Kamis, 26 September 2013

PANDANGAN HUKUM HAK GARAP ATAS TANAH



PANDANGAN HUKUM HAK GARAP ATAS TANAH





UUPA dan berbagai aturan pelaksanaanya sebenarnya sudah membuat dua penggolongan status tanah di Indonesia, yaitu tanah hak dan tanah Negara. Namun di sisi lain, sebagai implikasi konsep hak menguasai dari Negara, semua tanah di Indonesia dianggap sebagai tanah Negara, termasuk tanah-tanah hak. Berdasarkan pada pengertian mengenai tanah hak dan tanah Negara yang telah disebutkan sebelumnya, bukanlah hal yang mudah untuk menentukan dimana letak tanah garapan dan hak garapan di dalam konstruksi hukum tanah nasional. Bahkan Budi Harsono secara tegas dalam bukunya mengatakan bahwa hukum tanah nasional tidak mengenal tanah garapan maupun hak garapan. UUPA sendiri tidak mengatur mengenai tanah garapan maupun hak menggarap, karena tanah garapan bukan merupakan tanah hak. Sejumlah literatur hukum pertanahan justru mengkait-kaitkan tanah garapan dengan pemakaian tanah tanpa seizin pemilik atau kuasanya dan pendudukan tanah secara tidak sah (onwettige occupatie). Meskipun tidak diatur dalam UUPA, beberapa peraturan perundang-undangan organiknya sudah mencoba untuk mengatur mengenai tanah garapan. Diantaranya adalah aturan mengenai surat izin menggarap yang diberikan dalam rangka landreform. Untuk mencapai salah satu tujuan pokoknya, yaitu untuk mewujudkan dasar-dasar bagi terbentuknya unifikasi dan kesederhanaan pada hukum tanah nasional, UUPA membuat ketentuan konversi. Melalui ketentuan konversi tersebut, hak-hak lama berdasarkan hukum adat dan hukum barat, disesuaikan dengan UUPA. Khusus bagi tanah-tanah adat yang bukan obyek konversi, penyesuaian terhadap UUPA difasilitasi dengan ketentuan penegasan hak. Bahkan pada Tahun 1962 dikeluarkan sebuah peraturan yang memungkinkan tanah-tanah adat yang tidak didukung oleh bukti-bukti hak untuk didaftarkan menjadi salah satu hak atas tanah menurut UUPA, atau disebut juga dengan cara pengakuan hak. Oleh peraturan pelaksana mengenai konversi, pemohon pendaftaran tanah-tanah adat obyek konversi cukup menunjukan tanda bukti hak, surat keterang Kepada Desa/Lurah yang dikuatkan oleh camat untuk membenarkan kevalidan tanda bukti hak tersebut, serta KTP. Bahkan bagi tanah-tanah yang tidak lagi tersedia bukti haknya,  masih diperbolehkan untuk dimohonkan hak atas tanah. Persyaratan yang longgar dengan intensi untuk memperlancar konversi dimaksudkan agar UUPA segera bisa diberlakukan atas tanah-tanah adat, karena selama masih belum masuk ke dalam wilayah pengaturan hukum pertanahan formal, maka selamanya tanah-tanah adat atau ulayat akan berada dalam wilayah pengaturan hukum adat dan kebiasaan. Dalam perkembangannya, pendaftaran konversi tanah-tanah adat atau ulayat tidak berlangsung mulus, salah satu penyebab utamanya adalah terhentinya keberlakuan UUPA dalam kawasan hutan serta superioritas keberlakuan hukum pertambangan dalam wilayah kuasa pertambangan. Meskipun demikian, mengacu pada pengertian formal mengenai tanah garapan, mereka bukan lagi sebagai pemilik atau pihak yang dianggap berhak atas tanah tersebut. Kedudukan masyarakat adat tersebut berubah menjadi hanya sebatas penggarap saja. UUPA yang dimaksudkan sebagai produk hukum utama dalam bidang pertanahan di Indonesia, ternyata belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan. Mengingat hak menggarap atas tanah Negara belum atau tidak diatur dalam UUPA, maka ditengah kebutuhan tanah demi pembangunan dan kebutuhan tanah oleh individu, sungguh diperlukan suatu kebijakan yang tepat. Kenyataan yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh adalah hak menggarap atau hak mengerjakan yang sering dipersoalkan dan diperdebatkan adalah, bahwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat,  mayoritas adalah rakyat yang tidak memiliki hak atas tanah dan berlatar belakang ekonomi lemah.

Jual beli hak menggarap tanah berkaitan erat dengan legalitas kepemilikan tanah dan sekaligus legalitas perjanjian. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA, atau sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN, telah menjadikan jual beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara sungguh-sungguh. Mengingat hak menggarap adalah hak yang tidak atau belum diatur oleh UUPA, atau sekurang-kurangnya belum secara tegas diatur oleh BPN, telah menjadikan jual beli hak menggarap juga memerlukan perhatian secara sungguh-sungguh. Interpretasi atau konstruksi hak menggarap yang masih berada pada wilayah perdebatan, dan pada akhirnya secara lokal melahirkan peraturan daerah sebagai landasan hukum sementara, telah menjadikan surat keterangan menggarap dan surat pernyataan menggarap sebagai berkaitan dengan subyek hukum. Sebab suatu jual beli benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, selalu membutuhkan kejelasan atas subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal jual beli hak menggarap atau izin menggarap, status obyek atau benda yang diperjanjikan akan menimbulkan permasalahan tersendiri, hal tersebut dikarenakan cara peralihan hak menggarap atau izin menggarap tidak melaui jual beli, melainkan dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak menggarap atau izin menggarap tersebut. Apabila status obyek yang diperjanjikan (dijualbelikan) tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka sudah dapat dipastikan bahwa perjanjian (jual beli) tersebut dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian perjanjian (jual beli) tersebut tidak memenuhi syarat obyektif. Apabila syarat obyektif suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka akibat hukum yang timbul dari perjanjian tersebut ialah perjanjian batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim, atau dalam Bahasa Inggris dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu “null and void”. Berdasarkan pada uraian diatas dan bab-bab sebelumnya, maka Putusan Mahkamah Agung Nomor 378 K/Pdt/2012 Tentang Jual Beli Izin Menggarap Tanah Negara Antara Soedirjo Aliman, Dkk Melawah Hj. Maemunah, Dkk tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Mahkamah Agung telah benar dalam menerapkan hukum, karena Mahkamah Agung menggunakan sifat hukum kebendaan yang bersifat tegas, ketat dan tidak dapat dirubah dalam memutuskan perkara tersebut. Akan tetapi, apabila Mahkamah Agung memutuskan untuk memenangkan pihak tergugat (Soedirjo Aliman, Dkk), maka secara tidak langsung Mahkamah Agung menganggap bahwa telah terjadi perjanjian (jual beli) izin menggarap antara Soedirjo Aliman dengan H. Umar Syukur. Padahal cara peralihan hak menggarap atau izin menggarap tidak melaui jual beli, melainkan dengan memohonkan kembali kepada pihak yang berwenang untuk dialihkan hak menggarap atau izin menggarap tersebut. Tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan hukum perjanjian, terutama pada syarat sahnya suatu perjanjian Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat obyektif dari perjanjian.



Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
(024) 76670350
HandPhone : 082220117918 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar