Senin, 17 Juni 2013

Kenaikan Harga BBM dalam Sudut Pandang Hukum


Undang-undang dan Kenaikan Harga BBM
Oleh: Syaefudin Simon

Kenaikan harga bahan bakar minyak yang mengikuti mekanisme pasar di bursa komoditas New York selama ini tampaknya dianggap sah-sah saja. Padahal kenaikan harga BBM di bursa New York tersebut lebih banyak disebabkan oleh permainan para spekulan dan baron perminyakan di Texas, Amerika Serikat. Indikasi permainan harga minyak tersebut bisa dilihat dari kenaikan harga BBM yang tak sesuai dengan hukum dasar ekonomi--supply and demand (jika supply kecil dan demand besar, harga naik. Dan sebaliknya).

Namun, untuk minyak, suplai masih cukup. Stok minyak pun masih banyak. Lagi pula, minyak yang diperdagangkan di bursa New York kurang dari sepertiga dari total perdagangan minyak dunia. Karena itu, mengikuti mekanisme harga minyak di bursa New York sama artinya mencemplungkan diri dalam jebakan para spekulan dan permainan para baron minyak Texas tersebut.

Dari gambaran itulah, mungkin, pemerintah perlu melihat sesuatu yang lebih dasariah--yaitu untuk apa negara didirikan dan apakah langkah pemerintah menaikkan harga minyak di saat rakyat menderita itu punya dasar hukum dan undang-undang yang jelas.

Menurut Kwik Kian Gie, mantan Kepala Bappenas, kebijakan kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah saat ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal ini, misalnya, kata Kwik, bisa dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menguji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Mahkamah Konstitusi pada 15 Desember 2004 mengeluarkan putusan, menyerahkan harga minyak pada mekanisme pasar bebas adalah bertentangan dengan UUD.
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang kebijakan harga BBM itu berbunyi sebagai berikut: "Pasal 28 ayat 2 dan 3, yang berbunyi--masing-masing--'Harga Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar' dan 'Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu', mengindikasikan bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945."

Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Pasal 72 ayat 1 berbunyi sebagai berikut: "Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan." Jadi sangat jelas bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tetap berpedoman pada mekanisme pasar yang oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Jika demikian, untuk apa dibentuk Mahkamah Konstitusi, yang bertugas mengkaji undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar?

Harap tahu saja, mekanisme pasar dan persaingan usaha yang dijadikan landasan mutlak bagi penentuan harga BBM di Indonesia sama sekali tidak sehat dan tidak wajar. Kenapa demikian? Pertama, karena volume minyak yang diperdagangkan di New York Mercantile Exchange (NYMEX) hanya 30 persen dari volume minyak di seluruh dunia. Kedua, bagian terbesar minyak dunia diproduksi oleh negara-negara yang tergabung dalam sebuah kartel yang bernama OPEC. Kalau mekanisme persaingan dirusuhi oleh kartel, apa masih bisa disebut sehat dan wajar? Anehnya, para menteri ekonomi Indonesia tetap menerapkan dalil bahwa harga minyak adalah yang ditentukan di NYMEX itu. Ketiga, harga yang terbentuk di NYMEX sangat dipengaruhi oleh perdagangan derivatif dan oil future trading.
Sekarang ini para ahli mempertanyakan apakah betul bahwa permintaan minyak demikian tinggi dan terus naik seperti grafik harga minyak mentah di NYMEX? Jawabnya: fenomena tersebut adalah hasil rekayasa para spekulan dan hedge fund difuture trading. Persoalannya, kenapa Indonesia mau terjebak dengan permainan itu tanpa mempedulikan derita rakyatnya? (lihat Kwik Kian Gie, Koran Internet, 24 Mei).


Rakyat menjerit
Akibat kenaikan harga BBM, yang bertentangan dengan UUD 45, rakyat Indonesia hari-hari ini menjerit. Mungkin, bagi kalangan kaya, kenaikan sebesar 28,7 persen itu tak ada artinya. Tapi bagi kalangan keluarga miskin, kenaikan sebesar itu sangat berarti. Maklumlah, penghasilan mereka pas-pasan sehingga alokasi dana untuk kebutuhan energinya lebih dari sepertiga penghasilannya. Di Inggris saja, bagi rakyat yang 30 persen pendapatannya tersedot untuk biaya energi, pemerintah menyubsidi secara penuh. Padahal Inggris adalah negara kapitalis.
Lucunya, Indonesia, yang negara Pancasila, tidak mau menyubsidi secara penuh. Mestinya, untuk membantu rakyat miskin akibat kenaikan harga BBM, semua rakyat miskin dibebaskan membayar listrik PLN dan dibebaskan membayar bahan bakar lain untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak hanya bantuan langsung tunai yang Rp 100 ribu per bulan yang nilainya sangat tidak mencukupi, tapi juga biaya pendidikan dan kesehatan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kenaikan harga BBM rata-rata 28,7 persen itu tak memberatkan rakyat. Tahukah Bu Sri, sebelum kenaikan harga BBM saja, sudah sekian ratus rakyat miskin bunuh diri karena didera sulitnya hidup, apa yang akan terjadi setelah kenaikan harga BBM ini? Pernahkah Bu Menteri melihat kondisi rakyat di desa-desa terpencil yang kehidupannya sangat memprihatinkan? Tahukah Ibu, kenaikan harga BBM ini akan mengerek harga-harga bahan kebutuhan rakyat yang lain? Bahkan kenaikan itu terkadang demikian tinggi karena dipermainkan oleh para tengkulak yang mau mencari banyak untung dari kenaikan harga BBM tersebut.

Karena itu, apa yang dikatakan Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Rodli Kaelani benar, yaitu hati pemerintah benar-benar telah membeku melihat derita orang miskin akibat tingginya harga BBM. Pinjam istilah Mahfud Sidik, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, pemerintah benar-benar ndableg dalam memutuskan kenaikan harga BBM ini. Segala saran dan pandangan untuk membatalkan kenaikan harga BBM diabaikan. Padahal saran itu sangat baik, misalnya menghapuskan korupsi di Pertamina, menagih utang kepada para pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mencapai ratusan triliun rupiah, dan, bila perlu, menangguhkan pembayaran utang kepada kreditor.
Semuanya, untuk menyubsidi BBM, agar pemerintah tak perlu menaikkan harga minyak yang menyengsarakan rakyat kecil itu. Minimal untuk jangka waktu tertentu dalam periode "pemulihan ekonomi" yang babak belur akibat krisis moneter dan kenaikan harga BBM pada Oktober 2005, yang mencapai hampir 200 persen.


URL Source:http://korantempo.com/korantempo/2008/05/28/Opini/krn,20080528,65.id.html
Syaefudin Simon
Tenaga Ahli Dewan Perwakilan Rakyat RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar