Minggu, 27 April 2014

Mediasi Penal dalam Hukum Pidana


Upaya penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah ‘mediasi penal’ (penal mediation).

Sebagai salah satu dasar hukum Mediasi penal adalah Surat Kapolri Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.


SURAT KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NO. POL : B / 3022 / XII / 2009 / SDEOPS
Tertanggal 14 DESEMBER 2009
PERIHAL PENANGANAN KASUS MELALUI ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR)

Salah satu bentuk penyelesaian masalah dalam penerapan polmas adalah konsep Alternatif Dispute Resolution (ADR), yakni pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif selain melalui proses hukum atau non litigasi antara lain melalui upaya perdamaian.


Akhir – akhir ini banyak terjadi proses penegakan hukum terhadap kasus tindak pidana dengan kerugian yang sangat kecil menjadi sorotan media massa dan masyarakat, terkesan aparat terlalu kaku dalam penegakan hukum, berkaitan dengan hal tersebut, dapat mengambil langkah – langkah :

1.      Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian masyarakat ekonomi sangat kecil, penyelesaian dapat diarahkan melalui konsep adr;

2.      Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan  adr harus disepakati oleh pihak yang berperkara, namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai prosedur hukum yang berlaku secara proporsional dan professional;

3.      Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan adr harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan rt / rw setempat;

4.      Penyelesaian kasus pidana dengn menggunakan adr harus menghormati   norma hukum, sosial, adat yg berlaku serta memenuhi azas keadilan;

5.      Memberdayakan anggota polmas dan memerankan fkpm yg ada di wilayah masing – masing untuk mampu mengidentifikasi kasus pidana yang mempunyai kerugian materil, ekonomi sangat kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep adr;

6.      Untuk kasus yang telah diselesaikan melalui konsep adr agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dgn tujuan polmas;

Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain :mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der Auergerichtliche Tataus-gleich dan dalam istilah Perancis disebut de mediation pnale. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim-Offender Mediation (VOM), Tter Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA) Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi polisi atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat. Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.

Namun demikian terdapat pula beberapa Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia, yaitu:

a  Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR);

Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara  Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal:205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482,  surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;

b        Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan;

c         Tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor. 3/1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terhadap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali. (Pasal 5 UU No. 3/ 1997);

d        Undang-Undang Nomor. 39/1999 tentang Pengadilan HAM yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasar Kepres Nomor. 50/1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM (lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96);


Demikian, semoga bermanfaat demi kemajuan dan “kecerdasan” hukum di Indonesia.


Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati Juwana Km. 3 Pati

(024)76670350
0821 3875 4004
2AB48511


kantorhukumkalingga.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar