Kamis, 26 September 2013

PANDANGAN HUKUM HAK GARAP ATAS TANAH



PANDANGAN HUKUM HAK GARAP ATAS TANAH





UUPA dan berbagai aturan pelaksanaanya sebenarnya sudah membuat dua penggolongan status tanah di Indonesia, yaitu tanah hak dan tanah Negara. Namun di sisi lain, sebagai implikasi konsep hak menguasai dari Negara, semua tanah di Indonesia dianggap sebagai tanah Negara, termasuk tanah-tanah hak. Berdasarkan pada pengertian mengenai tanah hak dan tanah Negara yang telah disebutkan sebelumnya, bukanlah hal yang mudah untuk menentukan dimana letak tanah garapan dan hak garapan di dalam konstruksi hukum tanah nasional. Bahkan Budi Harsono secara tegas dalam bukunya mengatakan bahwa hukum tanah nasional tidak mengenal tanah garapan maupun hak garapan. UUPA sendiri tidak mengatur mengenai tanah garapan maupun hak menggarap, karena tanah garapan bukan merupakan tanah hak. Sejumlah literatur hukum pertanahan justru mengkait-kaitkan tanah garapan dengan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah secara tidak sah (onwettige occupatie). Meskipun tidak diatur dalam UUPA, beberapa peraturan perundang-undangan organiknya sudah mencoba untuk mengatur mengenai tanah garapan. Diantaranya adalah aturan mengenai surat izin menggarap yang diberikan dalam rangka landreform. Untuk mencapai salah satu tujuan pokoknya, yaitu untuk mewujudkan dasar-dasar bagi terbentuknya unifikasi dan kesederhanaan pada hukum tanah nasional, UUPA membuat ketentuan konversi. Melalui ketentuan konversi tersebut, hak-hak lama berdasarkan hukum adat dan hukum barat, disesuaikan dengan UUPA. Khusus bagi tanah-tanah adat yang bukan obyek konversi, penyesuaian terhadap UUPA difasilitasi dengan ketentuan penegasan hak. Bahkan pada Tahun 1962 dikeluarkan sebuah peraturan yang memungkinkan tanah-tanah adat yang tidak didukung oleh bukti-bukti hak untuk didaftarkan menjadi salah satu hak atas tanah menurut UUPA, atau disebut juga dengan cara pengakuan hak. Oleh peraturan pelaksana mengenai konversi, pemohon pendaftaran tanah-tanah adat obyek konversi cukup menunjukan tanda bukti hak, surat keterang Kepada Desa/Lurah yang dikuatkan oleh camat untuk membenarkan kevalidan tanda bukti hak tersebut, serta KTP. Bahkan bagi tanah-tanah yang tidak lagi tersedia bukti haknya,  masih diperbolehkan untuk dimohonkan hak atas tanah. Persyaratan yang longgar dengan intensi untuk memperlancar konversi dimaksudkan agar UUPA segera bisa diberlakukan atas tanah-tanah adat, karena selama masih belum masuk ke dalam wilayah pengaturan hukum pertanahan formal, maka selamanya tanah-tanah adat atau ulayat akan berada dalam wilayah pengaturan hukum adat dan kebiasaan. Dalam perkembangannya, pendaftaran konversi tanah-tanah adat atau ulayat tidak berlangsung mulus, salah satu penyebab utamanya adalah terhentinya keberlakuan UUPA dalam kawasan hutan serta superioritas keberlakuan hukum pertambangan dalam wilayah kuasa pertambangan. Meskipun demikian, mengacu pada pengertian formal mengenai tanah garapan, mereka bukan lagi sebagai pemilik atau pihak yang dianggap berhak atas tanah tersebut. Kedudukan masyarakat adat tersebut berubah menjadi hanya sebatas penggarap saja. UUPA yang dimaksudkan sebagai produk hukum utama dalam bidang pertanahan di Indonesia, ternyata belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan. Mengingat hak menggarap atas tanah Negara belum atau tidak diatur dalam UUPA, maka ditengah kebutuhan tanah demi pembangunan dan kebutuhan tanah oleh individu, sungguh diperlukan suatu kebijakan yang tepat. Kenyataan yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh adalah hak menggarap atau hak mengerjakan yang sering dipersoalkan dan diperdebatkan adalah, bahwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat,  mayoritas adalah rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah dan berlatar belakang ekonomi lemah.

Jual beli hak menggarap tanah berkaitan erat dengan legalitas kepemilikan tanah dan sekaligus legalitas perjanjian. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA, atau sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN, telah menjadikan jual beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara sungguh-sungguh. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA, atau sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN, telah menjadikan jual beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara sungguh-sungguh. Interpretasi atau konstruksi hak menggarap yang masih berada pada wilayah perdebatan, dan pada akhirnya secara lokal melahirkan peraturan daerah sebagai landasan hukum sementara, telah menjadikan surat keterangan menggarap dan surat pernyataan menggarap sebagai berkaitan dengan subyek hukum. Sebab suatu jual beli benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, selalu membutuhkan kejelasan atas subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal jual beli hak menggarap atau izin menggarap, status obyek atau benda yang diperjanjikan akan menimbulkan permasalahan tersendiri, hal tersebut dikarenakan cara peralihan hak menggarap atau izin menggarap tidak melaui jual beli, melainkan dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak menggarap atau izin menggarap tersebut. Apabila status obyek yang diperjanjikan (dijualbelikan) tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka sudah dapat dipastikan bahwa perjanjian (jual beli) tersebut dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian perjanjian (jual beli) tersebut tidak memenuhi syarat obyektif. Apabila syarat obyektif suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka akibat hukum yang timbul dari perjanjian tersebut ialah perjanjian batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim, atau dalam Bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu “null and void”. Berdasarkan pada uraian diatas dan bab-bab sebelumnya, maka Putusan Mahkamah Agung Nomor 378 K/Pdt/2012 Tentang Jual Beli Izin Menggarap Tanah Negara Antara Soedirjo Aliman, Dkk Melawah Hj. Maemunah, Dkk tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mahkamah Agung telah benar dalam menerapkan hukum, karena Mahkamah Agung menggunakan sifat hukum kebendaan yang bersifat tegas, ketat dan tidak dapat dirubah dalam memutuskan perkara tersebut. Akan tetapi, apabila Mahkamah Agung memutuskan untuk memenangkan pihak tergugat (Soedirjo Aliman, Dkk), maka secara tidak langsung Mahkamah Agung menganggap bahwa telah terjadi perjanjian (jual beli) izin menggarap antara Soedirjo Aliman dengan H. Umar Syukur. Padahal cara peralihan hak menggarap atau izin menggarap tidak melaui jual beli, melainkan dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak menggarap atau izin menggarap tersebut. Tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan hukum perjanjian, terutama pada syarat sahnya suatu perjanjian Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat obyektif dari perjanjian.



Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
(024) 76670350
HandPhone : 082220117918 

Selasa, 24 September 2013

Perkap nomor 14 tahun 2012 ttg Manajemen Penyidikan Tindak Pidana sebagai pengganti Perkap no. 12 tahun 2009



PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2012
TENTANG
MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA SEBAGAI PENGGANTI PERKAP NOMOR12 TAHUN 2009
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA





Menimbang:
a. bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memelihara keamanan dalam negeri;
b. bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang penyidikan tindak pidana, yang dilaksanakan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan rasa keadilan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Manejemen Penyidikan Tindak Pidana;
Mengingat

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
3. Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
3. Manajemen Penyidikan adalah serangkaian kegiatan penyidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian.
4. Penyidik adalah Pejabat Polri yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
5. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.
6. Atasan Penyidik adalah Pejabat Polri yang berperan selaku penyidik, dan secara struktural membawahi langsung penyidik/penyidik pembantu.
7. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum berupa kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan hukuman pidana penjara, kurungan atau denda.
8. Penyelidik adalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.
9. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
10. Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
11. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami sendiri.
12. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana.
13. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
14. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
15. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.
16. Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang adanya suatu peristiwa yang diduga terdapat pidananya baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan.
17. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang selanjutnya disingkat SPDP adalah surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri.
18. Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat setelah tindak pidana itu dilakukan atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya diketemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
19. Tempat Kejadian Perkara yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain dimana tersangka dan/atau korban dan/atau barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.
20. Barang Bukti adalah barang-barang baik yang berwujud, bergerak atau tidak bergerak yang dapat dijadikan alat bukti dan fungsinya untuk diperlihatkan kepada terdakwa ataupun saksi dipersidangan guna mempertebal keyakinan Hakim dalam menentukan kesalahan terdakwa.
21. Bukti Permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.
22. Bukti yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penahanan.
23. Alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.




Pasal 2


Tujuan dari peraturan ini:
a. sebagai pedoman dalam penyelenggaraan manajemen penyidikan tindak pidana di lingkungan Polri;
b. terselenggaranya manajemen penyidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian secara efektif dan efisien; dan
c. sebagai evaluasi penilaian kinerja penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana guna terwujudnya tertib administrasi Penyidikan dan kepastian hukum.
Pasal 3
Prinsip-prinsip dalam peraturan ini:
a. legalitas, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. profesional, yaitu penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenang penyidikan sesuai kompetensi yang dimiliki;
c. proporsional, yaitu setiap penyidik/penyidik pembantu dalam melaksanakan tugas sesuai dengan fungsi, peran dan tanggung jawabnya;
d. prosedural, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai mekanisme dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. transparan, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan secara terbuka yang dapat diketahui perkembangan penanganannya oleh masyarakat;
f. akuntabel, yaitu proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan; dan
g. efektif dan efisien, yaitu penyidikan dilakukan secara cepat, tepat, murah dan tuntas.

BAB II
PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
Bagian Kesatu
Dasar
Pasal 4
Dasar dilakukan Penyidikan:
a. laporan polisi/pengaduan;
b. surat perintah tugas;
c. laporan hasil penyelidikan (LHP);
d. surat perintah penyidikan; dan
e. SPDP.

Pasal 5
(1) Laporan Polisi/Pengaduan terdiri dari:
a. Laporan Polisi Model A; dan
b. Laporan Polisi Model B.
(2) Laporan Polisi Model A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.
(3) Laporan Polisi Model B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/pengaduan yang diterima dari masyarakat.
Pasal 6
Surat perintah tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar penugasan;
b. identitas petugas;
c. jenis penugasan;
d. lama waktu penugasan; dan
e. pejabat pemberi perintah.
Pasal 7
(1) LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, dibuat oleh tim penyelidik dan ditandatangani oleh ketua tim penyelidik.
(2) LHP sekurang-kurangnya berisi laporan tentang waktu, tempat kegiatan, hasil penyelidikan, hambatan, pendapat dan saran.
Pasal 8
Surat perintah penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar penyidikan;
b. identitas petugas tim penyidik;
c. jenis perkara yang disidik;
d. waktu dimulainya penyidikan; dan
e. identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah.

Bagian Kedua
Administrasi Penyelidikan dan Penyidikan
Pasal 9
Administrasi penyelidikan, meliputi:
a. surat perintah tugas;
b. surat perintah penyelidikan; dan
c. LHP.
Pasal 10
(1) Administrasi penyidikan merupakan penatausahaan dan segala kelengkapan yang disyaratkan undang-undang dalam proses penyidikan meliputi pencatatan, pelaporan, pendataan, dan pengarsipan atau dokumentasi untuk menjamin ketertiban, kelancaran, dan keseragaman administrasi baik untuk kepentingan peradilan, operasional maupun pengawasan Penyidikan, meliputi:
a. sampul berkas perkara;
b. isi berkas perkara, meliputi;
1. daftar isi;
2. resume;
3. laporan polisi;
4. surat perintah tugas;
5. surat perintah Penyidikan;
6. SPDP;
7. berita acara pemeriksaan TKP;
8. surat panggilan saksi/ahli;
9. surat perintah membawa saksi;
10. berita acara membawa dan menghadapkan saksi;
11. berita acara penyumpahan saksi/ahli;
12. berita acara pemeriksaan saksi/ahli;
13. surat panggilan tersangka;
14. surat perintah penangkapan;
15. berita acara penangkapan;
16. berita acara pemeriksaan tersangka;
17. berita acara konfrontasi;
18. berita acara rekonstruksi;
19. surat permintaan bantuan penangkapan;
20. berita acara penyerahan tersangka;
21. surat perintah pelepasan tersangka;
22. berita acara pelepasan tersangka;
23. surat perintah penahanan;
24. berita acara penahanan;
25. surat permintaan perpanjangan penahanan kepada jaksa penuntut umum (JPU) dan hakim;
26. surat penetapan perpanjangan penahanan;
27. berita acara perpanjangan penahanan;
28. surat pemberitahuan perpanjangan penahanan kepada keluarga tersangka;
29. surat perintah pengeluaran tahanan;
30. berita acara pengeluaran tahanan;
31. surat perintah pembantaran penahanan;
32. berita acara pembantaran penahanan;
33. surat perintah pencabutan pembantaran penahanan;
34. berita acara pencabutan pembantaran penahanan;
35. surat perintah penahanan lanjutan;
36. berita acara penahanan lanjutan;
37. surat permintaan izin/izin khusus penggeledahan kepada ketua pengadilan;
38. surat perintah penggeledahan;
39. surat permintaan persetujuan penggeledahan kepada ketua pengadilan;
40. berita acara penggeledahan rumah tinggal/tempat tertutup lainnya;
41. surat permintaan izin/izin khusus penyitaan kepada ketua pengadilan;
42. surat permintaan persetujuan penyitaan kepada ketua pengadilan;
43. surat perintah penyitaan;
44. berita acara penyitaan;
45. surat permintaan persetujuan Presiden, Mendagri, Jaksa Agung, Gubernur, Majelis Pengawas Daerah (Notaris) untuk melakukan pemanggilan/pemeriksaan terhadap pejabat tertentu;
46. surat perintah pembungkusan, penyegelan dan pelabelan barang bukti;
47. berita acara pembungkusan, penyegelan dan pelabelan barang bukti;
48. surat perintah pengembalian barang bukti;
49. berita acara pengembalian barang bukti;
50. surat permintaan bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (labfor);
51. surat hasil pemeriksaan labfor;
52. surat permintaan bantuan pemeriksaan identifikasi;
53. surat hasil pemeriksaan identifikasi;
54. surat pengiriman berkas perkara;
55. tanda terima berkas perkara;
56. surat pengiriman tersangka dan barang bukti;
57. berita acara serah terima tersangka dan barang bukti;
58. surat bantuan penyelidikan;
59. daftar saksi;
60. daftar tersangka;
61. daftar barang bukti;
62. surat permintaan blokir rekening bank;
63. berita acara blokir rekening bank;
64. surat permintaan pembukaan blokir rekening bank;
65. berita acara pembukaan blokir rekening bank;
66. Surat permintaan penangkapan tersangka yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) .
67. surat pencabutan permintaan penangkapan tersangka yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO);
68. surat permintaan pencarian barang sesuai Daftar Pencarian Barang (DPB);
69. surat pencabutan permintaan pencarian barang sesuai Daftar Pencarian Barang (DPB);
70. surat permintaan cegah dan tangkal (cekal);
71. surat pencabutan cekal;
72. surat penitipan barang bukti;
73. surat perintah penyisihan barang bukti;
74. berita acara penyisihan barang bukti;
75. surat perintah pelelangan barang bukti;
76. berita acara pelelangan barang bukti;
77. surat perintah pemusnahan barang bukti;
78. berita acara pemusnahan barang bukti;
79. surat perintah penitipan barang bukti; dan
80. berita acara penitipan barang bukti.
(2) Isi berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, bilamana diperlukan dapat ditambahkan berita acara perekaman suara dan/atau gambar.
(3) Selain administrasi penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, administrasi penyidikan yang dapat dilampirkan di dalam berkas perkara meliputi:
a. surat perintah penyelidikan;
b. LHP;
c. kartutik kejahatan/pelanggaran;
d. kartu sidik jari; dan
e. foto Tersangka dalam 3 (tiga) posisi.
(4) Administrasi penyidikan yang tidak termasuk dalam berkas perkara, meliputi:
a. surat perintah penghentian penyidikan;
b. surat ketetapan penghentian penyidikan;
c. surat pemberitahuan penghentian penyidikan;
d. surat pelimpahan berkas perkara penyidikan kepada instansi lain;
e. berita acara pelimpahan berkas perkara penyidikan kepada instansi lain; dan
f. Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP).
Bagian Ketiga
Penyelidikan
Pasal 11
(1) Kegiatan penyelidikan dilakukan:
a. sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan; dan
b. sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka penyidikan.
(2) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana.
(3) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyidikan untuk:
a. menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau bukan;
b. membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya; dan
c. dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa.

Pasal 12
(1) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 meliputi:
a. pengolahan TKP;
b. pengamatan (observasi);
c. wawancara (interview);
d. pembuntutan (surveillance);
e. penyamaran (under cover);
f. pelacakan (tracking); dan
g. penelitian dan analisis dokumen.
(2) Sasaran penyelidikan meliputi:
a. orang;
b. benda atau barang;
c. tempat;
d. peristiwa/kejadian; dan
e. kegiatan.
Pasal 13
(1) Petugas penyelidik dalam melaksanakan tugas penyelidikan, wajib dilengkapi dengan surat perintah penyelidikan yang ditandatangani oleh atasan penyelidik selaku Penyidik.
(2) Petugas penyelidik wajib membuat laporan hasil penyelidikan kepada pejabat pemberi perintah.
(3) Laporan hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam.
Bagian Keempat
Penyidikan
Pasal 14
(1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan.
(2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.
(3) Setelah Laporan Polisi dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT atau Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor.

(4) Kepala SPKT atau Kepala Siaga Bareskrim Polri segera meneruskan laporan polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada:
a. Karobinops Bareskrim Polri untuk laporan yang diterima di Mabes Polri;
b. Direktur Reserse Kriminal Polda untuk laporan yang diterima di SPKT Polda sesuai jenis perkara yang dilaporkan;
c. Kapolres/Wakapolres untuk laporan yang diterima di SPKT Polres; dan
d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang diterima di SPKT Polsek.
(5) Laporan Polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan ke kesatuan yang lebih rendah atau sebaliknya dapat ditarik ke kesatuan lebih tinggi.
Pasal 15
Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:
a. penyelidikan;
b. pengiriman SPDP;
c. upaya paksa;
d. pemeriksaan;
e. gelar perkara;
f. penyelesaian berkas perkara;
g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. penghentian Penyidikan.

BAB III
MANAJEMEN PENYIDIKAN
Bagian Kesatu
Perencanaan
Pasal 16
(1) Sebelum melakukan penyelidikan, penyelidik wajib membuat rencana penyelidikan.
(2) Rencana penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. surat perintah penyelidikan;
b. jumlah dan identitas penyidik/penyelidik yang akan melaksanakan penyelidikan;
c. objek …..
12
c. objek, sasaran dan target hasil penyelidikan;
d. kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan;
f. waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan; dan
g. kebutuhan anggaran penyelidikan.
Pasal 17
(1) Sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan.
(2) Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada atasan penyidik secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat:
a. jumlah dan identitas penyidik;
b. sasaran/target penyidikan;
c. kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan;
d. karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik;
e. waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara;
f. kebutuhan anggaran penyidikan; dan
g. kelengkapan administrasi penyidikan.
(3) Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimaksudkan untuk melaksanakan penyidikan agar profesional, efektif dan efisien.
(4) Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria:
a. perkara mudah;
b. perkara sedang;
c. perkara sulit; dan
d. perkara sangat sulit.
Pasal 18
(1) Kriteria perkara mudah antara lain:
a. saksi cukup;
b. alat bukti cukup;
c. tersangka sudah diketahui atau ditangkap; dan
d. proses penanganan relatif cepat.
(2) Kriteria perkara sedang antara lain:
a. saksi cukup;
b. terdapat barang bukti petunjuk yang mengarah keterlibatan tersangka;
c. identitas dan keberadaan tersangka sudah diketahui dan mudah ditangkap;
d. tersangka tidak merupakan bagian dari pelaku kejahatan terorganisir;
e. tersangka tidak terganggu kondisi kesehatannya; dan
f. tidak diperlukan keterangan ahli, namun apabila diperlukan ahli mudah didapatkan.
(3) Kriteria perkara sulit antara lain:
a. saksi tidak mengetahui secara langsung tentang tindak pidana yang terjadi;
b. tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu;
c. tersangka dilindungi kelompok tertentu atau bagian dari pelaku kejahatan terorganisir;
d. barang Bukti yang berhubungan langsung dengan perkara sulit didapat;
e. diperlukan keterangan ahli yang dapat mendukung pengungkapan perkara;
f. diperlukan peralatan khusus dalam penanganan perkaranya;
g. tindak pidana yang dilakukan terjadi di beberapa tempat; dan
h. memerlukan waktu penyidikan yang cukup.
(4) Kriteria perkara sangat sulit antara lain:
a. belum ditemukan saksi yang berhubungan langsung dengan tindak pidana;
b. saksi belum diketahui keberadaannya;
c. saksi atau tersangka berada di luar negeri;
d. TKP di beberapa negara/lintas negara;
e. tersangka berada di luar negeri dan belum ada perjanjian ekstradisi;
f. barang Bukti berada di luar negeri dan tidak bisa disita;
g. tersangka belum diketahui identitasnya atau terganggu kesehatannya atau memiliki jabatan tertentu; dan
h. memerlukan waktu penyidikan yang relatif panjang.
Pasal 19
Penanganan perkara sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), ditentukan sebagai berikut:
a. tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit;
b. tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang dan sulit; dan
c. tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.

Bagian Kedua
Pengorganisasian
Pasal 20
(1) Atasan penyidik selaku penyidik wajib mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia, untuk:
a. pembentukan tim penyelidik dari:
1. fungsi Reskrim;
2. fungsi kepolisian lainnya; dan
3. bantuan teknis kepolisian;
b. dukungan anggaran penyelidikan; dan
c. dukungan peralatan.
(2) Tim penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat meminta bantuan dari instansi terkait.
Pasal 21
(1) Atasan penyidik selaku penyidik wajib mengorganisir seluruh sumber daya yang tersedia, untuk:
a. pembentukan tim penyidik;
b. dukungan anggaran penyidikan; dan
c. dukungan peralatan.
(2) Pembentukan tim penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, disesuaikan dengan kompetensi penyidik dan kriteria tingkat kesulitan perkara yang ditangani, dan dapat dibentuk tim penyidik gabungan dari beberapa satuan fungsi Reskrim (join investigation team).
(3) Tim penyidik dapat dibantu oleh tim bantuan teknis dan tenaga ahli.
Pasal 22
(1) Tim penyelidik atau tim penyidik terdiri dari:
a. ketua;
b. wakil ketua; dan
c. anggota.
(2) Personel yang ditunjuk dalam tim penyelidik atau tim penyidik harus memiliki kompetensi, integritas dan kapabilitas, sesuai dengan perkara yang ditangani.
(3) Tim penyelidik atau tim penyidik dibentuk dengan surat perintah.

Pasal 23
Satuan fungsi Reskrim yang lebih tinggi dapat mendukung satuan bawah guna memberikan bantuan penyidikan (back-up) berupa personel, peralatan, dan anggaran dalam rangka mempercepat penyelesaian perkara.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan
Paragraf 1
Penyelidikan
Pasal 24
Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengolahan TKP:
1. mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan Saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya;
2. mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti; dan
3. memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi;
b. pengamatan (observasi):
1. melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan; dan
2. mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya;
c. wawancara (interview):
1. mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik wawancara secara tertutup maupun terbuka; dan
2. mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, dan bilamana;
d. pembuntutan (surveillance):
1. mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana;
2. mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak pidana; dan
3. mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil kejahatan;

e. pelacakan (tracking):
1. mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan teknologi informasi;
2. melakukan pelacakan melalui kerja sama dengan Interpol, kementerian/ lembaga/badan/komisi/instansi terkait; dan
3. melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan;
f. penyamaran (undercover):
1. menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya untuk memperoleh bahan keterangan atau informasi;
2. menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari kelompok tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana; dan
3. khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran sebagai calon pembeli (undercover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution);
g. penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu dengan cara:
1. mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana; dan
2. meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi perkara tindak pidana serta modus operandinya.
Paragraf 2
SPDP
Pasal 25
(1) SPDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, dibuat dan dikirimkan setelah terbit surat perintah penyidikan.
(2) SPDP sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan;
b. waktu dimulainya penyidikan;
c. jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang disidik;
d. identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan
e. identitas pejabat yang menandatangani SPDP.

Paragraf 3
Upaya Paksa
Pasal 26
Upaya paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c meliputi:
a. pemanggilan;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. penyitaan; dan
f. pemeriksaan surat.
Pasal 27
(1) Pemanggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar Laporan Polisi, laporan hasil penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara.
(2) Surat panggilan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat panggilan disampaikan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang cukup paling lambat 3 (tiga) hari sudah diterima sebelum waktu untuk datang memenuhi panggilan.
(4) Surat panggilan sedapat mungkin diserahkan kepada yang bersangkutan disertai dengan tanda terima, kecuali dalam hal:
a. yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan diserahkan melalui keluarganya, kuasa hukum, ketua RT/RW/lingkungan, atau kepala desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat panggilan tersebut segera akan disampaikan kepada yang bersangkutan; dan
b. seseorang yang dipanggil berada di luar wilayah hukum kesatuan Polri yang memanggil, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri tempat tinggal yang bersangkutan atau dikirimkan melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai bukti penerimaan pengiriman.
(5) Dalam hal yang dipanggil tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah, penyidik membuat surat panggilan kedua.
(6) Apabila panggilan kedua tidak datang sesuai waktu yang telah ditetapkan, penyidik menerbitkan surat perintah membawa.
Pasal 28
(1) Pemanggilan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri, dilakukan melalui perwakilan Negara Republik Indonesia tempat domisili orang yang dipanggil.

(2) Pemanggilan terhadap Warga Negara Asing (WNA) yang berada di luar negeri, dilakukan melalui perwakilan negaranya di Indonesia.
(3) Pengiriman surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan memperhitungkan tenggang waktu yang cukup dan dilengkapi dengan tanda terima pengiriman.
Pasal 29
(1) Surat panggilan kepada ahli dikirim oleh penyidik kepada seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, secara langsung kepada yang bersangkutan atau melalui institusinya.
(2) Sebelum surat panggilan kepada ahli dikirimkan, demi kelancaran pemeriksaan, penyidik melakukan koordinasi dengan ahli yang akan dipanggil guna keperluan:
a. memberikan informasi awal tentang perkara yang sedang disidik;
b. memberikan informasi tentang penjelasan yang diharapkan dari ahli; dan
c. untuk menentukan waktu dan tempat pemeriksaan ahli.
Pasal 30
Dalam hal Saksi atau Ahli bersedia hadir untuk memberikan keterangan tanpa surat panggilan, surat panggilan dapat dibuat dan ditandatangani oleh penyidik dan saksi atau ahli, sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan.
Pasal 31
(1) Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam rangka penyidikan perkara sampai lebih dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas keberadaannya, dapat dicatat di dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan dibuatkan Surat Pencarian Orang. (2) Pejabat yang berwenang menandatangani DPO: a. Reskrim: 1. para Direktur pada Bareskrim Polri; 2. para Direktur Reskrim Polda; dan 3. para Kasatreskrim Polres; b. Kadensus 88 AT Polri; c. Polair: 1. Direktur Polair Polri; dan 2. Direktur Polair Polda; d. Lalu Lintas…..
19
d. Lalu Lintas: 1. Kabidbingakkum Korlantas Polri; dan 2. Direktur Lalu Lintas Polda; e. Kapolsek. (3) Dalam hal tersangka dan/atau orang yang dicari sudah ditemukan atau tidak diperlukan lagi dalam penyidikan maka wajib dikeluarkan Pencabutan DPO. (4) Pejabat yang berwenang menerbitkan Pencabutan DPO: a. fungsi Reskrim: 1. para Direktur pada Bareskrim Polri; 2. para Direktur Reskrim Polda; dan 3. para Kasatreskrim Polres; b. Kadensus 88 AT Polri; c. Polair: 1. Direktur Polair Polri; dan 2. Direktur Polair Polda; d. fungsi Lalu Lintas: 1. Kabidbingakkum Korlantas Polri; dan 2. Direktur Lalu Lintas Polda; e. Kapolsek.
Pasal 32
(1) Dalam hal tersangka yang tidak ditahan dan diperkirakan akan melarikan diri dari wilayah Negara Indonesia, dapat dikenakan tindakan pencegahan. (2) Dalam hal setiap orang yang berada di luar negeri dan diduga akan melakukan tindak pidana di Indonesia, dapat dikenakan tindakan penangkalan. (3) Dalam keadaan mendesak atau mendadak, untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi untuk mencegah dan/atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana. (4) Pejabat yang berwenang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau penangkalan sesuai tingkatan daerah hukum penyidikan sebagai berikut: a. Direktur/wakil Direktur pada Bareskrim Polri; b. Direktur/wakil Direktur Reskrim Polda; c. Kapolres; dan d. Kapolsek. (5) Pejabat …..
20
(5) Pejabat yang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau penangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib melaporkan kepada Kapolri paling lambat 20 (dua puluh) hari untuk mendapat pengukuhan melalui Keputusan Kapolri. (6) Keputusan Kapolri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat didelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk.
Pasal 33
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum setelah tersangka ditangkap.
(4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Dalam hal tertangkap tangan, tindakan penangkapan dapat dilakukan oleh petugas dengan tanpa dilengkapi surat perintah penangkapan atau surat perintah tugas.
(2) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah melakukan penangkapan segera menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik/penyidik pembantu kepolisian terdekat.
(3) Penyidik/penyidik pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah menerima penyerahan tersangka dan barang bukti wajib membuat berita acara penerimaan/penyerahan dan berita acara penangkapan.
(4) Dalam hal tertangkap tangan oleh penyidik/penyidik pembantu, penyidik/ penyidik pembantu wajib segera membuat berita acara penangkapan.
Pasal 35
(1) Penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan penangkapan atas permintaan bantuan dari:
a. kesatuan Polri dari luar kesatuannya berdasarkan DPO;
b. instansi lain yang berwenang; dan
c. permintaan negara anggota International Criminal Police Organization (ICPO)-Interpol.
(2) Permintaan …..
21
(2) Permintaan bantuan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mencantumkan identitas tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat tersangka diperiksa.
(3) Penyidik wajib segera menyerahkan orang yang ditangkap kepada instansi yang meminta bantuan penangkapan disertai dengan berita acara penyerahan tersangka.
(4) Terhadap tersangka yang diduga berada di luar negeri, Penyidik dapat berkoordinasi dengan Interpol (Divhubinter Polri) untuk meminta dibuatkan red notice.
Pasal 36
(1) Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. adanya bukti permulaan yang cukup; dan
b. tersangka telah dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar.
(2) Surat perintah penangkapan hanya dapat dibuat berdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, dan hanya berlaku terhadap satu orang tersangka yang identitasnya tersebut dalam surat perintah penangkapan.
(3) Dalam hal membantu penangkapan terhadap seseorang yang terdaftar di dalam DPO, setiap pejabat yang berwenang di suatu kesatuan membuat surat perintah penangkapan.
Pasal 37
(1) Dalam hal melakukan penangkapan, setiap penyidik wajib:
a. memberitahu/menunjukkan tanda identitasnya sebagai petugas Polri;
b. menunjukkan surat perintah penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan;
c. memberitahukan alasan penangkapan dan hak-hak tersangka;
d. menjelaskan tindak pidana yang dipersangkakan termasuk ancaman hukuman kepada tersangka pada saat penangkapan; dan
e. menghormati status hukum anak yang melakukan tindak pidana dan memberitahu orang tua atau wali anak yang ditangkap segera setelah penangkapan.
(2) Penangkapan terhadap WNA harus segera diberitahukan ke kedutaan atau konsulat perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia.
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan secara langsung oleh penyidik atau melalui Divhubinter Polri.
Pasal …..
22
Pasal 38
Dalam hal penangkapan terhadap anak, penyidik wajib memperhatikan hak-hak bagi setiap anak yang ditangkap, meliputi:
a. hak didampingi oleh orang tua atau wali;
b. hak mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak;
c. hak privasi untuk tidak dipublikasikan identitasnya;
d. ditempatkan di ruang pelayanan khusus; dan
e. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak.
Pasal 39
Dalam hal penangkapan terhadap perempuan, penyidik wajib memperhatikan perlakuan khusus sebagai berikut:
a. sedapat mungkin dilakukan oleh Polwan;
b. dipisahkan penempatannya dari ruang tersangka laki-laki; dan
c. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
Pasal 40
(1) Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara penangkapan sekurang-kurangnya memuat:
a. nama dan identitas penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penangkapan;
b. nama identitas yang ditangkap;
c. tempat, tanggal dan waktu penangkapan;
d. alasan penangkapan, uraian perkara dan/atau pasal yang dipersangkakan; dan
e. keadaan kesehatan orang yang ditangkap.
(2) Setelah melakukan penangkapan, penyidik/penyidik pembantu wajib:
a. menyerahkan 1 (satu) lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka dan mengirimkan tembusannya kepada keluarga;
b. wajib memeriksa kesehatan tersangka dan sedapat mungkin dilakukan dokumentasi/foto dan visum et repertum; dan
c. terhadap tersangka dalam keadaan sakit, penyidik segera menghubungi dokter/petugas kesehatan untuk memberi pelayanan medis dan membuat berita acara tentang kondisi kesehatan tersangka.
(3) Terhadap tersangka yang telah ditangkap, penyidik/penyidik pembantu wajib segera melakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan tersangka.
Pasal …..
23
Pasal 41
(1) Apabila seseorang yang ditangkap tidak cukup bukti melakukan tindak pidana, penyidik/penyidik pembantu wajib segera melepaskan orang tersebut.
(2) Pelepasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan membuat berita acara pelepasan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu, yang bersangkutan dan pihak lain yang menyaksikan.
Pasal 42
(1) Tersangka yang ditangkap dan memenuhi unsur pidana, namun tidak dilakukan penahanan, tersangka tersebut dipulangkan.
(2) Pemulangan tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuatkan berita acara pelepasan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu, tersangka yang bersangkutan dan pihak lain yang menyaksikan.
Pasal 43
(1) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c, dilakukan oleh penyidik terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
(2) Prosedur dan teknis penahanan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan, sedang tanggung jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada kepala rumah tahanan.
Pasal 44
Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri;
b. tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya;
c. tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan
d. tersangka diperkirakan mempersulit Penyidikan.
Pasal 45
(1) Penahanan wajib dilengkapi surat perintah penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah melalui mekanisme gelar perkara.
(3) Surat …..
24
(3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka.
Pasal 46
(1) Penahanan terhadap seseorang yang mendapat perlakuan khusus menurut peraturan perundang-undangan dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari pejabat sesuai ketentuan.
(2) Pejabat yang berwenang menandatangani surat perintah penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah penahanan yang ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga dan/atau penasihat hukum tersangka.
Pasal 47
(1) Penangguhan penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangguhan penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(2) Bilamana diperlukan, penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didahului dengan gelar perkara.
(3) Setiap penangguhan penahanan wajib dilaporkan kepada atasan pejabat yang menandatangani surat perintah penangguhan penahanan.
Pasal 48
(1) Terhadap tersangka yang telah diberikan penangguhan penahanan, dapat dilakukan penahanan kembali melalui penerbitan surat perintah pencabutan penangguhan penahanan yang ditandatangani oleh Penyidik atau Atasan Penyidik selaku Penyidik.
(2) Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan dikeluarkan karena tersangka telah melanggar persyaratan penangguhan penahahan.
(3) Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diterbitkan surat perintah penahanan lanjutan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan Penyidikan dan/atau kepentingan tersangka, penyidik dapat melakukan pengalihan jenis penahanan dari penahanan rumah tahanan negara menjadi penahanan rumah atau kota.
(2) Pengalihan …..
25
(2) Pengalihan jenis penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan dengan pertimbangan:
a. permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum disertai alasannya;
b. hasil pemeriksaan medis tentang kondisi kesehatan tersangka; dan
c. rekomendasi hasil gelar perkara.
(3) Pengalihan jenis penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah pengalihan jenis penahanan yang dikeluarkan oleh Penyidik atau Atasan Penyidik selaku Penyidik.
Pasal 50
(1) Dalam hal tahanan yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan secara intensif dan/atau rawat inap di rumah sakit, dapat dilakukan pembantaran penahanan.
(2) Pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah pembantaran penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diterbitkan dengan pertimbangan:
d. hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan bahwa tersangka perlu dilakukan perawatan di rumah sakit; atau
e. permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum untuk kepentingan perawatan kesehatan yang dilampiri catatan kesehatan.
(4) Surat perintah pembantaran penahanan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
Pasal 51
(1) Apabila kondisi kesehatan tersangka yang dibantarkan penahanannya telah membaik, dilakukan pencabutan pembantaran penahanan dan dilakukan penahanan lanjutan.
(2) Pencabutan pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diterbitkan surat perintah pencabutan pembantaran yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pencabutan pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan berdasarkan pertimbangan hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan kondisi kesehatan tersangka telah membaik, dan diterbitkan surat perintah penahanan lanjutan.
Pasal …..
26
Pasal 52
(1) Surat perintah penahanan lanjutan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(2) Surat perintah penahanan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikeluarkan dengan pertimbangan:
a. tersangka yang diberikan pembantaran telah sehat kembali sedangkan tindakan penahanan masih diperlukan; dan
b. tersangka yang dibantarkan telah melarikan diri dan berhasil ditangkap kembali.
Pasal 53
(1) Tahanan dikeluarkan dari Rutan dengan pertimbangan:
a. masa penahanan sudah habis atau demi hukum;
b. tersangka diserahkan ke Penuntut Umum;
c. dipindahkan/dititipkan ke Rutan lainnya;
d. ditangguhkan penahanannya;
e. dibantarkan penahanannya karena sakit; atau
f. adanya keputusan hakim praperadilan yang memerintahkan untuk mengeluarkan tersangka dari tahanan.
(2) Pengeluaran tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan surat perintah pengeluaran tahanan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pengeluaran tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dibuatkan berita acara pengeluaran tahanan.
Pasal 54
(1) Perlakuan dan penempatan terhadap tahanan wajib dibedakan antara tahanan laki-laki dewasa, perempuan, dan anak-anak.
(2) Perlakuan terhadap tahanan laki-laki dewasa meliputi:
a. harus tetap diperlakukan secara manusiawi;
b. mempedomani asas praduga tak bersalah;
c. berhak mendapat penjelasan mengenai alasan penahanan dan tuduhan yang dikenakan kepadanya;
d. hanya boleh ditahan di Rutan;
e. keluarga dan penasihat hukum harus diberikan informasi tentang tempat penahanan;
f. berhak …..
27
f. berhak untuk mendapatkan bantuan hukum;
g. berhak untuk bertemu dengan keluarga dan penasihat hukum;
h. berhak untuk memperoleh pelayanan medis;
i. berhak memperoleh bantuan penerjemah, bila tidak bisa berbahasa Indonesia;
j. harus dipisahkan dari tahanan perempuan dan anak-anak;
k. berhak mendapatkan kesempatan menjalankan ibadah menurut agama/ kepercayaan atau keyakinannya; dan
l. waktu besuk tahanan ditentukan oleh kepala kesatuan masing-masing.
(3) Perlakuan terhadap tahanan perempuan, meliputi:
a. ditempatkan di ruang tahanan khusus perempuan;
b. berhak mendapat perlakuan khusus;
c. dipisahkan penempatannya dari ruang tahanan tersangka laki-laki dan anak-anak; dan
d. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan bagi perempuan.
(4) Perlakuan terhadap tahanan anak-anak, meliputi:
a. berhak mendapat pendampingan dari orang tua atau wali;
b. berhak untuk mendapatkan petugas pendamping khusus untuk anak;
c. berhak mendapatkan privasi untuk tidak dipublikasikan identitasnya;
d. ditempatkan di ruang tahanan khusus anak;
e. dipisahkan penempatannya dari ruang tahanan laki-laki dan perempuan dewasa; dan
f. penerapan prosedur khusus untuk perlindungan anak.
Pasal 55
(1) Penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap badan/pakaian dan rumah/tempat lainnya.
(2) Penyidik yang melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Penggeledahan dilaksanakan untuk kepentingan penyidikan guna mencari dan menemukan barang bukti dan/atau penangkapan tersangka.
(4) Penggeledahan pakaian dan/atau badan terhadap wanita dilakukan oleh polisi wanita atau wanita yang diminta bantuannya oleh penyidik/penyidik pembantu.
(5) Prosedur dan teknis penggeledahan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal …..
28
Pasal 56
(1) Setelah penggeledahan dilakukan, penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara penggeledahan yang ditandatangani oleh tersangka atau keluarganya atau orang yang menguasai tempat yang digeledah atau orang yang diberi kuasa.
(2) Dalam hal tersangka atau keluarganya atau orang yang menguasai tempat yang digeledah atau orang yang diberi kuasa tidak mau menandatangani berita acara penggeledahan, harus dibuatkan berita acara penolakan penandatanganan berita acara penggeledahan.
Pasal 57
(1) Penggeledahan rumah/alat angkutan serta tempat-tempat tertutup lainnya hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
(2) Surat permintaan izin penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disaksikan oleh Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat setempat atau orang yang bertanggung jawab/menguasai tempat tersebut.
Pasal 58
(1) Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak, penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan penggeledahan dengan menggunakan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik tanpa dilengkapi surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu.
(2) Setelah dilaksanakan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik/penyidik pembantu wajib segera membuat berita acara penggeledahan dan memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat tentang pelaksanaan penggeledahan untuk memperoleh persetujuan penggeledahan.
(3) Penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disaksikan oleh Ketua RT/RW atau tokoh masyarakat setempat atau orang yang bertanggung jawab/menguasai tempat tersebut.
Pasal 59
(1) Penggeledahan terhadap badan/pakaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib:
a. memberitahukan kepentingan tindakan penggeledahan secara jelas dan dilakukan dengan sopan;
b. meminta kesediaan orang untuk digeledah dan meminta maaf atas terganggu hak privasinya;
c. menunjukkan …..
29
c. menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
d. melakukan penggeledahan secara cermat dan teliti untuk mencari/ mendapatkan bukti-bukti yang berkaitan dengan tindak pidana;
e. memperhatikan dan menghargai hak-hak orang yang digeledah;
f. melaksanakan penggeledahan terhadap perempuan oleh petugas perempuan;
g. melaksanakan penggeledahan dalam waktu yang secukupnya;
h. menyampaikan terima kasih atas terlaksananya penggeledahan; dan
i. setelah melakukan penggeledahan, penyidik segera membuat berita acara penggeledahan.
(2) Penggeledahan terhadap rumah/tempat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib:
a. melengkapi administrasi penggeledahan;
b. memberitahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan penggeledahan;
c. memberitahukan penghuni tentang kepentingan penggeledahan;
d. menunjukkan surat perintah tugas dan surat perintah penggeledahan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang atau orang dengan cara yang teliti, sopan, etis dan simpatik dan harus didampingi oleh penghuni/saksi;
f. melakukan penggeledahan sesuai dengan teknik dan taktik penggeledahan;
g. dalam hal petugas mendapatkan benda/barang atau orang yang dicari, tindakan untuk mengamankan barang bukti wajib disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari warga setempat/ketua lingkungan;
h. setelah melaksanakan penggeledahan penyidik/penyidik pembantu menyampaikan ucapan terima kasih dan mohon maaf; dan
i. dalam waktu paling lama 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah, harus dibuat berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah/tempat lainnya yang bersangkutan.
Pasal 60
(1) Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf e dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap benda/barang atau tagihan tersangka yang berkaitan dengan perkara yang ditangani untuk kepentingan penyidikan.
(2) Penyidik/penyidik pembantu yang melakukan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas dan surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik dan membuat berita acara penyitaan.
(3) Prosedur …..
30
(3) Prosedur dan teknis penyitaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Setiap benda sitaan disimpan di tempat khusus atau Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan).
(5) Terhadap benda/barang sitaan berupa uang wajib disimpan di rekening khusus penampungan barang bukti Polri yang terdaftar di Kementerian Keuangan.
Pasal 61
(1) Terhadap benda/barang sitaan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memerlukan perawatan dengan biaya tinggi dapat dititip rawat kepada orang yang berhak atau orang dari mana benda itu disita.
(2) Terhadap benda/barang sitaan berupa narkoba, benda yang mudah rusak, dan berbahaya, prosedur penanganannya dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal setelah dilakukan penyitaan, diketahui bahwa ada benda yang tidak terkait dengan perkara yang ditangani, penyidik/penyidik pembantu segera mengembalikan kepada orang dari mana benda itu disita, dengan dilengkapi berita acara yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu dan yang menerima.
Pasal 62
(1) Pemeriksaan surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, adalah tindakan penyidik/penyidik pembantu untuk memeriksa dan menyita surat yang dikirim melalui kantor pos dan giro, perusahaan telekomunikasi, jasa pengiriman barang atau angkutan, jika benda/barang tersebut diduga kuat mempunyai hubungan dengan perkara pidana yang sedang ditangani.
(2) Untuk kepentingan pemeriksaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik/penyidik pembantu dapat meminta kepada kepala Kantor Pos dan Giro, perusahaan telekomunikasi, jasa pengiriman barang atau angkutan untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk kepentingan itu harus dibuatkan surat tanda penerimaan.
(3) Pemeriksaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin khusus yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri.
(4) Perlakuan terhadap surat yang telah diperiksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara pemeriksaan surat .
Paragraf …..
31
Paragraf 4
Pemeriksaan
Pasal 63
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d, dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap saksi, ahli, dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan dan orang yang diperiksa.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan untuk mendapatkan keterangan saksi, ahli dan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan, guna membuat terang perkara sehingga peran seseorang maupun barang bukti dalam peristiwa pidana yang terjadi menjadi jelas.
(3) Penyidik/penyidik pembantu yang melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib memiliki kompetensi sebagai pemeriksa.
Pasal 64
(1) Pemeriksaan terhadap saksi dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu untuk mendapatkan keterangan tentang apa yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.
(2) Terhadap saksi yang diduga cukup alasan tidak dapat hadir dalam persidangan di pengadilan, dapat dilakukan penyumpahan atau pengucapan janji sebelum pemeriksaan dilaksanakan dan dibuat berita acara.
(3) Penyidik/penyidik pembantu wajib segera melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang telah hadir memenuhi panggilan.
(4) Apabila saksi telah dipanggil 2 (dua) kali namun tidak memenuhi panggilan, dengan alasan yang patut atau wajar, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat kediaman Saksi atau tempat lain yang tidak melanggar kepatutan.
(5) Pemeriksaan terhadap saksi perempuan dan anak-anak diperlakukan secara khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pemeriksaan terhadap saksi atau korban yang mendapatkan perlindungan, penyidik/penyidik pembantu dapat melakukan pemeriksaan di tempat khusus.
(7) Penyidik/Penyidik Pembantu menuangkan keterangan yang diberikan saksi dalam berita acara pemeriksaan saksi.
Pasal 65
(1) Pemeriksaan terhadap ahli dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu untuk mendapatkan keterangan dari seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan Penyidikan.
(2) Sebelum …..
32
(2) Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap ahli, penyidik/penyidik pembantu terlebih dahulu melakukan penyumpahan atau pengucapan janji dari ahli yang akan memberikan keterangan sesuai keahliannya.
(3) Pemeriksa menuangkan keterangan yang diberikan Ahli dalam berita acara pemeriksaan ahli.
Pasal 66
(1) Pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu untuk mendapatkan keterangan dari tersangka tentang perbuatan pidana yang dilakukan.
(2) Tersangka wajib diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti tentang hak-haknya dan perkara yang dipersangkakan pada saat pemeriksaan akan dimulai.
(3) Tersangka yang tidak mampu dan tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, penyidik/penyidik pembantu wajib menunjuk penasihat hukum bagi tersangka yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(4) Penyidik/penyidik pembantu dilarang menggunakan kekerasan, tekanan atau ancaman dalam bentuk apapun, dan harus berperilaku sebagai pihak yang akan menggali fakta-fakta dalam penegakan hukum.
(5) Penyidik/penyidik pembantu wajib menyiapkan penerjemah bagi tersangka yang tidak memahami bahasa Indonesia, dan juru bicara bagi tersangka yang bisu atau tuli.
(6) Apabila tersangka tidak dapat memenuhi 2 (dua) kali panggilan dengan alasan yang patut dan wajar, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat kediaman tersangka atau tempat lain yang tidak melanggar kepatutan.
(7) Terhadap tersangka perempuan dan anak diperlakukan secara khusus sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Penyidik/penyidik pembantu wajib menuangkan keterangan yang diberikan Tersangka dalam berita acara pemeriksaan tersangka, dan turunannya dapat diberikan kepada tersangka/penasihat hukumnya.
(9) Pada saat pemeriksaan tersangka, penasihat hukum tersangka dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat dan mendengar pemeriksaan, kecuali tersangka diduga melakukan kejahatan terhadap keamanan negara.
(10) Dalam hal tersangka tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan tersangka, dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya, dan penyidik membuat berita acara penolakan penandatanganan.
Pasal …..
33
Pasal 67
(1) Untuk kepentingan pembuktian tentang persesuaian keterangan antara Saksi dengan saksi, saksi dengan tersangka, tersangka dengan tersangka, dapat dilakukan pemeriksaan konfrontasi.
(2) Pemeriksaan konfrontasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik/penyidik pembantu wajib menghindarkan terjadinya konflik.
(3) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara konfrontasi.
Pasal 68
(1) Untuk kepentingan pembuktian, Penyidik/Penyidik Pembantu dapat melakukan rekonstruksi dan membuat dokumentasi.
(2) Penyidik/penyidik pembantu wajib membuat berita acara rekonstruksi.
Paragraf 5
Gelar Perkara
Pasal 69
Gelar perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e, dilaksanakan dengan cara:
a. gelar perkara biasa; dan
b. gelar perkara khusus.
Pasal 70
(1) Gelar perkara biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a, dilaksanakan pada tahap:
a. awal proses penyidikan;
b. pertengahan proses penyidikan; dan
c. akhir proses penyidikan.
(2) Gelar perkara pada tahap awal Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertujuan untuk:
a. menentukan status perkara pidana atau bukan;
b. merumuskan rencana penyidikan;
c. menentukan unsur-unsur pasal yang dipersangkakan;
d. menentukan saksi, tersangka, dan barang bukti;
e. menentukan target waktu; dan
f. penerapan teknik dan taktik Penyidikan.
(3) Gelar …..
34
(3) Gelar perkara pada tahap pertengahan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bertujuan untuk:
a. evaluasi dan pemecahan masalah yang dihadapi dalam Penyidikan;
b. mengetahui kemajuan penyidikan yang dicapai dan upaya percepatan penyelesaian penyidikan;
c. menentukan rencana penindakan lebih lanjut;
d. memastikan terpenuhinya unsur pasal yang dipersangkakan;
e. memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan barang bukti dengan pasal yang dipersangkakan;
f. memastikan pelaksanaan Penyidikan telah sesuai dengan target yang ditetapkan; dan/atau
g. mengembangkan rencana dan sasaran Penyidikan.
(4) Gelar perkara pada tahap akhir Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bertujuan untuk:
a. evaluasi proses penyidikan yang telah dilaksanakan;
b. pemecahan masalah atau hambatan penyidikan;
c. memastikan kesesuaian antara saksi, tersangka, dan bukti;
d. penyempurnaan berkas perkara;
e. menentukan layak tidaknya berkas perkara dilimpahkan kepada penuntut umum atau dihentikan; dan/atau
f. pemenuhan petunjuk JPU.
Pasal 71
(1) Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b, bertujuan untuk:
a. merespons laporan/pengaduan atau komplain dari pihak yang berperkara atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari atasan penyidik selaku penyidik;
b. membuka kembali penyidikan yang telah dihentikan setelah didapatkan bukti baru;
c. menentukan tindakan kepolisian secara khusus; atau
d. membuka kembali Penyidikan berdasarkan putusan praperadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(2) Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan terhadap kasus-kasus tertentu dengan pertimbangan:
a. memerlukan persetujuan tertulis Presiden/Mendagri/Gubernur;
b. menjadi perhatian publik secara luas;
c. atas permintaan penyidik;
d. perkara …..
35
d. perkara terjadi di lintas negara atau lintas wilayah dalam negeri;
e. berdampak massal atau kontinjensi;
f. kriteria perkaranya sangat sulit;
g. permintaan pencekalan dan pengajuan DPO ke NCB Interpol/Divhubinter Polri; atau
h. pembukaan blokir rekening.
Pasal 72
(1) Tahapan penyelenggaraan gelar perkara meliputi:
a. persiapan;
b. pelaksanaan; dan
c. kelanjutan hasil gelar perkara.
(2) Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. penyiapan bahan paparan gelar perkara oleh tim penyidik;
b. penyiapan sarana dan prasarana gelar perkara; dan
c. pengiriman surat undangan gelar perkara.
(3) Tahap pelaksanaan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pembukaan gelar perkara oleh pimpinan gelar perkara;
b. paparan tim penyidik tentang pokok perkara, pelaksanaan penyidikan, dan hasil penyidikan yang telah dilaksanakan;
c. tanggapan para peserta gelar perkara;
d. diskusi permasalahan yang terkait dalam penyidikan perkara; dan
e. kesimpulan gelar perkara.
(4) Tahap kelanjutan hasil gelar perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. pembuatan laporan hasil gelar perkara;
b. penyampaian laporan kepada pejabat yang berwenang;
c. arahan dan disposisi pejabat yang berwenang;
d. tindak lanjut hasil gelar perkara oleh penyidik dan melaporkan perkembangannya kepada atasan penyidik; dan
e. pengecekan pelaksanaan hasil gelar perkara oleh pengawas penyidikan.
Paragraf …..
36
Paragraf 6
Penyelesaian Berkas Perkara
Pasal 73
(1) Penyelesaian berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf f meliputi tahapan:
a. pembuatan resume berkas perkara; dan
b. pemberkasan.
(2) Pembuatan resume berkas perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sekurang-kurangnya memuat:
a. dasar Penyidikan;
b. uraian singkat perkara;
c. uraian tentang fakta-fakta;
d. analisis yuridis; dan
e. kesimpulan.
(3) Pemberkasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sekurang-kurangnya memuat:
a. sampul berkas perkara;
b. daftar isi;
c. berita acara pendapat/resume;
d. laporan polisi;
e. berita acara setiap tindakan Penyidik/Penyidik pembantu;
f. administrasi Penyidikan;
g. daftar Saksi;
h. daftar Tersangka; dan
i. daftar barang bukti.
(4) Setelah dilakukan pemberkasan, diserahkan kepada atasan Penyidik selaku Penyidik untuk dilakukan penelitian.
(5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi persyaratan formal dan material untuk setiap dokumen yang dibuat oleh Penyidik.
(6) Setelah berkas lengkap dan memenuhi syarat segera dilakukan penjilidan dan penyegelan.
Paragraf …..
37
Paragraf 7
Penyerahan Berkas Perkara
Pasal 74
(1) Penyerahan berkas perkara kepada JPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf g dilakukan sebagai berikut:
a. tahap pertama, menyerahkan berkas perkara; dan
b. tahap kedua, penyerahan tanggung jawab Tersangka dan barang bukti setelah berkas perkara dinyatakan lengkap.
(2) Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari berkas perkara tidak dikembalikan oleh JPU, berkas perkara dianggap lengkap dan Penyidik/Penyidik Pembantu dapat menyerahkan Tersangka dan Barang Bukti (tahap II).
Paragraf 8
Penyerahan Tersangka dan Barang Bukti
Pasal 75
(1) Penyerahan tersangka dan barang bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf h, dibuatkan berita acara serah terima tersangka dan barang bukti yang ditandatangani oleh Penyidik/Penyidik Pembantu yang menyerahkan dan JPU yang menerima.
(2) Penyerahan tanggung jawab tersangka wajib dilaksanakan di kantor JPU.
(3) Penyerahan tanggung jawab atas barang bukti dapat dilaksanakan di tempat lain, dimana barang bukti disimpan.
Paragraf 9
Penghentian Penyidikan
Pasal 76
(1) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i, dilakukan apabila:
a. tidak terdapat cukup bukti;
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. demi hukum, karena:
1. tersangka meninggal dunia;
2. perkara telah kadaluarsa;
3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
(2) Sebelum …..
38
(2) Sebelum dilakukan penghentian penyidikan, wajib dilakukan gelar perkara.
(3) Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka atau penasihat hukumnya.
(4) Dalam hal penghentian penyidikan dinyatakan tidak sah oleh putusan pra peradilan dan/atau ditemukan bukti baru, penyidik harus melanjutkan penyidikan kembali dengan menerbitkan surat ketetapan pencabutan penghentian penyidikan dan surat perintah penyidikan lanjutan.
Pasal 77
Dalam acara pemeriksaan cepat yang merupakan perkara tindak pidana ringan, dan perkara pelanggaran lalu lintas, penyidik atas kuasa penuntut umum demi hukum menyerahkan berkas perkara, barang bukti, Saksi, dan terdakwa ke pengadilan.
Bagian Keempat
Pengawasan dan Pengendalian
Paragraf Kesatu
Subyek
Pasal 78
Subyek pengawasan dan pengendalian penyidikan meliputi:
a. atasan penyidik; dan
b. pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan.
Pasal 79
Atasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf a, meliputi:
a. tingkat Mabes Polri;
1. pejabat struktural yang karena jabatannya sebagai atasan penyidik:
a) Kapolri;
b) Kabaharkam Polri;
c) Kabareskrim Polri;
d) Kakorlantas Polri;
e) Direktur pada Bareskrim Polri.
f) Dirpolair Polri; dan
g) Kepala Detasemen Khusus (Kadensus) 88 AT Polri;
2. atasan langsung yang membawahi Penyidik;
b. tingkat …..
39
b. tingkat Polda:
1. pejabat struktural yang karena jabatannya sebagai atasan penyidik:
a) Kapolda;
b) Dirreskrim, Dirlantas, Dirpolair;
c) Kasubdit pada Ditreskrim; dan
d) Kasubdit Laka Ditlantas, Kasubdit Gakum Ditpolair;
2. atasan langsung yang membawahi penyidik;
c. tingkat Polres:
1. pejabat struktural yang karena jabatannya sebagai atasan penyidik:
a) Kapolres;
b) Kasatreskrim, Kasatlantas, Kasatpolair; dan
c) Kapolsek;
2. atasan langsung yang membawahi penyidik.
Pasal 80
Pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 huruf b, meliputi:
a. tingkat Mabes Polri:
1. Kepala Biro Wassidik Bareskrim Polri; dan
2. pengemban fungsi pengawasan pada Baharkam Polri, Korlantas Polri, Biro Wassidik Bareskrim Polri, Densus 88 AT Polri;
b. tingkat Polda:
1. Kepala Bagian Wassidik Ditreskrim;
2. Pengemban fungsi pengawasan pada Ditlantas; dan
3. Pengemban fungsi pengawasan pada Ditpolair;
c. tingkat Polres:
1. Kaur Bin Ops (KBO) Satreskrim;
2. KBO Satlantas; dan
3. KBO Satpolair.
Paragraf 2
Objek
Pasal 81
Objek pengawasan dan pengendalian Penyelidikan dan Penyidikan meliputi:
a. petugas penyelidik dan penyidik;
b. kegiatan penyelidikan dan penyidikan;
c. administrasi penyelidikan dan penyidikan; dan
d. administrasi lain yang mendukung penyelidikan dan penyidikan.
Pasal …..
40
Pasal 82
(1) Petugas penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf a adalah pejabat Polri yang melakukan penyelidikan/penyidikan berdasarkan surat perintah tugas.
(2) Pengawasan dan pengendalian terhadap petugas penyelidik dan penyidik, meliputi:
a. sikap, moral dan perilaku selama melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan;
b. perlakuan dan pelayanan terhadap tersangka, saksi dan barang bukti;
c. hubungan penyelidik/penyidik dengan tersangka, saksi, dan keluarga atau pihak lain yang terkait dengan perkara yang sedang ditangani; dan
d. hubungan penyidik dengan instansi penegak hukum dan instansi terkait lainnya.
(3) Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf b, meliputi:
a. teknis dan taktis penyelidikan/penyidikan; dan
b. profesionalisme penyelidikan/penyidikan.
(4) Pengawasan dan pengendalian terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf c, meliputi:
a. kelengkapan administrasi penyelidikan/penyidikan;
b. legalitas dan akuntabilitas administrasi penyelidikan/penyidikan.
(5) Pengawasan dan pengendalian terhadap administrasi lain yang mendukung penyelidikan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 huruf d, meliputi:
a. buku register perkara; dan
b. pengisian dan pencatatan tata naskah (takah) perkara.
Paragraf 3
Metode
Pasal 83
Metode pengawasan dan pengendalian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, meliputi:
a. penelitian laporan;
b. pengawasan melekat;
c. petunjuk dan arahan;
d. supervisi; dan
e. gelar perkara.
Pasal …..
41
Pasal 84
Penelitian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf a, meliputi kegiatan pemeriksaan terhadap:
a. Laporan Pengaduan/Laporan Polisi;
b. LHP;
c. SP2HP; dan
d. laporan kemajuan perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan.
Pasal 85
Penelitian laporan bertujuan untuk mengetahui:
a. proses penyelidikan dan penyidikan sudah sesuai dengan ketentuan atau ditemukan adanya kendala, hambatan, atau permasalahan;
b. ada tidaknya unsur pidana;
c. penerapan pasal sesuai dengan perkaranya;
d. perkembangan hasil penyelidikan dan penyidikan; dan
e. jumlah perkara yang terjadi dan persentase penyelesaiannya.
Pasal 86
Penelitian laporan dilakukan oleh:
a. pejabat struktural;
b. Atasan Penyidik; dan
c. pejabat pengemban fungsi pengawasan Penyidikan.
Pasal 87
Pengawasan melekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf b, dilaksanakan oleh atasan penyidik dengan cara pengawasan dan pengendalian:
a. langsung pelaksanaan penyelidikan;
b. administrasi penyidikan;
c. pengolahan TKP;
d. tindakan upaya paksa;
e. pelaksanaan rekonstruksi atau reka ulang;
f. penanganan tahanan dan barang bukti; dan
g. tindakan lain yang ada kaitannya dengan penyelidikan dan penyidikan.
Pasal …..
42
Pasal 88
(1) Petunjuk dan arahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf c, diberikan dengan cara:
a. melalui surat;
b. langsung melalui tatap muka, dan briefing; atau
c. melalui telepon atau alat komunikasi lainnya.
(2) Petunjuk dan arahan dapat dilakukan oleh atasan langsung penyidik, pejabat struktural, dan pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan.
Pasal 89
(1) Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 huruf d, dilaksanakan:
a. secara rutin; dan
b. insidentil.
(2) Supervisi secara rutin dilaksanakan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
(3) Supervisi insidentil dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan.
(4) Supervisi dilaksanakan oleh pejabat struktural, pengemban fungsi pengawasan Penyidikan serta pengemban fungsi pengawasan umum dan daerah.
Pasal 90
Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 bertujuan untuk:
a. mengetahui proses penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan sesuai ketentuan atau ditemukan adanya kendala, hambatan, atau permasalahan;
b. klarifikasi terhadap laporan atau pengaduan masyarakat dengan fakta yang ada atau ditemukan;
c. memecahkan permasalahan atau kendala yang dihadapi penyidik/penyidik pembantu dan memberikan alternatif solusi;
d. menjamin kualitas proses penyelidikan dan penyidikan; dan
e. sebagai konsultan dalam pemecahan masalah.
Paragraf 4
Hasil Pengawasan
Pasal 91
Dalam hal hasil pengawasan ditemukan adanya dugaan pelanggaran disiplin atau kode etik profesi Polri yang dilakukan penyidik/penyidik pembantu, sebelum diproses melalui mekanisme acara hukuman disiplin, harus dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh atasan penyidik, pengawas penyidikan atau pejabat atasan pengawas penyidikan.
Pasal …..
43
Pasal 92
Dalam hal hasil pemeriksaan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91, telah menemukan petunjuk:
a. diduga telah terjadi pelanggaran disiplin atau pelanggaran kode etik profesi Polri, pemeriksaan selanjutnya diserahkan kepada fungsi Propam Polri paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan; dan
b. diduga telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan penyidikan, proses penyidikannya diserahkan kepada fungsi Reskrim.
Pasal 93
Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian kinerja Penyidik/Penyidik Pembantu, catatan setiap kegiatan Penyidikan berikut berkas perkara wajib disimpan dalam database Sistem Pengawasan dan Penilaian Kinerja Penyidik (SPPKP).
BAB IV
EVALUASI KINERJA PENYIDIK
Pasal 94
(1) Untuk mengukur tingkat keberhasilan penyidik/penyidik pembantu, dilakukan evaluasi kinerja dengan membuat rekapitulasi data tentang kegiatan dan hasil penyelidikan dan penyidikan berupa:
a. jumlah perkara yang diterima, diproses dan diselesaikan; dan
b. rincian jumlah setiap jenis penindakan yang dilaksanakan oleh penyidik/penyidik pembantu meliputi pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pengeluaran tahanan dan penyerahan berkas perkara.
(2) Evaluasi rekapitulasi data kegiatan dan hasil penindakan dilaksanakan secara berkala dan berjenjang dari tingkat Polsek sampai tingkat Mabes Polri sekurang-kurangnya setiap 1 (satu) bulan sekali dan dirangkum dalam laporan bulanan.
(3) Laporan bulanan dibuat secara berjenjang dari tingkat Polsek sampai dengan Mabes Polri dengan jadwal pengiriman setiap bulannya sebagai berikut:
a. laporan dari Polsek paling lambat tanggal 5 (lima) setiap bulan sudah diterima di Polres (Kapolres dan Kasatreskrim);
b. laporan dari Polres paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan sudah diterima di Polda (Kapolda dan Dirreskrim); dan
c. laporan dari Polda dan Satker Mabes Polri yang menangani penyidikan paling lambat tanggal 15 (lima belas) setiap bulan sudah diterima di Bareskrim Polri (Kabareskrim Polri).
(4) Laporan …..
44
(4) Laporan bulanan digunakan sebagai bahan untuk:
a. pemantauan perkembangan penyidikan;
b. evaluasi kinerja satuan kewilayahan;
c. evaluasi kinerja satker Mabes Polri yang menangani penyidikan; dan
d. pendataan di Pusat Informasi Kriminal Nasional.
Pasal 95
(1) Analisis dan evaluasi (Anev) kemampuan penyelesaian perkara yang ditangani secara periodik:
a. Anev kinerja penyidik/penyidik pembantu pada semester pertama dan kedua pada tahun berjalan; dan
b. Anev kinerja penyidik/penyidik pembantu selama 1 (satu) tahun.
(2) Pengiriman Anev kinerja tiap semester dan tahunan dengan jadwal sebagai berikut:
a. Anev semester pertama dari Polres paling lambat tanggal 10 Juli sudah diterima di Polda, dari Polda dan Satker Mabes Polri yang membidangi penyidikan paling lambat tanggal 15 Juli sudah diterima Kabareskrim Polri; dan
b. Anev semester kedua dan akhir tahun dari Polres paling lambat tanggal 10 Januari sudah diterima di Polda, dari Polda dan Satker Mabes Polri yang membidangi penyidikan paling lambat tanggal 15 Januari pada tahun berikutnya sudah diterima Kabareskrim Polri.
Pasal 96
(1) Untuk kepentingan evaluasi perkara yang ditangani PPNS dan pendataan Pusiknas, Korwas PPNS tingkat Polda dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri wajib berkoordinasi dan meminta data perkara yang ditangani oleh PPNS.
(2) Korwas PPNS Polda dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri wajib melaporkan hasil koordinasi dan data penanganan perkara oleh PPNS paling lambat tanggal 15 (lima belas) setiap bulan sudah diterima Kabareskrim Polri.
(3) Anev semester dari Korwas PPNS Polda dan Biro Korwas PPNS Bareskrim Polri sudah diterima paling lambat tanggal 10 Juli, anev semester kedua dan akhir tahun paling lambat tanggal 15 Januari pada tahun berikutnya sudah diterima Kabareskrim Polri.
Pasal …..
45
Pasal 97
Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian kinerja penyidik, catatan setiap kegiatan penyidikan berikut berkas perkara wajib disimpan dalam database Sistem Pengawasan dan Penilaian Kinerja Penyidik (SPPKP).
BAB V
PERAN ATASAN PENYIDIK
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 98
Atasan penyidik bertugas untuk memastikan setiap tahapan penyidikan berjalan sesuai ketentuan, melalui upaya sebagai berikut:
a. tahap persiapan:
1. meneliti kelengkapan administrasi penyidikan dan rencana penyidikan; dan
2. memberikan petunjuk tentang proses penyidikan yang akan dilaksanakan;
b. tahap pelaksanaan:
1. menjamin proses penyidikan terlaksana secara transparan dan akuntabel sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. melakukan kegiatan pengawasan penyidikan melalui:
a) pemeriksaan tata naskah administrasi penyidikan;
b) SP2HP;
c) pemeriksaan laporan kemajuan penyidikan;
d) pengelolaan tahanan dan barang bukti;
e) supervisi; dan
f) pelaksanaan gelar perkara;
c. tahap pengakhiran:
1. meneliti kelengkapan Berkas Perkara sebelum diajukan ke JPU untuk menghindari terjadinya bolak-balik berkas perkara;
2. memberikan petunjuk kepada penyidik/penyidik pembantu ketika Berkas Perkara dikembalikan oleh JPU;
3. mengikuti perkembangan penyerahan Berkas Perkara, Tersangka dan barang bukti kepada JPU; dan/atau
4. meneliti secara cermat pertimbangan hukum dasar penetapan SP3.
Bagian …..
46
Bagian Kedua
Wewenang
Pasal 99
Atasan penyidik berwenang untuk:
a. memberdayakan seluruh sumber daya personel, materiil, dan anggaran untuk menjamin terselenggaranya proses penyelidikan dan penyidikan secara efektif dan efisien;
b. melakukan Anev hasil penyelidikan dan penyidikan, mengendalikan jalannya penyelidikan dan penyidikan serta memantau kinerja penyidik/penyidik pembantu;
c. mengawasi pelaksanaan proses penyelidikan dan penyidikan yang memenuhi persyaratan formal dan material; dan
d. melakukan analisis hasil akhir penyelidikan dan penyidikan.
Bagian Ketiga
Tanggung Jawab
Pasal 100
Atasan penyidik bertanggung jawab secara manajerial terhadap:
a. keselamatan penyelidik dan penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan tugas;
b. peningkatan pengetahuan dan keterampilan penyidik/penyidik pembantu;
c. proses penyelidikan dan penyidikan serta penyelesaian penanganan perkara;
d. pemecahan masalah dan hambatan yang dihadapi oleh penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan tugas;
e. penyelenggaraan proses penyidikan secara profesional, prosedural, objektif, transparan dan akuntabel;
f. terwujudnya kepastian hukum dalam proses penyidikan;
g. adanya gugatan praperadilan atau upaya hukum lain sebagai akibat dari proses penyidikan;
h. independensi penyidikan;
i. komplain masyarakat; dan
j. pemberitaan media massa yang dapat menimbulkan opini yang salah terhadap penyidikan.
BAB …..
47
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 101 Pada saat peraturan ini mulai berlaku, maka Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Tindak Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 102 Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Juni 2012
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Drs. TIMUR PRADOPO
JENDERAL POLISI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR
Paraf:
1. Kabareskrim Polri : …………
2. Kadivkum Polri : …………
3. Kasetum Polri : …………
4. Wakapolri : …………