PERTANYAAN :
PERALIHAN
HAK GARAP
Kepada
Yth,
Kantor
hukum Kalingga
Saya
mau bertanya : apakah surat pelimpahan hak atas sebidang lahan lahan garapan
(lahan ada di tanah adat kalteg) itu bisa dikatakan bukti kepemilikan hak atas
tanah ? Mohon pencerahannya n thanks.
Regards
HARY SUWONDO
JAWABAN :
Sebelumnya kami sampaikan terima kasih atas pertanyaan yang telah diberikan, atas pertanyaan mengenai Hak
Garap akan kami jawab sebagai berikut :
UUPA dan berbagai aturan pelaksanaanya
sebenarnya sudah membuat dua penggolongan status tanah di Indonesia, yaitu
tanah hak dan tanah Negara. Namun di sisi lain, sebagai implikasi konsep hak
menguasai dari Negara, semua tanah di Indonesia dianggap sebagai tanah Negara,
termasuk tanah-tanah hak. Berdasarkan pada pengertian mengenai tanah hak dan
tanah Negara yang telah disebutkan sebelumnya, bukanlah hal yang mudah untuk
menentukan dimana letak tanah garapan dan hak garapan di dalam konstruksi hukum
tanah nasional. Bahkan Budi Harsono secara tegas dalam bukunya mengatakan bahwa
hukum tanah nasional tidak mengenal tanah garapan maupun hak garapan. UUPA
sendiri tidak mengatur mengenai tanah garapan maupun hak menggarap, karena
tanah garapan bukan merupakan tanah hak. Sejumlah literatur hukum pertanahan
justru mengkait-kaitkan tanah garapan dengan pemakaian tanah tanpa seizin
pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah secara tidak sah (onwettige occupatie). Meskipun tidak diatur dalam UUPA, beberapa peraturan perundang-undangan
organiknya sudah mencoba untuk mengatur mengenai tanah garapan. Diantaranya
adalah aturan mengenai surat izin menggarap yang diberikan dalam rangka landreform. Untuk mencapai salah satu tujuan pokoknya, yaitu untuk mewujudkan
dasar-dasar bagi terbentuknya unifikasi dan kesederhanaan pada hukum tanah
nasional, UUPA membuat ketentuan konversi. Melalui ketentuan konversi tersebut,
hak-hak lama berdasarkan hukum adat dan hukum barat, disesuaikan dengan UUPA.
Khusus bagi tanah-tanah adat yang bukan obyek konversi, penyesuaian terhadap
UUPA difasilitasi dengan ketentuan penegasan hak. Bahkan pada Tahun 1962
dikeluarkan sebuah peraturan yang memungkinkan tanah-tanah adat yang tidak
didukung oleh bukti-bukti hak untuk didaftarkan menjadi salah satu hak atas
tanah menurut UUPA, atau disebut juga dengan cara pengakuan hak. Oleh peraturan
pelaksana mengenai konversi, pemohon pendaftaran tanah-tanah adat obyek
konversi cukup menunjukan tanda bukti hak, surat keterang Kepada Desa/Lurah
yang dikuatkan oleh camat untuk membenarkan kevalidan tanda bukti hak tersebut,
serta KTP. Bahkan bagi tanah-tanah yang tidak lagi tersedia bukti haknya, masih
diperbolehkan untuk dimohonkan hak atas tanah. Persyaratan yang longgar dengan
intensi untuk memperlancar konversi dimaksudkan agar UUPA segera bisa
diberlakukan atas tanah-tanah adat, karena selama masih belum masuk ke dalam
wilayah pengaturan hukum pertanahan formal, maka selamanya tanah-tanah adat
atau ulayat akan berada dalam wilayah pengaturan hukum adat dan kebiasaan.
Dalam perkembangannya, pendaftaran konversi tanah-tanah adat atau ulayat tidak
berlangsung mulus, salah satu penyebab utamanya adalah terhentinya keberlakuan
UUPA dalam kawasan hutan serta superioritas keberlakuan hukum pertambangan
dalam wilayah kuasa pertambangan. Meskipun demikian, mengacu pada pengertian
formal mengenai tanah garapan, mereka bukan lagi sebagai pemilik atau pihak
yang dianggap berhak atas tanah tersebut. Kedudukan masyarakat adat tersebut
berubah menjadi hanya sebatas penggarap saja. UUPA yang dimaksudkan sebagai
produk hukum utama dalam bidang pertanahan di Indonesia, ternyata belum
sepenuhnya dapat memenuhi harapan. Mengingat hak menggarap atas tanah Negara
belum atau tidak diatur dalam UUPA, maka ditengah kebutuhan tanah demi
pembangunan dan kebutuhan tanah oleh individu, sungguh diperlukan suatu
kebijakan yang tepat. Kenyataan yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh
adalah hak menggarap atau hak mengerjakan yang sering dipersoalkan dan
diperdebatkan adalah, bahwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat, mayoritas
adalah rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah dan berlatar belakang ekonomi
lemah.
Namun demikian dapat kami definisikan
menurut pengertian umum bahwa Hak Garap adalah hak untuk menempati, memakai dan menikmati. Sebab pada dasarnya, Undang-Undang Pokok Agraria (UU
No. 5 Tahun 1960) tidak mengatur adanya tanah garapan karena tanah garapan
bukanlah status hak atas tanah. Adapun satu-satu sumber hukum yang mengatur
tentang hak penggarap adalah Undang-Undang No. 2 Tahun 1960 tentang perjanjian
bagi hasil antara pemilik dan penggarap tanah.
Mengenai peralihan hak garap
itu sendiri akan terlebih dahulu kami jelaskan sebagai berikut:
Jual beli hak menggarap tanah
berkaitan erat dengan legalitas kepemilikan tanah dan sekaligus legalitas
perjanjian. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh
UUPA, atau sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN, telah
menjadikan jual beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara
sungguh-sungguh. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum
diatur oleh UUPA, atau sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN,
telah menjadikan jual beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara
sungguh-sungguh. Interpretasi atau konstruksi hak menggarap yang masih berada
pada wilayah perdebatan, dan pada akhirnya secara lokal melahirkan peraturan
daerah sebagai landasan hukum sementara, telah menjadikan surat keterangan
menggarap dan surat pernyataan menggarap sebagai berkaitan dengan subyek hukum.
Sebab suatu jual beli benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, selalu
membutuhkan kejelasan atas subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Dalam hal jual beli hak menggarap atau izin menggarap, status obyek atau benda
yang diperjanjikan akan menimbulkan permasalahan tersendiri, hal tersebut
dikarenakan cara peralihan hak menggarap atau izin menggarap tidak melaui jual
beli, melainkan dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk
dialihkan hak menggarap atau izin menggarap tersebut. Apabila status obyek yang
diperjanjikan (dijualbelikan) tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka
sudah dapat dipastikan bahwa perjanjian (jual beli) tersebut dianggap tidak
sah, karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian perjanjian (jual beli)
tersebut tidak memenuhi syarat obyektif. Apabila syarat obyektif suatu
perjanjian tidak terpenuhi, maka akibat hukum yang timbul dari perjanjian
tersebut ialah perjanjian batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para
pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum
adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di
depan hakim, atau dalam Bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu “null and void”.
Atau secara
singkat kami katakan bahwa hak garap yang belum atau tidak diatur tersebut pada
kenyataannya ada dan diakui di Indonesia, bukan melalui hukum Nasional namun
melalui pengakuan hak-hak adat dan ulayat. Peralihan hak garap sendiri adalah
peralihan mengenai hak untuk menempati, memakai
dan menikmati. Sehingga bukti peralihan, apapun bentuknya bukanlah bukti
kepemilikan karena pemilik hak garap bukan pemilik tanah namun pemilik hak
untuk menempati, memakai dan menikmati tanah yang dalam hal ini dapat dikatakan
masih sebagai tanah Negara.
Demikian jawaban kami semoga bermanfaat.
BOB
HORO, SH., MH.
Kantor
Hukum Kalingga
Jl.
Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl.
Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024)
76670350
HandPhone
: 081222444001
Pin BB :2988A894
kantorhukumkalingga@gmail.com
kantorhukumkalingga@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar