Selasa, 10 November 2015

PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN

       Kata keadilan berasal dari akar kata adil, kata dimaksud mendapat tempat yang sangat terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 
    Kata “ADIL” hampir selalu muncul dan kita dengar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Fenomena sudut pandang ketidakadilan pada aktivitas penegakan hukum saat ini dirasa belum memberikan keadilan yang sebenarnya sepanjang hukum yang ditegakkan oleh aparatur penegak hukum itu belum merupakan konstruksi yang mencerminkan rasa keadilan, demikian pula, kebebasan, kesetaraan dan kesamaan dalam memperoleh kesempatan sebagaimana yang dijanjikan oleh hukum. Hukum hanya benar dalam bingkai norma-norma yang abstrak dan masih dalam tataran retorika-retorika teoritik belaka. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai pengayom masyarakat yang memberikan rasa keadilan melalui aparat penegak hukumnya, dirasa belum mampu menunjukkan fungsi utamanya. Hukum dan keadilan merupakan dua sisi yang menyatu, karena keadilan adalah nilai-nilai abstrak yang perlu perwujudan dalam bentuk hukum. Sebaliknya hukum tidak dapat dikatakan hukum, jika tidak mampu mewujudkan nilai-nilai keadilan yang telah dirumuskan sebelumnya olek masyarakat di mana hukum itu berlaku, hukum bukan lahir untuk dirinya sendiri melainkan bekerja untuk menatakelola munculnya kemaslahatan dan keadilan di tengah masyarakat. Penegak hukum pada hakekatnya sebagai hukum yang hidup, karena di tangan penegak hukum itulah skema-skema hukum itu menjadi hidup, di tangan penegak hukum itulah hukum mengalami perwujudannya.     
     Penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dihadapkan kepada struktur birokrasi hukum modern yang semakin formal dan komplek. Sebagai penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan advokat) merupakan simbol yang melambangkan pekerjaan yang dilakukannya. Sebagai makhluk Tuhan, para penegak hukum adalah manusia biasa yang penuh dengan kekurangan dalam semua sisi kehidupan yang melekat pada dirinya yang menyebabkan kemampuan yang dimilikinya menjadi sangat terbatas. Meskipun demikian dalam pelaksanaan tugas di masyarakat, para penegak hukum sering dihadapkan pada situasi yang secara konsisten justru dapat mengakibatkan arah berbalik yaitu terciptanya ketidaktertiban dalam masyarakat, tentunya dalam hal ini para penegak hukum dituntut secara kreatif, arif dan bijaksana untuk mampu mengatasi problema yang penuh dengan resiko, baik resiko fisik maupun psikis. 
      Menjawab atas permasalahan tersebut di atas : 
1. Bahwa proses dan kualitas penegakan hukum menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan; 
2. Dengan proses dan kualitas penegakan hukum yang baik dan adil diharapkan akan tercipta kehidupan masyarakat yang baik dalam suasana saling menghormati menurut prinsip-prinsip hukum yang berlaku; 
3. Untuk memunculkan kemaslahatan (rasa keadilan) dalam merumuskan ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam realitas masyarakat yang terus berkembang saat ini penegak hukum harus melakukan perubahan mind set, budaya tertib kerja melalui peningkatan kinerja dan kualitas pelayanan public, professional, proporsional dan akuntabel dalam artikulasi reformasi birokrasi. 
     Untuk mengakselerasi perihal dimaksud para penegak hukum mempunyai tugas mempelajari metode dan prinsip yang sesuai dengan konteks hukum yang kompatibel dengan nilai-nilai kemaslahatan (sosial) dan keadilan melalui pendekatan agama yang bersifat universal dan mutlak. Untuk mengaitkan dan menghubungkan kandungan agama dengan konteks kemaslahatan (sosial) mesti diapresiasi dalam setiap aktivitas penggalian hukum di masyarakat melalui dinamisasi interpretasi hukum. Pada prinsipnya, hukum lahir bukan dalam ruang yang kosong dan tidak bekerja untuk dirinya sendiri. Sebaliknya ia tumbuh dan berkembang untuk menebar kemaslahatan dan keadilan di tengah kehidupan masyarakat. Untuk merealisasi tujuan luhur ini sangat dibutuhkan dalam merumuskan ketentuan hukum begitu pula penempatan temuan hukum dalam arti melakukan reformasi hukum sesuai konteks realitas adalah bentuk lain dari penerapan nilai-nilai etis yang amat dianjurkan dalam ajaran agama. Agama dengan nalar logika manusia menjadi sangat menarik dimaknai secara teologis untuk memunculkan diktum-diktum hukum yang sangat dibutuhkan para penegak hukum sebagai garis panduan (guide line). Hasil dinamisasi interpretasi hukum ini dapat terintegrasi ke dalam nilai-nilai etika sehingga dapat memantulkan keharmonisan di tengah-tengah masyarakat. 
     Akumulasi paradigma ini secara keseluruhan masuk dalam dinamisasi interpretasi hukum yang diakselerasikan melalui keteladanan yang nyata dari pimpinan sampai individu anggota dalam arti membumikannya moralitas, etika dan karakter dengan agama sebagai medianya. Agama dan penegak hukum adalah dua hal yang saling berinterelasi dalam proses pembentukan moral personilnya, agama bersifat transendental dan absolut serta tugas para penegak hukum sebagai pelayan masyarakat merupakan anugerah dan berkat Tuhan. Dalam arti agama sebagai pedoman (guide line) untuk membimbing tugas-tugas penegak hukum menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu Tuhan di mana perilaku para penegak hukum menjadi cerminan sesuai konteks realitas yang merupakan penerapan nilai-nilai etis. Hasil dinamisasi interpretasi hukum ini dapat terintegrasi ke dalam nilai-nilai etika sehingga dapat memantulkan keharmonisan di tengah-tengah sosio kultural masyarakat (karakter/moralitas) serta terjalinnya hubungan simbiosis antara manusia (para penegak hukum) selaku mandataris dengan Tuhan selaku pemberi mandat (amanat). Sehingga akan tertata sistem politik yang sehat, penegakkan hukum yang adil, kesejahteraan masyarakat yang makin merata dan penghargaan masyarakat atas nilai, norma, hukum dan konstitusi yang sudah disepakati bersama (demokrasi) menuju jalan yang benar sesuai rambu-rambu Tuhan, sebagai bentuk perwujudan aparat penegak hukum dalam memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.

Selasa, 03 November 2015

UNDANG-UNDANG HAK CIPTA, PENGARUH KAPITALISME; SEBUAH TELAAH KRITIS

A. UU Hak Cipta dan Problematikanya 
      Secara formal, bangsa Indonesia telah berhasil membangun Negara merdeka yang berdasar atas hukum. Namun, cita-cita hukum sebagaimana yang terkandung dalam Negara hukum masih mengandung banyak permasalahan, di antaranya adalah adanya ketidakseimbangan antara pelaksanaan fungsi hukum dengan perkembangan substansi dan struktur hukum yang berlaku. Akibatnya, ketidakadilan banyak dirasakan dalam bekerjanya sebuah hukum, padahal sebagaimana kita ketahui tujuan utama hukum adalah menciptakan keadilan dalam masyarakat. 
     Kenyataaan di atas salah satunya tergambar pada perkembangan hukum tentang hak cipta yang dirasa mengandung masalah yang cukup kompleks. Oleh beberapa kalangan, UU Hak Cipta dinilai tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Prinsip individualitas yang terkandung dalam undang-undang tersebut tidak sesuai dengan pandangan orang Indonesia yang berperisosial, kolektif dan tradisional[1]. Undang-Undang Hak Cipta dianggap bersifat asing bagi kepercayaan yang mendasari hukum adat, sehingga dianggap tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kesadaran hukum masyarakat terhadap Undang-Undang Hak Cipta[2]. Sebuah penelitian mengemukakan bahwa pengedepanan aspek ekonomi dalam UU Hak Cipta sangat terasa[3]. Rasionalitas ekonomi begitu kuat dalam UU ini memberikan justifikasi bahwa segala biaya dan jerih payah pencipta harus terbayar kembali.

     Dengan memperhatikan urgensi perlindungan hak cipta yang lebih menonjolkan rasionalitas ekonomi, khususnya untuk mendapatkan kembali segala bentuk investasi yang telah dikeluarkan, maka semangat perlindungan hak cipta sesungguhnya tidak bergeser jauh dari konsep purba, yaitu melindungi investasi pencipta. Sampai pada titik ini, timbullah sebuah tanda tanya besar. Seberapa besar manfaat dan keberpihakan HAKI terutama hak cipta bagi kepentingan Bangsa dan Negara Indonesia? 
     Bila dikaji lebih mendalam, tampak adanya kesenjangan yang lebar antara standar “moral” dari “jiwa keadilan” bangsa Indonesia dengan “spirit” dari konsep HAKI yang selama ini diberlakukan. Ada indikasi bahwa HAKI sebenarnya merupakan praktek kolonialisme baru, baik dari sisi potensi ekonomi maupun pada nilai-nilai hukum dan keadilan bangsa Indonesia. 
     Mengacu pada teori etis sebagaimana diungkapkan Aristoteles yang menyatakan bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk mewujudkan keadilan[4], bagaimana UU Hak Cipta dapat dilihat? Apakah undang-undang ini mengandung nilai keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi kita? Penelitian secara filosofis perlu dilakukan guna mengetahui bagaimanakah kandungan nilai keadilan sosial dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 
     Dari segi muatan, hak cipta mengandung esensi monopoli atas hak ekonomi atau economic rights dan hak moral atau moral rights. Keduanya memberi pencipta kewenangan untuk mengeksploitasi dan mengawasi penggunaan ciptaannya. 
    Dengan memperhatikan urgensi perlindungan hak cipta yang saat ini terbukti lebih menonjolkan rasionalitas ekonomi, khususnya untuk mendapatkan kembali segala bentuk investasi yang telah dikeluarkan, maka semangat perlindungan hak cipta sesungguhnya tidka bergeser jauh dari konsep purba, yaitu melindungi investasi pencipta. Perlindungan hak cipta bukan semata-mata diarahkan untuk melindungi kreativitas pencipta, tetapi kepada kepentingan ekonomi terkait dengan ciptaan. 
     Penekanan aspek keuntungan secara ekonomis dalam hak cipta merupakan akibat turunan dari konsep hak cipta yang mengedepankan individualitas. Prinsip individualitas merupakan nilai khas hukum modern, yang belum tentu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Alih-alih mewujudkan keadilan, ketidaksinkronan muatan hukum dengan kondisi masyarakat justru akan menghasilkan ketidakadilan. 
     Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena setiap masyarakat selalu menghasilkan kebudayaan, maka hukum pun selalu ada di setiap masyarakat dan terampil dengan kekhasannya masing-masing. Itulah sebabnya Wolfgang Friedman menyatakan bahwa hukum tidak mempunyai kekuatan berlaku universal[5]. Setiap bangsa mengembangkan sendiri kebiasaan hukumnya sebagaimana mereka mempunyai bahasanya sendiri juga. Tidak ada hukum dari suatu Negara tertentu dapat dipakaikan untuk bangsa dan Negara lain. Menurut Von Savigny[6], hukum itu merupakan pencerminan jiwa rakyat yang tidak mudah untuk diterjemahkan melalui perbuatan hukum dewasa ini. Ungkapan ini akan lebih sesuai akan lebih sesuai dengan masyarakat di pedesaan, yang belum mengalami penguraian yang tajam dalam bidang-bidang kehidupan sosialnya. 

B. Kapitalisme dan Pengaruhnya Terhadap Pengaturan Hak Cipta di Indonesia 
     Globalisasi ekonomi akhirnya berimbas juga pada globalisasi hukum. Hal ini dapat diketahui salah satunya melalui keikutsertaan Indonesia terhadap WTO (World Trade Organization), yang bermula dari keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Final A Act Uruguay Round di Marrakesh pada 1994. Ketika Indonesia meratifikasi persetujuan pendirian organisasi perdagangan dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) melalui UU No. 7 Th. 1994, maka seketika itu juga Indonesia sudah masuk kepada apa yang disebut dengan “Globalisasi”. 
     Adji Samekto dalam bukunya yang berjudul Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa globalisasi identik dengan ekspansi kapitalisme global. Pendorong utama terjadinya globalisasi adalah ekspansi kapitalisme global yang menuntut agar tata perekonomian seluruh dunia “diserahkan” kepada mekanisme pasar bebas. Adapun kapitalisme merupakan paham yang bertujuan untuk melakukan penumpukan modal (capital accumulation) melalui proses penanaman modal (capital investment). Dalam prakteknya, pemenuhan kepentingan kapitalisme mendorong dan mengharuskan adanya ekspansi keluar wilayah dalam bentuk penguasaan pasar, sumber pasokan bahan baku dan tenaga kerja semurah mungkin. Hal inilah yang secara historis telah melahirkan penjajahan dan penaklukan oleh satu Negara terhadap Negara lain (terutama oleh Negara barat penganut kapitalisme terhadap Negara dunia ketiga)[7].
     Pendapat di atas menemukan kesesuaiannya ketika melihat keadaan Indonesia saat ini betapa tidak, dengan diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization beserta beberapa lampirannya maka Indonesia wajib berkomitmen terhadap pelaksaan WTO, yang di antaranya adalah harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional sesuai dengan ketentuan dalam WTO. Adapun salah satunya berkaitan dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dimana di dalamnya diatur mengenai perdagangan dalam kaitannya dengan aspek hak atas kekayaan intelektual. 
     Tindakan pemerintah atas keikutsertaannya dalam WTO merupakan bentuk lain dari “penyerahan” tata perekonomian pada bentuk pasar bebas, di mana kapitalisme mendapatkan tempatnya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Ketentuan-ketentuan bidang HAKI yang ada dalam GATT/WTO pada akhirnya semakin memperkuat ekonomi Negara-negara maju dimana mereka memasukkan tema-tema baru. Khusus untuk HAKI, beberapa Negara maju mengajukan beberapa usulan sebagai berikut: 
     1. Hak milik intelektual harus berada di bawah yurisdiksi GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), karena hak-hak itu mempengaruhi perdagangan. 
     2. Undang-undang mengenai hak milik intelektual harus seragam untuk beberapa Negara, dan undang-undang paten yang berlaku di Negara industri harus diambil sebagai standar. 
     3. Hak-hak itu harus diberikan untuk jangka waktu yang relatif panjang. Usulan Amerika Serikat untuk perlindungan meliputi jangka waktu sekurang-kurangnya 50 tahun, dan sekurang-kurangnya 20 tahun untuk paten. 
   4. Apabila TRIPs telah diterima di bawah payung GATT, maka ketentuan-ketentuannya harus dilaksanakan[8].

     Dari beberapa ketentuan di atas, secara jelas dapat dipahami bahwa spirit pengaturan hak kekayaan intelektual tidak lain hanyalah merupakan kepentingan kapitalisme, terutama pada ketentuan pertama yang berbunyi hak milik intelektual harus berada di bawah yurisdiksi GATT, karena hak-hak tersebut mempengaruhi perdagangan. Hal ini tentunya dilakukan demi menjamin kepentingan ekonomi mereka, yaitu dalam bidang globalisasi perdagangan dan dalam upaya ekspansi perusahaan transnasional ke semua sektor ekonomi di dunia. 
     Bagi Negara berkembang, ikut serta dalam kesepakatan dalam WTO dapat menjadi boomerang yang pada akhirnya merugikan diri sendiri. Alih-alih melindungi hasil produk/ciptaan/kreasi warganya, yang terjadi justru kerugian bagi bangsa itu sendiri. Daya kreativitas masyarakat yang seharusnya didukung dan dilindungi justru menjadi terkebiri. 
     Di Indonesia, ketentuan-ketentuan TRIPs dituangkan dalam undang-undang hak cipta. Undang-undang hak cipta sendiri pertama kali diundangkan dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987, diubah lagi dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 dan terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002. Beberapa kali perubahan undang-undang hak cipta tersebut merupakan upaya harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional sesuai dengan ketentuan dalam WTO. Adapun salah satunya dengan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dimana di dalamnya diatur mengenai perdagangan dalam kaitannya dengan aspek hak atas kekayaan intelektual.

Catatan kaki :


[1] M. A. Jaspan, Mencari Hukum Baru Sinkretisme Hukum di Indonesia yang Membingungkan, dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut (ed), Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta: YLBHI, 1998, hlm. 253.
[2] Afifah Kusumadara, Konflik Hukum HAKI dengan Hukum Adat di Indonesia, Jurnal Arena Hukum, No. 12 Tahun 2000.

[3] Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: Rajawali Press, 2011, hlm. 13. 
[4] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2006, hlm. 77.
[5] Wolfgang Friedman, Legal Theory, Edisi Ketiga, (London: Stevens & Sons Limited, 1953).
[6] Pendapat Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Wolfgang Friedman, Ibid, hlm. 137.
[7] Adji Samekto, Kapitalisme, Modernisme dan Kerusakan Lingkungan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 38.
[8] Martin Khor Kok Peng, Imperialisme Ekonomi Baru Putaran Uruguay dan Kedaulatan Dunia Ketiga, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 15.