Minggu, 08 September 2013

Analisis Kebijakan Pertanahan di Indonesia


Analisis Kebijakan Pertanahan di Indonesia Ditinjau Dari Pasal 33   Undang – Undang Dasar 1945 dan Nilai – Nilai Dalam Pancasila Serta Perbandingannya Dengan Kebijakan Pertanahan di Negara Lain





A. Latar Belakang
Ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia—sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya—adalah sangat tajam dan ironis. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee dan menjadikannya sebagai asset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup untuk menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai satu meter pun tanah untuk digarapnya.
Dengan tujuan pemerataan dan untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah maka program landreform yang telah lama dipeti-eskan (hanya menjadi program/kebijakan tehnis saja) haruslah digiatkan kembali. Guna mengetahui perkembangan dari landreform ini, penulisan ini akan membahas aspek historis yaitu pengaturan dan pelaksanaan landreform dari masing-masing Orde.

B. LANDREFORM
1. Sejarah dan Arti Penting UUPA
Salah satu hasil karya anak bangsa terbaik, paling monumental, sekaligus revolusioner, yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara3. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat4”. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.
Setelah proses pembahasan RUUPA yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu mengucapkan pidato pengantarnya. Dikatakan dengan jelas bahwa:
“...perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”.
Semangat untuk mengisi stelsel negara baru pasca kemerdekaan ini dipengaruhi oleh dinamika dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme6. Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan:

“...yang sangat dipentingkan pada saat itu memang bukan resultat-resultat hukum perundang-undangan yang dibuat. Dalam suasana Demokrasi Terpimpin yang hendak lebih ditegaskan dan diungkapkan pada waktu itu adalah kerevolusineran tekad untuk menolak pikiran-pikiran yang berasal dari negeri-negeri liberal kapitalis yang dituduh akan meracuni jiwa bangsa...”

Semangat menentang strategi kapitalisme dan kolonialisme yang telah menyebabkan terjadinya “penghisapan manusia atas manusia” (exploitation de l’homme par l’homme) di satu sisi; dan sekaligus menentang strategi sosialisme yang dianggap “meniadakan hak-hak individual atas tanah” di sisi lain menjadi landasan ideologis dan filosofis pembentukan UUPA.
Dalam Penjelasan Umumnya, dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Hal penting lainnya adalah bahwa UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.
Salah satu konsepsi terpenting dalam UUPA yang kemudian mendasari berbagai peraturan lainnya adalah Hak Menguasai Negara dan fungsi sosial hak atas tanah. Berikut ini diuraikan secara umum tentang kedua asas terpenting ini.



Hak Menguasai Negara
Ini dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam UUPA 1960 dengan memberi wewenang kepada Negara untuk:
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Kewenangan HMN tersebut dipahami dalam kerangka hubungan antara negara dengan bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya sebagai hubungan penguasaan, bukan hubungan pemilikan seperti di negara Barat maupun di negara –negara komunis. Negara dalam hal ini sebagai Badan Penguasa yang pada tingkatan tertinggi berwenang mengatur pemanfaatan tanah dalam arti luas serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum berkenaan dengan tanah. Sebagai penerima kuasa, maka negara harus mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat sebagai pemberi kuasa. Dengan ini AP. Parlindungan menyebutnya sebagai hak rakyat pada tingkat Negara.
Prof. Maria SW Sumardjono mengatakan bahwa kewenangan negara ini harus dibatasi dua hal:
pertama, oleh UUD 1945. Bahwa hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 1945. Peraturan yang bias terhadap suatu kepentingan dan menimbulkan kerugian di pihak lain adalah salah satu bentuk pelanggaran tersebut. Seseorang yang melepas haknya harus mendapat perlindungan hukum dan penghargaan yang adil atas pengorbanan tersebut.
Kedua, pembatasan yang bersifat substantif dalam arti peraturan yang dibuat oleh negara harus relevan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan kewenangan ini tidak dapat didelegasikan kepada pihak swasta karena menyangkut kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pendelegasian kepada swasta yang merupakan bagian dari masyarakat akan menimbulkan konflik kepentingan, dan karenanya tidak dimungkinkan.
.
Fungsi Sosial Hak atas Tanah
Dianutnya prinsip fungsi sosial dalam UUPA tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok saat itu. Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaannya. Sehingga dalam hak individu ada hak kebersamaan. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan landreform. Pengaturan batas pemilikan atas tanah oleh perseorangan dilakukan sehingga pemilikan itu hanya dihubungkan dengan usaha mencari nafkah dan penghidupan yang layak, atau hanya digunakan untuk pemukiman, pertanian dan perindustrian rumah.
2. Tinjauan Historis Landreform

Orde Lama
Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya. Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iâ exploitation de Iâ homme per Iâ homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.
Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform dan pengurusan hak atas tanah15. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan. Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.
Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah16. Kepentingan dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah berdasar prinsip “tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya”. Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba. Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal

tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA menjadi anggotanya.
Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat, organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri. Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang lapar tanah maupun tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak ini, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform.
Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan. Hal itu karena:
1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai Negara;
2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;
3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;
4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.
Akan halnya hasil dari program landreform masa ini—menurut Utrecht—adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar21, yaitu sejak program ini dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa, Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah ditentukan adalah 337.445 hektar.
Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1958. Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan pinjaman-pinjaman baru. Sebagaimana landreform yang merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihan—dan karenanya menjadi objek redistribusi tanah—dilakukan oleh sejumlah tuan tanah.
Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.
Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan. Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.
Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993, didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari 19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49 hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai 1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah sekitar 22,174 hektar. Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan hak atas tanah melalui sertifikat.
Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif. Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar itu.
Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang mengatakan: ...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin mengeliminir keberadaan tanah ulayat.
Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167 hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931 hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.

ORDE REFORMASI
Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan sebelumnya.
Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria, yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu arah kebijakan pembaruan agraria adalah:
- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah oleh rakyat;
- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas, pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007 hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.


B.     Kebijakan Perpajakan di Negara lain
1.      Cina
Sejarah pajak properti riil di Cina dapat ditelusuri kembali ke empat ribu tahun yang lalu ketika petani memberikan kontribusi seperdelapan dari hasil panen mereka kepada pemerintah. Praktek pada waktu itu adalah untuk membagi sepotong persegi tanah menjadi sembilan bidang ukuran yang sama, dengan dua plot pada setiap sisi alun-alun, dan satu di tengah. Kemudian delapan keluarga ditugaskan hak untuk membudidayakan delapan plot luar. Masing-masing delapan keluarga memiliki kewajiban untuk mengolah plot terletak di pusat kesembilan. Karena semua plot yang sama dalam ukuran, produk dari plot kesembilan adalah kontribusi tahunan delapan petani, atau pajak, kepada pemerintah. kontribusi Setiap keluarga, atau tarif pajak dalam hal modern, adalah sekitar sepuluh persen dari pendapatan produksinya.
Sistem pajak kekayaan Cina modern ini dirancang oleh Dr Sun Yat-sen, pendiri Republik. ideologi Dr Sun disebut Tiga Prinsip Rakyat. tanah-Nya dan filosofi perpajakan sangat dipengaruhi oleh ekonom Amerika turn-of-the-abad, Henry George. Pada tahun 1912, Dr Sun menanggapi pertanyaan dari sekelompok wartawan Amerika dengan mengatakan: "Ajaran tukang pajak tunggal Anda, Henry George, akan menjadi dasar atau program kami reformasi. The pajak tanah sebagai satu-satunya alat yang mendukung pemerintah merupakan pajak tak terhingga adil, wajar, dan merata ... "  Penekanan filsafat Dr Sun di perpajakan properti kemudian diatur dalam Konstitusi China.
Selama tiga puluh tahun setelah Republik Cina diproklamasikan pada tahun 1912, negara ini berada di bawah permusuhan konstan antara panglima perang dan dari invasi Jepang. Sebagai panglima perang memerintah negara atas nama Republik tetapi bertentangan dengan Undang-Undang, orang Cina dan sistem pemerintah dieksploitasi tanpa ampun. Setelah kematian Dr Sun pada tahun 1925, penggantinya politiknya, Chiang Kaishek, begitu sibuk dengan berusaha untuk mengendalikan para panglima perang, melawan penaklukan Jepang, dan menghindari revolusi Komunis di bawah Mao Tse-tung bahwa dia memiliki kesempatan sedikit untuk melaksanakan tanah skala besar reformasi di daratan.
Penegakan kebijakan pertanahan Dr Sun, yang itu mungkin terjadi, juga bisa digagalkan pengambilalihan Maois akhirnya dengan memperbaiki keluhan populer yang didorong itu. Chiang kekuatan menarik diri dari daratan Cina ke Taiwan pada tahun 1949, dan Statuta untuk Persamaan Hak Tanah Perkotaan berlaku pada tahun 1954 untuk menegaskan kembali ideologi tanah perpajakan Dr Sun. Statuta dimaksudkan untuk mencapai empat tujuan:
(1) penilaian nilai wajar tanah;
 (2) pajak sesuai dengan nilai dinyatakan;
 (3) pembelian pemerintah opsional sebesar nilai dinyatakan, dan
(4) kenikmatan publik selisih nilai tanah di masa depan. Tujuan tersebut menjadi pedoman dari semua undang-undang hak perpajakan di tahun kemudian.
Pada tahun 1977, Undang-Undang Pajak Tanah disahkan untuk memberikan tenaga yang lebih kuat dan penegakan peraturan pajak yang berhubungan dengan tanah. Dua pajak yang berhubungan dengan tanah besar ditetapkan dalam undang-undang: nilai pajak tanah-tanah-pajak dan nilai selisih. Pajak tanah-nilai dikembangkan untuk memperluas basis penerimaan pemerintah daerah. Kenaikan pajak tanah-nilai ini dirancang untuk menjamin pemenuhan publik selisih nilai tanah di masa depan. Dengan kata lain, tujuan tanah-nilai kenaikan pajak ini adalah untuk menjamin pemerataan manfaat masa depan dari tanah dan untuk mengendalikan spekulasi tanah. Untuk efektivitas pelaksanaan undang-undang, baik pajak tanah-tanah-nilai dan nilai selisih pajak yang dilakukan di dalam yurisdiksi lokal.
Tanah dan bangunan pajak terkait di Taiwan termasuk pajak tanah-nilai, pajak tanah pertanian, pajak tanah-nilai selisih, pajak notaris, pajak rumah, dan real dan pajak hadiah. Pajak tanah pertanian dihentikan pada tahun 1986. Estat dan hadiah pajak adalah pajak pemerintah pusat. Akta pajak dicatat 8,5 persen dari pendapatan prefektur dan kota pada tahun 1995 dan relatif kurang signifikan dalam sistem penerimaan di Taiwan. Fokus utama dari bab ini akan di-nilai pajak tanah, pajak tanah-nilai kenaikan, dan pajak rumah. Ketiga jenis pajak di Taiwan biasanya disebut pajak properti di negara-negara lain di seluruh dunia.
Pada tahun  1995 pajak nasional dicatat 53,8 persen dari total pendapatan nasional, sedangkan pajak provinsi dan kota menyumbang 20,4 persen, dan prefektur dan pajak kota menyumbang 20,9 persen. [2] Pada tahun fiskal yang sama, 75,3 persen dari total pendapatan pajak prefektur dan kota berasal dari pajak tanah di mana-nilai pajak tanah dicatat sebesar 14,9 persen dan pajak pertambahan nilai tanah dicatat 60,4 persen (lihat Tabel 1). Statistik menunjukkan pentingnya pajak tanah, terutama pajak pertambahan nilai tanah, di dasar pendapatan pemerintah setempat. Antara 1985 dan 1990, pertumbuhan pendapatan total tahunan 18 persen, sedangkan pajak pertambahan nilai tanah meningkat 28,6 persen per tahun. Meskipun tingkat pertumbuhan tahunan untuk semua pajak menjadi stabil antara tahun 1990, dan 1995 jumlah pajak selisih nilai tanah terus naik dari NT $ 82900000000 pada tahun 1990 menjadi NT $ 155.300.000.000 pada tahun 1995. Puncak pengumpulan kenaikan pajak tanah-nilai itu pada tahun 1992 ketika selisih nilai tanah-ac pajak dihitung 71 persen dari total pendapatan daerah.

2.      Taiwan
Sebagai negara yang pada awalnya merupakan bagian dari China, Taiwan memiliki sejarah pertanahan yang mirip, namun dengan masa depan yang berbeda.
Pajak Tanah
Pajak ini dikenakan setiap tahun untuk menahan tanah di Taiwan. Pajak dinilai oleh pemerintah mempertimbangkan nilai total tanah yang dimiliki oleh seseorang atau badan di suatu daerah. Tanah untuk digunakan di rumah dikenai pajak pada tarif tetap sebesar 0,2%, jika kondisi tertentu yang ditetapkan dapat dipenuhi. Tanah yang digunakan untuk keperluan lain dikenai pajak dengan tarif progresif, mulai dari 1% menjadi 5,5%.
Kesenjangan antara kaya dan miskin telah mempersempit untuk seperempat abad terakhir di Taiwan, dan negara itu sangat makmur di bawah pengaruh reformasi tanah yang mencerminkan konsep-konsep yang sangat mirip dengan pemikiran Henry George. Di tempat lain di dunia, khususnya di "dunia ketiga" negara, kesenjangan kaya-miskin telah melebar. Dua negara seperti itu Iran dan Nikaragua di mana revolusi berdarah terjadi selama 1979. Beberapa kali dalam Kemajuan dan Kemiskinan, Henry George mengomentari kemungkinan pemberontakan tersebut dalam kondisi kesenjangan pendapatan meningkat.
Tanah didistribusikan dalam ekonomi usaha bebas; pendapatan dibawa lebih dekat dengan kesetaraan, bukan dengan membasmi orang kaya tapi membangun masyarakat miskin. Sangat sedikit orang terluka dalam proses. Apa yang terjadi di Taiwan mengakibatkan penyatuan ide-ide George Henry dengan filosofi Konfusius kuno persamaan kesempatan, dan dengan pemikiran tertentu reformis tanah Jerman yang juga telah dipengaruhi oleh George Henry.
Chiang Kai-shek, melalui reformasi tanah, penuh semangat fiskal ide-ide pemerataan kesempatan yang sama kepada Henry George dan Dr Sun Yat-Sun anakan. Tanah pertanian reformasi datang pertama, yang dirancang rapi untuk judul dalam, seperti cocok dalam suatu negara kemudian hampir kokoh pertanian. Urban land reform datang kemudian. Kenaikan pajak itu untuk beberapa tahun diterapkan hanya untuk tanah perkotaan tetapi diperluas ke semua tanah pada tahun 1973. Mereka dialihkan ke proyek-proyek sosial yang dinyatakan dalam jumlah cukup besar akan menjadi panen pribadi spekulan tanah.
Tanah reformasi dimulai dengan kontrol sewa pedesaan dan bergerak cepat untuk distribusi dari domain publik yang terpaksa diwariskan Jepang ke Cina pada retrosesi. Ini termasuk lahan padi terbaik di pantai barat. Sesuai dengan prinsip Dr Sun Ming Shen, ini dijual dalam paket lima hektar kepada keluarga petani yang telah mengolah itu. Pada saat yang sama, kontrol sewa dikurangi menjadi 37 + persen dari tanaman padi tuan tanah 'berbagi di peternakan disewa dari 66 persen atau lebih. Hukum ini berlaku karena reservoir tanah dalam domain Jepang yang ditawarkan untuk dijual di jangka panjang. Ketentuan pembayaran itu sehingga petani tidak harus membayar lebih dari 37 + persen dari pendapatan tanaman padi-nya. Begitu hukum-hukum ini adalah sebagian dicerna, pemerintah mulai membeli tanah dari tuan tanah dan menjualnya kembali kepada para penyewa pada istilah serupa sehingga petani tidak harus membayar lebih dari 37 + persen.
Hal ini berdampak pada perekonomian lokal yang lebih tajam dan lebih cepat daripada bahkan optimis pendukung yang paling berani untuk memprediksi. Dr Sun sudah lama menunjukkan kepada Anak Mm Chu-I (Tiga Prinsip Rakyat) industrialisasi yang harus diikuti, tidak mendahului, bangunan dari kapasitas internal untuk mengkonsumsi. Reformasi tanah tidak hanya itu. Petani dua kali lipat pendapatan mereka ketika menyewa datang ke 37-1/2 persen; dan, dengan demikian mendorong, membuktikan lagi kebenaran pernyataan George Henry:
Memberikan keamanan manusia bahwa dia bisa menuai dan dia akan menabur. Yakinkan seorang kepemilikan rumah dia ingin membangun dan ia akan membangunnya. Ini adalah imbalan alamiah kerja. Hal ini demi menuai bahwa orang menabur, melainkan demi memiliki rumah yang laki-laki membangun.
Dengan tuan tanah dibawa ke teluk dan dengan kepemilikan meyakinkan, para petani mulai menanam palawija padi dan tanaman sayuran selang, sehingga penggandaan pendapatan mereka untuk kedua kalinya. The-ke-satu meningkat empat memiliki multiplier effect seluruh perekonomian Cina. Urutan rinci pembangunan ekonomi kurang penting dibandingkan totalitas yang mengesankan. Dalam satu dekade banyak pulau itu rehoused. Struktur adobe Bekas dengan atap rumbia dan berlantai tanah memberikan cara untuk rumah bata dengan atap genteng, dan lantai semen. Listrik diperpanjang di seluruh pedesaan: kipas listrik mantra perbedaan antara kenyamanan dan ketidaknyamanan sedemikian iklim, dan mereka tambahan awal untuk rumah negara yang paling banyak. Transportasi melewati tahapan dari sepeda berkarat dengan yang baru, mengkilap-merek sepeda dengan sepeda motor kecil untuk mobil. Dengan setiap perubahan ekonomi datang industri baru, menjual ke pasar sepeda lokal adat, peralatan listrik, dan kemudian sepeda motor.
Pemerataan pendapatan. Untuk beberapa waktu Bank Dunia telah menghitung indeks kesetaraan penghasilan. Proses ini sangat tepat karena sifat kenyal dari data input, namun dalam hal ini mengungkapkan mentah. Seperti reformasi tanah mengambil memegang teguh di Taiwan, pendapatan per kapita paling kaya kelima penduduk meningkat relatif terhadap pendapatan per kapita yang paling kaya kelima. Reformasi tanah membangun kemakmuran negara dari bawah ke atas. Ini tidak berarti bahwa puncak itu ditebang. atas terus meningkat, tetapi kelima bawah jauh lebih cepat bangkit bahwa kesenjangan antara mereka menyempit.
Di Taiwan, sebuah sistem koperasi telah berkembang pada masa Jepang sebagai gerakan bawah tanah-semi. Koperasi itu bankir dari semacam, menyembunyikan kekayaan dari Jepang dan menyediakan layanan rahasia lain, dan mereka mengembangkan kekuatan dan keyakinan petani. Ketika terjadi reformasi tanah, koperasi muncul dan menjadi faktor dominan dalam penyediaan, pemasaran, dan perbankan lokal. Mereka tidak pernah menikmati monopoli eksklusif; petani dapat membeli dan menjual dari dan ke siapapun mereka inginkan, tapi koperasi biasanya memberikan kesepakatan yang terbaik "." Ini telah menjadi faktor signifikan dalam membuat reformasi tanah "tongkat."
Sistem pajak juga harus dirancang sedemikian rupa sehingga petani tidak dikenai pajak dari kepemilikan mereka. pajak Pedesaan di Taiwan hampir seluruhnya tanah dan disimpan pada tingkat yang mendorong petani, dan tidak dengan cara apa pun mencegah mereka.

3.      Australia
Negara persemakmuran Australia adalah federasi yang didirikan pada tanggal 1 Januari 1901. Ini terdiri dari enam negara, semua koloni Inggris yang sebelumnya terpisah - New South Wales, Queensland, Victoria, Australia Selatan, Australia Barat, Tasmania - dan jarang penduduknya Northern Territory yang kini memiliki pemerintahan teritorial dipilih oleh warga sendiri. Luas total Persemakmuran adalah 2.974.581 mil persegi. Pada saat federasi, penunjukan "koloni" diubah menjadi "negara" untuk semua tapi Northern Territory, yang mempertahankan sebutan aslinya.
Persemakmuran juga termasuk 940 mil persegi Capital Territory di mana ibu kota negara, Canberra, terletak, dan yang juga memiliki pemerintahan lokal terpilih.
Ada tiga tingkat pemerintahan di Australia, dan tiga tingkat pembiayaan: federal, negara bagian, dan lokal (kotamadya, shire, borough, dll). Di Australia, pajak tanah federal dihapuskan pada awal 1952; alasan untuk dugaan ini bervariasi. Semua negara memiliki pajak tanah negara, tetapi dengan variasi dalam pelaksanaannya. Mereka semua memiliki berbagai pengecualian dan gradasi. Akhirnya, di tingkat pemerintah daerah, harga properti kota mungkin didasarkan pada situs-nilai saja, atau lain atau sama pada nilai situs dan perbaikan dengan (modal ditingkatkan atau nilai tahunan bersih), atau kadang-kadang pada "Shandy" sistem - campuran dari dua. Pada tahun-tahun belakangan ini, di kebanyakan negara bagian, ada kecenderungan untuk melemahkan rating situs-nilai, misalnya, dengan melengkapi atau menggantinya dengan biaya tetap untuk tujuan tertentu.
Fungsi utama pemerintah daerah di Australia adalah untuk memberikan dan memelihara jalan, penerangan jalan, pengumpulan dan pembuangan sampah, perpustakaan, pusat kesehatan ibu dan penitipan anak,, dan fasilitas rekreasi. Ini juga mungkin mensubsidi tertentu pendidikan dan layanan konseling, meski pendidikan tidak dianggap sebagai tanggung jawab terutama lokal. Juga adalah keamanan publik. Beberapa fungsi lokal yang didukung, bukan melalui pajak properti, tetapi melalui retribusi.
Sejarah Pengembangan Lahan-Nilai Perpajakan
Hampir sejak awal, beberapa nilai tanah menangkap untuk kepentingan publik di Australia telah diperoleh melalui penyewaan tanah Crown (yaitu, tanah sekali publik yang dimiliki oleh Pemerintah Inggris dan sekarang oleh Commonwealth).
Sebuah pajak tanah federal lulus diperkenalkan pada tahun 1910, dengan tujuan yang dinyatakan oleh memecah perkebunan besar. Pound 5.000 dari nilai unimproved dibebaskan, dan tingkat rendah kecuali untuk perkebunan yang sangat besar, para pemilik yang sering lolos pajak dengan nominal pengelompokan mereka di antara anggota keluarga .. Sebagaimana disebutkan di atas, hal itu dihapuskan pada tahun 1952.
pajak tanah Negara diperkenalkan ke dalam enam negara dalam urutan sebagai berikut: Australia Selatan, 1884; New South Wales, 1895; Tasmania, 1907, Australia Barat, 1907, Victoria, 1910, dan Queensland, 1915. Mereka sangat bervariasi, hanya berlaku untuk sifat tertentu, dan menderita cacat administrasi yang serius.
Sejauh ini yang paling penting adalah pajak tanah lokal atau "tingkat nilai situs." Semua enam negara mengizinkan adopsi mereka dengan pilihan lokal; Tasmania adalah satu-satunya di mana tidak ada wilayah hukum penarikan diri dari pilihan ini, walaupun upaya yang kuat telah dibuat di sana untuk mempromosikannya. Penggunaannya mulai di New South Wales dan Queensland pada tahun 1890, dan universal di kedua negara; di Australia Barat mulai tahun 1902, dan dominan di sana. Di South Australia dan Victoria rating nilai bersih tahunan yang dominan, tetapi nilai rating situs telah ada di bekas sejak 1893, dan di kedua sejak 1919.
Canberra, ibukota nasional, yang kini meliputi sebagian besar Australian Capital Territory (ditransfer ke Persemakmuran oleh New South Wales), didirikan pada akhir tahun 1920 pada sistem sewa, yang melibatkan pembayaran sewa kepada pemerintah federal. Setelah situs terpilih untuk wilayah ibukota pada tahun 1909, sebuah kompetisi internasional untuk merencanakan kota itu dimenangkan oleh Georgist, Walter Burley Griffin Chicago, untuk siapa danau pusat Canberra adalah bernama. Sistem sewa yang diterapkan ke seluruh ACT, bukan hanya ke kota. Meskipun tahun 99-prasarana nominal tetap berlaku, menjadi untuk semua tujuan praktis surat "mati" ketika pembayaran sewa sewa perumahan ini dibubarkan oleh lalu-Perdana Menteri John Gorton pada tanggal 1 Januari 1971, bergerak dimaksudkan, menurut lawan-lawannya , untuk menggalang dukungan publik untuk pemilihan kembali nya. "Diperkirakan bahwa pemerintah mengalihkan 100 juta dolar Australia di ekuitas kepada penyewa guna usaha pada waktu itu, yang mengakibatkan hilangnya sumber pendapatan yang penting." "Namun, situs-nilai rating, yang diperkenalkan pada tahun 1927, terus seluruh wilayah. Sejarah sistem kepemilikan tanah di Canberra disajikan dalam sebuah buku yang sangat baik oleh Frank Brennan, Canberra dalam Krisis.

4.      Hongkong
'Pajak Bumi dan harga tanah yang tinggi di Hong Kong
1. Pemerintah Hong Kong sebagian besar berasal dari total pendapatan dari tanah, termasuk premi pada lahan baru dan modifikasi sewa yang ada, tarif, pajak properti, materai pada transaksi properti, sewa. Pada 1993/94 pendapatan tersebut dikurangi biaya produksi tanah, termasuk bagian diambil oleh Dana Tanah yang akan kembali kepada Pemerintah SAR setelah 1997, sebesar HK $ 56000000000, atau 35% dari total pendapatan pemerintah termasuk pendapatan Dana Tanah. (Ini tidak termasuk pajak laba atas transaksi properti). Jumlah ini lebih besar dari hasil pajak keuntungan.
2. Setelah tahun 1997 jumlah ini akan meningkat karena laju tahunan 3% dibebankan pada pemberian sewa baru.
3. Bisa dikatakan bahwa pajak tanah adalah salah satu pajak utama di Hong Kong, jika bukan pajak utama. Jika semua bentuk pajak tanah dibatalkan, menggantikan pendapatan yang hilang di 1993/94, pemerintah akan memiliki lebih dari dua kali lipat tingkat keuntungan pajak. Hal ini menempatkan ke dalam perspektif klaim yang sering Hong Kong adalah rezim pajak yang rendah. Hal ini sebenarnya tidak begitu rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, hanya bahwa pajak yang dibayarkan pada tanah bukan pada keuntungan atau penghasilan.

4. Salah satu drive utama dari kebijakan pemerintah untuk menjaga harga tanah tinggi sehingga hasil dari berbagai pajak tanah tetap tinggi. Crown tanah dilepaskan dengan cara yang terkendali pada lelang dengan perawatan diambil untuk memastikan bahwa pasar tidak banjir. Harga diposting dan cadangan adalah tanah ditarik jika hal ini tidak tercapai. pertimbangan yang sama berlaku untuk pengelolaan wilayah laut cermat yang dapat dikonversi menjadi tanah. Kebijakan ini diutamakan terhadap kebijakan Pemerintah lain, misalnya bahkan ketika Pemerintah mengambil kebijakan pada tahun 1994 mendorong harga tanah yang lebih rendah, ia masih mempertahankan kebijakan harga cadangan di lelang dan dipotong tanah pada berbagai kesempatan meskipun ini akan memiliki efek menjaga harga yang lebih tinggi daripada seharusnya.
5. Pemerintah Cina telah menjadi pendukung kuat kebijakan harga tanah yang tinggi dan telah mengkritik Pemerintah Hong Kong kuat untuk setiap langkah yang mungkin menyebabkan hasil pajak tanah yang lebih rendah. Berdasarkan Deklarasi Bersama bidang tahunan pembebasan lahan dibatasi sampai 50 hektar, sebagai dikendalikan oleh Sino-British Tanah Komisi.
6. Implikasi dari kebijakan harga tanah tinggi jauh-mencapai:
Secara umum, harga tanah yang lebih tinggi dan kurang tanah (atau akomodasi ruang) tersedia untuk orang-orang dan bisnis di Hong Kong di bawah kebijakan daripada akan terjadi tanpa itu. Dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini sangat signifikan.
Mempertahankan kebijakan Pemerintah drive menjadi aliansi "suci" dengan para pengembang properti dan bank-bank yang semuanya memiliki kepentingan dalam mempertahankan harga setinggi mungkin.
Kebijakan ini mendorong ketergantungan yang tidak sehat oleh Pemerintah pada tindakan administratif dan bukan kekuatan-kekuatan pasar. Jadi, misalnya, Pemerintah memilih untuk melakukan intervensi di pasar properti di tahun 1994 dengan tindakan administratif, misalnya dengan membuat presale flat sulit, bukan oleh "operasi pasar terbuka", yaitu dengan mengeluarkan lebih banyak tanah. Ini akan menetapkan preseden menyenangkan.
Untuk mengimbangi efek distorsi kebijakan perusahaan, pemerintah terpaksa menjadi intervensi lebih lanjut dalam proses pasar dengan luas menyediakan perumahan rakyat. Hal ini mengejutkan bahwa dalam ekonomi pasar bebas seharusnya, lebih dari 40% penduduk tinggal di perumahan umum - semua yang dimiliki oleh pemilik tunggal. Kebijakan ini bahkan telah diperpanjang oleh kelas "sandwich apa yang disebut" perumahan program dukungan.
7. Meskipun tinggi pentingnya masalah ini, kesadaran masyarakat sangat rendah, dan Pemerintah jarang jika pernah menantang. Mungkin orang Hong Kong sangat senang dapat dikenakan pajak dengan cara ini, tetapi mereka tidak pernah bertanya.
8. Untuk mendorong kesadaran masyarakat yang lebih besar, sebuah perdebatan gerakan di Legco bisa dikemukakan, sepanjang baris berikut:
"Itu mengingat fakta bahwa pemerintah menarik sebagian besar pendapatan secara langsung atau tidak langsung dari pelepasan tanah, yang merupakan pemasok monopoli, dan bahwa seperti peningkatan pendapatan-merupakan bentuk perpajakan pada masyarakat, ini Dewan mendesak Pemerintah untuk mengadopsi kebijakan melepaskan tanah lebih bebas dan membuat baik segala kekurangan pendapatan dengan cara alternatif. "




Hukum bukan semata-mata hanya rule and logic, akan tetapi social structure and behavior, artinya, hukum tidak bisa hanya dipahami secara sempit, dalam perspektif aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku. Berangkat dari dasar pemikiran Donald Black, yang mengetengahkan bahwa hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia akan selalu mengalami perkembangan. Kita lihat bahwa hukum itu berubah dari waktu ke waktu. Konsep hukum, seperti “rule of law” sekarang ini juga tidak muncul dengan tiba-tiba begitu saja, melainkan merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Apabila disini dikatakan hukum bukan hanya semata-mata sekumpulan aturan-aturan dan logika, akan tetapi juga melibatkan struktur sosial dan prilaku, maka yang dimaksud dalam konteks ini ialah, bahwa ada hubungan timbal balik yang erat antara hukum dan masyarakat.
Pada ranah yang lebih konkrit lagi, bahwa pembicaraan mengenai hukum dengan struktur masyarakat pada suatu waktu tertentu bermanfaat besar untuk menjelaskan dinamika yang terjadi pada pelapisan sosial masyarakat. Seperti halnya topik yang dihadapkan penulis pada kesempatan ini, yaitu sampai sejauhmana kebijakan pertanahan di Indonesia secara sosiologis dapat mendatangkan kemanfaatan sosial bagi masyarakat.
Tanah sebagai hak dasar setiap orang, keberadannya dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Penegasan lebih lanjut tentang hal itu diwujudkan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)..[3] Sesuai dengan sifatnya yang multidimensi dan sarat dengan persoalan keadilan, permasalahan tentang dan sekitar tanah seakan tidak pernah surut. Seiring dengan hal itu, gagasan atau pemikiran tentang pertanahan juga terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak dari perkembangan di bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.
Eksistensi tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi
Sebagai karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya. Hal ini sesuai dengan amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:

“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Tanah sebagai bagian permukaan bumi, mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik sebagai tempat atau ruang untuk kehidupan dengan segala kegiatannya, sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai suatu bangsa, tanah merupakan unsur wilayah dalam kedaulatan negara. Oleh karena itu tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai hubungan abadi dan bersifat magis religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tanah telah menjadi salah satu bagian dari pembangunan hukum yang menarik. Hal ini terutama karena sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai suatu bangsa.
Dalam optik sosologi hukum, tanah merupakan sebagai bagian dari objek sosial yang mendasar bagi terbentuknya kebijakan pertanahan. Seperti apa yang dikatakan Emile Durkheim, sebagai seseorang sosiolog dengan lebih sederhana ia melakukan pencarian “apa yang mengikat masyarakat itu?”.. Dari sinilah berkembang perhatiannya terhadap seluk beluk dan hakikat suatu tatanan (order) sosial. Dengan melihat kenyataan yang diamati dari dinamika struktur sosial masyarakat, maka Durkheim sampai kepada hukum sebagai suatu kenyataan dalam terbangunnya suatu tatanan masyarakat yang dapat meletakkan solidaritas sosial secara fundamental. Manifestasi nyata dari solidaritas tercermin ke dalam hukum, yaitu sebagai lambang yang dapat diamati dan diukur bagi solidaritas sosial
UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang diterbitkan dalam rangka mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, merupakan kenyataan hukum dalam menjelaskan tujuan dari tanah sebagai social asset dan capital asset. Sebagai undang-undang nasional pertama yang dihasilkan 15 (lima belas) tahun setelah kemerdekaan RI, ketentuan yang termuat dalam pasal-pasal UUPA merupakan perwujudan dari sila-sila Pancasila
Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis, kemudian sekarang berkembang ke arah pada kebijakan yang cenderung pro-kapital yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi; yang pada suatu saat lebih cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an
Pada awal berlakunya UUPA sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang disebabkan antara lain karena perbedaan dalam akses modal dan akses politik.
Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana sebenarnya makna “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang menjadi landasan UUPA itu dipahami dan diterjemahkan secara benar dalam berbagai kebijakan yang mendukung atau relevan dengan bidang pertanahan. Tampaknya pilihan tepat adalah melakukan refleksi terhadap hal-hal yang mendasar daripada sekedar mendata kekurangan peraturan pelaksanaan UUPA yang memang dianggap penting. Tetapi lebih dari itu diperlukan pemikiran yang tidak berhenti pada kuantitas peraturan yang masih diperlukan, namun terlebih pada kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Kiranya hal inilah secara sosiologis, akan tampak semakin rumit dengan terbitnya berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era perdagangan bebas. Kesadaran akan arti pentingnya melakukan reformasi di berbagai bidang dalam upaya untuk mencari jalan keluar dari krisis ekonomi, maupun sengketa tanah secara horizontal yang mulai dirasakan akhir tahun 1977, telah mendorong pemikiran kearah reformasi kebijakan di bidang pertanahan. Perkembangan yang dinamis tersebut, dikehendaki atau tidak, mendorong kearah perlunya pemikiran yang konseptual dalam rangka mengisi dan mengantisipasi perkembangan hukum tanah secara bertanggung jawab.

Liberalisasi ekonomi yang diartikan sebagai sistem perekonomian yang lebih mengarah pada mekanisme pasar merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Saat ini yang diperlukan adalah antisipasi terhadap dampak keterbukaan ini, terutama dengan hadirnya berbagai investasi yang mau tidak mau harus memanfaatkan tanah yang merupakan sumberdaya alam yang langka, terutama berkaitan dengan hak/kemudahan yang diberikan, tanpa mengakibatkan kerugian terhadap rakyat.
Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan (pemukiman, industri, dan berbagai prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di daerah pinggiran, menjadi tanah non-pertanian dengan segala konsekuensinya. Perkembangan yang terjadi tersebut boleh dikatakan hampir tidak menyentuh pola kehidupan petani penggarap yang semakin sulit untuk menghindarkan diri dari keterpaksaan melepaskan tanahnya, karena praktik perijinan yang memungkinkan alih fungsi tanah beradasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Daerah Tingkat II yang karena alasan kepentingan pembangunan mengarahkan alih fungsi tanah tersebut.
Secara sederhana konsekuensinya adalah bahwa Pemerintah berkewajiban menyediakan tanah yang diperlukan, baik untuk investasi maupun keperluan pembangunan lainnya, sedangkan tanah harus diambil dari rakyat karena tanah negara dapat dikatakan sudah sulit untuk dijumpai. Akibat selanjutnya adalah, bahwa tanpa intervensi dari Pemerintah, akses rakyat terhadap tanah baik di perdesaaan maupun di perkotaan, menjadi semakin berkurang.
Sementara itu dikalangan rakyat petani masih dapat dilihat kesenjangan antara mereka yang memiliki tanah kurang dari dua hektar dibandingkan dengan mereka yang memiliki tanah seluas dua hektar atau lebih.[10] Pemilikan tanah dalam batas minimum itu pun masih dimungkinkan untuk dipecah menjadi bagian yang lebih kecil secara warisan. Hubungan hukum yang terjadi yang berkenaan dengan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian pada umumnya dilakukan melalui lembaga gadai tanah, bagi hasil, atau penyakapan. Walaupun ketentuan tentang gadai dan bagi hasil telah diterbitkan seusia UUPA, namun hubungan hukum yang terjadi pada umumnya mendasarkan pada norma-norma hukum setempat yang tidak tertulis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terhadap hubungan hukum tersebut masih diperparah dengan gejala pemilikan tanah secara guntai (absentee), dan kadang-kadang disertai dengan pelanggaran batas maksimum, yang dalam kenyataannya justru memberikan akses terhadap mereka yang dari segi kehidupannya tidak tergantung pada usaha pertanian.          
Ketimpangan serta ketidakadilan yang dapat terjadi karena kurang berfungsinya secara efektif ketentuan hukum yang ada atau yang dilakukan melalui penyelundupan hukum itu menimbulkan pertanyaan: apakah tidak sejogjanya berbagai ketentuan yang ada tersebut ditinjau kembali untuk dilihat relevansinya dengan perkembangaan keadaan dan disempurnakan sebagaimana mestinya? Disamping itu tentu diperlukan upaya untuk menegakkan peraturan yang ada secara konsekuen dan konsisten.
Sebagai perbandingan, konservasi tanah pertanian di Filipina dilakukan melalui upaya Departemen Pertanian yang disebut Integrated Protected Area System (IPAS), yang bertujuan untuk melindungi tanah pertanian dan perubahan penggunaan yang kurang bertanggung jawab. Alih fungsi tanah pertanian hanya dapat dilakukan melalui keputusan melakukan relaksifikasi tanah oleh pemerintah daerah setelah melewati dengar pendapat yang intensif. Perubahan fungsi tanah pertanian tersebut berkisar antara lima persen sampai sepuluh persen dari keseluruhan tanah pertanian yang ada, tergantung dari kelas atau tingkatan perkotaan tersebut. Tanah pertanian hanya boleh dirubah fungsinya apabila tanah tersebut tidak sesuai lagi untuk usaha pertanian atau apabila nilai ekonomis yang diperoleh akan lebih besar jika tanah tersebut dipergunakan untuk pemukiman, perdagangan, atau industri sesuai dengan keputusan DPR setempat.[12]
Uraian di atas lebih difokuskan pada situasi tekanan terhadap persediaan tanah pertanian, utamanya di pulai Jawa namun, kondisi di luar Jawa pun ternyata sudah memerlukan perhatian yang seksama. Sebagai contoh, di daerah Kalimantan barat yang di dominasi wilayah hutan, distribusi penguasaannya (HPH, HTI, perkebunan, transmigrasi, dan lain-lain) seringkali berakibat pada pengurangan akses masyarakat setempat terhadap tanah. Mengingat bahwa agro-industri diwilayah tersebut menjanjikan prospek yang cerah, kepentingan dan akses masyarakat setempat terhadap tanah perlu mendapatkan perlindungan agar tidak terdesak sama sekali. Hanya dengan pemahaman yang arif terhadap struktur masyarakat setempat, dan bagaimana kelembagaan yang ada berfungsi dalam masyarakat tersebut dengan hubungannya satu sama lain, serta memahami presepsi dan ekspektasi mereka terhadap hak atas tanahnya kebijaksanaan terhadap pendistribusian tanah tidak akan merugikan masyarakat setempat

Disamping itu, distribusi tanah di perkotaan bukannya tidak mengalami masalah yang delematis. Salah satu contohnya kelemahan dalam penerapan manajemen tanah perkotaan tampak dari meningkatnya harga tanah yang mendorong timbulnya spekulasi, kelangkaan pengembangan tanah perkotaan untuk pemukiman, serta menjamurnya pemukiman liar. Pada umumnya, tanah perkotaan itu diperoleh melalui proses alih fungsi tanah pertanian, baik yang dilakukan Pemerintah maupun pidak swasta. Tersedianya sistem informasi pertanahan yang handal sangat diperlukan untuk mendorong manajemen pertanahan yang efesien dalam arti penggunaan tanah secara optimal.
Tidak jauh berbeda dengan akses tanah dipedesaan, di perkotaanpun akses rakyat jelata terhadap sebidang tanah untuk perumahan boleh dikatakan sangat sulit, namun di sisi lain terdapat badan hukum atau perorangan yag menguasai tanah perkotaan secara berlebihan dengan maksud investasi atau spekulasi. Walaupun sudah diisyaratkan UU 56/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian bahwa mengenai batas maksimum tanah perkotaaan akan diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP), namun PP termaksud sampai saat ini belum kunjung terbit.
Distribusi penguasaan tanah yang timpang telah menunjukkan dampak yang merugikan. Penguasaan tanah untuk industri dan pemukiman yang berskala besar telah memaksa alih fungsi tanah pertanian dengan segala konsekuensinya. Apakah dengan sendirinya penguasaan tanah secara besar-besaran itu harus dihentikan? Kiranya yang diperlukan dalam hal ini adalah sikap tegas dalam menegakkan kebijakan yang korektif, dalam arti kemampuan untuk pengendaliannya. Sudah saatnya pula Pemerintah meningkatkan berbagai upaya intervensi melalui kebijakan fiskal, penatagunaan tanah, pembentukan lembaga yang berfungsi sebagai Bank Tanah serta upaya lain. Dalam upaya pengendalian harga tanah karena harga tanah jelas berdampak pada akses seseorang tehadap sebidang tanah.
Dengan memahami secara utuh hubungan suatu masyarakat dengan tanahnya, akan terbuka kesempatan untuk melakukan komunikasi yang efektif serta akan memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk semakin terbuka terhadap perubahan dengan hal-hal baru yang positif dan bermanfaat bagi mereka, bukan melalui cara-cara yang bersifat paksaan, tetapi dengan jalan mengakui keberadaan mereka dan menghormati hak-haknya. Dalam kaitan ini seyogyanya dipahami bahwa keharusan untuk mengeluarkan suatu wilayah (enclave) yang secara nyata telah dimiliki oleh suatu masyarakat hukum merupakan hal yang sewajarnya dilakukan untuk menghindarkan tumpang tindihnya penguasaan tanah.

Falsafah UUPA Terhadap Fungsi Sosial Hak atas Tanah

Memasuki abad ke-21, dalam usianya yang ke-36, falsafah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mendukungnya, dipertanyakan kembali. Setidaknya terdapat dua kelompok yang mewakili kecenderungan pemikiran yang berbeda terhadap orientasi kebijakan saat ini dan kebijakan yang akan dating. Penggunaan berbagai istilah, misalnya; reformasi, amandemen, ataupun revisi UUPA sesuai dengan defenisi masing-masing menyiratkan adanya keinginan untuk melihat kembali apakah falsafah UUPA masih relevan atau sudah saatnya ditinggalkan.
Sebagai landasan kebijakan pertanahan, falsafah UUPA yang dilandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 ditujukan untuk tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat dalam kaitannya dengan perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam, khususnya tanah. Perbedaan pendapat tentang relevansi falsafah UUPA yang didasarkan pada kenyataan empiris tampak semakin tajam seiring dengan kebijakan deregulasi menyongsong era industrialisasi yang antara lain ditujukan untuk semakin menarik investasi modal asing.
Dikotomi cara pandang terhadap UUPA sangat terkait erat pada implementasi fungsi sosial dan ekonomi hak atas tanah. Kecenderungan untuk memandang tanah lebih pada nilai ekonomisnya semata, yakni tanah sebagai barang dagangan yang tentunya lebih mudah dikuasai oleh mereka yang mempunyai kelebihan modal dan mengakibatkan ketimpangan distribusi penguasaan tanah karena perbedaan akses, jelas tidak sesuai dengan jiwa UUPA. Dasar pemikiran Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Dengan fungsi sosial tersebut, hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan negara. Ketentuan tersebut tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum masyarakat. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi hingga tercapainya tujuan pokok, yaitu kemakmuran, keadilan, dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat bersangkutan. Artinya kepentingan bersama dan kepentingan orang per orang harus saling terpenuhi dan penggunaannya dilakukan bersama-sama di bawah pimpinan penguasa adat. Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari tanah adapt (ulayat). Dengan demikian, hak atas tanah menurut hukum adat bukan hanya berisi wewenang tetapi juga kewajiban untuk memanfaatkannya. Konsep pemilikan tanah menurut hukum adat tersebut kemudian direduksi dalam UUPA sebagai hukum tanah nasional.


Hak Milik Atas Tanah Dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Bersumber pada hukum adat sebagai sumber utama UUPA/Hukum Tanah Nasional, maka Hak Milik didefenisikan sebagai hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Memahami lebih jauh hak milik atas tanah, perlu kita tinjau berbagai konsepsi hukum meliputi konsepsi hukum tanah adat, konsepsi hukum tanah barat dan konsepsi hukum tanah feodal serta konsepsi hukum tanah lainnya. Menurut hukum adat, hak milik atas tanah pada awalnya diperoleh dengan membuka tanah. Selanjutnya pemilikan tanah berkelanjutan dan dapat dijual belikan, diwariskan, dihibahkan, digadaikan dan sebagainya. Konsepsi hukum tanah adat yang merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur kehidupan masyarakat Indonesia, mengedepankan keseimbangan antara “kepentingan bersama” dengan “kepentingan perseorangan”. Pemilikan dan pemanfaatan tanah harus memperhatikan keselarasan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Dilihat dari kajian sosiologi hukum yang dimaksudkan untuk mengkaji dan menganalisis realitas hukum dan konsistensi tujuan pendaftaran tanah. Belum lahirnya peraturan pemerintah tentang terjadinya hak milik menurut hukum adat dan Undang-undang tentang hak milik tanah, kajian dilakukan terhadap peraturan perundangan yang ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UUPA. Kajian diarahkan terhadap variabel-variabel yang relevan meliputi landasan hukum, peraturan perundang-undangan, asas-asas pendaftaran tanah, kebijakan pertanahan, dan lain-lain (das sollen), dan selanjutnya dilakukan pengkajian variabel-variabel penentu lahirnya kepastian hukum dalam realitas masyarakat (das sein).
Sistem Pendaftaran Tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, intinya adalah segala apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertifikat, berlaku sebagai tanda bukti hak yang kuat sampai dapat dibuktikan suatu keadaan yang sebaliknya (tidak benar).
Beberapa hal yang merupakan faktor penentu lahirnya kepastian hukum, dapat dikelompokkan ke dalam landasan Yuridis-Normatif, landasan sosioyuridis dan kebijakan pertanahan. Faktor-faktor tersebut secara formil maupun materiil mempunyai peranan yang sangat menentukan timbulnya kepastian hukum hak milik atas tanah yang telah memperoleh sertifikat. Hal ini sesuai dengan asas nemo plus juris yang mendasari sistem pendaftaran tanah Indonesia yang menganut stelsel negatif dengan tendensi positif, yaitu negara tidak menjamin kebenaran data yang diperoleh dari pemohon hak tanah dari data itu. Kebenaran hukum ditentukan oleh hakim dalam proses peradilan
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hak milik tanah yang sudah terdaftar dan memperoleh sertifikat telah mendapat jaminan kepastian hukum hak tanahnya. Kepastian hukum yang dimaksudkan meliputi kepastian hak, kepastian objek dan kepastian subjek serta proses administrasi penerbitan sertifikat. Hal ini jelas dinyatakan sebagai salah satu tujuan pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat rechts kadaster..

Perwujudan peradilan sosial dibidang pertanahan dapat dilihat dalam prinsip-prinsip dasar UUPA, yakni prinsip ‘negara menguasai’, prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua hak atas tanah, prinsip landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestariannya, dan prinsip nasionalitas. Prinsip dasar ini kemudian dijabarkan dalam berbagai produk berupa peraturan perundang-undangan dan kebijakan lainnya. Dalam praktik dapat dijumpai berbagai peraturan yang bias terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian serupa kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Bila kita sepakat bahwa berbagai kebijakan pertanahan harus ditujukan bagi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, maka beberapa hal perlu diperhatikan.

Yang menjadi bagian awal ialah, prinsip-prinsip dasar UUPA tidaklah bersifat statis. Dinamika perkembangan selama 36 tahun menghendaki diadakannya interpretasi dan reinterpretasi terhadap prinsip-prinsip tersebut secara bertanggungjawab. Menghadapi perkembangan baru, kebijakan yang ditempuh haruslah dilaksanakan dengan tetap taat asas, yakni sesuai dengan konsepsi yang melandasinya, namun akomodatif terhadap perkembangan tersebut.
Kemudian prinsip selanjutnya, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa keberpihakan kepada kepentingan masyarakat banyak sesuai dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, secara langsung berakibat berkurangnya perhatian kepada investasi modal asing. Kebijakan apa pun yang dibuat semestinya memerhatikan keseimbangan antara berbagai kepentingan. Dalam optik sosiologi hukum, keinginan untuk melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan pertanahan yang menyangkut hak milik atas tanah, seyogianya dipahami sebagai keinginan untuk menilai secara arif apakah produk hukum yang telah ada dan sedang dirancang terutama dalam rangka menarik investasi tidak berat sebelah. Sepanjang falsafah UUPA masih relevan, peninjauan kembali bukanlah ditujukan kepada UUPA, melainkan terutama dimaksudkan untuk mengganti, menambah, atau menyempurnakan peraturanperaturan pelaksanaan UUPA.



Menuju Reformasi Kebijakan Pertanahan Progresif

Adalah Satjipto Rahardjo, atau Prof. Tjip panggilan akrab beliau yaitu seseorang yang dijuluki Begawan sosiologi hukum Indonesia yang pertama kali mencetuskan gagasan hukum progresif.Gagasan ini kemudian mencuat kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa yang digagas oleh Prof. Tjip ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara baru mengatasi “kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang berarti kemajuan. Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.

Dilihat dari kemunculannya, hukum progresif bukanlah sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab, dan juga bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri–bertolak dari realitas empirik tentang bekerjanya hukum di masyarakat, berupa ketidakpuasan dan keprihatinan terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum dalam setting Indonesia akhir abad ke-20. Dalam proses pencariannya itu, Prof. Tjip kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan kualitas penegak hukum di Indonesia adalah dominasi paradigma positivisme dengan sifat formalitasnya yang melekat.

Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip dasar kebijakan di bidang pertanahan yang telah digariskan oleh Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau UUPA. Seiring dengan semakin derasnya kecenderungan global terhadap penguasaan dan penggunaan tanah, semakin dirasakan pula perlunya melakukan pembaruan pola pikir yang mendasari terbitnya berbagai kebijakan di bidang pertanahan selama ini.
Pertambahan jumlah penduduk kelangkaan tanah dan kemunduran kualitasnya, alih fungsi tanah dan semakin tajamnya konflik dalam penggunaan tanah antarberbagai aktor pembangunan dalam berbagai tingkatan; kemiskinan, sempitnya lapangan kerja dan akses yang timpang dalam perolehan dan pemanfaatan tanah, serta semakin terdesaknya hak-hak masyarakat hukum adat, hanyalah beberapa contoh kenyataan yang harus dihadapi saat ini.
Dalam perjalanan waktu, setidaknya ada titik balik perubahan sebagai dasar berpijak untuk pembuatan kebijakan pertanahan progresif di masa yang akan datang. Kebijakan di bidang pertanahan ditujukan untuk, yakni efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, pelestarian lingkungan serta pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Untuk tercapainya efisiensi dapat ditempuh berbagai pendekatan dengan berpijak pada aspek urgensi, konsistensi, dan resiko.
Tujuan untuk tercapainya keadilan sosial dapat dijabarkan melalui beberapa aspek misalnya, peran tanah sebagai dasar untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan, identifikasi pihak-pihak yang dirugikan dalam berbagai konflik kepentingan serta sikap terhadap tanah-tanah masyarakat hukum adat. Tujuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup menghendaki tersedianya peraturan tentang penggunaan tanah yang komprehensif, kemampuan menggali peran serta masyarakat setempat dalam pengelolaan sumber daya alam, serta koordinasi cabang-cabang administrasi yang efektif.
Menerjemahkan orientasi kebijakan dengan memperhatikan ketiga tujuan tersebut masih belum mencukupi. Diperlukan penjabaran berbagai aktivitas yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang dimaksud. Berbagai sarana tersebut beruapa tersedianya peraturan perundang-undangan yang mampu menjabarkan berbagai aspek dari orientasi kebijakan dan tujuannya, yakni:
(1) demokratisasi berupa pengawasan terhadap kekuasaan, jaminan stabilitas politik sebagai akibat demokratisasi, dan perlindungan hak asasi manusia;
(2) peningkatan kepastian hukum melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang diperlukan dan pelaksanaannya konsisten;
(3) pemberdayaan kelembagaan yakni memperkuat administrasi pertanahan, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia pendukung dan transparansi dalam proses pembuatan keputusan;
(4) meningkatkan insentif ekonomi dengan berupa efektifitas perpajakan dan transparansi di dalam pasar tanah; dan
 (5) menetapkan batas-batas kewenangan pemerintah berupa perumusan tanggungjawab pokok dan pengembangan model kemitraan antara swasta dan pemerintah







DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Wiratni, 2006, Sinkronisasi Kebijakan Pengenaan Pajak Tanah dengan Kebijakan Pertanahan di Indonesia, PT Refika Aditama : Jakarta
Fauzi, Noer, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta;
Ismail, Nurhasan, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Parlindungan, AP., 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung;
Simarmata, Ricardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok;
Suseno, Frans Magnis, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta;
Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, 1984, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta;
Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta;




Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Ruko Newton Street U1 No. 1 Cibubur
(024) 76670350
HandPhone : 082220117918 

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus