Minggu, 27 April 2014

Mediasi Penal dalam Hukum Pidana


Upaya penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah ‘mediasi penal’ (penal mediation).

Sebagai salah satu dasar hukum Mediasi penal adalah Surat Kapolri Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.


SURAT KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NO. POL : B / 3022 / XII / 2009 / SDEOPS
Tertanggal 14 DESEMBER 2009
PERIHAL PENANGANAN KASUS MELALUI ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR)

Salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan polmas adalah konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain melalui proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.


Akhir – akhir ini banyak terjadi proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian yang sangat kecil menjadi sorotan media massa dan masyarakat, terkesan aparat terlalu kaku dalam penegakan hukum, berkaitan dengan hal tersebut, dapat mengambil langkah – langkah :

1.      Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian masyarakat ekonomi sangat kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui konsep adr;

2.      Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan  adr harus disepakati oleh pihak yang berperkara, namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai prosedur hukum yang berlaku secara proporsional dan professional;

3.      Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan adr harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan rt / rw setempat;

4.      Penyelesaian kasus pidana dengn menggunakan adr harus menghormati   norma hukum, sosial, adat yg berlaku serta memenuhi azas keadilan;

5.      Memberdayakan anggota polmas dan memerankan fkpm yg ada di wilayah masing – masing untuk mampu mengidentifikasi kasus pidana yang mempunyai kerugian materil, ekonomi sangat kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep adr;

6.      Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui konsep adr agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dgn tujuan polmas;

Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain :mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der Auergerichtliche Tataus-gleich dan dalam istilah Perancis disebut de mediation pnale. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim-Offender Mediation (VOM), Tter Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA) Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi polisi atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat. Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.

Namun demikian terdapat pula beberapa Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia, yaitu:

a  Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR);

Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara  Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal:205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482,  surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;

b        Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan;

c         Tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997);

d        Undang-Undang Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96);


Demikian, semoga bermanfaat demi kemajuan dan “kecerdasan” hukum di Indonesia.


Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati

(024)76670350
0821 3875 4004
2AB48511


kantorhukumkalingga.blogspot.com

Kamis, 10 April 2014

LANDASAN YURIDIS PEMBEBASAN BERSYARAT






Bahwa Pembebasan Bersyarat sebagai sebuah sistem hukum di Indonesia diketahui secara umum, namun pelaksanaannya tidak diketahui secara luas, sehingga bersama ini kami sampaikan penjelasan mengenai pembebasan bersyarat disertai dengan mekanisme pembinaan narapidana beserta seluruh dasar hukumnya, dengan uraian sebagai berikut :


 PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan :
a. Pasal 7 :
(1) Pembinaan Narapidana dilaksanakan melalui beberapa tahap pembinaan.
(2) Tahap pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu :
a. tahap awal;
b. tahap lanjutan; dan
c. tahap akhir.
b. Pasal 9 :
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu pertiga) dari masa pidana.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi :
a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu perdua) dari masa pidana; dan
b. tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua pertiga) masa pidana.
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan.
c. Pasal 10 :
(1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi :
a. masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan.
b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian;
c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan
d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal.
(2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi :
a. Perencanaan program pembinaan lanjutan;
b. Pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
c. Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan
d. Perencanaan dan pelaksanaan program assimilasi.
(3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) meliputi :
a. Perencanaan program integrasi;
b. Pelaksanaan program integrasi; dan
c. Pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir.
(4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP).
(5) Dalam sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Kepala Lapas wajib memperhatikan hasil Litmas.
(6) Ketentuan mengenai bentuk dan jenis kegiatan program pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.01.PK.04.10 Tahun 1999 tentang Assimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas tanggal 2 Februari 1999 :
a. Pasal 5 :
Assimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas merupakan sebagai salah satu upaya pembianan untuk memulihkan hubungan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan dengan masyarakat secara sehat.
b. Pasal 6 :
Assimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas bertujuan :
a. membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kearah pencapaian tujuan pembinaan;
b. memberikan kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan keterampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas menjalani pidana;
c. mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan Pemasyarakatan.
c. Pasal 7 :
(1) Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan dapat, diberi assimilasi, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, apabila memenuhi persyaratan substantif dan administratif.
(2) Persyaratan substantif yang harus dipenuhi Narapidana dan Anak Pidana adalah :
a. telah menunjukan kesadaran dan penyesatan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
b. telah menunjukan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
c. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
d. masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana yang bersangkutan;
e. selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (embilan) bulan terakhir;
f. masa pidana yang telah dijalani :
1) untuk assimilasi, Narapidana telah menjalani ½ (setengah) dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
2) untuk pembebasan bersyarat, Narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.
3) untuk cuti menjelang bebas, Narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hokum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan.
(3) Persyaratan substantif yang harus dipenuhi Anak Negara adalah :
a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas pelanggaran yang dilakukan;
b. telah menunjukkan budi pekerti dan moral yang positif;
c. dalam mengikuti program pendidikan dan pelatihan dengan tekun dan rajin;
d. masyarakat telah dapat menerima program pembinaan Anak Negara yang bersangkutan;
e. berkelakuan baik;
f. masa pendidikan yang telah dijalani :
1) untuk assimilasi, Anak Negara telah menjalani masa pendidikan di Lapas Anak 6 (enam) bulan;
2) untuk pembebasan bersyarat, Anak Negara telah menjalani masa pendidikan di Lapas Anak sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
d. Pasal 8
Persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan adalah :
a. salinan putusan pengadilan (ekstrak vonis);
b. surat keterangan asli dari kejaksaan bahwa Narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya;
c. laporan penelitian kemasyarakatan Litmas) dari Bapas tentang pihak-pihak keluarga yang akan menerima Narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan Narapidana;
d. salinan (Daftra Huruf F) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kepala Lapas);
e. salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi remisi dan lain-lain dari Kepala Lapas;
f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya lurah dan kepala desa;
g. surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa Narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmas atau Rumah Sakit Umum;
h. bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing diperlukan syarat tambahan :
1) surat keterangan sanggup menjamin Kedaulatan, Besar/Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan;
2) surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat.

Pasal 15 KUHP :
(1). Orang yang dipidana penjara dapat dilepaskan dengan syarat, apabila telah lalu dua pertiga dari masa pidananya yang sebenarnya dan juga sekurang-kurangnya sembilan bula daripada itu. Kalau orang yang dipidana itu harus menjalani beberapa kali pidana penjara seumur hidup


Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (“UU 12/1995”) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan "pembebasan bersyarat" adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat (“Permenkumham 01/2007”) juga menegaskan pengertian pembebasan bersyarat yaitu, “proses pembinaan Narapidana dan Anak Pidana di luarLembaga Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) masapidananya minimal 9 (sembilan) bulan.”

Di bawah ini adalah persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh narapidana maupun anak pidana (lihat Pasal 6 Permenkumham 01/2007):
A.        Persyaratan Substantif:
(1)     telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana;
(2)     telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif;
(3)     berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat;
(4)     masyarakat dapat menerima program kegiatan pembinaan Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan;
(5)     berkelakuan baik selama menjalani pidana dan tidak pernah mendapat hukuman disiplin untuk:
a.         Asimilasi sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir;
b.         Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; dan
c.         Cuti Bersyarat sekurang-kurangnya dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir.
(6) Bagi Narapidana maupun Anak Pidana berhak atas pembebasan bersyarat apabila telah menjalani pidana, 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;

B.        Persyaratan Administratif:
(1)     kutipan putusan hakim (ekstrak vonis);
(2)     laporan penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan atau laporan perkembangan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang dibuat oleh Wali Pemasyarakatan;
(3)     surat pemberitahuan ke Kejaksaan Negeri tentang rencana pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat terhadap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang bersangkutan;
(4)     salinan register, F (daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan selama menjalani masa pidana) dari KepalaLapas atau Kepala Rutan;
(5)     salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi, dan lain-lain dari Kepala Lapas atau Kepala Rutan;
(6)     surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa;
(7)     bagi Narapidana atau Anak Pidana warga negara asing diperlukan syarat tambahan:
a.         surat jaminan dari Kedutaan Besar/Konsulat negara orang asing yang bersangkutan bahwa Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan tidak melarikan diri atau menaati syarat-syarat selama menjalani Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, atau Cuti Bersyarat;
b.         surat keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi setempat mengenai status keimigrasian yang bersangkutan.

Pembebasan bersyarat ini adalah hak bagi setiap narapidana/anak pidana (lihat Pasal 14 ayat (1) huruf k UU 12/1995). Oleh karena itu setiap narapidana/anak pidana dapat memperoleh pembebasan bersyarat sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut di atas.

Jadi, pembebasan bersyarat ini dapat dimohonkan oleh narapidana/anak pidana  itu sendiri atau keluarga atau orang lain sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut di atas ke bagian registrasi di Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) atau Rutan (Rumah Tahanan) setempat.

Keluarga atau orang lain yang bertindak sebagai penjamin narapidana/anak pidana lalu menghadap ke Lapas atau Rutan untuk pembebasan bersyarat terhadap narapidana/anak pidana. Proses selanjutnya pihak Lapas/Rutan akan meninjau apakah narapidana/anak pidana yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan-persyaratan di atas atau belum. Permohonan akan diterima jika persyaratan-persyaratan di atas telah terpenuhi. Sebaliknya, permohonan akan ditolak jika persyaratan-persyaratan di atas tidak terpenuhi.





Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati

(024)76670350
0821 3875 4004
2AB48511


kantorhukumkalingga.blogspot.com



Kamis, 03 April 2014


Sanksi Pidana UU Perlindungan Konsumen
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.

Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 ) 

Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001
Pin BB :2988A894