Kamis, 20 November 2014

TINDAK PIDANA PERBUATAN ZINA (PERZINAHAN)


TINDAK PIDANA PERBUATAN ZINA (PERZINAHAN)
Negara Indonesia akhir-akhir ini banyak diwarnai dengan munculnya kehebohan mengenai video-video mesum yang beredar dari berbagai kalangan baik dari pejabat, artis, pegawai negeri sipil PNS dan paling parah yang mengakibatkan kita miris dengan keadaan bangsa ini ialah hal tersebut sudah terjadi dikalangan lingkungan pelajar mulai mahasiswa, hingga siswa atau siswi SMA sederajat dan SMP sederajat. Sungguh dapat dikatakan bangsa kita sedang mengalami apa yang dinamakan degradasi moral.
Hukum positif Indonesia tidak tegas mengatur mengenai hal tersebut sehingga banyak sekali orang yang melakukan perzinahan, di dalama hukum nasional kita peraturan mengenai perzinahan merupakan tindak pidana perkosaan pencabulan dan merupakan delik aduan.
Yang dimaksud dengan delik aduan itu sendiri yaitu adanya pengaduan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu. Sehingga perzinahan hanya dapat di tindak lanjutin oleh pihak berwenang apabila ada aduan dari masyarakat.
Pihak-pihak yang berhak mengajukan aduan dan jangka waktunya, dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 72 KUHP seperti :
  1. Wakilnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang yang belum dewasa). Misalnya orang tua korban, pengacara, pengampu (curator) dan wali.
  2. Orang yang langsung dikenai kejahatan itu (korban).
Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut diatur dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP. Maksud Pasal 74 ayat (1) yaitu kalau seseorang mempunyai hak untuk mengajukan aduan, ia hanya boleh memasukan aduan tersebut paling lama dalam jangka waktu enam bulan setelah kejadian itu diketahuinya, tetapi kalau kebetulan ia berdiam di luar negeri, maka tenggang waktu itu paling lama sembilan bulan.


Zina (Perzinahan) Menurut KUHP Indonesia
KUHP sebagai kitab induk hukum pidana di Indonesia, dalam pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana zina sebagai bagian dari kejahatan terhadap kesusilaan, semuanya masuk pada jenis kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan ini dimuat dalam lima pasal, yakni: pasal 284 (perzinaan), pasal 285 (perkosaan bersetubuh), pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan istrinya yang dalam keadaan pingsan). 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur lima belas tahun yang bukan istrinya), dan Pasal. 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin dan menimbulkan luka atau kematian. Kejahatan terhadap kesusilaan di bidang persetubuhan ini, selain perzinaan (284) hanya dapat dilakukan oleh si pembuai (laki-laki). Dibentuknya kejahatan di bidang ini, ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum kaum perempuan di bidang kesusilaan dalam hal persetubuhan.
Hal inilah yang menarik untuk dikaji dan pada kesempatan ini saya ingin mengkaji dari sisi hukum pidana positif, karena seolah-olah  sanksi bagi pelaku tindak pidana perzinahan yang diatur dalam hukum pidana kita tidak memberi efek balik dalam meminimalisir terjadinya tindak pidana dimaksud, bahkan menurut pengamatan saya justru ada sedikit kelemahan dari keberadaan aturan tentang tindak pidana perzinahan yang ada dalam hukum pidana materil kita (KUHP), yang sekiranya memberi peluang kepada laki-laki/perempuan yang telah menikah untuk berzinah/selingkuh. Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa Hukum Pidana hendaknya dipandang sebagai suatu yang Ultimum Remedium atau penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum, dimana harus dipergunakan dalam mengatur perilaku hidup manusia. Jika (KUHP) sebagai Ultimum Remedium dalam mengatur perilaku hidup manusia yang berzinah (selingkuh) saja sudah tidak mempan, lalu harus bagaimana lagi ? (memang masih banyak faktor yang bisa dipergunakan untuk mengubah perilaku hidup manusia).
Perbuatan yang mempunyai makna sama dengan perzinaan dalam KUHP digolongkan kejahatan terhadap kesusilaan diatur dalam Pasal 284-303 KUHP. Salah satu kejahatan kesusilaan tersebut dikenal dengan perzinaan/mukah (overspel). Yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, dapat dirumuskan sebagai berikut :

(1).             Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan jika :
1a.  seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya;
2a.  seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.
3a.  seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
4a.  seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 KUH Perdata (asas monogami) berlaku baginya.

(2). Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 KUHPerdata, dalam tenggang waktu 3 bulan diikuti dengan permintaan bercerai, atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga.
(3). Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72, 73 dan 75 KUHP.
(4). Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
(5). Jika bagi suami/istri berlaku Pasal 27 KUH Perdata, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

Mencermati akan bunyi pasal yang mengatur tentang perzinahan diatas, maka unsur-unsur terpenting dari tindak pidana perzinahan yang harus dipenuhi guna menghukum seseorang sebagai pelaku tindak pidana perzinahan adalah :
(a). Salah satu pihak telah menikah sah (tentang Sah-nya perkawinan dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),
(b). Adanya persetubuhan atas dasar suka sama suka (Unsur pasal ini menekankan bahwa persetubuhan sudah harus benar-benar terjadi. Perbedaan persetubuhan dalam Pidana Perzinahan dan Pidana Pemerkosaan  adalah, Dalam Pidana Perzinahan terjadinya persetubuhan oleh karena suka sama suka sedangkan dalam Pidana Pemerkosaan, terjadinya persetubuhan oleh karena tidak disukai oleh salah satu pihak dan diikuti dengan adanya ancaman kekerasan),
(c). Harus ada Pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan (unsur ini menggambarkan bahwa pidana perzinahan sebagai sebuah delik aduan yang absolut, tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan). Bila dari ketiga unsur ini, salah satu tidak terpenuhi, maka sudah pasti seseorang tidak dapat diproses sebagai pelaku tindak pidana perzinahan.
Selain dilematisnya pemenuhan ketiga unsur pasal dari tindak pidana perzinahan diatas, salah satu persoalan penting yang juga menyebabkan aturan tentang tindak pidana perzinahan ini seolah-olah tidak memberi “tekanan psikologi“ yang berarti bagi setiap orang untuk tidak berbuat tindak pidana perzinahan adalah tidak dapat dikenakannya tindakan “Penahanan” terhadap pelaku tindak pidana perzinahan. Sedangkan kita ketahui bersama bahwa seorang suami/istri yang menjadi korban dari sebuah tindak pidana perzinahan, ketika menangkap “basah” suami/istrinya dengan pasangan zinahnya, tentu lebih menginginkan suaminya/istrinya yang berzinah tadi dikenakan penahanan, karena dengan tindakan penahanan sedikit tidaknya terobati rasa keterpukulan psikis yang dialaminya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa, Salah satu kekhasan dari Hukum Pidana daripada hukum-hukum lainnya adalah “adanya penderitaan yang bersifat khusus”, dikatakan penderitaan yang bersifat khusus oleh karena dalam hukum pidana adanya hukuman yang langsung menyentuh pada subyek secara jasmani batiniah berupa hukuman penjara, bahkan perampasan nyawa oleh negara melalui perangkat-perangkatnya, memang pada hukum lainpun juga mengenal adanya suatu penderitaan yang dialami sebagai suatu akibat hukum, Misalnya pada Hukum Perdata, adanya penyitaan harta benda milik seseorang, yang sudah tentu juga menimbulkan penderitaan bagi yang terkena tindakan penyitaan tersebut, akan tetapi hukuman penjara pada hukum pidana sedikit tidak mempunyai nilai lebih khusus oleh karena merampas kebebasan hidup bergerak dan lain sebagainya.
Tidak dikenakannya penahanan terhadap pelaku tindak pidana perzinahan, membuat seorang pelaku tindak pidana perzinahan “bergerak lebih leluasa (terutama pihak suami)” untuk melepaskan diri dari jeratan proses hukum yang dialami. Saya katakan bergerak lebih leluasa untuk melepaskan diri dari jeratan proses hukum oleh karena apabila ada seorang istri melaporkan suaminya berzinah, karena ia menangkap basah suaminya berzinah, sudah tentu polisi sebagai penyidik akan memeriksa suami yang berzinah tadi, serta pemeriksaan saksi-saksi guna dilakukannya pemberkasan menjadi sebuah berkas perkara yang nantinya dikirim kepada jaksa selaku penuntut umum untuk kemudian diajukan ke pengadilan.
Disinilah kita bisa membayangkan bagaimana tekanan batin yang dialami oleh istrinya yang baru saja melaporkan suaminya berzinah tetapi beberapa saat kemudian ia harus menjalani kehidupan bersama suaminya (serumah), karena suaminya tidak ditahan atas laporan yang baru saja ia sampaikan. Sudah tentu si suami akan memberi “tekanan (dalam pengertian yang luas)” kepada istrinya untuk segera mencabut laporannya. Saya percaya pasti si istri akan mencabut laporannya, apalagi bila dalam kehidupan sehari-hari, kelangsungan hidup rumah tangga mereka itu dinafkahi oleh si suami (tulang punggung ekonomi keluarga), kalaupun si istri tadi adalah seorang yang berpenghasilan tetap dan bisa saja tidak tergantung sepenuhnya pada suami dalam hal pemenuhan ekonomi rumah tangga, tetapi demi keutuhan kehidupan rumah tangganya dan kemartabatan perempuannya ia pasti dapat mencabut laporannya. (biasanya yang tidak mau mencabut laporannya, karena sudah memantapkan pilihan untuk tidak mau lagi hidup bersama sebagai suami istri/cerai).
Karena jarang sekali terjadi (sebagaimana saya katakan diatas), seorang istri yang melaporkan suaminya berzinah dan membiarkan hingga proses peradilan berjalan atas suaminya, kemudian suaminya menjalani hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan, setelah selesai suaminya menjalani hukuman penjara di lembaga pemasyarakatan, baru mereka hidup normal lagi sebagai suami istri.
Seorang Pegawai Negeri Sipil misalnya (bisa diambil contoh dari berbagai profesi, tetapi kebetulan saat ini saya mengambil sampel pada profesi pegawai negeri sipil), apabila ia melakukan tindak pidana perzinahan, terhadap dirinya tidak serta merta dapat dikenakan tindakan disiplin sesuai peraturan disiplin pegawai negeri sipil, mengapa demikian, karena belum ada putusan pengadilan yang inkrah bahwa ia bersalah melakukan tindak pidana perzinahan, disamping itu ia masih dapat menjalankan tugasnya sehar-hari dikantor oleh karena ia tidak di tahan. Akan tetapi apabila ketika dilaporkan sebagai pelaku tindak pidana perzinahan, kemudian melalui serangkaian pemeriksaan di polisi/penyidik didapat bukti yang cukup dan diikuti dengan tindakan hukum berupa “penahanan”, tentu saja akan berdampak pada terbelengkainya tugas yang diemban sehingga dapat mempengaruhi reputasi kerjanya, oleh karena untuk sekian waktu (selama ditahan) ia tidak dapat menjalani tugasnya sehari-hari sebagai seorang pegawai negeri sipil. Maka hal ini akan membawa dampak psikologi bagi dirinya agar mempertimbangkan secara matang apabila ingin melakukan tindak perzinahan sebab sesaat setelah ia dilaporkan berzinah dan padanya didapati bukti yang cukup kemudian dilakukan penahanan atas dirinya, maka ia akan mengalami “dampak ikutan” setelah laporan itu, yakni kerugian moril dalam membangun kembali keharmonisan keluarganya serta juga pada karier dan pekerjaannya. Benar bahwa kalaupun tidak ditahan namun bila diputus bersalah oleh pengadilan ia juga mengalami hal yang sama, akan tetapi sebagaimana dijelaskan diatas, rentang waktu dari adanya laporan tentang sebuah tindak pidana perzinahan hingga mendapat putusan pengadilan yang inkrah memakan waktu yang cukup lama sehingga kita bisa membayangkan, bagaimana seorang suami istri yang sementara berperkara di Pengadilan tinggal serumah (ingat sebagaimana saya sebutkan diatas : dengan tidak ditahan, suami yag berzinah tadi dapat memberi tekanan balik pada istri dan mempunyai waktu yang cukup untuk bergerak kearah mafia peradilan). Oleh banyak kalangan menilai bahwa, walaupun seseorang Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan tindak pidana perzinahan tidak dikenakan penahanan, namun ia tetap mengalami yang namanya kerugian moril,  menurut saya pernyataan ini benar adanya, akan tetapi bagaimana dengan pelaku yang sudah tidak mempunyai rasa malu lagi dan berpikir bahwa bila tertangkap berzinahpun ia tidak ditahan kok dan buktikan dulu melalui proses hukum bahwa ia bersalah karena berzinah.
Mengenai kejahatan zina yang dirumuskan pada ayat (1), terdiri dari empat macam larangan, yakni:
1.      Seorang laki-laki yang telah kawin melakukan zina, padahal Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;
2.      Seorang perempuan yang telah kawin melakukan zina, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW (asas monogami) berlaku baginya;
3.      Seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin;
4.      Seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki-laki yang diketahuinya bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya. Jadi seorang laki­-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat esensial, yaitu: 
·         melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan istrinya;
·         bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW;
·         dirinya sedang berada dalam perkawinan.
Apabila laki-laki atau perempuan yang melakukan zina itu tidak berlaku Pasal 27 BW sedangkan perempuan atau laki-laki yang menjadi kawannya melakukan zina itu tunduk pada Pasal 27 BW dan diketahuinya bahwa laki-laki atau perempuan yang berzina itu tunduk pada BW, kualitasnya bukanlah melakukan kejahatan zina, akan tetapi telah turut serta melakukan zina yang dibebani tanggung jawab yang sama dengan si pembuat zina itu sendiri. Turut serta melakukan zina ini, dilihat dari Pasal 55 ayat (1) KUHP adalah sebagai pembuat peserta (mede pleger).
Jadi untuk turut serta dalam berzina, diperlukan empat syarat, yaitu:
1.      Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suaminya atau bukan   istrinya. Orang ini tidak harus telah menikah; 
2.      Dirinya tidak tunduk pada Pasal 27 BW;
3.      Temannya yang melakukan persetubuhan itu tunduk pada Pasal 27 BW 4. diketahuinya (unsur kesalahan: kesengajaan) bahwa:
a.      Temannya melakukan persetubuhan itu telah bersuami atau beristri,
b.      Yang Pasal 27 BW berlaku bagi temannya bersetubuh itu.
Sementara itu, apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak tunduk pada Pasal 27 BW kedua-duanya, baik laki-lakinya maupun perempuannya tidaklah melakukan kejahatan zina, dengan demikian juga tidak ada yang berkualitas sebagai pembuat pesertanya. Begitu juga apabila baik laki-lakinya maupun perempuannya tidak sedang terikat perkawinan, artinya tidak sedang beristri atau tidak sedang bersuami walaupun dirinya tunduk pada Pasal 27 BW maka kedua-duanya laki-laki atau perempuannya yang bersetubuh itu tidak melakukan zina maupun turut serta melakukan zina. Pasal 27 BW adalah mengenai asas monogami, di mana dalam waktu yang bersamaan seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan satu istri, dan seorang perempuan hanya boleh dengan satu suami.
Sampai kini pengertian bersetubuh seperti itu tetap dipertahankan dalam praktik hukum. Apabila alat penis tidak sampai masuk ke dalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi persetubuhan. Namun, telah terjadi percobaan persetubuhan, dan menurut ketentuan Pasal 53 KUHP telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan berzina, karena belum terpenuhinya syarat seperti tersebut di atas.
Pengertian zina menurut Pasal 284 KUHP yang disyaratkan harus laki­-laki atau perempuan yang sedang terikat perkawin tersebut di atas, berlatar belakang pada pemikiran orang-orang Belanda bahwa zina itu sebagai pengingkaran perkawinan, yang berbeda menurut hukum adat yang berlatar belakang pada penodaan nilai-nilai kesucian daripada persetubuhan.
Kesimpulannya bahwa sebenarnya hukum positif belum mampu menjawab dan menyelesaikan permasalahan bangsa khususnya bidang tindak pidana perzinahan sehingga ketentuan yang tertuang dalam aturan KUHP perlu direvisi dengan memasukkan nilai-nilai yang ada di budaya masyarakat adat-istiadat serta agama yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, penulis tertarik mengkaji mengenai bagaimana analisis yuridis tindak pidana perbuatan zina (perzinahan).
Gambaran keberadaan Tindak pidana perzinahan dalam bingkai hukum pidana positif kita diatas, diharapkan dapat membuka wawasan kita, sehingga kita mempunyai rasa tanggungjawab bersama dalam kehidupan berbalut “kontrak sosial” yang sementara kita jalani sekarang ini untuk memperbaiki perilaku hidup yang menyimpang. Melalui tulisan ini saya menitip pesan kepada para wakil rakyat republik ini yang sementara berkiprah di senayan untuk dapat melihat juga persoalan-persoalan semacam ini guna adanya pembaharuan Hukum Pidana Positif kita demi mencapai keteraturan hidup menuju masyarakat yang aman, damai dan sejahtera, karena mencapai keteraturan hidup menuju masyarakat yang aman, damai dan sejahtera dibutuhkan sumber daya manusia yang “bermoral” bukan yang “amoral”.



2 komentar:

  1. KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS, BERKAT BANTUAN BPK PRIM HARYADI SH. MH BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI JUGA.

    Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A , dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp dinas bpk PRIM HARYADI SH.MH Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk prim haryadi SH. MH beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk DR Prim Haryadi SH.MH 📞 0853-2174-0123. Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk prim haryadi semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....

    BalasHapus
  2. Hindi ko lubos na pasasalamatan si Dr EKPEN TEMPLE sa pagtulong sa akin na ibalik ang Kaligayahan at kapayapaan ng pag-iisip sa aking pag-aasawa matapos ang maraming mga isyu na halos humantong sa diborsyo, salamat sa Diyos na ang ibig kong sabihin ay si Dr EKPEN TEMPLE sa tamang oras. Ngayon masasabi ko sa iyo na ang Dr EKPEN TEMPLE ay ang solusyon sa problemang iyon sa iyong kasal at relasyon. Makipag-ugnay sa kanya sa (ekpentemple@gmail.com)

    BalasHapus