Selasa, 18 Maret 2014



Putusan Verstek                                                                    
Putusan verstek atau in absentia adalah putusan tidak hadirnya tergugat dalam suatu perkara setelah dipanggil oleh pengadilan dengan patut tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak menyuruh wakilnya atau kuasa hukumnya untuk menghadiri dalam persidangan.

Putusan Verstek diatur dalam :
·      Pasal 125 ayat 1,2,3,4 HIR
Pasal 125 HIR
(1) Jika Tergugat, meskipun dipanggil dengan sah, tidak datang pada hari yang ditentukan, dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka tuntutan itu diterima dengan keputusan tanpa kehadiran (verstek), kecuali kalau nyata bagi pengadilan negeri bahwa tuntutan itu melawan hak atau tiada beralasan. (RV. 78; IR. 102, 122 d,t.)
(2) Akan tetapi jika si tergugat, dalam surat jawabannya tersebut pada pasal 121, mengemukakan eksepsi (tangkisan) bahwa pengadilan negeri tidak berkuasa memeriksa perkaranya, maka meskipun ia sendiri atau wakilnya tidak datang, wajiblah pengadilan negeri mengambil keputusan tentang eksepsi itu, sesudah mendengar penggugat itu; hanya jika eksepsi itu tidak dibenarkan, pengadilan negeri boleh memutuskan perkara itu.
(3) Jika tuntutan diterima, maka keputusan pengadilan atas perintah ketua, harus diberitahukan kepada si terhukum, dan harus diterangkan bahwa ia berhak mengajukan perlawanan terhadap keputusan pula kepadanya, usan tak hadir di muka majelis pengadilan itu dalam waktu dan dengan cara yang ditentukan pada pasal 129.
(4) Panitera pengadilan negeri akan mencatat dibawah keputusan tak hadir itu siapa yang diperintahkan menyampaikan pemberitahuan dan keterangan itu, baik dengan surat maupun dengan lisan.

·      Pasal 126 , 127, 128 HIR
Pasal 126
Dalam hal tersebut pada kedua pasal di atas ini, pengadilan negeri, sebelum menjatuhkan keputusan, boleh memerintahkan supaya pihak yang tidak datang dipanggil sekali iagi untuk menghadap pada hari persidangan lain, yang diberitahukan oleh ketua dalam persidangan kepada pihak yang datang; bagi pihak yang datang itu, pemberitahuan itu sama dengan panggilan.
Pasal 127
Jika seorang tergugat atau lebih tidak menghadap dan tidak menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya, maka pemeriksaan perkara itu akan ditangguhkan sampai pada hari persidangan lain, yang tidak lama sesudah hari itu penangguhan itu diberitahukan dalam persidangan kepada pihak yang hadir, dan bagi mereka pemberitahu,, itu sama dengan panggilan; sedang si tergugat yang tidak datang, atas perintah ketua, harus dipanggil sekali lagi untuk menghadap pada hari persidangan yang lain. Pada hari itulah perkara itu diperiksa, dan kemudian diputuskan bagi sekalian pihak dengan satu keputusan, yang terhadapnya tak boleh diadakan perlawanan keputusan tanpa kehadiran. (RV. 81.)

Pasal 128
(1)Keputusan hakim yang dijatuhkan dengan keputusan tanpa kehadiran, tidak boleh dijalankan sebelum lewat empat belas hari sesudah pemberitahuan tersebut pada pasal 125.
(2)Jika sangat perlu, atas permintaan penggugat, entah permintaan lisan entah permintaan tertulis, ketua boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dilaksanakan sebelum lewat jangka waktu itu, entah dalam keputusan itu, sentah sesudah keputusan itu dijatuhkan (RV.82.)

Pasal 149 ayat 1, 2,3,4 RBg
Pasal 149 RBg
(1)Bila pada hari yang telah ditentukan tergugat tidak datang meskipun sudah dipanggil dengan sepatutnya, dan juga tidak mengirimkan wakilnya, maka gugatan dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila temyata menurut pengadilan negeri itu, bahwa gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak beralasan.
(2)Bila tergugat dalam surat jawabannya seperti dimaksud dalam pasal 145 mengajukan sanggahan tentang kewenangan pengadilan negeri itu, maka pengadilan negeri, meskipun tergugat tidak hadir dan setelah mendengar penggugat, harus mengambil keputusan tentang sanggahan itu dan hanya jika sanggahan itu tidak dibenarkan, mengainbil keputusan tentang pokok perkaranya.
(3)Dalam hal gugatan dikabulkan, maka keputusan pengadilan negeri itu atas perintah ketua pengadilan negeri diberitahukan kepada pihak tergugat yang tidak hadir dengan sekaligus diingatkan tentang haknya untuk mengajukan perlawanan dalam waktu serta dengan cara seperti ditentukan dalam pasal 163 kepada pengadilan negeri yang sama.
(4)Oleh panitera, di bagian bawah surat keputusan pengaduan negeri tersebut dibubuhkan catatan tentang siapa yang ditugaskan untuk memberitahukan keputusan tersebut dan apa yang telah dilaporkannya baik secara tertulis maupun secara lisan. (IR. 125.)

Pasal 150,151,152,153 RBg
Pasal 150
Dalam kejadian-kejadian seperti tersebut dalam dua pasal terdahulu, sebelum mengambil sesuatu keputusan, maka ketua pengaduan negeri dapat memerintahkan untuk memanggil sekali lagi pihak yang tidak hadir agar datang menghadap pada hari yang ditentukan dalam sidang itu, sedangkan bagi pihak yang hadir penentuan hari itu berlaku sebagai panggilan untuk menghadap lagi. (IR. 126.)

Pasal 151
Bila di antara beberapa tergugat ada seorang atau lebih yang tidak datang menghadap dan tidak ada yang menjadi wakilnya, maka pemeriksaan perkara ditunda sampal suatu hari yang ditetapkan sedekat mungkin. penundaan itu di dalam sidang itu diberitahukan kepada pihak-pihak yang hadir dan pemberitahuan itu berlaku sebagai panggilan, sedangkan tergugat-tergugat yang tidak hadir diperintahkan agar dipanggil lagi. Kemudian perkara diperiksa dan terhadap semua pihak diberikan keputusan dalam satu surat putusan yang terhadapnya tidak dapat diadakan perlawanan. (RBg. 1925; Rv. 8i, IR. 127.)
 
Pasal 152
(1) putusan-putusan tanpa kehadiran tergugat (verstek) tidak dapat dilaksanakan sebelum lewat empat belas hari setelah diperingatkan seperti dimaksud dalam pasal 149.
(2) Dalam keadaan yang mendesak, pelaksanaan putusan dapat diperintahkan sebelum tenggang waktu itu lewat, baik hal itu dengan menyebutnya dalam surat keputusan maupun atas perintah ketua sesudah putusan diucapkan berdasarkan permohonan tertulis ataupun lisan dari penggugat. (Rv. 82; IR. 128.)
 
Pasal 153
(1)Tergugat yang perkaranya diputus tanpa kehadirannya dan tidak dapat menerima putusan itu dapat mengajukan perlawanan.
(2)Jika pemberitahuan putusan itu telah diterima oleh orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat dilakukan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah pemberitahuan itu. Bila surat keputusan itu disampaikan tidak kepada orang yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan dapat diajukan sampai dengan hari kedelapan setelah diperingatkan menurut pasal 207, atau, bila ia tidak datang menghadap untuk diberitahu meskipun telah dipanggil dengan sepatutnya, terhitung sampai dengan hari kedelapan setelah perintah tertulis seperti tersebut dalam pasal 208 dilaksanakan. (Rv. 83.)
(3)(s.d.t. dg. S. 1939-715.) pengadilan negeri berwenang dalam keputusannya untuk memperpanjang menurut keadaan tenggang-tenggang waktu seperti tersebut dalam ayat di muka.
(4)Tuntutan perlawanan disampaikan dan diperiksa dengan cara yang biasa berlaku untuk gugatangugatan perdata biasa.
(5)Pengajuan tuntutan perlawanan kepada ketua mencegah pelaksanaan keputusan-keputusan, kecuali bila ditentukan dalam surat keputusannya agar dilaksanakan meskipun ada perlawanan.
(6)Pelawan yang membiarkan diri diputus lagi tanpa kehadirannya dan mengajukan tuntutan perlawanan lagi, tuntutan itu akan dinyatakan tidak dapat diterima. (IR. 129.)
 
Pasal 154
(1)Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.
(2)Bila dapat dicapai perdamaian, maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.
(3)Terhadap suatu keputusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding.
(4)Bila dalam usaha untuk mendamaikan para pihak diperlukan campur tangan seorang juru bahasa, maka digunakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal berikut. (Rv. 31; IR. 130.)

Pihak tergugat yang tidak pernah hadir dalam persidangan akan diberikan putusan verstek dan pihak tergugat dapat atau diperbolehkan mengajukan perlawanan verstek dalam tingkat banding terhadap putusan verstek dengan jangka waktu selama 14 hari terhitung setelah adanya putusan verstek. Diatur dalam pasal 125; 1 dan 3 / pasal 128; 1 / pasal 129; 1,2,3,4 HIR JO / Pasal 149;3 / pasal 151;1 dan 2 RBg.

Isi Putusan
Isi putusan hakim dalam persidangan hukum acara perdata di pengadilan diatur dalam HIR Pasal :

·      Pasal 178,182,184,185,187 HIR
Pasal 178
(1)Pada waktu bermusyawarah, hakim, karena jabatannya, wajib melengkapi segala alasan
hukum yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (RO. 39, 41; IR. 184.)
(2)Hakim itu wajib mengadili semua bagian tuntutan.
(3)Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut. (Rv. 50.)
Pasal 182
(s.d. u. dg. S. 1927-248jo. 338.) Hukuman membayar biaya perkara tidak boleh melebihi:
1. biaya kantor panitera pengadilan dan biaya meterai, yang perlu dipakai dalam perkara itu;
2. biaya saksi, ahli dan juru bahasa, terhitung juga biaya sumpah mereka itu, dengan pengertian, bahwa pihak yang minta supaya diperiksa lebih dari lima orang saksi tentang satu kejadian tidak boleh menuntut pembayaran biaya kesaksian yang lebih itu kepada lawannya;
3. biaya pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang bersangkutan dengan perkara itu;
4. gaji pegawai yang disuruh melakukan panggilan, pemberitahuan dan segala surat juru sita yang lain;
5. biaya tersebut pada pasal 138 ayat (6);
6. gaji yang harus dibayar kepada panitera pengadilan atau pegawai lain karena menjalankan keputusan hakim; semuanya itu menurut peraturan dan tarif yang telah atau akan ditetapkan oleh pemerintah (Gubernur Jenderal), atau jika itu tidak ada, menurut taksiran ketua.

Pasal 184
(1)Dalam putusan hakim harus dicantumkan ringkasan yangjelas dari tuntutan dan jawaban serta dari alasan keputusan itu; begitu juga, harus dicantumkan keterangan tersebut pada ayat (14) pasal 7 "Reglemen susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili di Indonesia", keputusan pengadilan negeri tentang pokok perkara dan besarnya biaya, serta pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua belah pihak itu pada waktu dijatuhkan keputusan itu.
(2)Dalam putusan hakim yang berdasarkan peraturan undang-undang yang pasti, peraturan itu harus disebutkan. (RO. 7, 30 dst.; Rv. 61; Sv. 174; IR. 178 dst., 181 dst., 185 dst., 319.)
(3)Putusan hakim itu ditanda
Pasal 185
(1)Putusan hakim yang bukan putusan terakhir, sekalipun harus diucapkan dalam persidangan, tidaklah dibuat tersendiri, melainkan hanya dicatat dalam berita acara persidangan.
(2)Tiap-tiap pihak boleh meminta salinan-salinan otentik dari catatan itu atas biaya masingmasing. (Rv. 48; Sv. 420; IR. 184, 186 dst.)
Pasal 187
(1)Jika ketua tak dapat menandatangani keputusan hakim atau berita acara persidangan, maka penandatanganan dilakukan oleh anggota yang ikut serta memeriksa perkara itu, yang pangkatnya setingkat di bawah pangkat ketua.
(2)Jika Panitera pengadilan tak dapat menandatangani keputusan atau berita acara persidangan itu, maka hal itu harus disebutkan dengan tegas dalam berita acara persidangan itu. (RO. 52; Rv. 63; IR. 184, 186, 322.)

·      Pasal 61 RV
Pasal 61
(s. d. u. dg.  S. 1908-522.) Keputusan wajib diucapkan sendiri oleh hakim dan berisi: (RO.29; Rv. 47, 64 dst., 632; IR. 184; RBg. 195.)
1.   Nama-nama serta tempat tinggal para pihak serta nama-nama para pengacara, jika digunakan pengacara; (Rv. 8-1 dan 2; 106 dst.; S. 1853-64.)
2.   Pendapat akhir dari kesimpulan penuntut umum dalam hal ia didengar; (Rv. 322.)
3.   Pertimbangan para penasihat menurut pasal 7 RO. dalam perkara-perkara yang memerlukan nasihat mereka;
4.  Dasar pertimbangan-pertimbangan putusan, tentang kejadian-kejadian serta tentang hukumya, masing-masing sendiri dan keputusannya. (RO. 30 dst., 173; Rv. 50, 414; IR. 184.)
Pada akhimya disebut juga nama-nama hakim yang mengadili perkara serta penuntut umum yang mengikuti persidangan-persidangan. (RO. 121, 154; Sv. 174.)

·      Pasal 194, 195, 198 RBg
Pasal 194
Di dalam surat keputusan harus disebutkan:
1. biaya perkara yang harus dibayar oleh suatu pihak, tidak termasuk biaya yang timbul sesudah ada putusan, dan hal ini, jika perlu, akan diperhitungkan kemudian oleh ketua;
2. jumlah biaya, kerugian dan bunga, jika putusan itu mengandung penghukuman untuk membayarnya. (Rv. 607, 610; IR. 183.)
Pasal 195
(1) Keputusan hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-dasar keputusan itu dan apa yang dimaksud dalam pasal 7 RO. dan akhirnya putusan pengadilan negeri mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan mengenai para pihak mana yang hadir pada waktu putusan diucapkan.
(2)Keputusan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang pasti harus menyebutkan
peraturan-peraturan itu. (RO. 7, 30 dst.; Rv. 61.)
(3)Surat-surat keputusan ditandatangani oleh ketua dan panitera. (RO. 43;IR. 184.)
Pasal 198
(1) Jika ketua berhalangan untuk menandatangard surat keputusan atau berita acara di siding pengadilan, maka surat itu ditandatangarti oleh anggota sidang yang langsung ada di bawahnya yang ikut duduk dalam majelis.
(2) Jika panitera yang berhalangan, maka hal itu dengan tegas dicatat dalam surat keputusannya atau di dalam berita acara sidang. (RO. 52; Rv. 63; IR. 187.)

·      Pasal 50 dan 51 UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
Pasal 50
(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Pasal 51
Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan siding ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.
Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001
Pin BB :2988A894
kantorhukumkalingga@gmail.com
 

Rabu, 12 Maret 2014

Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (“BW”), dalam Buku III BW, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
 
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
 
1.    Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2.    Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3.    Bertentangan dengan kesusilaan
4.    Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
 
Mencermati perluasan dari unsur “melanggar hukum” dari Pasal 1365 BW tersebut di atas, dalam praktek, Pasal 1365 BW sering disebut sebagai pasal “keranjang sampah”. Demikian menurut Rosa Agustina.
 
Sedangkan, dalam konteks hukum pidana, menurut pendapat dari Satochid Kartanegara, “melawan hukum” (Wederrechtelijk) dalam hukum pidana dibedakan menjadi:
 
1.    Wederrechtelijk formil, yaitu apabila sesuatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
2.    Wederrechtelijk Materiil, yaitu sesuatu perbuatan “mungkin” wederrechtelijk, walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Melainkan juga asas-asas umum yang terdapat di dalam lapangan hukum (algemen beginsel).
 
Lebih lanjut, Schaffmeister, sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, hal. 168, berpendapat bahwa “melawan hukum” yang tercantum di dalam rumusan delik yang menjadi bagian inti delik sebagai “melawan hukum secara khusus” (contoh Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP), sedangkan “melawan hukum” sebagai unsur yang tidak disebut dalam rumusan delik tetapi menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana sebagai “melawan hukum secara umum” (contoh Pasal 351 KUHP). 
 
Pendapat dari Schaffmeister ini benar-benar diterapkan dalam hukum positif di Indonesia, contohnya dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi  (“UU Tipikor”). Dalam Pasal 2 UU Tipikor terdapat unsur melawan hukum, sedangkan dalam Pasal 3 UU Tipikor tidak dicantumkan unsur “melawan hukum”. Lebih jelas lagi dalam penjelasan Pasal 2 UU Tipikor disebutkan:
 
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana
 
Menjawab pertanyaan Anda mengenai perbedaan perbuatan “melawan hukum” dalam konteks Hukum Pidana dengan dalam konteks Hukum Perdata adalah lebih dititikberatkan pada perbedaan sifat Hukum Pidana yang bersifat publik dan Hukum Perdata yang bersifat privat. Untuk itu, sebagai referensi, saya akan mengutip pendapat dari Munir Fuady dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), terbitan PT. Citra Aditya Bakti (Bandung: 2005), hal. 22, yang menyatakan:
 
Hanya saja yang membedakan antara perbuatan (melawan hukum) pidana dengan perbuatan melawan hukum (perdata) adalah bahwa sesuai dengan sifatnya sebagai hukum publik, maka dengan perbuatan pidana, ada kepentingan umum yang dilanggar (disamping mungkin juga kepentingan individu), sedangkan dengan perbuatan melawan hukum (perdata) maka yang dilanggar hanya kepentingan pribadi saja.”
 
Dasar hukum:
1.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2.   Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3.   Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
4.  Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001
Pin BB :2988A894
kantorhukumkalingga@gmail.com

Arti Putusan Sela
Putusan sela merupakan putusan yang belum menyinggung mengenai pokok perkara yang terdapat didalam suatu dakwaan. Dalam hal ini berkaitan dengan suatu peristiwa apabila terdakwa atau penasihat hukum mengajukan suatu keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Dalam hukum acara pidana perihal mengenai putusan sela ini dapat disimpulkan dari Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Upaya-upaya hukum dalam hukum acara pidana dibedakan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
a.  Upaya Hukum Biasa, yang terdiri dari:
          1. Pemeriksaan tingkat banding pada Pengadilan Tinggi;
          2. Pemeriksaan tingkat kasasi pada Mahkamah Agung.
b.  Upaya Hukum Luar Biasa, yang terdiri dari:
1. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan umum, dimana  permohonannya diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya;
2. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kedudukan putusan sela berada pada pengadilan tingkat pertama, dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.

Berdasarkan Pasal 1 butir 32 KUHAP, terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.  Sementara suatu putusan sela terjadi pada saat diajukan oleh seorang terdakwa atau penasihat hukumnya.  Dalam hal ini seorang terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 butir 14 KUHAP).  Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu putusan sela terjadi pada saat seseorang masih dalam status menjadi seorang terdakwa bukan seorang terpidana.

Apabila seseorang telah menjadi terpidana, maka yang dapat dilakukannya untuk mengajukan keberatan adalah melalui upaya-upaya hukum yang telah diatur dalam KUHAP.

Terlebih lagi perlu untuk diperhatikan bahwa apabila Hakim menyatakan suatu putusan sela yang pada pokoknya menyatakan menerima keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas salah satu materi mengenai pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka dakwaan tersebut tidak akan diperiksa lebih lanjut.  Sebaliknya apabila Hakim menyatakan menolak keberatan terdakwa atau penasihat hukumnya atas salah satu materi sebagaimana dimaksud diatas, maka dakwaan tersebut akan dilanjutkan.
Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001
Pin BB :2988A894
kantorhukumkalingga@gmail.com