Rabu, 30 Oktober 2013

Joint Venture dari Sisi Hukum Positif di Indonesia


 Joint Venture dari Sisi Hukum Positif di Indonesia




Joint venture merupakan salah satu bentuk kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing melalui usaha patungan untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Joint venture atau usaha patungan ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman modal asing (“PMA”) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal  (“UU Penanaman Modal”).

Berdasarkan Pasal 27 UU Penanaman Modal, maka Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal ini dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). BKPM merupakan lembaga independen non-departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Presiden kemudian menetapkan Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 3 September 2007 (“Perpres No. 90/2007”).

Sesuai dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres No. 90/2007, maka BKPM memiliki tugas utama untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, BKPM mengeluarkanPeraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal pada 23 Desember 2009 (“Perka BKPM No. 13/2009”). Pengendalian Pelaksanaan Modal ini dimaksudkan untuk melaksanakan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal.

Tujuan dari pengendalian pelaksanaan modal ini adalah agar dapat:

i.        memperoleh data perkembangan realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
ii.       melakukan bimbingan dan fasilitasi penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
iii.     melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan.

Dengan demikian, diharapkan tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanaan penanaman modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal.


Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture dan Badan yang Berwenang Melakukan Pengawasan

Pengawasan pelaksanaan penanaman modal diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No. 13/2009 dilakukan melalui:
(i)     penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii)   pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.

Badan yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal tersebut adalah:
a.      Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (“PDKPM”) terhadap seluruh kegiatan penanaman modal di kabupaten/kota;
b.      Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (“PDPPM”) terhadap penanaman modal yang kegiatannya bersifat lintas kabupaten/kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan pemerintahan provinsi;
c.      BKPM terhadap penggunaan fasilitas fiskal penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah;
d.      instansi teknis terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha.

Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana disebut di atas, PDKPM melakukan koordinasi dengan instansi daerah terkait. Sedangkan PDPPM melakukan koordinasi dengan PDKPM dan instansi daerah terkait, di mana BKPM melakukan koordinasi dengan PDKPM, PDPPM dan instansi daerah terkait.

Dalam hal-hal tertentu, BKPM dapat langsung melakukan pemantauan, pembinaan dan pengawasan atas kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi atau kabupaten/kota. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Perka BKPM No. 13/2009. Perka BKPM ini kemudian diubah denganPeraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal (“Perka BKPM No. 7/2010”).


Metode Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture

Dalam melaksanakan joint venture di Indonesia, maka setiap PT PMA yang telah mendapat Pendaftaran Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman Modal dan/atau Persetujuan Penanaman Modal dan/atau Izin Usaha wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (“LKPM”) secara berkala kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, Kepala PDPPM dan Kepala PDKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (7) Perka BKPM No. 7/2010 jo. Pasal 15 ayat (c) UU Penanaman Modal.


Metode pelaporan LKPM tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Bagi PT PMA yang masih dalam tahap pembangunan, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi setiap tiga bulanan atau per triwulan yaitu:
1.      LKPM triwulan I untuk periode pelaporan Januari sampai dengan Maret, disampaikan paling lambat pada 5 April bulan yang bersangkutan;
2.      LKPM triwulan II untuk periode pelaporan April sampai dengan Juni, disampaikan paling lambat pada 5 Juli bulan yang bersangkutan;
3.      LKPM triwulan III untuk periode pelaporan Juli sampai dengan September, disampaikan paling lambat pada 5 Oktober bulan yang bersangkutan; dan
4.      LKPM triwulan IV untuk periode pelaporan Oktober sampai dengan Desember, disampaikan paling lambat pada 5 Januari tahun berikutnya.
b.      Bagi PT PMA yang telah memiliki Izin Usaha, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi per enam bulan atau per semester yaitu:
1.      LKPM semester I untuk periode pelaporan Januari sampai dengan Juni, disampaikan pada minggu pertama Juli bulan yang bersangkutan; dan
2.      LKPM semester II untuk periode pelaporan Juli sampai dengan Desember, disampaikan pada minggu pertama Januari tahun berikutnya.
c.      Bagi PT PMA yang memiliki kegiatan penanaman modal lebih dari satu kabupaten/kota wajib menyampaikan LKPM untuk masing-masing kabupaten/kota.
d.      Bagi PT PMA yang memiliki beberapa bidang usaha wajib merinci realisasi investasi untuk masing-masing bidang usaha dalam LKPM.


Dengan adanya LKPM ini, maka segala perkembangan realisasi investasi dan produksi dari PT PMA dapat diawasi oleh BKPM yang kewenangannya dapat didelegasikan kepada PDKPM atau PDPPM yang terkait. LKPM ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan:
(i)     penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii)   pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.

Apabila PT PMA tidak menyampaikan kewajiban menyampaikan LKPM, maka PT PMA dapat dikenakan sanksi administratif di antaranya pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
         1.         UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
         2.         Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
         3.         Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010


Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 082220117918 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar