Jumat, 22 Agustus 2014

DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU




Dewan Kehormatan Pemilihan Umum (DKPP) adalah sebuah lembaga yang dibentuk untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitas penyelenggara Pemilu. Yang dimaksud penyelenggara Pemilu adalah anggota KPU, anggota Bawaslu, dan segenap jajarannya, termasuk jajaran pada sekretariat masing-masing. Untuk memastikan para penyelenggara Pemilu tetap terjaga kemandirian, integritas, dan kredibelitasnya, maka DKPP menitikberatkan pelaksanaan praktis asas-asas penyelenggara Pemilu, sebagaimana dimaktub di dalam UU No. 15 Tahun 2011, meliputi asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Produk dari pelaksanaan tugas dan wewenang DKPP adalah Putusan. Sesuai ranah kewenangan DKPP, Putusan DKPP berupa pengenaan sanksi atau rehabilitasi. Penetapan Putusan ini yang diambil dalam suatu rapat pleno DKPP yang bersifat tertutup. Pleno DKPP baru akan memutuskan ketika pemeriksaan dalam persidangan telah dianggap cukup melakukan pemeriksaan pengaduan, mendengarkan pembelaan dan keterangan saksi-saksi, serta memperhatikan bukti/dokumen tertulis, dan mempelajari bukti dan alat-alat bukti yang disertakan. Prinsip dari peradilan etika yang dikembangkan ini adalah semua orang didengarkan (audi et alteram partum). Sanksi yang dapat diterbitkan DKPP adalah berupa Teguran Tertulis, Pemberhentian Sementara, dan Pemberhentian Tetap alias pemecatan.

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan bangsa melalui peningkatan kualitas demokrasi maka diperlukan institusi-institusi negara untuk mengawal proses penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilu Kada di seluruh Indonesia. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Republik Indonesia atau disingkat DKPP RI merupakan lembaga yang dibentuk dalam praktek demokrasi modern di Indonesia. DKPP merupakan produk wacana perbaikan kualitas demokrasi khususnya penyelenggaraan Pemilu. Pemilu seakan-akan menjadi beban sejarah politik tersendiri bagi perubahan, bahkan begitu berharganya Pemilu dibutuhkan lembaga khusus yang permanen melakukan penegakan kode etik guna menghasilkan Pemilu yang tidak saja luber jurdil tapi mewujudkan proses dan hasil pemimpin yang betul-betul bermartabat.
Keberadaan DKPP bukanlah hal baru karena sebelumnya sudah ada yang namanya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) sejak 2008. DK KPU adalah institusi ethic difungsikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran kode etik bagi penyelenggara.Namun, wewenangnya tidak begitu kuat, lembaga ini hanya difungsikan memanggil, memeriksa, dan menyidangkan hingga memberikan rekomendasi pada KPU dan bersifat ad hock.
DK KPU 2008-2011dari sisi kompetensi keanggotaan cukup baik tetapi dari aspek struktural kurang balances karena didominasi oleh penyelenggara Pemilu. DK KPU beberapa kali dipimpin oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., dan prestasinya pun tidak mengecewakan publik termasuk pemerintah dan DPR memberikan apresiasi yang positif. Terobosan memberhentikan beberapa anggota KPUD Provinsi/Kabupaten/Kota termasuk salah satu mantan anggota KPU 2010 memberi harapan baru bagi publik pada perubahan.
Dari prestasi yang baik dan dengan menampilkan performa kelembagaan DK KPU yang produktif di mata publik inilah yang kemudian menjadi titik tolak lahirnya institusi DKPP. Pemerintah, DPR, lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga pemantau Pemilu sontak mendorong misi mulia ini dengan meningkatkan kapasitas wewenang dan memastikan institusi ini jadi tetap dan tidak hanya menangani kode etik pada KPU tapi juga Bawaslu di tiap tingkatan lewat produk hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu.
DKPP secara resmi lahir pada tanggal 12 Juni 2012 dengan komposisi keanggotaan yang cukup membanggakan. Lima anggota DKPP periode 2012-2017 ini terdiri dari tiga perwakilan unsur DPR yakni Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Nur Hidayat Sardini, S.Sos., M.Si., dan Saut Hamonangan Sirait, M.Th., sedangkan unsur pemerintah Prof. Abdul Bari Azed dan Dr. Valina Singka Subekti, serta dari unsur penyelenggara KPU dan Bawaslu, Ida Budhiati, SH., MH., dan Ir. Nelson Simanjuntak.
Track record kelimanya tidak diragukan, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., misalnya, sejak 2008-2011 jadi ketua DK KPU, Nur Hidayat Sardini pernah jadi ketua Panwas Provinsi terbaik di Indonesia, dan pernah pula jadi ketua Bawaslu, sedangkan Saut Hamonangan Sirait pernah jadi anggota Panwas Provinsi Jateng dan sempat jadi anggota KPU Pusat, sementara Dr. Valina Singka Subekti merupakan mantan anggota KPU 2004, dan Prof. Abdul Bari Azed beberapa kali jadi Dirjen Kemenkumham RI, dan Ida Budhiati mantan anggota KPUD Provinsi Jateng serta Nelson Simanjuntak sebelumnya aktif sebagai tenaga asistensi di Bawaslu.
Sejak dibentuk, DKPP langsung aktif bergerak cepat, kreatif, profesional, dan produktif, namun tetap dalam bingkai amanat UU. Kelimanya menyadari betul betapa jalan terjal yang harus dilalui mereka dalam rangka menegakkan harkat dan martabat politik bangsa khususnya melalui penyelenggaraan Pemilu. Mereka juga berkomitmen terus meningkatkan kapasitas penyelenggara Pemilu dari dimensi SDM dan infrastruktur guna terwujudnya kualitas bangsa dalam berdemokrasi dengan tujuan menghasilkan pemimpin bangsa yang amanah

            Berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).

Berdasarkan ketentuan UU tentang Pemilu, dalam penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu menurut Pasal 23E UUD 1945 adalah “komisi pemilihan umum” (dengan huruf kecil), tetapi oleh undang-undang dijabarkan menjadi terbagi ke dalam 2 kelembagaan yang terpisah dan masing-masing bersifat independen, yaitu “Komisi Pemilihan Umum” (dengan huruf Besar) atau KPU, dan “Badan Pengawas Pemilihan Umum” atau BAWASLU (Bawaslu).  Tugas dan kewenangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum) berkaitan dengan orang per orang pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan di tingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi. Namun, dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap atau pun yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc.
Yang bekerja secara tidak tetap, misalnya, adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di KPU atau yang bekerja di Bawaslu. Sedangkan yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc, misalnya, adalah Ketua dan Anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kabupaten/kota atau pun petugas.
             Didalam Pasal 110 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum menjelaskan bahwa DKPP menyusun dan menetapkan satu kode etik untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN serta Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri.
            DKPP memiliki tugas dan wewenang untuk menegakkan dan menjaga kemandirian, intregitas, dan kredibilitas penyelenggara Pemilu. Secara lebih spesifik, DKPP dibentuk untuk memeriksa, megadili, dan memutuskan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan anggota KPU, anggota Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Tugas DKPP berdasarkan peraturan dewan kehormatan penyelenggara pemilihan umum  nomor 2 tahun 2012  tentang  pedoman beracara kode etik penyelenggara pemiilihan umum:
1.      Menerima pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Penyelenggara Pemilu;
2.      Melakukan penyelidikan, verifikasi, dan pemeriksaan pengaduan/laporan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu yang berbunyi:
3.      Menetapkan Putusan; dan
4.       Menyampaikan Putusan kepada pihak terkait untuk ditindak lanjuti.

Sementara itu dalam rangka menjalankan tugas-tugasnya, DKPP memiliki kewenangan untuk:
1.      Memanggil penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
2.      Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan termasuk dokumen atau bukti lain; dan
3.      Memberikan sanksi kepada penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik.

Proses penyelenggaraan pemilu yang sedang berjalan, ada hal menarik dimana pemegang kekuasaan seperti KPU dan Bawaslu mengeluhkan sistem kerja DKPP dalam menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Singkatnya, keluhan tersebut karena DKPP kadangkala offside dan melahap porsi kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga lain. Bukti faktualnya yakni adanya putusan-putusan DKPP yang secara yuridis dan konseptual merupakan wilayah sengketa pemilu. Implikasi lanjutan dari putusan seperti ini adalah adanya akibat hukum berupa pengembalian hak konstitusional. Putusan dikeluhkan oleh Bawaslu, bahkan lebih jauh, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memberikan teguran ke DKPP bahwa putusan diluar terkait pelanggaran kode etik merupakan produk yang cacat hukum.
Komisi II DPR menganggap pertemuan itu digelar untuk meminta penjelasan atas putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Terutama, putusan yang memerintahkan KPU untuk memverifikasi faktual 18 partai politik yang tak lolos verifikasi administrasi. Anggota Komisi II DPR menganggap putusan DKPP itu melampaui kewenangan yang ditetapkan dalam Undang-UndangNomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Koordinator Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia menganggap DKPP telah membuat keputusan yang melampaui kewenangannya. Padahal, kewenangan DKPP sebatas memutuskan pelanggaran etika. Keputusan DKPP tersebut dapat mengancam tahapan pemilu dan menimbulkan ketidakpastian hukum, serta hancurnya wibawa penyelenggara pemilu di hadapan peserta pemilu.
DKPP tidak punya kewenangan untuk menentukan partai politik mana yang boleh dan tidak boleh mengikuti proses verifikasi faktual oleh KPU.
Keputusan DKPP yang memperbolehkan 18 partai politik mengikuti proses verifikasi faktual oleh KPU berarti membatalkan (ketetapan) keputusan KPU yang menyatakan 18 partai politik tidak lolos berdasarkan verifikasi administrasi oleh KPU.
Alasan atau pertimbangan DKPP mengikutsertakan 18 partai politik dalam proses verifikasi faktual adalah adanya pembangkangan, pemboikotan, dan ketidaktaatan jajaran sekretariat jenderal yang merupakan dissimilar process. Akibatnya, proses pendaftaran dan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014 menjadi terhambat dan dapat merusak proses dan hasil dari tahapan pendaftaran dan verifikasi administrasi partai politik peserta Pemilu 2014.
Hal tersebut menyebabkan terjadinya keraguan, kecurigaan, ketidakpercayaan, dan kemarahan parpol yang tidak lolos dalam verifikasi administrasi.
            Pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu telah mendapatkan porsi masing-masing dalam menyelenggarakan kekuasaan. Dalam takaran konstitusional, proses distribusi kekuasaan telah diberikan secara proporsional untuk mewujudkan check and balances. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan porsi sebagai penyelenggara pemilu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendapatkan porsi mengawasi dan menyelesaikan sengketa pemilu, sedangkan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mendapatkan porsi untuk menegakkan kode etik penyelenggara pemilu.
Tidak terlalu sulit untuk mengatakan demikian, karena menafsirkan norma di dalam Undang-Undang 15/2011 Tentang Penyelenggara Pemilu tidak perlu ilmu penafsiran hukum seperti yang dimiliki oleh para Negarawan di Mahkamah Konstitusi, karena memang Undang-Undang 15/2011 telah mengaturnya secara jelas dan tegas mengenai pembagian porsi kekuasaan a quo.
Penegasan pembagian porsi kewenangan ini penting untuk diketahui oleh publik. Mengingat hubungan konfliktual yang muncul diantara pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu. Salah satu penyebabnya adalah perebutan dan penambahan  porsi kekuasaan oleh salah satu lembaga, yang sebenarnya telah mendapatkan porsi yang sudah cukup sebagai lembaga supporting system dalam mewujudkan pemilu yang jujur, adil dan bertanggung jawab.
Penyebab diatas hanya merupakan sebiji benih yang berada di dalam lumbung kekuasaan. Terdapat juga benih konflik lainnya, diantaranya arogansi dan gengsi kelembagaan, profesionalisme dalam menjalankan kewenangan, khususnya terkait dalam penyelesaian permasalahan hukum pemilu yang mengharuskan adanya interaksi di antara pemegang kekuasaan penyelenggara pemilu. Bahkan bisa jadi, benih yang jangan sampai tumbuh subur adalah karena adanya kepentingan politik pemegang kekuasaan untuk merugikan dan/atau menguntungkan salah satu peserta pemilu, yang diujung lorongnya terdapat keuntungan ekonomi dan upaya pelanggengan jabatan sebagai pejabat publik.

Sistem pemilu apapun yang dipakai, upaya membentuk pemerintahan kuat dalam sistem pemerintahan parlementer lebih mudah dicapai karena parpol atau koalisi partai yang meraih kursi terbanyak di parlemen berhak membentuk pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah dalam sistem parlementer lebih mudah mencapai governability tinggi karena mereka mendapat dukungan mayoritas parlemen. Hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan presidensial, di mana soal governability pada sistem ini sering menghadapi masalah, akibat hasil pemilu legislatif sering tidak sejalan dengan hasil pemilu eksekutif. Atau, terjadi apa yang disebut dengan divided government atau pemerintahan terbelah, di mana presiden terpilih sering tidak didukung parlemen karena parpol atau koalisi parpol pendukung presiden terpilih tidak mampu meraih mayoritas kursi parlemen. Atau, legislatif didominasi oleh satu atau lebih parpol yang berbeda dengan parpol yang memegang kekuasaan eksekutif.
Perwakilan tiap daerah adalah anggota KPU, anggota KPU Provinsi, KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota, KIP Kabupaten/Kota, anggota PPK, anggota PPS, anggota PPLN, anggota KPPS, anggota KPPSLN, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan/atau anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri yang diduga melakukan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu. Para pihak dalam perselisihan hasil pemilu anggota DPR,DPD dan DPRD adalah:

a. Partai politik dan / atau perseorangan dalam peserta pemilu sebagai pihak pemohon ;
b. KPU sebagai pihak termohon.

Selain pihak termohon dan pemohon ada juga kemungkinan peserta pemilu yang menjadi pemohon berkepentingan terhadap perselisihan hasil pemilu. Biasanya diposisikan sebagai pihak terkait.
            Setelah itu pemeriksaan pengaduan dan/atau laporan, Verifikasi Materiel, Registrasi, dan Penjadwalan Sidang, lalu yang terakhir adalah persidangan sampai dengan selesai.
            Kerjasama antara DKPP, KPU, dan Bawaslu dengan pihak Kepolisian, baik sebagai aparat penegak hukum maupun sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sangat penting untuk dikembangkan. Tugas yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum secara teknis memang dikaitkan dengan komisi pemilihan umum dengan peran Bawaslu sebagai lembaga pengawasnya. Akan tetapi semua keputusan yang diambil, baik oleh KPU maupun Bawaslu dan juga oleh DKPP, semua berkenaan dan bersangkut paut dengan dinamika penyelenggaraan kompetisi politik yang diatur menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam iklim demokrasi yang baru dikembangkan selama lima belas tahun era reformasi, banyak sekali jabatan publik yang diperebutkan atau dikompetisikan, baik melalui pemilihan langsung melalui pemilu maupun pemilihan tidak langsung, yaitu melalui lembaga perwakilan rakyat.
Refleksi atas pemenuhan keadilan dalam Pemilu 2009 mesti dilakukan. Itu penting sebagai modal awal penataan system keadilan pemilu ke depan. Bagaimana melihat kelemahan dan tidak berjalannya sistem keadilan pemilu. Refleksi juga dilakukan untuk mengangkat kembali keberhasilan yang dicapai sehingga bisa diakomodir dalam penataan system ke depan. Identifikasi ini penting untuk menutup setiap kelemahan dengan harapan dalam Pemilu 2014 tidak kembali terulang. Atau paling tidak kebijakan yang akan disusun tidak salah arah atau justru menghilangkan keberhasilan sebelumnya.
            Refleksi tersebut paling tidak mencakup 3 (tiga) hal, khususnya terkait dengan apa yang akan dicapai dalam penyusunan kerangka system keadilan pemilu. Pertama, jaminan atas setiap tindakan, prosedur dan keputusan terkait proses pemilu, apakah telah sesuai dengan kerangka hukum atau tidak. Kedua, apakah system yang dirancang dalam pemilu 2009 telah memberikan perlindungan dan bahkan mampu memulihkan hak pilih seseorang jika dilanggar. Terakhir, sudahkah system keadilan pemilu membuka ruang bagi warga negara (pemilih) untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan dan mendapat kanputusan yang adil dalam hal hak pilih mereka terlanggar. Konsep keadilan pemilu tersebut diharapkan mampu memotret kondisi pemilu 2009. Apakah keadilan pemilu telah terkonsep dengan baik, begitu juga dengan implementasinya.
Dari segi penegakan hukum, Kepolisian juga dapat memahami dengan tetap apa dan bagaimana tugas KPU dalam menyelenggarakan pemilu dan apa dan bagaimana pula tugas Bawaslu dalam mengawasi pelaksanakaan pemilihan umum. Penting disadari bahwa kedudukan dan peranan Bawaslu menurut ketentuan UU yang baru, yaitu UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, agak berbeda dengan kedudukan dan peranan Bawaslu sebelumnya menurut UU No. 22 Tahun 2007. Sekarang Bawaslu disebut sebagai lembaga semi atau quasi judisial juga, yaitu di bidang administrasi penyelenggaraan pemilu.
            Demikian pula DKPP, juga merupakan lembaga semi-judisial atau quasi yudisial, khususnya di bidang etika penyelenggara pemilu. Penting untuk disampaikan dalam forum yang penting ini, ketika pertama kali anggota KPU diberhentikan dari jabatannya karena terbukti melanggar kode etik, yang bersangkutan merasa terhina dan merasa diperlakukan tidak menyenangkan, sehingga karena itu ia mengadukan Ketua dan para anggota KPU dan Ketua dan para anggota DK-KPU ke pihak kepolisian. Itu terjadi pada tahun 2009, yaitu menjelang pelaksanaan pemungutan suara pemilihan presiden secara langsung yang pertama kali dalam sejarah Republik Indonesia.

            Berdasarkan UU tentang Penyelenggara Pemilu, subjek yang dapat menjadi pihak yang berperkara di DKPP dapat mencakup pengertian yang luas dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam Peraturan tentang Pedoman Beracara DKPP, pengertian pihak yang dapat berperkara tersebut dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh DKPP. Lagi pula, DKPP juga perlu memberikan dukungan penguatan kepada KPU dan Bawaslu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri oleh KPU dan Bawaslu atau pun hal-hal yang semestinya ditangani dan diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu sendiri lebih dulu.
            Karena itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang secara langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat provinsi atau tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan pada tingkat kabupaten/kota lebih dulu harus diklarifikasi dan ditangani oleh KPU Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun laporan atau pengaduan terkait diajukan langsung oleh masyarakat, oleh partai politik atau pun oleh penyelenggara pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka laporan atau pengaduan tersebut akan diperiksa dan diselesaikan lebih oleh KPU atau Bawaslu melalui anggota anggota KPU atau anggota Bawaslu yang duduk sebagai anggota DKPP.
            Objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum. Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang dipertanggung-jawabkan juga secara individu orang per orang. 
            Dengan perkataan lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah individu, baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dapat dituduh melanggar kode etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagai institusi, tetapi orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau Bawaslu tersebut. Karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus mampu membuktikan apa saja yang telah dilakukan oleh orang per orang individu ketua atau anggota KPU atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
            Masalah penting yang sering kurang dipahami dengan baik atau kurang mendapat perhatian dalam perkembangan modern mengenai sistem peradilan adalah perspektif tentang keadilan restoratif (restorative justice). Pada umumnya, proses peradilan konvensional selalu dipahami dalam konteks paradigma keadilan retributif (retributive justice). Yang diutamakan dalam proses peradilan adalah sistem sanksi hukum yang bersifat menghukum, membalas dendam, melampiaskan sakit hati, atau menyalurkan kemarahan, baik korban dalam arti sempit ataupun korban dalam arti luas, yaitu masyarakat pada umumnya yang tidak puas, dan bahkan benci dan marah kepada penjahat yang telah melawan hukum dan merugikan masyarakat Dalam hukum pidana, tersedia sistem sanksi pidana mati, pidana penjara, pidana denda, dan sebagainya. Sedangkan dalam sistem peradilan etika diadakan sanksi teguran dan sanksi pemberhentian dari jabatan publik. Semua bentuk sanksi hukum maupun etika tersebut bersifat pembalasan dengan cara menghukum dan melampiaskan amarah.
Namun dewasa ini, teori pembalasan ini mendapatkan perlawanan yang semakin kuat dan kritis di kalangan para ahli, seiring makin berkembang-luasnya kesadaran baru mengenai standar-standar kemanusiaan global. Hukuman atau pidana mati semakin dipersoalkan dalam teori dan praktik, dan demikian pula sanksi penjara dipandang makin lama makin tidak efektif dalam mengendalikan kecenderungan perilaku menyimpang (deviant behaviors) dalam kehidupan masyarakat modern.
Di bidang pemberantasan korupsi, misalnya, semakin luas aspirasi mengenai pentingnya pengenaan sanksi perampasan harta kekayaan dengan menggunakan sistem pembuktian terbalik. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi, harus dirampas seluruh harta kekayaan yang dimilikinya, kecuali ia mampu membuktikan bahwa bagian-bagian mana dari harta kekayaan yang dimilikinya itu yang diperoleh dengan cara yang memang sah menurut hukum. Sistem sanksi yang demikian ini dianggap lebih bersifat memulihkan kerugian negara daripada sekedar melampiskan balasan sanksi penjara ataupun pidana mati bagi penjahat yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi tersebut. Dengan sistem sanksi perampasan harta tersebut, kepentingan kerugian kekayaan negara dapat dipulihkan sebagaimana mestinya, bukan sekedar melampiskan kemarahan kepada korupsi dan kepada koruptor.
Cara pandang keadilan restoratif ini merupakan warisan umat manusia dalam sejarah pra-modern yang cenderung mulai direvitalisasi kembali untuk kepentingan masa kini. Oleh karena itu, jika seseorang terbukti melanggar hukum, yang penting mendapat perhatian justru adalah nasib korban yang harus dipulihkan. Masalahnya kemudian jika dikaitkan dengan peradilan pidana dan peradilan etika penyelenggara pemilu yang tidak berkaitan dengan proses pemilu ataupun dengan hasil pemilu, melainkan hanya dengan perilaku etik dari aparat penyelenggara pemilu, timbul masalah yang boleh jadi belum saatnya dipertimbangkan mengenai relevansi dan urgensinya.
Untuk membantu KPU Provinsi, DKPP dapat saja menuangkan advis hukum mengenai hal itu dalam ‘ratio-decidendi’ atau pertimbangan putusan yang secara substantif dapat dipandang sebagai advis yang bersifat anjuran moral kepada KPU untuk bertindak. Bahkan, agar lebih tegas dan mudah dipahami, DKPP dapat pula berinovasi dengan menuangkan advis etik tersebut dalam rumusan amar sehingga memiliki daya ikat dan daya bimbing yang lebih kuat dan efektif.
            Namun demikian, inovasi semacam itu sangat rawan disalah-gunakan di satu segi, dan mudah pula mengundang kontroversi sebagai akibat reaksi pro dan kontra terhadap putusan DKPP. Mengapa demikian? Sebabnya ialah kesadaran mengenai pentingnya perspektif ‘restorative justice’ itu masih sangat tipis di kalangan masyarakat. Hukum pun masih dipahami hanya sebagai persoalan prosedur yang bersifat formal. Hukum hanya dipandang sebagai kata-kata tekstual, bukan dan belum dipahami sebagai instrumen keadilan yang bersifat substantif dengan memberikan solusi keadilan yang pasti dan kepastian yang adil. Inovasi semacam ini juga rawan disalahgunakan bagi pencari keadilan yang semu, yaitu DKPP rawan dimanfaatkan untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan dalam menghadapi keputusan KPU yang tidak menguntungkan bagi partai politik atau pun pihak-pihak terkait.
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara dan termasuk badan-badan peradilan terikat dan wajib melaksanakan putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi putusan DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu, atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait.
Putusan-putusan DKPP dan keputusan-keputusan administratif atau yang biasa dikenal sebagai keputusan-keputusan tata usaha negara yang melaksanakan putusan DKPP tersebut, tidak dapat dijadikan objek perkara di pengadilan, khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena menurut UU tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP itu bersifat final dan mengikat. Sifat final dan mengikat ini sudah dipahami bersama oleh Ketua dan semua unsur Pimpinan Mahkamah Agung dalam pertemuan bersama antara DKPP dan Pimpinan Mahkamah Agung beberapa waktu yang lalu. Bahkan hal tersebut sudah lebih dulu dikomunikasikan dengan pihak kepolisian dalam pertemuan konsultasi DKPP dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia. (808hr)


KANTOR HUKUM KALINGGA
 Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati
(024) 76670350
kantorhukumkalingga@gmail.com
kantorhukumkalingga@yahoo.com
kantorhukumkalingga.blogspot.com              


Tidak ada komentar:

Posting Komentar