Rabu, 12 Maret 2014

KETENTUAN HUKUM & EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN



KETENTUAN HUKUM & 
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin komplek maka mempengaruhi dunia ekonomi terkait dalam hal pembangunan nasional. Pembangunan nasional untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tertuang dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Upaya mengembangkan perekonomian dan perdagangan diperlukan peran dari pemerintah dan pelaku usaha (masyarakat dan badan hukum). Pengembangan perekonomian tersebut memerlukan adanya modal yang besar sehingga modal tesebut diperoleh dengan perkreditan melalui perbankan.

Upaya perkreditan yang dilakukan oleh debitur dan kreditur dilakukan dengan membuat perjanjian kredit terlebih dahulu sebagai perjanjian pokok. Perjanjian kredit biasanya dalam bentuk perjanjian baku yang diberikan oleh kreditur kepada debitur dimana untuk disepakati bersama. Akan tetapi ada pula perjanjian kredit dibuat secara akta notariil yang dibuat oleh Notaris. Notaris dalam hal ini harus teliti guna melindungi masing-masing pihak terkait dengan hak dan kewajibannya. Pemberian kredit oleh kreditur kepada debitur tidak secara cuma-cuma melainkan disertai dengan pemberian jaminan yang senilai dengan jumlah dari nilai kredit tersebut.

Mayoritas debitur memberikan jaminan kepada kreditur berupa tanah dalam bentuk sertifikat hak atas tanah. hal ini disebabkan tanah mempunyai nilai yang relatif stabil bahkan tidak akan mengalami kemerosotan, sangat menguntungkan bagi kreditur.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 bahwa hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan dibebani dengan hak tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya undang-undang yang mengaturnya secara lengkap, sesuai yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 UUPA. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan ketentuan Credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960).
Hal ini disebabkan Hypotheek diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menganut asas perlekatan dimana tidak sesuai dengan asas hukum tanah nasional yang menganut asas pemisahan horizontal. Sehingga, perlu dibentuk undang-undang yang spesialitas mengenai hak tanggungan kemudian diundangkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Ada lembaga jaminan hutang yaitu Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah, adalah :

Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”.

Berdasarkan pengertian dari hak tanggungan tersebut, bahwa jaminan berupa tanah tersebut juga termasuk benda yang terdapat diatas tanah sebagai pelunasan atas hutang tertentu. Pembebanan jaminan atas tanah dengan hak tanggungan tersebut tidak akan terlepas dari perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya.

Dengan demikian, perjanjian tersebut telah menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Pihak debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan angsuran atau pelunasan terhadap piutang tersebut kepada kreditur sebagaimana tertuang dalam perjanjian kredit maupun perjanjian assesoir tersebut. Tidak jarang bahwa debitur telah melakukan wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 maupun Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 telah memberikan kewenangan kepada kreditur sebagai pihak pemegang hak tanggungan untuk melakukan eksekusi atas hak tanggungan.

Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak Tanggungan, Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan (“APHT”). Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan (Pasal 14 ayat [1] UU Hak Tanggungan). Sertifikat Hak Tanggungan inilah yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 14 ayat [3] UU Hak Tanggungan).

Sedangkan, APHT yang dibuat oleh PPAT adalah langkah pertama dari pemberian hak tanggungan tersebut. Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT (Pasal 10 ayat [2] UU Hak Tanggungan).

Jadi, pada dasarnya jika APHT tersebut telah didaftarkan di Kantor Pertanahan dan telah memperoleh sertifikat hak tanggungan, maka kreditur dapat melakukan penjualan secara lelang jika debitur wanprestasi.

Lebih lanjut, menurut Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelangsebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 106/PMK.06/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan No. 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang*, dalam hal terdapat gugatan terhadap objek lelang hak tanggungan dari pihak lain selain debitor/tereksekusi, suami atau istri debitor/tereksekusi yang terkait kepemilikan, pelaksanaan lelang dilakukan berdasarkan titel eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memerlukan fiat eksekusi.

Uraian secara sederhana prosedur pelaksanaan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dengan tahapan sebagai berikut:

a.      Permohonan lelang dari Pemilik Barang/Penjual

Pihak penjual mengajukan permohonan lelang secara tertulis ditujukan kepada KPKNL. Penjual harus segera melengkapi surat permohonan lelangnya dengan dokumen-dokumen/bukti-bukti hak dan kewenangannya menjual barang secara lelang. Selain itu Penjual dapat menetapkan syarat-syarat penjualan lelang asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan lelang yang berlaku.

b.      KPKNL menetapkan tanggal/hari dan jam lelang

Setelah kantor lelang meneliti permohonan lelang beserta dokumen kelengkapannya tersebut dan memperoleh atas legalitas subyek dan objek lelang, maka kantor lelang (KPKNL) akan menetapkan waktu dan tempat lelang.

c.      Pengumuman lelang di surat kabar harian

Maksud dan tujuan dari Pengumuman Lelang adalah agar dapat diketahui oleh masyarakat luas sebagai upaya mengumpulkan peminat. Penjualan secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh Penjual. Pengumuman Lelang berdasarkan Pasal 42 PerMenKeu Nomor 93/PMK.06/2010 paling sedikit memuat:

1.      identitas Penjual;
2.      hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan;
3.      jenis dan jumlah barang;
4.      lokasi,  luas  tanah,  jenis  hak  atas  tanah,  dan  ada/tidak adanya bangunan,  khusus  untuk  barang  tidak  bergerak berupa tanah dan/atau bangunan;
5.      spesifikasi barang, khusus untuk barang bergerak;
6.      waktu dan tempat melihat barang yang akan dilelang
7.      Uang Jaminan Penawaran Lelang  meliputi besaran,  jangka waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam  hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang;
8.       Nilai Limit, kecuali Lelang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya dari   tangan pertama dan Lelang Noneksekusi Sukarela untuk barang bergerak;
9.       cara penawaran lelang; dan
10.   jangka waktu Kewajiban Pembayaran Lelang oleh  Pembeli.
Pengumuman  Lelang  terbit pada hari kerja KPKNL dan tidak menyulitkan peminat lelang melakukan penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang. Penjual  dapat  menambah  Pengumuman  Lelang  pada  media lainnya guna mendapatkan peminat lelang seluas-luasnya.

d.     Peserta lelang menyetorkan uang jaminan ke rekening KPKNL

Uang jaminan lelang harus sudah efektif diterima paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang. Uang jaminan penawaran lelang dibebankan kepada pihak Peserta Lelang dengan besaran yang ditentukan oleh Penjual paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari Nilai Limit dan paling banyak sama dengan Nilai Limit. Ketentuan mengenai besaran uang jaminan penawaran lelang disebutkan dalam Pasal 32 PerMenKeu Nomor 93/PMK.06/2010. Uang jaminan penawaran merupakan prasyarat sebelum melakukan lelang dan hal ini dimaksudkan agar peserta lelang merasa terikat karena uang jaminan akan hilang apabila peserta yang ditunjuk sebagai Pembeli melakukan wanprestasi,  sehingga  dapat dihindarkan dari adanya peserta yang tidak sungguh-sungguh berminat mengikuti lelang atau yang hanya main-main.

e.      Pelaksanaan lelang oleh Pejabat Lelang dari KPKNL

Pejabat lelang adalah orang yang berdasarkan undang-undang berwenang melaksanakan lelang. Setiap pelaksanaan lelang    (berdasarkan Pasal 1a Vendu Reglement dan Pasal 2 PerMenKeu Nomor 93/PMK.06/2010) harus dilakukan oleh    dan/atau dihadapan  Pejabat Lelang  kecuali  ditentukan  lain  oleh Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Lelang tetap dilaksanakan walaupun hanya diikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang dan dalam pelaksanaan lelang, Pejabat Lelang dapat dibantu oleh  Pemandu Lelang. Penawaran lelang dilakukan secara tertulis dalam amplop tertutup dan diserahkan pada saat pelaksanaan lelang. Dalam hal terdapat nilai penawaran yang sama diantara peserta lelang, maka penawaran lelang akan dilanjutkan secara lisan naik-naik terhadap penawar tertinggi yang sama tersebut.
Peserta lelang/kuasanya harus hadir pada saat pelaksanaan lelang dengan terlebih dahulu melakukan registrasi. Bagi peserta yang memberikan kuasa kepada pihak lain, harus disertai dengan Akta Kuasa Notariil. Peserta Lelang yang teregistrasi wajib menyampaikan penawaran paling sedikit sama dengan harga limit, bila penawaran kurang dari harga limit, maka bersedia dimasukkan dalam daftar hitam peserta lelang. Dalam hal penawaran tertinggi dalam lelang telah sesuai dengan kehendak Penjual, maka barang akan dilepas dan Pejabat Lelang akan menetapkan penawar tertinggi sebagai Pemenang Lelang/Pembeli. Namun, dalam hal penawaran tertinggi ternyata belum mencapai harga jual yang dikehendaki (Harga Limit), maka Pejabat Lelang akan menetapkan bahwa obyek lelang akan ditahan atau tidak ditunjuk pemenangnya, kecuali Penjual setuju untuk melepaskan barang tersebut.

f.       Pemenang lelang membayar harga lelang kepada KPKNL

Pemenang lelang harus menyelesaikan pelunasan pembayaran paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang, dan apabila pembayaran tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan, maka jaminan lelang seluruhnya menjadi Hak Negara dengan disetorkan ke Kas Umum Negara. Pada dasarnya Pembeli membayar uang pembelian lelang secara kontan, namun apabila menggunakan cheque, maka sebelumcheque tersebut dikliring dan hasil kliringnya dinyatakan baik oleh pihak Bank. Pejabat Lelang diwajibkan menyetorkan uang hasil lelang ke rekening Penjual dalam waktu 1 x 24 jam setelah diterimanya pelunasan uang hasil lelang dari Pembeli.

g.      Bea Lelang disetorkan ke Kas Negara oleh KPKNL

Bea lelang Pembeli yang dipungut sesuai dengan ketentuan peraturan Pemerintah tentang Bea Lelang, Staatsblad 1949-390, yaitu 9% untuk barang bergerak dan 4,5% untuk barang tidak bergerak, dan uang miskin dipungut berdasarkan Pasal 18 Vendu Reglement sebesar 0,7% untuk barang bergerak dan 0,4% untuk barang tidak bergerak. Dilain pihak kepada Penjual juga dipungut Bea Lelang, yaitu 3% untuk barang bergerak dan 1,5% untuk barang tidak bergerak dihitung dari Pokok Lelang. Kepada Penjual tidak dikenakan Uang Miskin

h.     Hasil bersih lelang disetor ke pemohon lelang

Dalam hal pemohon lelang/pemilik barang adalah instansi pemerintah maka hasil lelang disetorkan ke Kas Negara. Kemudian KPKNL menyerahkan dokumen dan Petikan Risalah Lelang sebagai bukti untuk balik nama dan sebagainya.


Kantor Hukum Kalingga

Jl. Pamularsih Raya No. 104 A Semarang
Jl. Pati-Juwana KM. 03 Pati

(024) 76670350
HandPhone : 0821 3875 4004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar