Selasa, 23 Juli 2013

KORELASI DAN PERMASALAHAN HUKUM HIBAH DAN WARISAN


KORELASI DAN PERMASALAHAN HUKUM
HIBAH DAN WARISAN




Hibah sebagai Fungsi Sosial

Hibah yang berarti pemberian atau hadiah memiliki fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat baik yang diberikan perseorangan maupun lembaga, cukup banyak riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW. beserta para sahabatnya memberi atau menerima sesuatu dalam bentuk hibah.

Dalam prakteknya ternyata Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya dalam memberi dan menerima hadiah tidak saja diantara sesama muslim tetapi juga dari atau kepada orang lain yang berbeda agama, bahkan dengan orang musyrik sekalipun. Nabi Muhammad SAW. pernah menerima hadiah dari orang Kisra, dan beliau pernah mengizinkan Umar Ibn Khatab untuk memberikan sebuah baju kepada saudaranya yang masih musyrik di Mekah.


Berkaitan dengan fungsi hibah sebagai fungsi sosial, maka Nabi Muhammad SAW. melarang keras untuk menarik kembali hibah yang sudah diberikan dan hukumnya haram, kecuali hibah orang tua kepada anaknya. Hal ini dapat difahami bahwa hibah yang ditarik kembali akan menimbulkan kebencian dan merusak hubungan sosial. Perumpamaan hibah yang ditarik kembali sebagaimana yang dinyatakan Nabi Muhammad SAW adalah seperti seekor anjing yang menjilati air liur yang sudah dimuntahkannya, sungguh suatu perumpamaan yang tidak menyenangkan.


Hibah sebagai Solusi Problem Hukum Waris Islam

Mengingat hibah sebagai fungsi sosial yang dapat diberikan kepada siapa saja tanpa mengenal ras, agama dan golongan, maka hibah dapat dijadikan solusi untuk memecahkan problem hukum waris dewasa ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum waris Islam apabila diterapkan apa adanya sesuai dengan ketentuan kitab fiqh klasik masih menyisakan berbagai masalah bila dihadapkhan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia, ada semacam ketidaksingkronan, diantaranya ahli waris non muslim tidak menjadi ahli waris dari pewaris muslim sehingga tidak akan mendapat harta warisan. Kedua, masyarakat Indonesia ada kecenderungan tidak ingin membedakan hak waris anak laki-laki dengan hak waris perempuan. Ketiga, anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi karena tidak memiliki hubungan kekerabatan.


Pertama, dasar hukum ahli waris non muslim tidak mewarisi pewaris muslim
Bagi masyarakat non muslim di Indonesia yang tunduk kepada hukum adat dan perdata Barat (BW) tidak menjadikan perbedaan agama sebagai halangan untuk saling mewarisi, sehingga apapun agamanya sepanjang dia memilik hubungan kerabat dekat tetap dijadikan sebagai ahli waris, tanpa kecuali yang beragama Islam, sebagaimana yang selama ini diterapkan di lingkungan Peradilan Umum. Berbeda dengan hukum waris Islam yang selama ini diterapkan di lingkungan Peradilan Agama, ahli waris non muslim tidak akan mendapat harta warisan dari pewarisnya yang muslim atas dasar hadis di atas. Demikin juga pasal 171 huruf b dan c KHI, menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris harus beragama Islam.

Apabila kondisi di atas tetap dipertahankan maka ada semacam ketidak adilan hukum yang perlu dicarikan solusinya, di antaranya adalah dengan hibah yang harus diberikan oleh orang tua (pewaris muslim) ketika masih hidup kepada ahli warisnya yang non muslim agar kegoncangan sosial dalam sebuah keluarga dapat dihindari, apabila pewaris telah terlanjur meninggal dunia, maka pemberian tersebut bisa dalam bentuk wasiat wajibah.

Perlu dicatat bahwa perbedaan agama dalam sebuah keluarga di Indonesia adalah merupakan suatu hal yang lumrah, apakah hal itu karena perkwinan beda agama atau karena salah satu dari keluarga tersebut berpindah agama, dari non muslim menjadi muslim atau muslim menjadi non muslim tetapi tidak jarang di antara mereka tetap mempertahankan keutuhan sebuah keluarga dengan tetap saling menghargai dan menghormati

Kedua, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan 2 :1 dianggap sudah final karena landasan hukumnya qat’i al-wurud dan qat’i al-dilalah sehingga tidak bisa ditafsirkan lain, tetapi kenyataan masyarkat muslim Indonesia ada kecenderungan tidak ingin membeda-bedakan pemberiannya baik terhadap anak laki-laki maupun anak perempuan, terlebih lagi dengan derasnya isu kesetaraan gender, yang berimplikasi terhadap pembagian harta warisan dengan tidak membeda-bedakan hak anak laki-laki dan anak perempuan, adapun kalangan masyarakat muslim yang tetap konsisten melakukan pembagian warisan 2 : 1 sepertinya lebih cenderung kepada bentuk kepatuhan dan ketaatannya terhadap ajaran agama, bukan dilandasi oleh kesadaran hukumnya, sehubungan dengan itu Bpk. Munawir Sajali di era tahun 80-an dalam rangka aktualisasi hukum Islam, pernah mengungkapkan bahwa banyak kalangan masyarakat muslim yang taat terhadap agamanya membagi-bagikan harta mereka sewaktu masih hidup kepada anak-anaknya tanpa membeda-bedakan bagian anak laki-laki dan perempuan sehingga yang menjadi harta warisan hanya sebagian kecil saja. Hal ini tiada lain hanyalah sebagai bentuk “menghindari (kelah)” dari sistem bagi waris 2 : 1 dan lebih mengarah kepada pembagian warisan 1 : 1.

Membagi-bagikan harta dengan bentuk hibah sewaktu pewaris masih hidup,, dengan maksud dan tujuan agar bagian anak laki-laki dan anak perempuan memperoleh bagian yang sama tidak dapat disalahkan, bahkan hal itu merupakan sebuah solusi dalam hukum waris Islam, bahkan ada riwayat dari al Thabrani dan al Bayhaqi dari Ibn Abas RA. katanya, Nabi SAW pernah bersabda :

 “ Samakanlah pemberian yang kamu lakukan terhadap anak-anakmu; dan sekiranya hendak melebihkan, maka hendaklah kelebihan itu diberikan kepada anak perempuan”.

Ketiga, anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi karena berdasarkan Al Quran Surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 anak angkat dan orang tua angkat tidak memiliki hubungan nasab, sehingga tidak memiliki hubungan kekerabatan, konsekuensinya anak angkat dan orang tua angkat tidak saling mewarisi. Tetapi dalam kehidupan masyarakat Indonesia hubungan anak angkat dan orang tua angkat tak ubahnya seperti anak kandung yang memiliki hubungan batin yang amat kuat, sehingga anak angkat disunatkan, disekolahkan bahkwan dikawinkan oleh orang tua angkatnya, sebaliknya anak angkat rela merawat dan mengurus orang tua angkat di masa tuanya tak ubahnya sebagai bagian dari sebuah keluarga. Kalau hubungan batin antara anak angkat dengan orang tua angkat demikian kuatnya, maka ketika orang tua angkat meninggal dunia dan anak angkat tidak mendapatkan harta warisan sedikitpun (karena bukan sebagai ahli waris), hal ini merupakan problem tersendiri. Oleh karena itu sebagai solusinya hendaknya orang tua angkat sewaktu hidupnya memberikan hibah kepada anak angkat tersebut, apabila sudah terlanjur meninggal dunia dapat ditempuh dengan pemberian wasiat wajibah untuk mendapatkan harta warisan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 209 KHI.


Korelasi Hibah dan Kewarisan

Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut, oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah
tidak akan mendapat harta warisan lagi.

Berkaitan dengan masalah di atas pasal 211 KHI telah memberikan solusi, yaitu dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat “ dalam pasal tersebut bukan berarti imperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang memperseoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.

Namun apabila masih ada permasalahan hukum maka penyelesaian adalah melalui Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang berbunyi:

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”

Demikian, semoga bermanfaat.


O l e h :
Drs. Dede Ibin, SH.
(Wkl. Ketua PA Rangkasbitung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar