Kamis, 25 September 2014

HUKUM ADOPSI ANAK

1. Pihak yang dapat mengajukan adopsi
a. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
b. Orang tua tunggal
1. Staatblaad 1917 No. 129
Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah membolehkan mengangkat anak perempuan.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.

2. Tata cara mengadopsi

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada.
Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .
3. Isi permohonan

Adapun isi Permohonan yang dapat diajukan adalah:

- motivasi mengangkat anak, yang semata-mata berkaitan atau demi masa depan anak tersebut. 
- penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.

Untuk itu dalam setiap proses pemeriksaan, Anda juga harus membawa dua orang saksi yang mengetahui seluk beluk pengangkatan anak tersebut. Dua orang saksi itu harus pula orang yang mengetahui betul tentang kondisi anda (baik moril maupun materil) dan memastikan bahwa Anda akan betul- betul memelihara anak tersebut dengan baik.

4. Yang dilarang dalam permohonan

Ada beberapa hal yang tidak diperkenankan dicantumkan dalam permohonan pengangkatan anak, yaitu:
- menambah permohonan lain selain pengesahan atau pengangkatan anak. 
- pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli waris dari pemohon.

Karena putusan yang dimintakan kepada Pengadilan harus bersifat tunggal, tidak ada permohonan lain dan hanya berisi tentang penetapan anak tersebut sebagai anak angkat dari pemohon, atau berisi pengesahan saja.
Mengingat bahwa Pengadilan akan mempertimbangkan permohonan Anda, maka Anda perlu mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, termasuk pula mempersiapkan bukti-bukti yang berkaitan dengan kemampuan finansial atau ekonomi. Bukti-bukti tersebut akan memberikan keyakinan kepada majelis hakim tentang kemampuan Anda dan kemungkinan masa depan anak tersebut. Bukti tersebut biasanya berupa slip gaji, Surat Kepemilikan Rumah, deposito dan sebagainya.

5. Pencatatan di kantor Catatan Sipil

Setelah permohonan Anda disetujui Pengadilan, Anda akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan yang Anda peroleh ini harus Anda bawa ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam akte kelahirannya. Dalam akte tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan itu disebutkan pula nama Anda sebagai orang tua angkatnya.
6. Akibat hukum pengangkatan anak
Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
a. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.
· Hukum Adat:
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental, —Jawa misalnya—, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).
· Hukum Islam:
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991)
· Peraturan Per-Undang-undangan :
Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.


Jumat, 19 September 2014

Eksepsi Dalam Hukum Acara Perdata

Eksepsi adalah suatu tangkisan atau sanggahan yang tidak menyangkut pokok perkara. Eksepsi disusun dan diajukan berdasarkan isi gugatan yang dibuat penggugat dengan cara mencari kelemahan-kelemahan ataupun hal lain diluar gugatan yang dapat menjadi alasan menolak/menerima gugatan.
Eksepsi dibagi menjadi 2 :

1.      Eksepsi Absolut

a        Kompentensi absolut (pasal 134 HIR/Pasal 160 RBG) Kompentensi absolut dari pengadilan adalah menyangkut kewenangan dari jenis pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara) termasuk juga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Daerah (P4D)/ Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Pusat (P4P) & wewenang Kantor Urusan Perumahan (KUP);

b        Kompentensi Relatif ( Psl. 133 HIR/Psl59 RBG/Putusan MA-RI tgl 13-9-1972 Reg. NO. 1340/K/Sip/1971 ) Kompentensi relatif adalah menyangkut wewenang pengadilan. Eksepsi kompentensi relatif diajukan sebagi keberatan pada saat kesempatan pertama tegugat ketika mengajukan JAWABAN. Eksepsi Absolut yang menyatakan Pengadilan tidak berwenang memeriksa perkara ( Eksepsi van onbevoegdheid );

2.      Eksepsi Relatif
adalah suatu eksepsi yang tidak mengenai pokok perkara yang harus diajukan pada jawaban pertama tergugat memberikan jawaban meliputi :

a.      Declinatoire Exceptie  
Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa pengadilan tidak berwewang memeriksa perkara /gugatan batal/perkara yang pada hakikatnya sama dan/atau masih dalam proses dan putusan belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti;

b.      Dilatoire Exceptie
Adalah eksepsi yang tidak menyangkut gugatan pokok sama sekali atau gugatan premature;

c.      Premtoire Exceptie
Adalah eksepsi menyangkut gugatan pokok atau meskipun mengakui kebenaran dalil gugatan, tetapi mengemukan tambahan yang sangat prinsipal dan karenanya gugatan itu gagal;

d.     Disqualification Exceptie  
Adalah eksepsi yang menyatakan bukan pengugat yang seharusnya mengugat, atau orang yang mengajukan gugatan itu dinyatakan tidak berhak;

e.      Exceptie Obscuri Libelli
Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan Penggugat kabur ( Psl 125 ayat (1) HIR/Ps 149 ayat (1) RBG;

f.       Exceptie Plurium Litis Consortium : Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa seharusnya digugat yang lain juga digugat. Hal ini karena ada keharusan para pihak dalam gugatan harus lengkap;

g.      Exeptie Non–Adimpleti Contractus : Adalah eksepsi yang menyatakan saya tidak memenuhi prestasi saya, karena pihak lawan juga wanpresetasi. Keadaan ini dapat terjadi dalam hal persetujuan imbal balik;

h.     Exceptie ne bis in idem
yang menyatakan bahwa perkara sudah pernah diputus dan telah mempunyai hukum tetap (azas ne bis in idem atau tidak dapat diadili lagi) Psl. 1917 BW ne bis in idem terjadi bila tututan berdasarkan alasan yang sama, dimajukan oleh dan terhadap orang yang sama dalam hubungan yang sama;

i.       Exceptie Van Litispendentie
Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sama masih tergantung/masih dalam proses keadilan (belum ada kepastian hukum);

j.       Exceptie Van Connexteit
Adalah eksepsi yang menyatakan bahwa perkara itu ada hubungannya dengan perkara yang masih ditangani oleh pengadilan/Instansi lain dan belum ada putusan;

k.     Exceptie Van Beraad
Adalah Eksepsi yang menyatakan bahwa gugatan belum waktunya diajukan;

Eksepsi relatif tidak hanya terbatas pada alasan–alasan seperti diatas. Dalam praktek dapat juga menjadi alasan mengajukan eksepsi relatif sebagai berikut :

a.      Posita dan Petitum berbeda, misalkan terdapat hal–hal yang dimintakan dalam pentitum padahal sebelumnya hal itu tidak pernah disinggung dalam posita, Petitum tidak boleh lebih dari posita;
b.      Kerugian tidak dirinci dalam hal timbulnya kerugian harus dirinci maka kerugian mana harus dirinci satu persatu. Jika tidak dirinci dalam gugatan juga menjadi alasan mengajukan eksepsi;

c.      Daluwarsa suatu gugatan yang diajukan telah melebihi tenggang waktu Daluwarsa , maka hal tersebut menjadi alasan eksepsi;

d.     Kualifikasi perbuatan Tergugat tidak jelas Perumusan perbuatan/kesalahan tergugat yang tidak jelas akan menjadi alasan tergugat untuk mengajukan eksepsi;

e.      Obyek gugatan tidak jelas Obyek gugatan harus jelas, dapat dengan mudah dimengerti dan dirinci ciri–cirinya. Ketidak-jelasan obyek gugatan akan menjadi alasan bagi Tergugat mengajukan eksepsi;

f.       Dan lain-lain eksepsi
eksepsi tersebut berbeda dengan jawaban (sangkalan) yang ditujukan terhadap pokok perkara.


Sebaliknya eksepsi adalah eksepsiyang tiudak menyangkut perkara. Eksepsi yang diajukan tergugat kecuali mengenai tidak berwenangnya hakim (eksepsi absolut) tidak boleh diusulkan dan dipertimbangkan secara terpisah–pisah tetapi harus bersama–sama diperiksa dan diputuskan dengan pokok perkara (Pasal 136 HIR/Psl 162 RBG). Intisari dari isi eksepsi adalah agar Pengadilan menyatakan tidak dapat menerima atau tidak berwenang memeriksa perkara ( Psl 1454,Psl 1930,Psl 1941 BW, Psl 125/Psl 149 RBG, Ps 133 HIR/Psl 159 RBG dan Psl 136/Psl 162 RBG)



Jenis-Jenis Eksepsi


Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah. Konsekuensi jika gugatan tersebut tidak sah adalah  gugatan tidak dapat diterima (inadmissible).Dengan demikian keberatan yang diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok perkara (verweer ten principale).
Secara garis besar eksepsi dikelompokkan sebagai berikut:

1. Eksepsi kompetensi
         a. Tidak berwenang mengadili secara absolut
Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan pengadilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer), Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain).
         b. Tidak berwenang mengadili secara relatif
Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”)
Menurut Pasal 134 HIR maupun Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”), eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung di persidangan tingkat pertama sampai sebelum putusan dijatuhkan. Sedangkan menurut Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR eksepsi tentang kompetensi relatif diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi relatif menjadi gugur. Pasal 136 HIR memerintahkan hakim untuk memeriksa dan memutus terlebih dahulu pengajuan eksepsi kompetensi tersebut sebelum memeriksa pokok perkara. Penolakan atas eksepsi kompetensi dituangkan dalam bentuk putusan sela (Interlocutory), sedangkan pengabulan eksepsi kompetensi, dituangkan dalam bentuk bentuk putusan akhir (Eind Vonnis).

2. Eksepsi syarat formil
          a. Surat kuasa khusus tidak sah
Surat kuasa khusus dapat dinyatakan tidak sah karena sebab-sebab tertentu, misalnya suarat kuasa bersifat umum (Putusan Mahkamah Agung no.531 K/SIP/1973), surat kuasa tidak mewakili syarat formil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 HIR, surat kuasa dibuat bukan atas nama yang berwenang (Putusan Mahkamah Agung no. 10.K/N/1999).
         b. Error in Persona
Suatu gugatan/permohonan dapat dianggap error in persona apabila diajukan oleh anak dibawah umur (Pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)), mereka yang berada dibawah pengampuan/curatele (Pasal 446 dan Pasal 452 KUH Perdata), seseorang yang tidak memiliki kedudukan hukum/legal standing untuk mengajukan gugatan (persona standi in judicio).
         c. Nebis in Idem
Nebis in Idem adalah sebuah perkara yang memiliki para pihak yang sama, obyek yang sama, dan materi pokok yang sama sehingga perkara tersebut tidak dapat diperiksa kembali.
         d. Gugatan Prematur
Suatu gugatan/permohonan disebut prematur apabila ada faktor hukum yang menangguhkan adanya gugatan/permohonan tersebut, misalnya gugatan waris disebut prematur jika pewaris belum meninggal dunia.
         e. Obscuur Libel
Obscuur libel dapat disebut secara sederhana sebagai “tidak jelas”. Ketidakjelasan misalnya terletak pada:
  1. hukum yang menjadi dasar gugatan,
  2. ketidakjelasan mengenai objek gugatan,  misalnya dalam hal tanah tidak disebutkan luas atau letak atau batas dari tanah tersebut.
  3.  petitum yang tidak jelas, atau
  4. terdapat kontradiksi antara posita dan petitum
Menurut Pasal 125 ayat (2) jo. Pasal 133 dan Pasal 136 HIR eksepsi lain dan eksepsi kompetensi relatif hanya dapat diajukan secara terbatas, yaitu pada jawaban pertama bersama sama dengan bantahan pokok perkara. Tidak terpenuhinya syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur. Berdasarkan Pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan pokok perkara. Dengan demikian pertimbangan dan amar putusan mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Apabila eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, sedangkan apabila eksepsi ditolak maka putusan bersifat positif berdasarkan pokok perkara.

NEBIS IN IDEM & PUTUSAN SELA

Bahwa putusan sela ( interim meascure ) adalah merupakan putusan yang dijatuhkan oleh Hakim sebelum hakim memeriksa pokok perkara baik perkara pidana maupun perkara perdata. Dalam hal ini penulis membatasi diri terhadap putusan sela dalam perkara pidana. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya. Eksepsi yang dibuat Penasihat Hukum Terdakwa biasanya memegang peranan penting untuk dijatuhkannya putusan sela oleh Hakim Pemeriksa Perkara. 

Terhadap adanya Eksepsi Terdakwa atau Penasihat Hukumnya Hakim Wajib memberikan “putusan sela”, apakah menerima atau menolak eksepsi tersebut. Bentuk dan sifat putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam hal adanya Eksepsi dari Terdakwa atau Penasihat Hukumnya terdiri dari tiga macam yaitu : Penetapan, Putusan Sela, dan Putusan Akhir. Putusan atas Eksepsi dapat berbentuk Penetapan adalah dalam hal Pengadilan berpendapat bahwa Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang untuk mengadili kemudian melimpahkannya kepada Pengadilan lainnya. Sedangkan suatu putusan lainnya dapat berbentuk putusan sela yang berarti putusan tersebut dijatuhkan sebelum dijatuhkannya putusan akhir. Dapat juga suatu putusan sela bersifat dan berbentuk suatu putusan akhir, yang berarti bahwa pemeriksaan perkara tersebut dinyatakan berhenti. Putusan ini mengandung konsekuensi berlakunya asas Nebis In Idem. (vide : Surat Ederan MARI No.3 Tahun 2002 tertanggal 30 Januari 2002 tentang Nebis In Idem ).
 
Konsekuensi serta akibat hukum yang timbul terhadap masing-masing bentuk putusan sela diatas tentunya berbeda-beda. Dalam hal putusan sela berbentuk penetapan, maka Jaksa / Penuntut umum dapat langsung mengajukan perkaranya ke Pengadilan yang ditetapkan berwenang mengadili. Sedangkan dalam hal putusan tersebut berbentuk Putusan sela berisi penolakan terhadap Eksepsi maka Hakim meneruskan perkara tersebut dengan memerintahkan Jaksa / Penuntut Umum segera mengajukan alat-alat buktinya. Namun jika putusan sela tersebut berbentuk putusan akhir, maka upaya yang dapat dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum adalah melakukan verzet, banding atau kasasi dilihat dari isi putusannya. Bahwa putusan sela adalah meruapakan suatu mekanisme dalam proses peradilan di negara kita yang harus dijunjung tinggi keberadaan serta fungsinya.
 
Penulis menilai bahwa putusan sela merupakan salah satu alat kontrol terhadap kinerja Jaksa / Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan datau dalam melakukan suatu penyidikan. Dalam praktik ada putusan sela yang menyatakan bahwa tindakan penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa / Penuntut Umum dinyatakan tidak dapat diterima dikarenakan surat dakwaannya dibuat berdasarkan penyidikan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang, antara lain penyidikan dalam perkara pidana yang diancam dengan hukuman mati, 15 tahun penjara atau diancam dengan pidana 5 tahun penjara atau lebih bagi yang tidak mampu, dimana tersangkanya dalam proses penyidikannya tidak didampingi oleh Penasihat Hukum (Advokat), karena Pejabat yang bersangkutan tidak melakukan kewajibannya menunjuk Penasehat Hukum bagi Tersangka/ Terdakwa, maka hasil penyidikan dalam perkara ini harus dinyatakan batal demi hukum sekalipun penyidik telah mendapatkan surat pernyataan tersangka yang tidak bersedia menggunakan penasihat hukum. 

Bahwa kalau ada yang demikian ini maka penyidik sesungguhnya telah melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP dan hasil penyidikan (BAP) terhadap perkara ini jika ada eksepsi dari Advokat/Pembela, Hakim harus berani menyatakan dalam putusan selanya, hasil penyidikan (BAP) terhadap diri tersangka Batal Demi Hukum. Terhadap kasus tersebut Jaksa / Penuntut umum tidak bisa langsung membuat dakwaan baru dan kemudian mengajukan perkara tersebut ke Pengadilan, namun upaya hukum terhadap perkara tersebut JPU dapat melakukan upaya hukum banding dan selanjutnya kasasi bukan melakukan upaya hukum verzet. Ada juga suatu putusan sela tersebut adalah merupakan putusan akhir dari perkara tersebut yang telah bersifat final. Hal ini dapat terjadi jika ada penerimaan Eksepsi dalam hal kewenangan menuntut gugur, serta lepas dari segala tuntutan, karena mengandung sengketa perdata. 

Bahwa dalam hal ini jika kemudian perkara tersebut dimajukan lagi oleh Jaksa / Penuntut Umum maka berlaku nebis in idem. Adapun terhadap pendapat kalangan Akademisi yang mengatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam unsur nebis in idem adalah terdakwa telah dijatuhi putusan berdasarkan pokok perkaranya yang isi putusannya berupa pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan adalah kurang tepat atau salah, karena sesungguhnya ada eksepsi yang belum menyangkut pokok perkara dan putusannya bersifat final serta dalam putusan tersebut berlaku asas nebis in idem, yaitu antara lain yang menyangkut eksepsi “kewenangan mengadili”( exseption of incompetency ) baik absolut maupun relatif dan dalam eksepsi “kewenangan menuntut, gugur”, yaitu ; 1) eksepsi judecate ( pasal 76 KUHP) 2), eksepsi in tempores (pasal 78 KUHP), dan 3).terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP). 


Oleh karena itu putusan sela atas adanya Eksepsi dari Penasihat Hukum itu sangat perlu, dan hal tersebut merupakan mekanisme tersendiri bagi para pencarikeadilan untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Jika ada suatu perkara yang ternyata berhenti karena adanya putusan sela yang mengabulkan eksepsi dari Penasihat Hukum, dimana kriteria isi putusan sela telah memenuhi syarat diberlakukannya asas Nebis In Idem maka hal tersebut harus dipandang bahwa kepastian hukum terhadap perkara tersebut adalah sampai disitu. Kenyataan ini tidak perlu dihubungkan dengan telah dilanggarnya asas perlindungan kepentingan umum, yang terkesan membiarkan pelakunya bebas tanpa diajukan ke sidang pengadilan.

PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat dirumuskan sebagai berikut:

  1. Suatu perbuatan (aktif) atau tidak berbuat (pasif) yang atau melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum yang berlaku. Jadi yang dilanggar adalah kaidah tertulis; atau

  1. Suatu perbuatan yang bertentangan dengan kaidah kesusilaan dan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian, yang seharusnya diperhatikan dalam pergaulan masyarakat terhadap sesama warga masyarakat ataupun terhadap barang milik sesama masyarakat (yang dilanggar adalah kaidah tidak tertulis).
Bahwa sejarah perkembangan Perbuatan Melawan Hukum sejak tahun 1830 s/d 1983 menunjukkan bahwa menurut pendapat atau pandangan yang sempit, yang disebut pandangan legalistis, onrechmatig adalah melanggar undang-undang. Sementara itu, pandangan lebih luas dapat dilihat dalam kasus Lindenbaum Cohen pada tanggal 31 Januari 1919 yang menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum melanggar kaidah tertulis ataupun melanggar kaidah tidak tertulis, hak subyektif orang lain atau kewajiban hukum pelaku atau tata susila atau patiha (kepatuhan, ketelitian, dan kehati-hatian).

Dari Yurisprudensi Lindenbaum Cohen dapat ditemukan 4 (empat) kategori Perbuatan Melawan Hukum, yaitu:

  1. Bertentangan dengan kewajiban pelaku
  2. Bertentangan dengan hak subyektif orang lain
  3. Bertentangan dengan kaidah tata susila
  4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat   mengenai orang lain atau benda.

Di dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, unsur-unsur dari Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai berikut:

  1. Adanya perbuatan/kelalaian
  2. Melanggar hukum
  3. Kerugian
  4. Kesalahan

Ditambah dengan 2 (dua) unsur berdasarkan yurisprudensi:

  1. Kausalitas, yaitu bahwa perbuatan itu harus conditio sine qua non dari kerugian dan bahwa kerugian itu harus adequaat.
  2. Schutznorm theory, yang menyatakan bahwa seorang Perbuatan Melawan Hukum PMH hanya wajib mengganti kerugian, apabila kaidah yang dilanggar itu bertujuan untuk melindungi kepentingan orang yang dirugikan.


Bahwa sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum meliputi: Perbuatan/Kelalaian, Melawan Hukum, Kerugian dan Kesalahan. Perlu diingat bahwa keenam unsur ini merupakan unsur-unsur yang harus dipenuhi secara kumulatif