Kamis, 06 November 2014





Alternatif Pemidanaan “Restoratife  Justice “ Bagi Anak yang Berkonflik Dengan hukum

 



Dalam berbagai wacana aktual, restorative justice atau keadilan restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana diluar pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana bisa diterapkan dalam sistem ini, namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan proses peradilan pidana yang konvensional.Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Selasa (13/3), saat menjadi narasumber dalam “Rakernis Fungsi Reserse Kriminal Polri Tahun 2012,” yang diselenggarakan oleh Mabes Polri, di Hotel Mercure-Ancol, Jakarta, yang bertemakan “Komitmen Penyidik Polri Melaksanakan Penegakan Hukum dengan Jujur, Benar, dan Adil untuk Memenuhi Tuntutan Rasa Keadilan Masyarakat.”
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi, apa yang sebenarnya direstorasi? Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Kenapa hal ini menjadi penting? Karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka. Setiap indikasi tindak pidana, tanpa memperhitungkan eskalasi perbuatannya, akan terus digulirkan ke ranah penegakan hukum yang hanya menjadi jurisdiksi para penegak hukum. Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi, semuanya hanya bermuara pada putusan pemidanaan atau punishment tanpa melihat esensi.
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian masalahnya. Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.Kewenangan untuk menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut. Oleh karena itu di dalam RUU KUHAP yang terbaru perlu didorong pendekatan penanganan tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan pendekatan restorative justicedibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
Mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL pernah menulis bahwa hambatan dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Menurut beliau, apakah masih ada tujuan pemidanaan yang belum tercapai apabila para pihak telah berdamai satu sama lain? tujuan penegakan hukum bukanlah untuk menerapkan hukum, melainkan untuk mencapai ketertiban, kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.Kisah dariProf. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL, sebagaimanatertuang dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir” akan saya kutip untuk menambah ruang pertanyaan dalam benak anda mengenai konsep restorative justice ini;

“hampir 40 tahun lalu-ketika itu saya belum lama memperoleh gelar Sarjana Hukum- saya ditugasi mengajar pada kursus perwira di Pusat Pendidikan Infantri Bandung....ketika membahas mengenai sifat-sifat dan tata cara penegakan hukum pidana, seorang peserta menceritakan pengalaman dan sekaligus meminta pendapat saya.Perwira Komandan Batalyon yang bersangkutan menceritakan pengalamannya menghadapi pertikaian fisik antara dua kelompok masyarakat tradisional di suatu tempat. Mula-mula, dalam rangka memulihkan ketertiban dan penegakan hukum, para perusuh ditangkap dan ditahan. Tetapi masalah menjadi lebih meluas dan rumit. Kedua pihak yang bertikai dengan ancaman kekerasan “mengepung” kantor tempat tahanan dan menuntut kawan-kawan mereka dibebaskan, di pihak lain pertikaian berjalan terus.
Untuk mengatasi persoalan, Batalyon mengambil kebijakan mengusahakan perdamaian antara kelompok yang bertikai. Dengan menyediakan berbagai makanan termasuk menyembelih hewan, kedua kelompok diundang. Kedua kelompok menerima undangan tersebut, melalui upacara tertentu kedua kelompok berdamain, yang ditahan dilepaskan, dan proses hukum dihentikan.Setelah bercerita, Perwira Komandan Batalyon tersebut kemudian bertanya, apakah tindakan kami salah, tidak meneruskan proses hukum tersebut, sedangkan yang terjadi adalah suatu tindak pidana?”
Jawaban dari pertanyaan tersebut mungkin beragam, ada yang sepakat bahwa hal itu bisa dibenarkan, ada juga yang tidak setuju jika proses hukum dihentikan. Namun Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL sendiri menjawab bahwa, salah satu tujuan hukum pidana ialah tegaknya ketertiban dan perdamaian, kalau dengan cara-cara yang ditempuh telah melahirkan ketertiban dan perdamaian, maka tujuan pemidanaan telah tercapai sehingga tidak lagi diperlukan proses pemidanaan.Sudah selayaknya, semestinya, seharusnya, dan sepantasnya sebuah “karya agung” bangsa Indonesia yang dipakai sebagai dasar formil dalam setiap penanganan perkara pidana lebih mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat, pendekatan humanis yang lebih adil harus didorong dan diutamakan ketimbang suatu pendekatan formal legalistik kaku yang tidak menciptakan keadilan di dalam masyarakat. Karena sejatinya yang dicari dalam sebuah proses pemidanaan pun adalah keadilan, sehingga sang pemutus nantinya bisa menciptakan putusan yang berdasarkan keadilan dan bukan berdasarkan hukum, sama seperti adagium populer yang dipakai sebagai pembuka dari tulisan ini “Fiat Justisia Ruat Coelum”, walau langit runtuh KEADILAN harus ditegakkan.[2]
Liebmann memberikan rumusan prinsip dasar restorative justice sebagai berikut:
1.    Meprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban
2.    Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan
3.    Dialog antara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman
4.    Ada upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
5.    Pelaku pelanggar harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di masa depan
6.    Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun pelaku.
Sedangkan proses dari restorative justice dapat dilakukan dengan cara mediasi antara pelaku dan korban, reparasi (pelaku membetulkan kembali segala hal yang dirusak), konferensi korban-pelaku (yang melibatkan keluarga dari kedua belah pihak dan tokoh pemuka dalam masyarakat), dan victim awareness work (suatu usaha dari pelaku untuk lebih peduli akan dampak dari perbuatannya).

2.2. Pendekatan hukum secara “restoratife justice” terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai alternatife pemidanaan
Dalam pasal 1 angka 6 Undang-Undang 11 tahun 2012 tentang system peradilan anak yang berbunyi :
“Keadilan restorative adalah penyelasaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.
A. Pemidanaan penjara bukan sebuah alternatif terbaik bagi masadepan Anak
Perlakuan bagi anak yang berorientasi terhadap perlindungan serta pemenuhan hak-hak bagi anak sudah merupakan suatu kewajiban bagi seluruh komponen bangsa terutama para aparat penegak hukum sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang tersebut merupakan jaminan pelaksanaan hak-hak anak di bidang hukum.Sudah jamak diketahui bahwa permasalahan perlindungan anak di Indonesia sangat berat dan kompleks.Salah satu persoalan yang serius dan mendesak untuk memperoleh perhatian adalah penanganan anak yang berhadapan dengan hukum atau anak yang berkonflik dengan hukum (ABH). Perlu kita pikirkan bersama bahwa persoalan pemidanaan anak sangat serius karena : (1) dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan banyak bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk dalam mesin peradilan, (2) perspektif anak belum mewarnai proses peradilan, (3) penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan, (4) selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan, dan (5) ada stigma yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya. (Hadi Supeno. 2010. Dekriminalisasi Anak. KPAI).
Pengertian keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan ketika anak dalam posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum ketika anak diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana.
Perlindungan (advokasi) terhadap anak secara yuridis merupakan upaya yang ditujukan untuk mencegah agar anak tidak mengalami perlakuan yang diskriminatif/perlakuan salah (child abused) baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka menjamin kelangsungan hidup, tumbuh dan perkembangan anak secara wajar, baik fisik maupun mental dan sosial.Kelangsungan hidup dan perkembangan anak serta kehidupan sosial dan penghargaan terhadap pendapat anak yang berkonflik dengan hukum  merupakan  permasalahan yang  sangat  kompleks, dan banyak faktor yang menyebabkan anak terlibat dalam konflik hukum. Baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, anak yang berkonflik dengan hukum memerlukan perlindungan mengingat anak adalah individu yang masih belum matang dan masih sangat tergantung pada orang lain. Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri terhadap berbagai ancaman mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang hidup, kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam pelaksanaan peradilan pidana anak yang masih asing bagi dirinya.
Sesuai dengan esensi yang terkandung dalam tujuan Undang-Undang Pengadilan Anak  yaitu ”Untuk memberikan perlindungan kepada anak dan menjamin kesejahteraan anak, meskipun ia berkonflik dengan hukum”. Selain bertujuan memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan kepada anak, juga bertujuan agar dalam penjatuhan sanksi hukum terhadap anak harus benar-benar secara proporsionalitas, tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada penghukuman (pidana penjara) semata, akan tetapi juga memberikan alternatif lain dalam bentuk pembinaan (tredment) yaitu sanksi pidana non penal (tindakan) dengan menerapkan konsep restorative justice.
Oleh karena itu advokasi terhadap anak sebagai bentuk upaya perlindungan anak yang sedang berkonflik dengan hukum melalui sosialisasi tentang pelaksanaan restorative justice perlu terus dilakukan dalam rangka mencari alternatif lain selain pidana penjara sebagai tujuan pemidanaan di Indonesia.Berbagai latar belakang penyebab anak berkonflik dengan hukum sering kali tidak menjadi fokus perhatian.Fokus media masa biasanya hanya pada macam kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak.Misalnya berita kasus pencurian ringan yang dilakukan oleh anak karena dalam keadaan lapar atau pengaruh  lingkungan, pencabulanakibat lepasnya  kontrol   pemerintah  dan  masyarakat   pada  VCD  dan tabloid porno sampai dengan pembunuhan akibat pengaruh pemutaran film sadis serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang narkotika dan lain sebagainya.Sebagaimana yang ditegaskan dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) Pasal 37 huruf (b) Resolusi No. 109, maupun Peraturan Minimum Standar PBB tentang Administrasi Peradilan Bagi Anak (The Beijing Rules), Resolusi No. 40/33, tanggal 29 November 1985, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor: 36 Tahun 1990. Dinyatakan: ”Penangkapan, penahanan, dan penghukuman/pemenjaraan harus menjadi langkah terakhir yang diambil dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum (ultimum meredium) dan untuk jangka waktu yang paling pendek/waktu yang sesingkat-singkatnya”.
Baik instrumen yang bersifat internasional dan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, maupun instrumen hukum positif  nasional Indonesia yang ada seperti UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, dan UU No. 23 No. 2002 Tentang Perlindungan Anak, telah menegaskan kembali apa yang telah digariskan dalam konvensi tersebut.
Bahkan Kepolisian Republik Indonesia telah membuat pedoman dalam melaksanakan tugas sebagai penyidik Polri melalui Telegram Kapolri tertanggal  11  November  2006  dengan  Nomor  Pol : TR/1124/XI/2006,  antara  lain disebutkan; ”Kategori tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang diancam dengan sanksi pidana sampai dengan 1 tahun dapat diterapkan diversi; Kategori tindak pidana yang diancam dengan sanksi pidana di atas 1 tahun s.d. 5 tahun dapat dipertimbangkan untuk penerapan diversi; dan anak kurang dari 12 tahun dilarang untuk ditahan, dan penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum harus mengedepankan konsep restorative justice”.  
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Kajian  Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Negara Pemberdayaan  Perempuan dan Perlindungan Anak (KNP3A), dalam suatu kajian analisis yang dilakukan pada bulan September s/d Nopember 2002 oleh UNICEF bekerjasama dengan Pusat Kajian Kriminologi, mengemukakan bahwa: ”Di atas 4.325 anak-anak ditangkap dan ditempatkan di Rumah Tahanan Negara dan Lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia, sebagian dari mereka (84 %) ditahan bersama-sama orang dewasa. Sebagai tambahan, 9.440 anak-anak ditangkap dan sambil menantikan sidang pengadilan mereka ditempatkan di dalam rumah tahanan negara dan tidak ada data yang tersedia tentang banyaknya anak-anak yang dialihkan dari sistem peradilan ke sistem perlakuan yang lebih baik untuk kepentingan anak (the best interest of the child) yang merupakan implikasi dari konsep Restorative Justice,  tetapi sebagian besar mereka 84 % - 90 % dikirim ke pengadilan dan dari sana ke penjara/lembaga pemasyarakatan. Kondisi anak-anak  di dalam rumah tahanan negara dan lembaga pemasyarakatan (penjara) sangat memprihatinkan karena minimnya akses pada pendidikan, kesehatan dan fasilitas bagi mereka pada saat mengisi waktu senggang. (Laporan Tim Need Assesment di Lapas dan Rutan Makassar, 2004).
Di tahun 2009 jumlah anak yang berkonflik dengan hukum berada dalam rumah tahanan negara (Rutan) dan lembaga pemasyarakatan (Lapas) sebanyak  6.576 terdiri dari  2.188 anak berstatus tahanan dan 3.388 berstatus narapidana berada di dalam Rumah Tahanan Negara/Lembaga Pemasyarakatan (Data Bina Statistik Dirjen  Pemasyarakatan, Juli 2009). Banyaknya anak yang berada di dalam Rutan/Lapas ini mengindikasikan bahwa ”Penangkapan, penahanan dan penghukuman/pemenjaraan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum bukan lagi merupakan upaya yang terakhir (ultimum meredium), karena dalam tingkatan empiris terdapat sejumlah anak yang cukup besar yang berkonflik dengan hukum justru berada dalam tahanan sambil menunggu proses hukum mulai dari penyidikan, penuntutan sampai pada tahapan menunggu putusan pengadilan berupa putusan pidana penjara”. 
Hal tersebut diperkuat dengan data yang ada bahwa; ”Banyak anak yang dipidana penjara  yang pidananya kurang dari 1 (satu) tahun menjalani pidananya di dalam Rumah Tahanan Negara/di dalam Lapas, bahkan terdapat 529 orang anak yang berada di Rutan/Lapas berusia di bawah 12 tahun”. (Bina Statistik Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2009).
Berdasarkan kondisi tersebut di atas, ada indikasi bahwa; ”Substansi hukum yang berlaku (UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak) yang digunakan sebagai instrumen dalam memperlakukan anak yang berkonflik dengan hukum cenderung belum terimplentasikan secara optimal dan cenderung belum mencerminkan sebagai tindak lanjut dari apa yang telah disepakati dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak Resolusi PBB No. 109 Tahun 1990 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dalam mewujudkan tujuan restorative  justice sebagai salah satu alternatif pelaksanaan pemidanaan bagi anak yang berkonflik dengan hukum”.
Selain kedua hal tersebut terdapat isu lagi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat,  bahwa; ”Masih banyak aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, dan Petugas Lapas) belum konsisten dalam menerapkan konseprestorative justice”. Banyaknya anak yang berhadapan dengan hukum, memunculkan banyak pertanyaan dibenak banyak pihak, apakah anak Indonesia memang begitu nakal dan jahat sehingga harus menghuni sel-sel penjara.Ternyata tidak, mereka masuk karena ada sistem yang mengkriminalisasi anak. Pertama, doktrin masyarakat yang menganggap setiap anak yang melakukan pelanggaran hukum harus dipenjara. Kedua, kultur aparat penegak hukum yang lebih sering memilih jalan pemidanaan daripada alternatif hukuman seperti keadilan Restorative maupun Diversi. Ketiga, ada undang-undang yang semestinya melindungi anak tetapi malah mengkriminalisasi anak, yaitu UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Maka jangan heran kalau setiap harinya jumlah anak yang dikriminalisasi oleh UU Pengadilan Anak bukan semakin berkurang tetapi malah semakin bertambah banyak, sehingga kapasitas penjara akan mengalami over capacity bagi penghuninya.
Oleh karena itu peran pemerintah perlu didorong karena mempunyai kewajiban memenuhi hak-hak anak sebagai konsekwensi yang telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak. Jika mempelajari sistem otonomi daerah melalui birokrasi yang diterapkan oleh pemerintah saat ini dan untuk memenuhi hak-hak anak diperlukan adanya suatu institusi/ataupun relawan yang memiliki kepedulian secara khusus untuk  menangani advokasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Melalui kebijakan tersebut diharapkan penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat menggunakan restorative justice sebagai alternatif dari pelaksanaan pemidanaan terhadap anak dapat diwujudkan.

A.      Kesimpulan
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.Pendekatan secara restoratife justice ini dalam penyelesaianya melibatkan bukan hanya pelaku tindak pidana dan korban tetapi melibatkan juga keluarga korban atau keluarga pelaku dan juga masyarakat.Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. 
Kemudian Sesuai dengan esensi yang terkandung dalam tujuan Undang-Undang Pengadilan Anak  yaitu ”Untuk memberikan perlindungan kepada anak dan menjamin kesejahteraan anak, meskipun ia berkonflik dengan hukum”. Selain bertujuan memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan kepada anak, juga bertujuan agar dalam penjatuhan sanksi hukum terhadap anak harus benar-benar secara proporsionalitas, tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada penghukuman (pidana penjara) semata, akan tetapi juga memberikan alternatif lain dalam bentuk pembinaan (tredment) yaitu sanksi pidana non penal (tindakan) dengan menerapkan konsep restorative justice, karena pemberian sanksi pidana penjara bukan merupakan alternative terbaik bagi masa depan anak.

SADDAM SETIA GULTOM. SH


Tidak ada komentar:

Posting Komentar