).
f. Saudara perempuan
seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
g. Saudara perempuan
sebapak (al ukhtu liab).
h. Saudara perempuan
seibu (al ukhtu lium).
i. Isteri (az zaujah).
j.
Perempuan yang memerdekakan (al
mu’tiqah).
Sedangkan bagian masing-masing ahli
waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan
anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau
cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi
dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12,
yang artinya:
“Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai
anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar
hutang-hutangmu”.
Suami mendapat ½ bagian apabila
pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai
anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:
“Dan bagimu
(suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan
sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
Sedangkan bagian anak perempuan
adalah:
- Seorang anak perempuan mendapat ½ bagian,
apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.
- Dua anak perempuan atau lebih, mendapat 2/3
bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
- Seorang anak perempuan atau lebih, apabila
bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak
laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian),
hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang
artinya:
“Jika anakmu, yaitu
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.
Bagian anak laki-laki adalah:
a. Apabila hanya
seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah,
jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil
furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli
waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
b. Apabila anak
laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempuan, serta ahli waris
dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada
anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan
surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.
Ibu dalam menerima pusaka/bagian
harta waris adalah sebagai berikut:
1
Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
2
Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai
anak.
Dan diantara ahli waris yang ada,
apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu
dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan
seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:
”Dan
untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
pewaris itu mempunyai anak”.
Bagian Bapak adalah:
a. Apabila sipewaris
mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6
dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
b. Apabila pewaris
hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan
dengan jalan ashabah.
c. Apabila pewaris
meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3
bagian.
Sedangkan bagian nenek adalah:
a. Apabila seorang
pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek
mendapat bagian 1/6.
b. Apabila seorang
pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka
nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.
Menurut hukum waris Islam, orang yang
tidak berhak mewaris adalah:
a. Pembunuh pewaris,
berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan
An Nasa’i.
b. Orang murtad, yaitu
keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
c. Orang yang berbeda
agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
d. Anak zina, yaitu
anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan
oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).
Perlu diketahui bahwa jika pewaris
meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri
maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada,
maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki
maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris
yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).
C. KOMPARASI HUKUM
WARIS PERDATA DAN HUKUM WARIS ISLAM
Sistem hukum kewarisan menurut KUH
Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami
dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan
bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian
anak. Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut sistem
keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan
keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika
ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti
ini ada persamaan dengan hukum Islam.
Persamaanya apabila dihubungkan
antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH
Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam
sama-sama menganut sistem kewarisan individual, artinya sejak terbukanya
waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya
antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi
haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem
kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya
adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut
harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut
sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau
merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris,
sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan
selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para
ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian
ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu
dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian
antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
Persamaan tersebut disebabkan
karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan
perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat
adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah
individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar
belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup
dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani. (808hr)
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024)76670350
0821 3875 4004
2AB48511
kantorhukumkalingga.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar