Jumat, 24 Oktober 2014




Masalah yuridis tentang perundang-undangan yang tidak menyebutkan secara jelas tentang Klualifikasi Delik “kejahatan dan pelanggaran” dalam Undang-undang yang terkait.

A.   Undang-undang No.9 tahun 1994 tentang perubahan  pertama atas Undang-undang No.6 tahun 1983, kemudian diubah dengan Undang-undang No 16 tahun 2000 perubahan kedua dan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.28 tahun 2007 tentang perubahan terakhir tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan.
Hal yang mendasar salah satunya adalah tentang tidak di sebutkankannya secara jelas tentang malasalah yuridis yang berkaitan dengan kualifikasi delik “kejahatan dan Pelanggaran”, serta pertanggungjawaban Korporasi dan juga masalah yang berkaitan dengan pembuat “dader”.
Berikut 3 masalah yuridis yang berkaitan dengan Undang-Undang tersebut diatas.
1.     Kebijakan Formulasi tentang Kualifikasi delik
Didalam Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan tata cara perpajakan disebutkan tentang kualifikasi delik, dan terdapat dalam pasal 42 ayat 1 dan ayat 2
Pasal 42
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 41 ayat
(1) adalah pelanggaran.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 41 ayat
(2) adalah kejahatan.

Sedangkan didalam Undang-undang No.9 tahun 1994 tentang perubahan  pertama atas Undang-undang No.6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum da Tata cara perpajakan tidak di sebutkan lagi tentang Kualifikasi delik baik itu “Pelanggaran” maupun “kejahatan” dimana Pasal 42 tersebut telah di hapus, sehingga tidak diketahui mana yang termasuk dalam kategori kejahatan dan mana yang termasuk kategori pelanggaran.


1.     Kebijakan formulasi tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

1.      Didalam Undang-undang No.9 tahun 1994 tentang perubahan  pertama atas Undang-undang No.6 tahun 1983, kemudian diubah dengan Undang-undang No 16 tahun 2000 perubahan kedua dan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.28 tahun 2007 tentang perubahan terakhir tentang Ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan tidak disebutkan dan tidak dijelaskan tentang Pertanggugngjawaban Korporasi yang melakukan Tindak Pidana, hanya saja didalam ketentetuan Pidana nya diatur tentang pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana perpajakan.
Ketentuan Pidana Pada BAB VIII Pasal 38 samapi dengan pasal 43 diatur tentang sanksi Pidana baik berupa Pidana pejara, Pidana Kurungan dan Pidana Denda terhadap Pelaku Tindak Pidana, tetapi tidak disebutkan atau tidak diatur yang berkaitan dengan saksi Pidana terhadap korporasi baik itu Siapa-siapa yang dipidana dalam suatu perusahaan dan bentuk Pidana terhadap korporasi tidak diatur (Pertangjawaban korporasi belum jelas).

2.     Kebijakan Formulasi tentang Pembuat (dader)
Dalam Pasal 43 disebutkan Pasal 38 dan pasal 39 berlaku juga bagi wakil, kuasa, Pegawai Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan demikian juga terhadap Pasal 41A dan Pasal 41B. Bahwa terhadap ketentuan tersebut didalam undang-undang ini tidak di atur yang berkaitan dengan siapa-siapa saja yang dimaksud dengan wakil, kuasa, Pegawai Wajib Pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, Undang-undang ini belum begitu  jelas mengatur tentang Pembuat “dader” sehingga masih merujuk kepada Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


B.    Undang-undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia
Masalah yuridis yang berkaitan dengan Undang-undang No.42 tahun 2009 tentang Fidusia  adalah dengan tidak disebutkannya yang berkaitan dengan kualifikasi delik “kejahatan dan pelanggaran”, serta masalah Yuridis tentang cara dan mekanisme eksekusi serta kekuatan “Eksekutorialnhya”


1.      Masalah Yuridis tentang Kekuatan Eksekutorial.
Pasal 15
1.      Dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2.      Sertifikat jaminan fidusia sebagaiman yang dimaksud pada ayat 1 mempunya kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
3.      Apabila debitur cedera janji, Peneriam Fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Dalam pasal tersebut memang dicantumkan tentang “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Yang artinya mempunyai kekuatan yang sama dengan Putusan Pengadilan, tetapi apakah dengan adanya kata-kata tersebut seolah-olah penerima Fidusia bisa kapan saja mengeksekusi objek jaminan Fidusia, disini kan tidak dijelaskan secara rici tentang bagaimana eksekusi terhadap Objek jaminan Fidusia, sehingga sering terjadi perdebatan mengenai eksekusinya.
2.     Masalah yuridis tentang kualifikasi Delik
Didalam Undang-undang No.42 tahun 1999 tentang Fidusia tidak satu Pasal pun yang mengatur tentang kualifikasi delik “Kejahatan dan pelanggaran”, hanya saja ketentuan Pidana diatur dalam BAB VI Pasal 35 dan Pasal 36.
Apabila kita cermati dari ketentuan pidana yang terdapat dalam Pasal 35 tersebut, jika dilihat dari sanksi yang dikenakan yaitu Pidana Penjara, maka Tindak Pidana ini merupakan suatu delik Kejahatan, demikian juga dengan pasal 36 yang memberikan sanksi Pidana penjara kepada pelaku tindak pidana, sehingga delik ini merupakan suatu delik Kejahatan, bukan pelanggaran.

3.     Masalah Yuridis tentang Tidak Disebutkannya Kualifikasi (pembatasan) Perdata Maupun Pidana.
Dalam ketentuan Pasal 36
Pemberi Fidusia yang mengalihkan,menggadaikan, menyewakan benda yang menjadi objekjaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat 2 yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
Jaminan Fidusia selalu disertai dengan akta perjanjian Fidusia, dengan dasar perjanjian apakah ketika terjadi sebagaimana pasal 36 tersebut diatas, maka dikenakan tindakan Pidana, padahal dasarnya adalah perjanjian, sehingga menurut saya disini harus lebih jelas mana pembatasan yang berkaitan dengan Bidang perdata maupun Pidana.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar