Selasa, 20 Agustus 2013

HIBAH DAN WASIAT


HIBAH DAN WASIAT

(KAJIAN KOMPILASI HUKUM ISLAM, FIQIH DAN
 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA)






Hibah dan wasiat adalah perbuatan hukum yang mempunyai arti dan peristiwa yang berbeda dan sekilas tampaknya begitu sepele apabila dilihat dari perbuatan hukum dan peristiwanya sendiri. 
Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182). 
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Tidak prinsip memang antara yang lebih dahulu disebut atau dibahas antara hukum hibah dan hukum wakaf, namun sistematika pembahasan terhadap materi tersebut dalam tnini hukum hibah dan hukum wakaf dimulai membahas hibah, perbuatan hukum yang berlakunya setelah kematian pemberi wasiat. 
Hibah dan wasiat berdasarkan hokum Islam dalam konteks kompetensi absolut Badan-badan Peradilan di Indonesia adalah kewenangan Peradilan Agama (pasal 49 ayat(1) UUPA, sedang hibah dan wasiat didalam KHI merupakan pedoman bagi hakim Pengadilan Agama khususnya untuk menyelesaikan masalah-masalah berkenan bidang hukum yang terdapat didalamnya (Inpres nomor 1 Tahun 1990).. 
Hibah dan wasiat adalah hak mutlak pemilik harta yang akan dihibahkan atau yang akan diwasiatkan karena hukum Islam mengakui hak bebas pilih (Free Choise) dan menjamin bagi setiap muslim dalam melakukan perbuatan hukum terhadap haknya (Khiyar Fil-kasab). 
Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak. 
Oleh karena itu pula wasiat selalu didahulukan dari pembagian waris, tingkat fasilitasnya sama dengan membayar zakat atau hutang (jika ada) berkenaan dengan perbuatan hukum dan peristiwa hukum elaksanaan hibah dan wasiat yang tampak sepele sehingga karena dianggap sepele cenderung dilakukan tanpa perlu dibuatkan akta sebagai alat bukti. 
Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat berhubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum. 
Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. 
Hal ini mungkin karena hibah dan wasiat dianggap perbuatan baik, maka tidak diperlukan akta sebagai alat buktiatau nilai objek hibah dan wasiat tidak bernilai ekonomi tinggi, atau mungkin sudah dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku, dan kemungkinan lain karena tidak memiliki bukti (walaupun terjadi sengketa), maka tidak diselesaikan melalui Pengadilan Agama. 
Dengan demikian sulit mendapatkan putusan yang bernilai yurisprudensi (stare decicis) tentang penemuan hukum oleh hakim dibidang wasiat dan hibah ini untuk dianalisis dan kajian ilmia serta diuji dari metode dan teori hukum Islam. 
Hibah dan wasiat yang  diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214). Ketentuan wasiat yang diatur didalamnya menyangkut mereka yang berhak untuk berwasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidakboleh dalam wasiat.
Sedangkan ketentuan hibah diatur secara singkat yang terdiri dari 4 pasal. Meskipun ketentuan wasiat dan hibah telah diatur dalam KHI yang notabene merupakan transformasi dari ketentua syari’ah dan fiqih, namun karena jarang terjadi sengketa yang sampai diselesaikan di Pengadilan Agama, maka dengan sendirinya belum ada permasalahan hukum yang timbul diluar yang ditentukan dalam KHI. 
Lain halnya kalau dilihat dari pembahasan dalam kitab-kitab fiqih yang begitu detail dan antipatifnya pendapat Ulama Fiqih tentang kemungkinan-kemungkinan masalah yang timbul, sehingga lazim terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama fiqih dalam mengkaji setiap permasalahan yang terjadi.  
Hibah yang diatur dalam pasal 210 KHI dan fiqih dibatasi sebanyak-banyaknya 1/3 harta benda dari harta benda yang merupakan hak penghibah, malah Ibu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim menganjurkan sebanyak-banyaknya 1/4 dari seluruh harta, yaitu pemberian benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. 
Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). 
Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi (tahaaduu tahaabuu).
Dalam KHI disyaratkan penghibah sudah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat tanpa paksaan yang sama maknanya dengan kajian fiqih, bahwa anak kecil dan wali tidak sah menghibahkan, karena belum cukup umur (ahliyatul ada’al-kamilah) dan bagi wali karena benda yang dihibahkan bukan miliknya.Pelaksanaan hibahdisyaratkan ijab kabul, sedangkan dalam shadaqah dan hadiah tidak disyaratkan ijab kabul. 
Dalam pasal 211 KHI disebutkan hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Maksud dapat diperhitungkan berarti harta yang dihibahkan dapat dijadikan bagian waris yang bagian waris sendiri dapat lebih kecil karena karena sudah mendapatkan hibah. 
Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Pasal 212 KHI disebutkan hibah kepada anak dapat ditarik kembali. 
Ketentuan ini merupakan garis hukum islam berdasarkan hadits Rasulullah yang diwriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang pada intinya dapat dicabut secara sepihak, tetapi ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan apabila harta hibah sudah berganti tangan dalam bentuk benda lain. 
Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali. 
Pasal 213 KHI hibah yang diberikan pada pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematiannya harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya. 
Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). 
Ketentuan ini disepakati oleh Imam 4 mazdhab (Maliki,Hanafi,Hambali, dan Al-Syafi’i). melaksanakan hibah hukumna sunnah dan hukum berwasiat menurut Imam empat mazdhab pada asanya sunah berdasarkan kata yuridu (arab) dala hadits yang diriwayatkan Imam Maliki dari An-Nafi sebagai berikut :”Tidak ada hak bagi seorang Muslim yang mempunyai sesuatu yang (yuridis) ingin diwasiatkannya yang sampai bermalam dua malam, maka wasiat itu wajib tertulis baginya”. 
Para Imam empat mazdhab berpendapat bahwa berwasiat hendaknya sunah dengan alasan, karena tidak ada dalil yang menyatakan Rasulullah SAW dan para sahabatnya melaksanakanya. 
Namun demikian wasiat dapat beralih hukumnya wajib, mubah, dan makruh bahkan haram tergantung pada maksud dan tujuannya. 
1.Wajib apabila selama hidupnya belum melunasi kewajibannya terhadap Allah SWT, misalnya membayar kifarat, zakat atau haji maupun kewajiban terhadap manusia, misalnya hutang dan lainnya. 
2.Sunah adalah berwasiat kepada kerabat yang tidak mendapat warisan. 
3.Haram apabila berwasiat untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. 
4.Makruh apabaila yang berwasiat mengenai hal-hal yang dibenci agama. 
5.Mubah apabila berwasiat untuk kaum kerabat atau orang lain yang berkecukupan.
Sehubungan wasiat wajib atau wasiat wajibah adala wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum. 
Dasar hukum wasiat wjibah adala firman Allah SWT dalam surat Al-Baqoroh ayat 180, sehingga para ulama setelah masa tabi’in seperti Sa’idbin Musayyab, hasan bashri, Thawus, Imam Ahmad bin Hamabal, daud Az-Zhahiri,Ibu jarir Al-Tobari Ishaq bin Rahawaih, Ibnu hazm dan lain-lain berdasarkan hal ayat tersebut berpendapat wajib untuk berwasiat kepada kerabat yang tidak berhak mendapat waris karena terhijab oleh ahli waris yang lainnya. Tersebut bersifat muhkam, yang tetap berlaku bagi kerabat yang tidak mendapat bagian waris. 
Apabila seorang meninggal tanpa meninggalkan wasiat wajibah, Ibnu Hazm Cs membatasi hanya pada cucu sebanyak bagian ayah atau ibunya apabila keduanya masih hidupdan tidak boleh lebih dari 1/3 harta (Ibrahim Husen, 1985:24). 
Sebagaimana yang diketahui dalam hukum waris bahwa menurut pendapat jumhur posisi cucu di hijab oleh anak pewaris sehingga cucu yang orang tuanya (ayah atau ibu) meninggal dunia dihijab oleh pamannya (saudara ayah atau ibu) sedangkan pendapat lain yang tidak mu’tamad, tetapi mencerminkan rasa keadilan berpendapat seseorang yang meninggalkan anak tidak putus hak kewarisan anak atas hak orang tuanya yang meninggal dunia lebih dahulu dari orang tuannya, tetapi tetap tersambung meneruskan juarinnya (keturunannya). 
Tetapi berbeda ketentuannya antara wasiat wajibat dengan ahli waris pengganti (plaatsvervangend erfgenaam). Wasiat wajibah maksimal mendapat 1/3 bagian berdasarkan hadits Sa’ad bin Abi Waqqosh, bahkan menurut Ash-Shon’ani pengarang kitab Subulussalam para ulama sepakat membatasi wasiat 1/3. Kalaupun akan mewasiatkan hartanya lebih dari 1/3 harus seizin ahli waris. Tanpa seizin ahli waris wasiat lebih dari 1/3 batal demi hukum. 
Masalahnya belum ada peraturan perundang-undangan atau setidak-tidaknya perlu SKB antara Mahkamah Agung RI sebagai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan merupakan Pengadilan Negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman) dengan lembaga atau instansi pemerintah untuk menindaklanjuti putusan-putusan Pengadilan Agama. 
Putusan pengadilan deklarator, konstitutif maupun kondemnator pada asasnya melahirkan hukum baru terhadap peristiwa hukuhm yang diputuskan. 
Oleh karena itu mestinya dengan putusan Pengadilan Agama dalam perkara yang terkait dengan hibah atau harta kekayaan lainnya, instansi yang bersangkutan atau pejabat yang menangani harta kekayaan, misalnya Notaris, PPAT atau BPN terikat isi putusan pengadilan in casu Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain. 
Apabila putusan Pengadilan Agama dalam perkara hibah ini tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada para pihak dan pihak lain, maka dapat saja yang bersangkutan mempersulit atau mengingkari putusan tersebut, bahkan mengesampingkan putusan.
ADAPUN PERBEDAAN HIBAH DAN WASIAT
WARIS
HIBAH
WASIAT
Waktu
Setelah wafat
Sebelum wafat
Setelah wafat
Penerima
Ahli waris
ahli waris &
bukan ahli waris
bukan ahli waris
Nilai
Sesuai faraidh
Bebas
Maksimal 1/3
Hukum
wajib
Sunnah
Sunnah

BATAL HIBAH

Hibah dapat dikatakan batal demi hukum ataupun dapat dimintakan pembatalannya, tergantung dari syarat-syarat manakah yang dilanggar.Untuk menemukan konstruksi hukumnya, pasal 1320 BW secara garis besar harus dibaca sebagai berikut :Syarat syahnya perjanjian :

1.Sepakat ;

2.Cakap ;

3.Hal tertentu ;

4.Sebab yang halal.

Syarat

No.1/ Sepakat dan syarat

No.2/Cakap disebut sebagai syarat Subjektif yaitu syarat yang berkaitan atau ditujukan pada si subjek hukum atau orangnya; yang apabila tidak memenuhi syarat-syarat atau unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian dapat dimintakan pembatalannya.Sedangkan syarat

No.3/Suatu hal tertentu dan syarat

No.4/Sebab yang halal disebut syarat Objektif yaitu syarat yang ditujukan pada objek hukum atau bendanya.

Apabila tidak memenuhi syarat-syarat/ unsur-unsur tersebut maka suatu perjanjian batal demi hukum.Dengan demikian, apabila dikatakan suatu hibah batal demi hukum maka tidak perlu dilakukan permohonan pembatalannya kepada hakim (oleh si pemberi hibah) karena secara yuridis hibah tersebut tidak pernah ada dan konsekuensi-konsekuensi hukumnyapun tidak ada. Akan tetapi, apabila ada pelanggaran syarat No.1 dan No.2 maka dapat dimintakan pembatalannya oleh si pemberi hibah/ orang yang paling berhak.Sebagai catatan: kata dapat dalam terminologi hukum mengandung opsi yang ditujukan kepada si pemberi hibah / orang yang paling berhak untuk melakukan proses pembatalannya melalui hakim di pengadilan.2) Hibah yang terlanjur terproses dan penerima hibah adalah anak yang belum dewasa maka dikategorikan sebagai tidak cakap secara hukum; dalam hal ini hibah tersebut seharusnya disebutkan siapa pihak yang ditunjuk sebagai walinya sampai anak berusia dewasa atau telah menikah. Pertanyaan apakah diperlukan penetapan pengadilan bagi orang tua untuk mengembalikan objek hibahnya maka, kembali kepada unsur No.2/Cakap sebagaimana telah diterangkan diatas maka hibah dapat dimintakan pembatalannya melalui hakim di pengadilan.

ADAPUN YURISPIDENSI YANG MENGATUR HIBAH

Hibah
Bahwa seseorang yang mendalilkan mempunyai hak atas tanahberdasarkan hibah tersebut  sebagaimana dimaksud oleh pasal 210 ayat (1) KHI dan apabila diperoleh berdasarkan hibah  maka segera tanah tersebut dibalik namakan atas nama penerima hibah jika tidak demikian kalau timbul sengketa dikemudian hari maka status tanah tersebut tetap seperti semula kecuali benar benar dapat dibuktikan perubahan status kepemilikannya;

Putusan No. 27 K/AG/2002 tanggal 26 Februari 2004
Himpunan Putusan  yang telah berkekuatan hukum tetap dalam bidang perdata Agama MARI,  2009, hal, 765

Keputusan Mahkamah Agung No. 225 K/Sip/1960 tanggal 23 Agustus 1960,
yang menyatakan bahwa hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris.

Pemberian hibah tidak boleh mengakibatkan ahli waris menjadi tidak berhak atas harta penginggalan si pewaris
426 K/ Sip/1963 = Hibah dilarang apabila mengakibatkan hilangnya hak ahli waris dari anak sah pewaris

BATALNYA HIBAH

Pertimbangan Pengadilan Tmggi yang dibenarkan Mahkamah Agung:
Pasal 124 ayat 3 K.U.H. perdata melarang suami untuk menghibahkan sebagian dari harta bersama tanpa persetujuan istrinya, kecuali untuk memberikan suatu kedudukan kepada anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka.

Barang gono gini harus jatuh kepada anak kandung bukan kepada anak gawan, oleh karena itu hibah tanpa sepengetahuan yang berkepentingan patut dibatalkan.
Yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 400 K/Sip/1975
Terbit : 1977-1
Hal. 98-105


Penghibahan yg dilakukan oleh almarhum kepada ahli waris-ahli warisnya dengan merugikan ahli waris lainnya (karena dengan penghibahan itu ahli waris lainnya tidak mendapat bagian) dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan, karena bertentangan dengan peri keadilan dan Hukum Adat yang berlaku di daerah Priangan.
Yurisprudensi Mahkamah Agung
No. 391 K/Sip/1969
Terbit : 1970
Hal. 289



Tidak ada komentar:

Posting Komentar