Selasa, 06 Mei 2014

NEBIS IN IDEM DALAM HUKUM PIDANA

PERTANYAAN :

NEBIS IN IDEM


Selamat Siang Bpk/Ibu...

Kalau contoh kasus seperti ini apa bisa dikatakan Nebis in Idem?

Pada thn 2009 si A telah melakukan tindak Pidana Pencurian Buah Sawit. Kemudian di laporkan ke polisi dengan LP Pencurian Buah Sawit. Si A di PN telah di vonis 8 bulan kurungan, kemudian si A banding ke PT, di PT sia A divonis Bebas. lalu Jaksa kemudian banding ke tingkat kasasi di MA dan si A di Putus Bebas oleh Hakim MA. Kemudian tahun 2013 si A mengulangi lagi perbuatan nya pencurian buah sawit di objek yang sama. Kemudian di laporkan lagi ke polisi dengan LP Pencurian Buah Sawit. Apakah pelaku si A bisa di Proses di polisi dan di tuntut oleh Jaksa atau tidak atas perbuatan nya di thn 2013 tsb? Apakah perkara tsb di katakan nebis in idem? Kejadian yg di laporkan ini bukan perbuatan di thn 2009, pelaku mengulangi lg perbuatan nya di thn yg berbeda. Klu azas nebis in idem berlaku, Lalu bagaiman kepastian hukum dan pelanggaran hak azasi manusia bagi korban pencurian sawit tsb? Sebelum nya Kami Ucapkan Terimakasih...



MULIAMAN SIMBOLON



JAWABAN :


Sebelumnya kami sampaikan terima kasih atas pertanyaan yang telah diberikan, atas pertanyaan mengenai asas nebis in idem khususnya dalam hukum Pidana akan kami jawab sebagai berikut :



Ketentuan mengenai asas nebis in idem dalam hukum pidana diatur pada Pasal 76 ayat (1) dan (2) KUHP, Bab VIII tentang Gugurnya Hak Menuntut dan Gugurnya Hukuman. Pasal ini mengandung prinsip penting, yaitu bahwa seseorang tidak dapat dituntut sekali agi karena perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh hakim dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ( gewijsde atau res judicata).
            Prinsip ini juga dikenal dengan nama asas nebis in idem ( Tidak dua kali dalam hal yang sama), tidak hanya mengenai hal bahwa seseorang yang telah dihukum karena telah melakukan tindak pidana tidak boleh dituntut lagi mengenai perbuatan yang sama tersebut, tetapi juga jika orang dalam perkara pertama diputus dibebaskan (vrijspraak) atau dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging), maka atas suatu perbuatan yang sama, ia tidak boleh dituntut lagi.
        Putusan yang dimaksud adalah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu dapat berupa :
·         Penjatuhan hukuman  
Hakim memutuskan bahwa terdakwa jelas melakukan suatu tindak pidana yang dituduhkan kepadanya;

·         Putusan lepas
Pembebasan dari segala tuntutan hukuman dimana peristiwa yang dituduhan kepada terdakwa terbukti bersalah, namun peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana (tidak ada unsur pidana di dalamnya);
·         Putusan bebas 
Bahwa kesalahan terdakwa atas peristiwa yang dituduhkan kepadanya tidak cukup bukti, maka hakim memutuskan bebas.


Untuk pertanyaan yang Sdr./Sdri berikan dapat kita kaitkan dengan istilah double jeopardy , walau  sebenarnya, istilah double jeopardy tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Dalam artikel yang berjudul Kasasi Vonis Bebas, Indonesia Bisa Tiru Eropa, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan bahwa dalam praktik di beberapa negara, mengajukan upaya hukum terhadap putusan bebas dikaitkan dengan apa yang disebut double jeopardy. Artinya, kurang lebih sama dengan asas ne bis in idem namun memiliki perbedaan yang signifikan.

Lebih lanjut, Jaksa Agung Basrief Arief mengatakan bahwa perbedaan double jeopardy dengan ne bis in idem adalah ne bis in idem sebagaimana dimaksudPasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama, yang sebelumnya sudah diputus oleh hakim seperti yang telah kita uraikan diatas. Sedangkan, double jeopardy adalah suatu prosedur dalam pembelaan bagi terdakwa bahwa ia tak dapat diadili lagi berdasarkan dakwaan yang sama berdasarkan suatu putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim.

Seorang terpidana pencurian yang ternyata sebelum atau setelah dipidana sudah atau melakukan pencurian, dapat didakwa dengan pencurian atas pencurian sebelumnya ataupun sesudahnya. Ini karena Pasal 76 ayat (1) KUHP yang mengatur mengenai ne bis in idem mengatakan bahwa orang tidak boleh dituntut sekali lagi atas perbuatan atau peristiwa yang baginya telah diputuskan oleh Hakim. Ini berarti bahwa walaupun perbuatan yang dilakukan oleh si terpidana adalah sama-sama pencurian, akan tetapi karena hal tersebut merupakan 2 (dua) peristiwa yang berbeda, maka di terpidana dapat dituntut atas peristiwa pencurian yang lainnya.

Mengenai Pasal 76 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal memberikan contoh yang sangat sesuai dengan permasalahan yang ditanyakan  sebagai berikut:

“Misalnya ada seorang dituduh: Telah melakukan pencurian pada hari Senin tanggal 8 Desember 1958 dalam rumah A di Jakarta, akan tetapi tertuduh dapat membuktikan dengan pasti bahwa ia selama hari Senin tanggal 8 Desember 1958 tersebut telah berada di Surabaya. Dalam hal ini kewajiban hakim ialah memutuskan pembebasan tertuduh dari perbuatan yang dituduhkan kepadanya itu, walaupun dalam sidang itu juga misalnya ternyata, bahwa pencurian yang dimaksudkan itu benar-benar telah dilakukan di tempat yang ditentukan itu juga dan benar-benar dilakukan oleh tertuduh, akan tetapi melakukannya itu barulah pada tanggal 15 Desember 1958. Jadi meskipun tertuduh salah telah melakukan pencurian pada tanggal 15 Desember 1958 itu, akan tetapi ia tidak boleh disalahkan terhadap pencurian pada hari Senin tanggal 8 Desember 1958 dan dengan alasan itulah maka ia harus dibebaskan. Memang ia dapat dituntut lagi karena telah melakukan pencurian yang terjadi pada tanggal 15 Desember 1958 itu dan karena perbuataan inilah ia akan dapat dihukum oleh karena tentang perbuatan ini sebenarnya belum diputus.”

Dedet Hardiansyah dalam artikel yang berjudul Ne bis in idem, sebagaimana kami sarikan, menjelaskan bahwa suatu peristiwa harus dilihat dari segi waktu (tempus delicti) dan tempat (locus delicti). Masalah tempus delicti ini menjadi penting dalam sebuah peristiwa pidana karena dalam Pasal 143 (2) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana ("KUHAP") disebutkan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaaan dengan menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu. Dalam Pasal 143 ayat (3) KUHAP disebutkan bahwa Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.

Atas perbuatan pencurian yang lain tersebut, bahkan si terpidana dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (recidive) dan dapat dijadikan dasar pemberat hukumannya sebagaimana terdapat dalam Pasal 486 KUHP. Ancaman hukuman untuk perbuatan recidive ini adalah ancaman hukuman ditambah sepertiganya. Mengenai pasal ini, R. Soesilo (ibid, hal. 318) menjelaskan bahwa untuk dapat dikatakan recidive, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.    Mengulangi kejahatan yang sama atau oleh undang-undang dianggap sama macamnya;
2.    Antara melakukan kejahatan yang satu dengan yang lain sudah ada putusan hakim (jika belum ada putusan hakim, adalah merupakan suatu gabungan kejahatan “samenloop”, bukan “recidive”);
3.    Harus hukuman penjara (bukan hukuman kurungan atau denda); dan
4.    Antara tidak lebih dari 5 tahun, terhitung sejak tersalah menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

Sehingga kesimpulannya adalah perbuatan yang dilakukan tersebut merupakan peristiwa yang berbeda dengan tempat dan waktu yang berbeda pula, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam ne bis in idem. Namun jstru dapat digolongkan sebagai recidive apabila Terdakwa telah dikenai hukuman Pidana (yang dalam permasalahan yang ditanyakan tidak terjadi karena putusan MA menyatakan terdakwa bebas)

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.




BOB HORO, SH., MH.

Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 081222444001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar