Rabu, 05 Juni 2013


Lagi-lagi BBM akan dinaikkan. Menurut Pemerintah hal itu akan memperbaiki ekonomi Indonesia. Namun, bagi masyarakat akan menjadi beban besar yang sangat berat. Kedua kubu ini tentu masing-masing memiliki alasan yang saling mempertahankan. Oleh sebab itu, butuh solusi yang mungkin akan menenga-nenagahi diantara kedua kubu tersebut. Dalam hal ini fiqh akan hadir  sebagai salah satu alternatif untuk menuntaskan sebuah gejolak sosial dan ekonomi, dengan berusaha memberikan sebuah tawaran konsep untuk menjawab persoalan ini. Bagaimanakah fiqh bersikap terhadap kebijakan kenaikan harga BBM?
Sesungguhnya, fiqh menghendaki tidak ada rekayasa yang merugikan dalam perputaran ekonomi. Penentuan harga diserahkan kepada mekanisme pasar. Harga-harga dibiarkan naik-turun secara alami, tanpa rekayasa. Itulah sebabnya, Rasulullah sebagai pemimpin tidak mengintervensi penentuan harga barang (tas’îr). Padahal sebelumnya beliau diminta oleh rakyatnya untuk menentukan harga disebabkan harga-harga di pasaran membumbung tinggi. Berikut ini kutipan teksnya:
غَلَى السِّعْرُ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ  ص.م. فَقَالَ يَا رَسُوْلُ اللهِ لَوْ سَعَّرْتَ فَقَالَ إِنَّ اللهَ هُوَ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازَّقُ الْمُسَعِّرُ وَإِنِّيْ أَنْ أَرْجُوْ أَلْقَى اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَلاَ يَطْلُبُنِيْ أَحَدٌ بِظُلْمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِيْ دَمٍ وَلاَ مَالٍ (رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذي)
“Pada zaman Rasulullah harga membumbung tinggi, umat Islam matur kepada Rasulullah: ya Rasul, andai Engkau berkenan menentukan harga. Jawab Rasul, “Sesungguhnya semua persoalan ada di genggaman Allah, dia yang memberi peluang, memberi rizki dan menentukan harga”. Sesungguhnya aku bermohon semoga aku bertemu Azza wa Jalla dan tidak ada seorang pun yang menuntut kepadaku karena kedzalimanku kepadanya. Baik nyawa maupun harta.”
Pernyataan Rasul ini (“Sesungguhnya aku bermohon semoga aku bertemu Allah dan tidak ada seorang pun yang menuntut kepadaku karena kedzalimanku kepadanya”) sungguh menggambarkan kearifan seorang pemimpin untuk rakyatnya. Beliau tidak mau ada yang dirugikan, baik penjual maupun pembeli. Oleh sebab itulah, Beliau tidak berkenan mematok harga barang. Para Ulama Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah pun merespon Hadis di atas dengan menetapkan keharaman tas’îr (mematok harga tertentu). Menurut mereka,tas’îr adalah kedzaliman. Kenapa dzalim? karena pada dasarnya masing-masing orang diberikan kemerdekaan untuk memutar hartanya. Pedagang menjual barang tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Sedangkan pembeli ingin mendapatkan barang dengan harga yang rendah. Ketika kemauan penjual dan keinginan pembeli saling berhadapan mereka diberikan keluasan untuk saling tawar menawar menentukan harga yang disepakati. Intervensi penguasa dalam menentukan harga adalah merupakan pengekangan terhadap kebebasan mereka. Salah satunya pasti ada yang ‘dipaksa’ untuk menerima.
Di samping bertentangan dengan prinsip jual beli yang saling rela (‘an tarâdhin), pada saat yang sama, pemerintah berkewajiban untuk memelihara kemaslahatan rakyat secara keseluruhan. Pemihakan pemerintah untuk memelihara kemaslahatan pembeli dengan harga yang rendah, tidak lebih utama dengan keinginan penjual untuk mendapatkan harga yang diinginkannnya.
Sementara itu, Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah sebenarnya juga sepakat bahwa al-ashlu fi al-tas’îr al-hurmah (hukum asal dalam tas’îr adalah haram). Namun mereka memperbolehkannya dalam komoditi kebutuhan pokok demi memelihara kemaslahatan manusia. Barang-barang yang merupakan kebutuhan (al-hâjiyât) pokok tidak bisa diserahkan ke pasar sepenuhnya. Oleh sebab itu, tas’îr diperkenankan dalam hal ini. Begitulah argumen mereka yang dikutip oleh dr. Wahbah al-Zuhaili. Sandaran mereka adalah beberapa kaidah kaidah. Berikut ini beberapa kaidah yang mereka kemukakan:
الفقه الإسلامي وأدلته – (ج 4 / ص 242)
لا ضرر ولا ضرار و الضرر يزال و يتحمل الضرر الخاص لمنع الضرر العام
Pandangan madzhab ini sebenarnya cukup rasional lantaran akan menghindarkan dari bebepa bahaya di perputaran ekonomi. Misalnya dapat menghindarkan dari monopoli atau oligopoli di suatu pasar(kesepakatan sebagian pedagang untuk mematok harga tertentu). Berdasarkan pandangan ini, maka bahan-bahan pokok seperti beras, lauk-pauk, minyak goreng dan bahan-bahan pokok lainnya bisa saja ditas’îr oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk kepentingan rakyat.
Bila ditilik bersama dua argumen ulama madzhab di atas, Intinya segala tindakan, baik oleh penjual ataupun pembeli, yang menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik-turunnya yang tidak lagi alami, adalah melanggar ketentuan fiqh.
Benang merah yang bisa ditarik dari penjelasan di atas, ketentuan tas’ir ini adalah bentuk dari idealisme fiqh untuk mewujudkan ekonomi yang sehat dan adil. ‘Adamu al-tas’ir  memang menuntut reformasi total dalam konteks perekonomian Indonesia dewasa ini. Peneyerahan harga pada mekanisme pasar, menuntut undang-undang anti monopoli, pemerintah yang bersih dan adil, pemerataan sumber daya ekonomi (QS. Al-Hasyr, 7), pendongkrakan daya beli masyarakat, undang-undang anti eksploitasi (QS. Al-Zuhruf, 32) dan tindakan konsisten pemerintah untuk memerangi tindakan apapun yang menjadi virus bagi penyehatan kehidupan ekonomi. Jika syarat-syarat ini sudah dipenuhi, keharaman tas’ir bisa landing dalam kenyataan.
Lantas bagaimana tas’îr dalam bidang BBM. BBM sebenarnya tidak jauh beda dengan barang-barang seperti bahan pokok lain. Namun, perlu diingat bahwa dalam teori kepemilikan BBM adalah milik negara atau dengan ungkapan lain BBM adalah milik rakyat Indonesia, bukan milik personal. Oleh sebab itu, sebenarnya tas’îr yang dilakukan pemerintah dalam BBM sah-sah saja karena barang tersebut milik negara. Tidak mungkin harga BBM diserahkan pada masing-masing SPBU. Hal tersebut hanya akan semakin memperkeruh keadaan. Kemaslahatan rakyat adalah tujuan utama tas’îr yang dilakukan pemerintah.
Pada kasus harga BBM memang tidak boleh tidak, Pemerintah (bukan penguasa yang korup) harus turun tangan untuk intervensi pasar, menentukan harga yang bisa dijangkau kantong rakyat. Dalam hal ini tas’irmenjadi boleh, bahkan terkadang wajib dilakukan. Sebab, tas’îr dapat menjadi alat untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat banyak. Dalam terminologi fiqh/ushul fiqh, ada kaidah, maslahah umum bisa mengalahkan maslahah khusus. Kalau tidak ada tas’ir diasumsikan akan mewujudkan kemaslahatan beberapa gelintir orang, sementara tas’ir digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat banyak, dalam kondisi ini, tas’ir bisa ditolerir (Majmu’, XIII, 29; Al-Halal Wa Al-Haram fi al-Islam, 246).
Namun demikian, apakah dengan kebolehan tas’îr  lantas pemerintah bisa seenaknya menaikkan harga BBM? Inilah pertanyaan inti dari artikel ini. Karena alasan kebolehan tas’ir adalah demi mewujudkan kemaslahatan rakyat, didukung lagi oleh jargon; tasharruf al-imam ‘ala ra’iyyah manuthun bi al-maslahah(perlakukan pemerintah kepada rakyat, harus didasarkan kepada kemaslahatan rakyat), maka tas’îr harus berpijak pada prinsip al-maslahah  al-‘ammah, (membela kepentingan rakyat). Kini patut dipertanyakan, apakah kenaikan harga BBM yang otomatis berpengaruh pada kenaikan harga banyak barang telah mencerminkan kemaslahatan umum?.
Kebolehan tas’îr sampai pada batas harga yang masih bisa dijangkau oleh kemampuan rakyat (tsaman mitsl). Bukan di atas batas itu. Sehingga, kalau saja tas’ir yang dilakukan pemerintah ditetapkan pada harga yang tinggi, hal itu harus diturunkan sesuai dengan daya beli masyarakat. Kaidah fiqh mengatakan:
الضَّرُوْرَةُ تُقَدَّرُ بِقَدْرِهَا.
“Keadaan-keadaan darurat ditakar sesuai dengan kadarnya.”
Kaidah fiqh ini harus benar-benar diperhatikan dan dijalankan dalam persoalan ini. Hal ini dikarenakan keharaman tas’îr adalah keniscayaan yang harus diakui sebagai suatu hukum asal. Artinya, bila nantinya tas’îr diperbolehkan maka berarti adalah keadaan darurat, bukan keadaan normal. Oleh sebab itulah, dalam kasus BBM, kenaikan harga harus secukupnya. Tidak bisa dilakukan sembarangan. Bila diyakini bahwa dengan menaikkan akan dapat menenagkan hati dan gocek rakyat maka sesuaikan batasnya (yang memang menjadi kebutuhan). Oleh sebab itu, penentuan nominal kenaikan harus benar-benar memperhatikan kemampuan rakyat dan kebutuhan negara. Dan yang terpenting, penyelesaian akhir dari kenaikan BBM. Bila memang hal ini tidak bisa dihindari maka harus ada solusi pemecahannya. Pemerintah harus mengkonkritkan beberapa program untuk mengatasi dampak drastis dari kenaikan BBM, entah apa itu jurusnya.
Âla kulli hâl, seperti apapun yang akan dilakukan pemerintah, haruslah mencerminkan kebijakan yang adil dan arif pada rakyatnya. Perlu diingat dan diperhatikan baik-baik, bahwa tanggung jawab negara dalam Islam bukan hanya pada rakyat tapi juga dihadapan Allah kelak. Bila kebijakannya  dinilai buruk bagi rakyat, maka Pemerintahlah yang bertanggung jawab. Sebaliknya bila baik maka pemerintah pulalah yang akan menuainya. (el-Kafi, img: blogdetik)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar