Jumat, 31 Oktober 2014



 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK MEREK DI INDONESIA

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Merek
Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Merek 2001 diberikan suatu definisi tentang merek yaitu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsure-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Selain menurut batasan juridis beberapa sarjana ada juga memberikan pendapatnya tentang merek, yaitu:
1. H.M.N. Purwo Sutjipto, S.H., memberikan rumusan bahwa, Merek adalah sutau tanda, dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan, sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis.
2. Prof. R. Soekardono, S.H., mmeberikan rumusan bahwa, Merek adalah sebuah tanda (Jawa: siri atau tengger) dengan mana dipribadikan sebuah barang tertentu, di mana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.
3. Essel R. Dillavou, Sarjana Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh PratasiusDaritan, merumuskan seraya memberikan komentar bahwa,Tidak ada definisi yang lengkap yang dapat diberikan untuk suatu merek dagang, secara umum adalah suatu lambang, simbol, tanda, perkataan atau susunan kata-kata di dalam bentuk suatu etiket yang dikutip dan dipakai oleh seorang pengusaha atau distributor untuk menandakan barang-barang khususnya, dan tidak ada orang lain mempunyai hak sah untuk memakainya desain atau trade mark menunjukkan keaslian tetapi sekarang itu dipakai sebagai suatu mekanisme periklanan.
Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun dari peraturan merek itu sendiri, secara umum penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis, juga sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Merek dagang adalah yang  merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. Merek jasa adalah merek yang dipergunakan pada jasa yang diperdagangkan, oleh sesorag atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk memedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya. Merek kolektif adalah merek yang diperguakan oleh pada barang dan atau Jasa dengan karakteristik yang sama, yang dipergunakan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Latar berlakang lahirnya Undang-undang Merek antara lain didasarkan munculnya arus globalisasi disegenap aspek kehidupan manusia, khususnya dibidang perekonomian dan Perdagangan. Perkembangan pesat didibang teknologi informasi dan trasnportasi mendorong tumbuhnya integrasi pasar perekonomian dan perdagangan dalam skala global. Era perdagangan global tersebut hanya dapat dipertahankan jika didukung oleh adanya iklim persaingan usaha yang sehat. Perlindungan hukum terhadap hak Merek merupakan salah satu cara untuk memperuat sistem perdagangan yang sehat.berdasarkan pertimbangan tersebut dan sejalan dengan perjanjian Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, maka diperlukan penyempurnaan Undang-Undang Merek lama, Undang Undang 19/1992 junto Undang-Undang 14/1997 dengan Undang-Undang Merek Terbaru ( Undang-Undang No.15 tahun 2001).
Ruang lingkup Merek meliputi Merek dagan dan Merek Jasa, merek dagang lebih mengarah kepada produk perdagangan berupa barang, sedangkan merek ajsa lebih terkait dengan produk perdaganga berupa jasa. Jamu sido muncul, permen tolak angin, Teh Botol Sosro, adalah contoh-contoh yang tergolong merek dagang. Sebaliknya, BNI Taplus, tabungan Britama, Deposito Mandiri, Tabungan Siaga, Kartu Simpati, Toyota rent dan lain-lain adalah contoh-contoh yang tergolong Merek Jasa. Disamping merek dagang dan merek jasa juga dikenal merek Koektif, merek kolektif dapat besasal dari suatu badan Usaha tertentu yang memiliki produk perdagangan berupa produk barang dan Jasa. Conto merek kolektif adalah merek Esia yang dimiliki perusahaan Bakrie Telecom yang digunakan untuk produk barang (Telepon esia/wimode) dan produk jasa (Kartu Perdana dan kartu isi ulang). 

B.    Perlindungan Hukum Terhadap Hak Merek di Indonesia
Perlindungan Hukum terhadap Hak Merek di Indonesia saat ini diatur berdasarkan Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek yang merupakan hasil Pembaharusan daru Undang-undang merek yang lama yaitu UU No19/1992 dan UU No. 14/1997. Didalam era perdagangan golobal, sejalan denga konvensi-konvensi Internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangant penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat, sehingga diperlukan aturan yang memadai tentang merek guna memberikan peningkatan pelayanan bagi masyarakat. Bagi dunia usaha, merek memiliki arti yang penting dan mahal. Merek bukanlah sekedar nama tetapi mencerminkan harga dari perusahaan tersebut, pengalaman perusahaan, dan jaminan mutu atas produk barang dan atau jasa yang dihasilkan perusahaan.
Merek juga mencerminkan tingkat kepercayaan konsumen terhadap suatu barang dan jasa. Produk dengan merek terkenal lebih mudah dipasarkan sehingga mendatangkan banyak keuntungan finansial bagi perusahaan. Berdasarkan alasan-alasan inilah, makaperlindungan Hukum terhadap Merek dibuhkan karena tiga Hal: a. Untuk menjamin adanya kepastia hukum bagi para penemu merek, pemilik merek atau pemegang hak merek;. b. Untuk mencegaah terjadinya pelanggaran dan kejahatan atas merek sehingga keadilan hukum dapat diberikan kepada pihak yang berhak, c. Untuk memberi manfaat kepada masyarakat agar masyarakat lebih terdorong untuk membuat dan mengurus pendaftaran merek usaha mereka.
Berkenaan dengan hak prioritas, dalam undang-undang No.15 tahun 2001 diatur bahwa apabila pemohon tidak melengkapi bukti penerimaan permohonan yang pertama kali menimbulkan hak prioritas dalam jagka waktu tiga bulan setelah berakhirnya hak prioritas, maka permohonan tersebut diproses seperti permohonan biasa tanpa menggunakan hak prioritas. Hal lain adalah berkenaan ditolaknya permohonan yang merupakan kerugian bagi pemohon. Untuk itu perlu pengaturan yang membantu pemohon untk mengetahui lebih jelas alasan penolakan permohonannya dengan terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa permohonan akan ditolak. Selain perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa diatur juga perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, atau faktor manusia atau ombinasi dari kedua faktor tersebut, yang memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Selain itu juga diatur mengenai indikasi asal. Selanjutnya meningat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha, maka penyelesian sengketa memerlukan badan peradilan Khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sejalan dengan itu, harus pula diatur hukum acara khusus untuk menyelesaikan masalah sengketa merek seperti juga bidang hak Kekayaan Intelektual lainnya. Adanya peradilan Khusus untuk menyelesaikan merek dan bidang Hak kekayaan Intelekual lainnya, juga dikenal dibeberapa Negara lain seperti Thailand. Dalam UU No. 15 tahun 2001 inipun pemilik merek diberi upaya hukum perlindungan hukum yang lain, yaitu denga wujud penetapan Sementara Pengadilan untuk melindungi mereknya guna mencegah kerugian yang lebih besar. Disamping itu, untuk memberikan kesempatan yang luas dalam penyelesaian sengketa merek, maka dalan Undang-Undang No. 15 tahun 2001 dimuat pula ketentuan tentang Arbitrase atau Alternatif penyelesaian sengketa (ADR). [1]
C.    Hak Atas Merek Sebagai Hak Kekayaan Intelektual

Sama halnya dengan hak cipta dan paten serta hak atas kekayaan intelektual lainnya maka hak merek juga merupakan bagian dari hak atas intelektual. Selain dari alasan yang telah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, maka khusus mengenai hak merek secara eksplisit disebut sebagai benda immateril dalam konsiderans UU Nomor 15Tahun 2001 tentang Merek (UUM 2001) bagian menimbang butir a, yang berbunyi:
“Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah diratafikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting terutama dlam menjaga persaingan usaha yang sehat”.

Merek produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan jenis produk itu sendiri. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasaan saja bagi pembeli, benda materilnyalah yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik, inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.

Jenis Merek

UUM Tahun 2001 ada mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 butir 2 dan 3 adalah merek dagang dan merek jasa. Jenis merek lainnya menurut Suryatin dibedakan berdasarkan bentuk dan wujudnya, antara lain yaitu:
1. Merek Lukisan (Bell Mark).
2. Merek Kata (World Mark).
3. Merek Bentuk (Form Mark).
4. Merek Bunyi-bunyian (Klank Mark).
5. Merek Judul (Title Mark).

Selanjutnya R.M. Suryodiningrat mengklasifikasikan merek dalam tiga jenis, yaitu:
1. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja;
2. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak pernah, setidak tidaknya jarang sekali dipergunakan;
3. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali digunakan.
Lebih lanjut Prof. Soekardono, S.H., mengemukakan pendapatnya bahwa, tentang bentuk atau wujud dari merek itu undang-undang tidak memerintahkan apa-apa, melainkan harus berdaya pembeda, yang diwujudkan dengan:
1. Cara yang oleh siapapun mudah dapat dilihat (Beel Mark).
2. Merek dengan perkataan (World Mark).
3. Kombinasi dari merek atas penglihatan dari merek perkataan.

Persyaratan Merek
Adapun syarat mutlak suatu merek yang harus dipenuhi oleh setiap orang ataupun badan hukum yang ingin memakai suatu merek, agar merek itu dapat diterima dan dipakai sebagai merek atau cap dagang, syarat mutlak yang harus diepenuhi adalah bahwa merek itu harus mempunyai daya pembedaan yang cukup. Dengan kata lain perkataan, tanda yang dipakai ini haruslah sedemikian rupa, sehingga mempunyai cukup kekuataan untuk membedakan barang hasil produksi sesuatu perusahaan atau barang perniagaan (perdagangan) atau jasa dari produksi seseorang dengan barang-barang atau jasa yang diproduksi oleh orang lain. Karena adanya merek itu barang-barang atau jasa yang diproduksi mejadi dapat dibedakan.
Menurut pasal 5 UUM Tahun 2001 merek tidak dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur di bawah ini:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama,kesusilaan atau ketertiban umum;
2. Tidak memiliki daya pembeda;
3. Telah menjadi milik umum;
4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran.

 D. Proses Permohonan Pendaftaran Merek
            Syarat dan tata cara permohonan pendaftaran merek meliputi:
1.      Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia kepada Ditjen HKI Departemen Hukum dan HAM dengan mencantumkan:
a)      tanggal, bulan dan tahun;
b)      nama lengkap, kewarganegaraan, dan alamat pemohon;
c)      nama lengkap dan alamat kuasa apabila pemohon diajukan melalui kuasa;
d)     warna-warna apanila merek ayng dimohonkan pendaftarannya mengguakan unsur-unsur warna;
e)      nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas.
2.      Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya;
3.      Pemohon dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum;
4.      Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya;
5.      Dalam hal permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan, dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka;
6.      Permohonan sebagaimana no. 5 tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebutdengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilinya;
7.      Dalam hal permohonan sebagaimana nomor 5 diajukan oleh kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani semu pihak yang berhak atas merek tersebut;
8.      Kuasa adalah Konsultas Hak Kekayaan Intelektual.[2]

Permohonan untuk dua kelas barang atau lebih atau dua kelas barang dan atau jasa dapat diajukan dalam satu permohonan. Permohonan tersebut harus menyebutkan jenis barang dan jasayang termasuk dalam kelas yang dimohonkan pendaftarannya. Permohonan yang diajukan oleh pemohon yang bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia wajib di ajukan melalui kuasanya di Indonesia. Permohonan jenis ini wajib menyatakan dan memilih tempat tingal kuasa sebagai domisili hukumnya di Indonesia.

Ditjen HKI melakukan pemeriksaan kelengkapan persayaratan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai Pasal 12 UU no 15 tahun 2001. Jika ada kekurangan persayaratan, maka Ditjen HKI meminta agar kelengkapan persayaratan tersebut dipenuhi paling lama dua bulan sejak tanggal pengiriman surat permintaan kelengkapan persayaratan. Jika berkaitan deng hak Prioritas, maka jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersbut paling lama tiga bulan sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan permohonan dengan Hak Prioriitas. Apabila kelengkapan persyaratan tidak di penuhi dalam jangka waktu yang ditentukan, maka Ditjen HKI memberitahukan secara tertulis kepada pemohon/kuasanya bahwa permohonannya dianggap ditarik kembali dan segala biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.

KESIMPULAN
A.               Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah ini adalah bahwa perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intellektual sangatlah penting, terlebih lagi terhadap Perlindungan Merek yang secara ekonomi Internasional sangantlah menunjang perekonomian dan perdagangan global, sebab dengan mereklah pemasaran dalam perekonmian global mudah dilakukan, apalagi terhadap merek yang sudah terkenal luas di dunia Internasional. Perlindungan terhadap Merek dalam skala internasional merupakan salah satu cara untuk memperkuat sistem perdagangan yang sehat.

B.  Saran
Bagi segenap pelaku ekonomi dan perdagangan yang sudah mempunyai merek yang dengan mudah dipasarkan dan mempunyai nilai jual yang baik, sebaiknya dilakukan permohonan untuk pendaftaran merek sebagai upaya perlindungan terhadap merek yang dimiliki dan untuk menjamin kepastian hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No.15 tahun 2001 tentang Merek.

Terimakasih  semoga bermanfaat
by. Sadam setia gultom


[1] Haryadi, Iawi. Prosedur Mengurus Haki yang Benar, Yogyakarta; Pustaka Yustisia. 2010, Hal. 87-91.

[2] Lihat Pasal 7 UU No 15 tahun 2001 tentang Merek.

PEMBUBARAN DPR SECARA KONSTITUSIONAL?

Perseteruan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan Koalisi Merah Putih (KMP) makin runyam setelah ada deklarasi pimpinan DPR tandingan. Terbelahnya dua kubu di parlemen hingga muncul DPR tandingan baru terjadi kali ini dalam sejarah Indonesia. Hal itu tak bisa dipungkiri sebagai buntut dari pelaksanaan Pilpres 2014.

Secara logika hal ini tentunya akan menghambat Kebijakan pemerintahana Jokowi – JK. selain itu, juga dapat menimbulkan Spekulasi Politik di masyarakat. Salah satunya spekulasi yang mungkin terjadi adalah Pembubaran Parlemen oleh Presiden melalui suatu Dekrit.

Wewenang pembubaran parlemen

Secara teoritis, dalam sistem presidensil, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen, begitu pula sebaliknya. Kekuatan utama dalam konsep sistem presidensil memang terletak pada prinsip pokok tersebut, terciptanya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.

Berbeda dengan yang terjadi dalam sistem parlementer dan sistem semi-parlementer di negara-negara non-monarki, presiden sebagai kepala negara (head of state) biasanya memiliki kewenangan untuk membubarkan parlemen dengan beberapa variasi prasyarat kondisi dan mekanisme prosedural. Pengaturan tersebut ditujukan untuk mengimbangi kekuasaan parlemen yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan kabinet, baik terhadap tiap anggota kabinet ataupun keseluruhan kabinet.

Prasyarat kondisi yang biasanya ditentukan dalam konsitusi adalah terjadinya kemacetan/kebuntuan politik antara eksekutif (kabinet) dan legislatif (parlemen). Gambaran sederhana di beberapa negara bila hal tersebut terjadi adalah, Perdana Menteri sebagai pimpinan kabinet, mengajukan permohonan kepada Presiden untuk membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum ulang bagi anggota parlemen.

Bila permohonan itu disetujui dan disahkan oleh Presiden, maka secara resmi anggota parlemen akan melepaskan jabatannya. Dan dalam waktu yang ditentukan, akan ada pemilihan ulang untuk memilih anggota parlemen yang baru. Administrasi pemerintahan rutin dan penyelenggaraan pemilu biasanya akan dipegang oleh kabinet demisioner sampai dengan parlemen baru terbentuk dan berhasil memilih perdana menteri dan kabinet yang baru. Prinsip yang dijunjung adalah keputusan akhir tetap ada di tangan rakyat.

Tiga model sistem pemerintahan yang utama, yakni presidensil, parlementer, dan semi-parlementer, dengan segala variannya merupakan konstruksi pengalaman sejarah politik yang panjang dari masing-masing negara demokrasi modern yang menganutnya. Walapun sebagian besar negara modern tetap mengacu pada model-model utama yang ada di negara penemunya, hampir bisa dipastikan tiap negara memiliki karakterisitk khas sesuai dengan sejarah dan dinamika sosial-ekonomi-politik dan budayanya masing-masing.

Namun demikian, masing-masing sistem memiliki latar belakang pemikiran dan orientasi politiknya yang secara prinsipil berlainan. Perbedaan ini pada gilirannya akan melahirkan kerangka sistem pemerintahan tertentu, yang diharapkan dapat menjamin seoptimal mungkin orientasi politik yang sudah ditetapkan. Jadi, sebuah model sistem pemerintahan tidak serta merta dapat dimodifikasi sesuai kepentingan politik jangka pendek, karena ia dibangun dalam satu kerangka yang utuh dan konsisten.

Dekrit Presiden di Indonesia

Secara tidak langsung spekulasi mengenai pembubaran DPR munujuk pada sejarah Dekrit Presiden Soekarno yang membubarkan konstituante. Apa referensi tersebut tepat?
Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno, sebagai kepala negara, mengeluarkan Dekrit Presiden yang bertujuan menyelesaikan kebuntuan dalam merumuskan undang-undang dasar. Pernyataan utama dari Dekrit adalah dibubarkanya Badan Konstituante hasil Pemilihan Umum Desember 1955, kembalinya konstitusi kepada UUD 1945, penarikan UUD 1950, dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945. Saat itu pula, berakhirlah masa kerja Badan Konstituante dan sekaligus pula sistem pemerintahan parlementer.

Selama masa Orde Baru, sejarah lebih sering mengedepankan catatan mengenai apa yang disebut dengan kegagalan konstituante daripada dinamika politik di belakangnya. Terhadap hal ini, Yusril Ihza Mahendra menyatakan (terlepas hal itu otoriter atau demokratis-Pen.) bahwa tindakan Soekarno tersebut merupakan revolusi hukum yang secara politik berhasil dipertahankan olehnya (Kompas: 31 Januari 01).

Yang perlu dicermati dalam kasus ini adalah sistem pemerintahan pada saat itu yang memang berbeda dengan sistem pemerintahan yang dianut sekarang. Walaupun tidak secara langsung memberikan wewenang tertentu kepada presiden, UUDS 1950 mengatur suatu sistem pemerintahan parlementer yang menyebabkan presiden memiliki tempat yang sangat berbeda dalam struktur politik dan ketatanegaraan dengan yang berlaku saat ini.

Bila ditilik secara rinci dalam dinamika politik yang berkembang pada masa itu, ada beberapa pertanyaan yang menarik untuk diangkat, yakni aktor/lembaga mana yang berinsiatif, dan prosedur hukum apa yang dilakukan?

Inisiatif utama dari Dekrit ini sepertinya tidak hanya berasal dari Presiden Soekarno (yang dalam masa genting ini sebenarnya sedang berada di Jepang), walaupun sangat mungkin diinspirasikan oleh beberapa pidato Soekarno untuk membubarkan parlemen pada tahun 1956. Dalam catatan sejarah, yang paling menonjol mengambil inisiatif ini ada tiga kelompok, yakni Angkatan Darat (dengan tokohnya Nasution), partai yang disokong oleh militer (IPKI), dan partai-partai (berhaluan non-islam) yang ada dalam parlemen dan badan konstituante. Selain itu ada juga peran pembantu yang dilakonkan oleh PM Djuanda.

Hampir bisa dikatakan Presiden Soekarno terkesan pasif. Karena selama terjadi dead-lock di konstituante. Dan selama ia masih di luar negeri, Kasad Jendral Nasution sebagai pemegang kekuasaan pusat hukum darurat, telah mengeluarkan maklumat yang melarang semua kegiatan politik dan menangguhkan semua rapat-rapat konstituante, sampai Soekarno pulang dari luar negeri, maklumat darurat ini  disetujui oleh PM Djuanda tanpa rapat kabinet (Nasution: 1995).

Usaha yang paling penting dari pengkondisian bubarnya konstituante ini adalah mosi pembubaran konstituante yang diajukan oleh IPKI dalam sidang konstituante yang terakhir, serta usulan dekrit presiden yang diajukan oleh BKSPM (Badan Kerja Sama Pemuda dan Militer) dan kawat Jenderal Sungkono (Anggota terkemuka dari Persatuan Veteran 45) kepada Presiden Soekarno (ibid).

IPKI dengan 18 partai radikal kecil juga kemudian menyatakan bahwa mereka tidak akan datang ke dalam sidang konsitituante lagi. Begitu juga PNI dan PKI yang menyatakan hanya akan datang ke sidang konstituante di Bandung dalam rangka pembubaran konstiutante. 

Peluang pembubaran DPR

Pembubaran parlemen secara teoritis maupun dalam praktek di Indonesia ternyata hanya terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dan sepertinya tidak masuk akal dilakukan secara konstitusional dalam sistem presidensil.

Penting untuk dicermati bahwa kondisi politik maupun sistem ketatanegaraan Indonesia sangat berbeda dengan tahun 1959. Sehingga apabila Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tetap berkeras untuk mengeluarkan Dekrit dengan mengacu pada Dekrit 1959, tindakan itu tidak akan dapat dibenarkan secara legal maupun secara politis.

Secara legal, tidak ada wewenang apapun yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan hal tersebut. Berbeda dengan UUDS 1950, UUD 1945 menyatakan bahwa hubungan DPR dan presiden adalah sejajar. Sementara undang-undang keadaan bahaya yang sempat diduga akan menjadi dasar hukum bagi tindakan ini juga ternyata tidak memberikan kewenangan kepada presiden untuk membubarkan DPR.

Sedangkan secara politis, harus terlebih dahulu diciptakan kondisi politik yang kemudian dapat melegitimasi tindakan tersebut. Tanpa adanya kondisi yang dapat melegitimasinya, maka sejarah akan mencatat tindakan itu sebagai tindakan inkonstitusional dari seorang diktator daripada suatu revolusi. Kondisi politik yang dapat melegitimasi tindakan itu adalah adanya keadaan darurat yang memaksa presiden untuk membubarkan DPR. Untuk itu, jelas dibutuhkan dukungan dari militer.

Reaksi langsung yang dapat dimunculkan oleh DPR adalah dengan melakukan pembangkangan, yang kemudian dapat berujung pada pengiriman memorandum kepada MPR untuk melaksanakan Sidang Istimewa (SI) guna menjatuhkan presiden dengan alasan melanggar konstitusi. Walaupun untuk sampai pada SI dibutuhkan waktu setidaknya empat bulan sejak dikirimkannya memorandum pertama,  implikasi politik yang ditimbulkannya akan cukup kuat untuk membalikkan kedudukan antara MPR dan Presiden.

Namun terhadap tindakan pembangkangan MPR ini, ada cara yang umum (berlaku di dunia ketiga) untuk mencegahnya, yaitu dengan penghentian secara militeristik segala aktivitas resmi parlemen dan mungkin juga aktivitas politik pada umumnya. Menurut para ahli tata negara, ini berarti suatu tindakan coup d'etat.

Hal yang paling mungkin dilakukan secara konstitusional adalah pembubaran DPR oleh para anggota DPR. Namun untuk sampai pada hal ini, perlu ada penggembosan di kalangan DPR sendiri untuk selanjutnya menyatakan mosi pembubaran DPR. Cara yang tidak umum terjadi dalam sistem presidensil, tapi juga tidak ada larangan yang menghambatnya secara konstitusional.

Selama masih ada kalangan anggota DPR yang tidak menyetujui pembubaran ini, maka DPR tidak dapat bubar secara institusional. Namun setelah ini, fungsi DPR tidak akan berjalan sebagaimana seharusnya, yang akhirnya akan menyebabkan DPR akan kehilangan legitimasi. Kemacetan politik yang dihasilkan akan mengarah pula pada kondisi yang memungkinkan presiden membubarkan DPR. Akibat sampingannya, konflik antara presiden dan DPR telah berhasil dipindahkan menjadi konflik internal DPR.

Apabila hal ini yang terjadi, maka akan terjadi konflik politik yang berkepanjangan. Dan karenanya, akan berujung pula pada nasib seluruh bangsa ini. Oleh karena itu, meski langkah ini memang  tidak mudah karena membutuhkan kekuatan politik yang besar, segala upaya politik yang menuju ke arah itu perlu dicermati.

Akhir dari seluruh uraian di atas, mungkin prinsip dasar demokrasi yang klasik perlu kembali diingat dalam hal ini. Keputusan akhir (harus) ada di tangan rakyat. Bukan hanya pemimpin dan wakil rakyat, bukan cuma rakyat yang terdidik dan terorganisir, melainkan rakyat Indonesia secara keseluruhan.


*Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol1816/pembubaran-dpr-secara-konstitusional