Oleh:
Dr. Drs. Parasian Simanungkalit, SH, MH
Brigadir Jendral (Purn) Polisi
Seperti halnya yang terjadi di negara lain, permasalahan penyalahgunaan narkoba di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Pada kuartal kedua tahun 2012 ini, diperkirakan mencapai level 4 sampai 5 juta jiwa. Ironisnya, dari jumlah pengguna narkoba tersebut sebagian besar didominasi anak-anak usia produktif dengan mencakup seluruh strata sosial masyarakat.
Aktivitas peredaran gelap narkoba juga sudah menjangkau ke berbagai penjuru daerah. Bahkan bisa dikatakan tidak ada satupun kawasan di Indonesia yang bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Tidak hanya itu, beberapa kejadian yang disebabkan akibat penyalahgunaan narkoba menjadikan masyarakat merasa prihatin. Semisal, kecelakan mobil Xenia oleh Afriyani yang mengakibatkan sembilan orang meninggal, tertangkapnya pilot mengonsumsi sabu-sabu, serta beberapa oknum Kepolisian, TNI, PNS, dan juga pejabat publik yang diketahui sebagai pengguna narkoba.
Seiring dengan semakin meningkatnya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, pemerintah Indonesia telah mengupayakan untuk menindak tegas para sindikat dan pengedar dengan memberikan hukuman berat, bahkan sampai hukuman mati. Menurut data Kejaksaan Agung sepanjang 2011 terdapat 58 orang yang telah dijatuhi pidana mati dalam kasus narkoba.
Namun terhadap korban pengguna narkoba masih dipidana atau dijatuhi hukuman pidana oleh hakim dan menempatkan mereka di lembaga pemasyarakatan, bukan di tempat rehabilitasi. Sehingga lembaga pemasyarakatan menjadi pasar peredaran narkoba karena semua penghuninya membutuhkan narkoba secara ilegal.
Padahal bila dicermati dengan seksama, khususnya dari perspektif viktomologi, terdapat beberapa pendapat ahli hukum yang menyatakan bahwa pengguna narkoba adalah korban sehingga tidak patut dipidana. Menurut Ezzat Abdul Fateh, pendapat ini bisa didasarkan pada tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan termasuk dalam tipologi False Victims yaitu pelaku yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Merujuk perspektif tanggung jawab korban, Stephen Schafer menyatakan adanya self-victimizing victims yakni pelaku yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Akan tetapi, pandangan ini menjadi dasar pemikiran bahwa tidak ada kejahatan tanpa korban. Semua atau setiap kejahatan melibatkan 2 (dua) hal, yaitu penjahat dan korban.
Menurut Sellin dan Wolfgang korban penyalahgunaan narkoba merupakan “mutual victimization”, yaitu pelaku yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Seperti halnya pelacuran, dan perzinahan. Selain itu pecandu narkoba juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim). Pengertian kejahatan tanpa korban berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali, akan tetapi si pelaku sebagai korban. Sementara dalam katagori kejahatan, suatu perbuatan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain (an act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor). Artinya apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan.
Gagasan yang sama juga muncul dari kalangan medis. Menurut Dadang Hawari, para individu pengguna narkoba merupakan korban dari sindikat atau mata-rantai peredaran dan perdagangan gelap narkoba yang sulit melepaskan diri dari ketergantungan. Walaupun mungkin, sebenarnya para pengguna tersebut ingin lepas dari jeratan narkoba yang membelitnya, namun karena syarafnya sudah teracuni zat adiktif, maka hal itu sulit dilakukan.
Dalam konteks pemidanaan terhadap korban pengguna narkoba, permasalahan muncul ketika ancaman pidana yang dirumuskan pemerintah bersama DPR dan telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, masih terdapat kontradiksi, kerancuan, ketidaksesuaian, dan juga keragamaan dalam memutuskan produk hukum tersebut, terutama dalam menentukan sanksinya. Di satu sisi pengguna narkoba dipidana penjara, di sisi lain direhabilitasi.
Penggunaan hukum pidana berupa pidana penjara merupakan masalah kebijakan (policy). Sebagai suatu kebijakan, penggunaan hukum pidana bukanlah suatu keharusan. Sifat pidana sebagai ultimum remedium menghendaki, apabila tidak perlu sekali hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana. Sebab pidana tidak hanya dirasa tidak enak pada waktu dijalani, tetapi sesudah itu orang yang dikenai itu masih merasakan akibatnya yang berupa “cap” atau stigma buruk dari masyarakat.
Aturan Pidana dan Ketentuan Rehabilitasi
Pada dasarnya penjatuhan sanksi pidana penjara terhadap korban pengguna narkoba tidak dapat mengubah perbuatannya sebagai pengguna karena pelaku adalah orang yang kecanduan, menderita kesakitan yang seharusnya mendapat pengobatan dan perawatan. Namun karena perbuatan tersebut telah ditetapkan sebagai perbuatan melanggar hukum, dan telah ditetapakan dalam UU Narkotika, maka perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini sesuai asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yakni tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali).
Pengaturan sanksi pidana terhadap pengguna narkoba bagi diri sendiri terdapat dalam Pasal 127 UU Narkotika dan Pasal 59 UU Psikotropika. Menggunakan narkoba bagi diri sendiri mengandung maksud bahwa penggunaan tersebut dilakukan tanpa melalui pengawasan dokter. Penggunaan Narkoba tanpa melalui pengawasan dokter tersebutlah yang merupakan suatu perbuatan “tanpa hak dan melawan hukum”. Artinya, selama peraturan perundang-undanganya masih mencantumkan ancaman pidana penjara bagi pengguna narkoba meskipun bagi dirinya sendiri, maka hukuman tersebut akan selalu ada. Atas dasar itulah, pengguna atau pecandu narkoba dapat dipidanakan.
Meskipun demikian, UU Narkotika juga mengatur tentang rehabilitasi bagi pengguna atau pecandu, yakni terdapat dalam Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 103. Di dalam Pasal 103 UU Narkotika, menyebutkan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkoba dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkoba tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkoba. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkoba tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkoba.
Undang-Undang Narkotika, juga memberikan landasan hukum kemungkinan pengguna narkotika tidak dipidana, sebagaimana diatur Pasal 128 ayat (2) dan (3) UU Narkotika, memberikan jaminan tidak dituntut pidana dengan kriteria sebagai berikut: a). Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana; b). Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
Dilihat dari ketentuan tersebut, jelas bahwa pengguna narkoba adalah tidak dipidana, karena pengguna narkoba terutama yang ada dalam tahap kecanduan telah didudukan sebagai korban yang sepatutnya direhabilitasi, baik secara medis maupun sosial.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, pada tahun 2010, Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Sosial. Dikeluarkanya SEMA ini, sejatinya telah memberikan sebuah panduan bagi hakim untuk menempatkan pecandu narkoba ke dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial. Adapun yang menjadi pokok pertimbangan adalah ruh atau semangat dari UU Narkotika yakni mengakui pecandu narkoba sebagai pesakitan dan melindungi pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba tersebut dengan menempatkannya di lembaga medis dan sosial.
Selain itu ketentuan dikeluarkan SEMA ini juga karena umumnya pengambilan kebijakan di Indonesia saat ini masih menganut sistem public security dan belum pada tahap public health. Artinya, upaya yang dilakukan di Indonesia saat ini masih dominan terhadap bidang pemberantasan penyalahgunaan narkoba, atau belum memfokuskan pada upaya merehabilitasi pecandu dari aspek medis dan sosial. Keberadaan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 merupakan rujukan untuk membedakan terdakwa sebagai penyalahguna/pecandu atau sebagai pengedar/bandar dengan standar minimal barang bukti yang didapatkan. Barang bukti hanyalah salah satu alat bukti, sedangkan pembuktian minimal ada 2 alat bukti, bila di dalam proses peradilan terbukti adanya tindak peredaran yang dilakukan terdakwa meskipun barang bukti narkoba yang dimiliki di bawah minimal tentu saja sah bila hakim menjatuhkan vonis sebagai pengedar/bandar.
Ketentuan hukum lainnya dalam menempatkan korban pengguna narkoba di tempat rehabilitasi medis dan sosial juga tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut memberikan jaminan kepada pecandu dan/atau korban penyalahgunaan narkoba untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dengan ketentuan tersebut dunia peradilan di Indonesia sebetulnya telah membuka mata tentang hakikat dari pecandu narkoba dalam konteks ilmu hukum khususnya viktimologi. Sesuatu yang sangat sulit dilegitimasi selama ini, sehingga selama “perang terhadap narkoba” dikumandangkan oleh pemerintah Indonesia, pecandu narkoba selalu ditempatkan sebagai kriminal, maka hak-hak korban untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan perlakuan khusus, dalam hal ini rehabilitasi menjadi hilang. Tantangan ke depan justru berada dalam pundak hakim untuk berani memutus atau menetapkan vonis rehabilitasi terhadap pecandu dan melakukan terobosan hukum serta penemuan hukum yang tidak hanya mengacu pada undang-undang saja, tetapi lebih pada nilai-nilai sosial dan kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. Tantangan lain bagi pembuat kebijakan adalah apakah kekuatan surat edaran dari aspek yuridis formal mampu mendekriminalsiasi pecandu kerena dari beberapa sumber menyebutkan negara yang mendukung dekriminalisasi secara de jure mencabut semua peraturan yang menghukum para pengguna dan dalam penanganannya tidak memenjarakan, menuntut ataupun melakukan penangkapan kepada pengguna.
Dengan menelaah ketentuan di atas, institusi dan penegak hukum di Indonesia sebaiknya mulai memilih jalur alternatif yakni memberikan vonis rehabilitasi bagi pengguna narkoba. Vonis pidana dengan pemenjaraan terhadap korban pengguna narkoba bukan solusi efektif karena pengguna narkoba merupakan korban dari kejahatan peredaran gelap narkoba.
Hasil dari penelitian yang dilakukan penulis, menunjukkan bahwa selama pengguna narkoba di penjara para pelaku masih bisa mengkonsumsi narkoba secara sembunyi-sembunyi yang di dapat secara ilegal. Sementara dari segi medis, pidana penjara bukanlah tempat yang baik bagi proses penyembuhan ketergantungan obat, namun justru akan semakin menyiksa mental pelaku. Disamping tidak efektif, vonis penjara dalam perspektif manajemen penyelenggaraan negara bisa dikatakan merugikan pemerintah. Dapat dikalkulasikan, berapa dana yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memberikan kebutuhan makan bagi warga binaan narkoba di dalam lembaga pemasyarakatan. Selain itu negara juga tidak bisa memberikan jaminan tempat yang layak di lembaga pemasyarakatan. Hampir semua LP Narkotika di Indonesia penuh sesak. Akibatnya, penghuni harus berdesak-desakan dan tidak jarang, karena kondisi yang serba minim, mudah terjadi kekerasan di dalam penjara. Belum lagi mengkriminalkan pengguna narkoba justru menjadikan upaya penanggulangan penularan HIV/AIDS menjadi terhambat, dan bagi pengguna akan mendapat stereotif negatif dari masyarakat ketika ke luar dari penjara.
Revisi UU Narkotika dan Psikotropika
Penerapan hukum pidana berupa pidana penjara bagi korban pengguna narkoba terbukti tidak berhasil, yang sesungguhnya terjadi justru setiap tahun korban pengguna narkoba yang dijatuhi pidana penjara angkanya semakin naik. Hal inilah yang perlu dikaji ulang terkait tujuan dan fungsi penerapan hukum pidana bagi korban pengguna narkoba. Faktor terpenting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang justru seringkali diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum di Indonesia adalah adanya upaya rehabilitasi. Model pemidanaan terhadap korban pengguna narkoba sampai sekarang ini masih menempatkan sebagai pelaku tindak pidana (kriminal), sehingga upaya-upaya rehabilitatif sering terabaikan.
Oleh karena itu untuk menguatkan dan memposisikan pengguna narkoba sebagai korban, maka hal pertama yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) adalah merevisi beberapa pasal, khususnya Pasal 127 UU Narkotika dan Pasal 59 UU Psikotropika. Adapun isi revisi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 127 UU Narkotika, menjadi berbunyi:
“Pengguna sebagai korban pengguna Narkotika tidak dipidana tetapi ditempatkan di tempat rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan sampai sembuh”
Pasal 59 UU Psikotropika dirubah menjadi berbunyi:
“Pengguna sebagai korban pengguna Psikotropika tidak dipidana tetapi ditempatkan di tempat rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan sampai sembuh”
Usulan terhadap perubahan/revisi Pasal 127 UU Narkotika dan Pasal 59 UU Psikotropikadi atas dirasa memenuhi rasa keadilan di masyarakat, karena keadilan sangat fundamental maknanya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Terlebih keadilan itu sangat diharapkan bagi penderita yang telah mengalami kecanduan akibat menggunakan Narkoba.
Adanya dekriminalisasi terhadap penyalahguna dan pecandu narkoba, maka penegak hukum akan lebih fokus dalam menangkap pengedar yang merupakan pelaku kejahatan, dan memaksimalkan program rehabilitasi bagi pecandu narkoba karena para korban penyalahgunaan narkoba tidak lagi menyembunyikan diri dan merasa takut untuk dipidanakan. Dengan demikian semua korban pengguna narkoba menjadi penghuni rumah sakit atau pusat rehabilitasi untuk memperoleh pengobatan sampai sembuh. Upaya ini sekaligus untuk memutus matarantai perdagangan narkoba di lembaga pemasyarakatan.
Kantor Hukum Kalingga
Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati
(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar